Minggu, 02 Oktober 2016

MEMPERBAIKI EFESIENSI BELANJA KEMENTERIAN/LEMBAGA.

Kementerian Keuangan memiliki kegiatan spending review yang dilakukan tiap tahun sejak tahun 2012. Spending Review (SR) adalah revieu komprehensif terhadap performa belanja Pemerintah (APBN) untuk mengetahui efisiensi, efektivitas dan value for money  atas alokasi anggaran dan pelaksanaan anggaran pemerintah. Disebutkan bahwa SR merupakan alat untuk mencapai tujuan manajemen pengeluaran publik terutama dalam melakukan evaluasi kinerja pemerintah, yang hasilnya dijadikan rekomendasi untuk pelaksanaan anggaran pemerintah tahun berikutnya.

Secara konseptual, Spending Review memiliki cakupan luas, setidaknya strategic review dan functional review. Strategic Review memiliki fokus utama kepada efektivitas dan skala prioritas, serta lebih dalam lagi  memberikan rekomendasi kepada pemerintah tentang apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan. Sedangkan Functional Review memiliki fokus utama terhadap efisiensi atau bagaimana suatu kebijakan atau program dapat terlaksana dengan sumber daya yang lebih sedikit. Lanjutannya akan dihasilkan analisis mengenai aggregate efficiency (Fiscal Discipline), Allocative Efficiency, dan Technical Efficiency.

Dalam praktik kegiatan 5 tahun ini, SR yang menjadi tupoksi Direktorat jenderal Perbendaharaan, masih terbatas kepada beberapa review teknis, dan lebih kepada efisiensi penganggaran saja. Kegiatan utamanya masih berupa Reviu Alokasi (Pagu), analisis Benchmarking, dan Analisis Deviasi Kebutuhan.

Reviu alokasi melakukan identifikasi indikasi inefisiensi, duplikasi, dan einmalig. Inefisiensi pada tahap alokasi adalah kelebihan alokasi yang dapat menyebabkan anggaran diserap atau sumber daya digunakan lebih dari yang dibutuhkan untuk mencapai target keluaran, fokus untuk mengidentifikasi indikasi inefisiensi pada tahap alokasi yakni: Relevansi komponen; Ketidaksesuaian antara (kelebihan dari) harga satuan dengan standar biaya yang dipergunakan pada alokasi anggaran; dan membandingkan dengan alokasi pada kegiatan yang serupa pada satuan kerja yang memiliki keluaran sama. Duplikasi adalah apabila dalam satu program terdapat dua kegiatan dengan output yang sama, atau dalam satu kegiatan terdapat dua komponen kegiatan yang sama. Einmalig adalah program atau kegiatan yang berdasarkan sifat atau tujuannya hanya perlu dilaksanakan hanya satu kali, atau dapat dipastikan tidak akan diulang atau dilanjutkan pada tahun anggaran berikutnya.

Analisis benchmarking adalah membandingkan kinerja suatu unit (baik program, keluaran ataupun satker) dengan tolok ukurnya, dengan terlebih dahulu mendefinisikan kinerja dan menentukan tolok ukur yang dimaksud. Perbedaan antara kinerja suatu unit dengan tolok ukurnya merupakan tingkat inefisiensi yang terukur.

Analisis Deviasi Kebutuhan dilakukan dengan menganalisis pola penyerapan belanja barang operasional selama 5 tahun terakhir untuk mencari indikasi adanya inefisiensi alokasi berdasarkan data penyerapan anggaran.  Hal ini terkait dengan Metode penghitungan kebutuhan dan yang ada selama ini masih menggunakan system line-budget system, dimana penghitungan belanja operasional masih menggunakan pendekatan angka accress dan tingkat inflasi untuk belanja barang operasional. Akibatnya terjadi inefisiensi belanja yang dapat dilihat dari tingginya sisa anggaran belanja operasional yang tidak terserap (terutama pada belanja barang).

Kementerian Keuangan mengatakan bahwa setelah melakukan ketiga jenis reviu/analisis tersebut, hasil reviu/analisis per kementerian/lembaga kemudian dikonfirmasi ke kementerian/lembaga bersangkutan. Konfirmasi dilakukan untuk memastikan bahwa hasil temuan dalam reviu/analisis benarbenar valid dan handal. Selain itu, konfirmasi dilakukan sebagai bentuk pembinaan ke K/L dengan pengenalan norma-norma dalam Spending Review sehingga indikasi inefisiensi dan duplikasi semakin mengecil di tahun-tahun berikutnya. Pada proses konfirmasi, rincian indikasi inefisiensi hasil reviu/analisis bisa dihapus bila berdasarkan diskusi dianggap tidak kurang kuat. Hasil reviu/analisis final setelah konfirmasi dituangkan dalam berita acara konfirmasi yang ditandatangani oleh kedua pihak.

Spending Review kemudian melaporkan inefisiensi yang menurun, dari 9% pada tahun 2013, menjadi 3% pada tahun 2014, 1% pada tahun 2015 dan 1,2% pada tahun 2016 ini. Akan tetapi ada kemungkinan sebagiannya karena metode yang lebih konservatif, antara lain karena dilakukan konfirmasi ulang (cross check) ke K/L beberapa kali. Sedangkan pada tahun 2013 hanya oleh Kementerian Keuangan (ditjen Perbendaharaan).


Adapun hasil Spending Review 2016 menyebutkan bahwa K/L dengan indikasi inefisiensi tertinggi berturut-turut adalah : Kementerian Dalam Negeri, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Perdagangan, Badan Pemeriksa Keuangan, serta Kementerian Pemuda dan Olah Raga.

Sementara itu, bila ditelusuri berdasarkan kelompok akun, maka akan ditemukan bahwa kelompok akun dengan indikasi inefisiensi tertinggi adalah Belanja Perjalanan Dinas, Belanja Jasa, Belanja Barang Non Operasional, Belanja Modal Peralatan dan Mesin, dan Belanja Barang Operasional.

Meskipun analisisnya masih terbatas, spending review cukup berguna bagi perbaikan kualitas belanja K/L, hanya perlu ditingkatkan kepada reviu strategis menyangkut efektifitas. Entah mengapa, hasil SR tidak dipublikasikan secara luas bagi masyarakat, bahkan bagi satuan birokrasi lainnya diluar Kementerian Keuangan (tentunya Presiden/wakil Presiden). Surat Edaran Dirjen Perbendaharaan saja tentang juknis SR tidak diupload sebagaimana aturan lainnya. Apalagi dokumen lengkap tentang “temuan”. Padahal, inefisiensi belum tentu melanggar hukum atau terkait tindak pidana korupsi, berbeda dengan temuan BPK.
.