Sabtu, 28 Januari 2017

PEKERJA BERUSAHA SENDIRI YANG MEMANG SENDIRI.


Badan Pusat Statistik (BPS) merilis berbagai publikasi atas dasar sumber data hasil Survei Ketenagakerjaan Nasional (Sakernas), yang kini dilaksanakan pada bulan Februari dan Agustus tiap tahun. BPS mengatakan tujuannya adalah untuk menyediakan data pokok ketenagakerjaan secara berkesinambungan. Data terkini yang dipublikasi adalah untuk kondisi Agustus 2016.

Menurut BPS, bekerja adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu. Pada Agustus 2016 terdapat 118,41 juta orang penduduk bekerja. Ada tujuh kelompok berdasar status pekerjaan, yang salah satunya adalah Berusaha sendiri, yang berjumlah 20.015.291 orang atau sekitar 16,90% dari total penduduk yang bekerja. 

Berusaha sendiri, adalah bekerja atau berusaha dengan menanggung risiko secara ekonomis, yaitu dengan tidak kembalinya ongkos produksi yang telah dikeluarkan dalam rangka usahanya tersebut, serta tidak menggunakan pekerja dibayar maupun pekerja tak dibayar, termasuk yang sifat pekerjaannya memerlukan teknologi atau keahlian khusus.

Mayoritas pekerja berusaha sendiri berpendidikan SD ke bawah yakni sekitar 51,19%. Jika dilihat dari jenis kelamin, 48,81 persen untuk laki‐laki dan 54,92 persen untuk perempuan. Secara wilayah, di perdesaan sebanyak 60,79%, dan di perkotaan sebanyak 42,53% yang demikian itu.



Sebanyak 39,93% dari pekerja berusaha sendiri adalah pada sektor perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel. Urutan berikutnya adalah usaha yang berkaitan dengan pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan sebesar 27,38%; pada usaha angkutan, pergudangan, dan komunikasi sebanyak 12,10%; dan industri pengolahan sebanyak 9,96%.



Dilihat dari jenis pekerjaan, sebanyak 36,58% bekerja sebagai tenaga usaha penjualan. Sebanyak 29,41% sebagai tenaga produksi, operator alat‐alat angkutan dan pekerja kasar. Dan sekitar 26,78% sebagai tenaga usaha pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan.

Salah satu yang perlu diperhatikan adalah terkait dengan cukup lamanya jam kerja beberapa jenis pekerjaan utama,  dengan jam kerja lebih dari 48 jam per minggu. Diantaranya adalah tenaga usaha penjualan sebesar 46,25%; tenaga tata usaha dan yang sejenis sebesar 39,76%; tenaga produksi, operator alat‐alat angkutan dan pekerja kasar sebesar 35,08%; dan tenaga usaha jasa sebesar 32,96%.

Rata‐rata pendapatan pekerja berusaha sendiri pada Agustus 2016 adalah sebesar Rp1.621,43 ribu per bulan. Jika dilihat secara umum, pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, rata‐rata pendapatan juga lebih tinggi. Jenjang Tidak /Belum Tamat SD sebesar Rp1.071,21 ribu; pendidikan SD sebesar Rp1. 455,82 ribu, dan SMA ke atas sebesar  Rp2.157,02 ribu rupiah.



Jika dilihat berdasarkan lapangan usaha yang dirinci sembilan sektor, rata‐rata pendapatan pekerja berusaha sendiri pada sektor yang paling banyak digeluti adalah: pada sektor perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel sebesar Rp1.903,09 ribu; pada lapangan usaha pertanian sebesar Rp 1.120,95 ribu; pada usaha angkutan, pergudangan, dan komunikasi sebesar Rp1.853,44 ribu; dan industri pengolahan sebanyak Rp1.169,60 ribu.



Sekitar 20 juta penduduk yang bekerja dengan kategori berusaha sendiri kondisinya masih cukup memprihatinkan. Secara pendapatan memang lebih baik dibandingkan dengan status pekerja bebas, namun karena berusaha sendiri maka tidak ada jaminan dan perlindungan. Selain pendapatannya secara umum masih dibawah UMP buruh, jumlah jam kerja nya pun secara rata-rata jauh lebih lama. Secara teoritis mereka ini disebut wirausaha, dan seluruhnya mendapat penyebutan usaha mikro dan usaha kecil. Sebenarnya ada Undang-Undang untuk UMKM, ada kementerian Koperasi dan UMKM, ada pidato kebijakan yang berpihak kepada UMKM, ada kewajiban minimum perbankan memberi kredit UMKM, ada klaim keberhasilan Kredit Usaha Rakyat (KUR), ada CSR untuk UMKM, dan lain sebagainya. Kenyataan di lapangan 20 juta orang (sebagian besarnya adalah kepala keluarga) benar-benar berusaha sendiri dan memang sendirian. Hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa mereka bergantung.

PEKERJA BEBAS YANG MEMPRIHATINKAN

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis berbagai publikasi atas dasar sumber data hasil Survei Ketenagakerjaan Nasional (Sakernas), yang kini dilaksanakan pada bulan Februari dan Agustus tiap tahun. BPS mengatakan tujuannya adalah untuk menyediakan data pokok ketenagakerjaan secara berkesinambungan. Data terkini yang dipublikasi adalah untuk kondisi Agustus 2016.

Menurut BPS, bekerja adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu. Pada Agustus 2016 terdapat 118,41 juta orang penduduk bekerja. BPS antara lain mengelompokan mereka atas dasar status pekerjaan.

Pekerja atas dasar status pekerjaan adalah sebagai berikut: 1)berusaha sendiri sebanyak 20.015.291 orang; 2)berusaha dibantu buruh tidak  tetap/ buruh tak dibayar sebanyak 19.450.879 orang; 3) berusaha dibantu buruh tetap/ buruh dibayar sebanyak 4.380.002 orang; 4) buruh/karyawan/pegawai sebanyak 45.827.785 orang, 5) pekerja bebas di pertanian sebanyak 5.499.898 orang, 6) pekerja bebas di nonpertanian 6.965.506 orang; dan 7) pekerja keluarga/tak dibayar sebanyak 16.272.612 orang. 

Pekerja bebas di pertanian, adalah seseorang yang bekerja pada orang lain/majikan/institusi yang tidak tetap (lebih dari 1 majikan dalam sebulan terakhir) di usaha pertanian baik berupa usaha rumah tangga maupun bukan usaha rumah tangga atas dasar balas jasa dengan menerima upah atau imbalan baik berupa uang maupun barang, dan baik dengan sistem pembayaran harian maupun borongan. Usaha pertanian meliputi: pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan dan perburuan, termasuk juga jasa pertanian.

Pekerja bebas di nonpertanian adalah seseorang yang bekerja pada orang lain/majikan/institusi yang tidak tetap (lebih dari 1 majikan dalam sebulan terakhir), di usaha nonpertanian dengan menerima upah atau imbalan baik berupa uang maupun barang dan baik dengan sistem pembayaran harian maupun borongan. Usaha non pertanian meliputi: usaha di sektor pertambangan, industri, listrik, gas dan air, sektor konstruksi/ bangunan, sektor perdagangan, sektor angkutan, pergudangan dan komunikasi, sektor keuangan, asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah dan jasa perusahaan, sektor jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan.

Jumlah pekerja bebas di pertanian adalah 5.499.898 orang dan pekerja bebas di nonpertanian sebanyak 6.965.506 orang. Dengan demikian, jumlah pekerja bebas keseluruhan sekitar 12,47 juta orang atau 10,5% dari penduduk bekerja.

Mayoritas pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh pekerja bebas adalah SD ke bawah, mencapai 66,34%. Terindikasi bahwa Pekerja bebas masih mengandalkan kekuatan fisik dalam melakukan pekerjaannya. Untuk pekerja bebas laki‐laki, prosentasinya 48,81%, sedangkan perempuan mencapai 79,79%. (Gambar disalin dari publikasi BPS, desember 2016)

Pekerja bebas laki‐laki mayoritas bekerja (43,59%) pada lapangan usaha bangunan. Pekerja bebas di lapangan usaha ini juga tidak memerlukan keahlian khusus dan hanya bermodalkan tenaga. Mereka bekerja dengan berganti‐ganti majikan di proyek konstruksi yang satu ke yang lainnya, misalnya hanya sebagai kuli angkut atau dalam skala kecil dari satu rumah ke rumah lainnya. Pekerja bebas perempuan, mayoritas bekerja (65,87%) pada lapangan usaha pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan. Kemudian, 15,78 persen pada lapangan usaha jasa kemasyarakatan, sosial, dan perorangan.(Gambar disalin dari publikasi BPS, desember 2016)


Dilihat dari jenis Pekerjaan Utama, dari tujuh kelompok, mayoritas pekerja bebas bekerja sebagai tenaga produksi, operator alat‐alat angkutan, dan pekerja kasar 51,49%. Dan tenaga usaha pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan mendominasi di perdesaan sebesar 43,40%. Jadi kelompok jenis pekerjaan utama lainnya bersama-sama hanya sekitar 5%, yaitu: 1)Tenaga profesional, teknisi dan yang sejenis; 2) Tenaga kepemimpinan dan ketatalaksanaan; 3) Tenaga tata usaha dan yang sejenis; 4) Tenaga usaha penjualan; dan 5) Tenaga usaha jasa.(Gambar disalin dari publikasi BPS, desember 2016)


Rata‐rata pendapatan pekerja bebas pada Agustus 2016 adalah sebesar Rp 1.295,73 ribu per bulan. Pada lapangan usaha pertanian hanya sebesar Rp 998,34 ribu per bulan, dan pada Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan hanya Rp 1 009,87 per bulan.

Analisis yang lebih detil akan melihat hubungan pendapatan dengan tingkat pendidikan pekerja bebas, jenis kelamin, lapangan usaha, jenis pekerjaan, dan lain sebagainya. Sebagian mudah difahami secara akal sehat atau penalaran awam saja, tak perlu statistik banyak. Intinya, pendapatan dari sekitar 12,45 juta pekerja bebas di Indonesia ini masih amat memprihatinkan. Secara umum, berada dibawah rata-rata upah minimum yang secara formal wajib diperoleh oleh pekerja dengan status buruh/karyawan/pegawai.(Gambar disalin dari publikasi BPS, desember 2016)



Nestapa para pekerja bebas ini bisa ditambahkan dengan soalan masa depan yang tidak jelas dan tidak ada jaminan pekerjaan yang jelas. Dari keseluruhan pekerja bebas, kurang dari 3 persen yang mendapatkan jaminan kesehatan, jaminan pension, hak cuti, pesangon, dan semacamnya.(Gambar disalin dari publikasi BPS, desember 2016)





Mayoritas dari pekerja bebas yang berjumlah 12,45 juta orang pada Agustus 2016 ini kondisinya cukup memprihatinkan. Mereka kurang terlindungi oleh berbagai perundang-undangan, dan daya tawar mereka dalam pasar ketenagakerjaan juga sangat lemah. Baik karena soal pendidikan, keterampilan dan semacamnya. Pasar tidak dapat diandalkan untuk mengatasi hal ini. Peran negara dibutuhkan untuk memperkuat posisi mereka, serta memberi kondisi yang dapat menyelematkan hidup mereka di masa depan, dan terutama hidup mereka saat ini.  

Rabu, 25 Januari 2017

BEBAN UTANG PEMERINTAH YANG MAKIN BERAT

Utang Pemerintah Pusat per tanggal 31 Desember 2016 adalah sebesar Rp3.467 Triliun. Bagi para pengkritik, jumlah itu sudah terlampau besar dan amat berbahaya. Pemerintah terutama memberi penjelasan tentang masih amannya dengan perbandingan antara jumlah utang dengan Pendapatan Nasional (PDB). Rasio ini umum diterima dalam wacana dunia, angka pun tersedia untuk kebanyakan negara, sehingga bisa dibandingkan. Penalaran yang mendasarinya, utang pemerintah adalah utang negara atau seluruh komponen negara, maka pendapatan mereka adalah semacam “jaminan” kemampuan menanggung atau membayarnya. Dilihat rasio ini, Indonesia terbilang aman meskipun telah terjadi peningkatan dalam beberapa tahun ini. PDB tahun 2016 diperkirakan sebesar Rp12.627 Triliun, maka utang sebesar Rp3.467 Triliun tadi “hanya” sebesar 27,5% nya saja. Rasio jumlah utang berbanding PDB sebelumnya adalah: 23,0% (2012), 24,9% (2013), 24,7% (2014), dan 27,4% (2015). Lihat gambar yang disalin dari publikasi Kemenkeu terbaru.



Pemerintah juga biasa mengatakan bahwa rasio itu termasuk yang rendah jika dibandingkan dengan banyak negara lain. Secara lebih khusus dikatakan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir (2006 – 2016), Indonesia justeru berprestasi besar mengurangi rasio tadi. Mengungguli kebanyakan negara lain, yang bahkan ada yang meningkat rasionya. (Gambar disalin dari publikasi Kemenkeu)


Dalam rangka kehati-hatian, Pemerintah mustinya lebih waspada dan tidak menjadikan rasio itu sebagai ukuran batas aman. Sebagai contoh, Pemerintah dapat melihat perbandingan arus pembayaran beban utang dengan pendapatan. Oleh karena yang harus membayar adalah Pemerintah, maka yang dipakai adalah data Pendapatan dalam realisasi APBN. Data Pendapatan yang dipakai adalah yang tidak memasukkan perolehan hibah, yaitu Penerimaan Dalam Negeri. Sedangkan beban utang diperhitungkan dari Pembayaran  Bunga Utang dan Pembayaran Pokok Utang. Jika rasio ini yang dipakai maka perkembangan dalam beberapa tahun terakhir cukup mengkhawatirkan, yaitu: 20,63% (2012), 19,09% (2013), 23,97% (2014), 25,56% (2015), dan 32,69% (2016).


Pada tahun 2016 beban utang (pembayaran pokok dan bunga) memang tampak lebih berat. Realisasinya tetap melampaui target APBN 2016 yang direvisi oleh APBNP 2016. Mencapai Rp 505,38 Triliun atau 105,22% dari yang ditargetkan APBNP 2016. (Gambar disalin dari publikasi Kemenkeu)


Apa artinya rasio sebesar 32,69% pada tahun 2016? Artinya, hampir sepertiga peneriman Pemerintah yang berasal dari penerimaan perpajakan dan Penerimaan Bukan Pajak dipakai untuk keperluan membayar beban utang. Untuk membayar bunga utang dan untuk membayar cicilan atau pelunasan pokok utang. Meskipun dalam APBN 2017 diusahakan akan diperbaiki menjadi sekitar 27,69% lagi, kelihatannya dalam realisasi nanti akan tetap di atas 30%. Beban utang sudah jelas, sesuai jatuh tempo dan semacamnya, akan terealisasi di kisaran target rencana, sebagaimana biasanya. Sedangkan pendapatan, selalu di bawah target.

Pemerintah sebenarnya juga mulai menyadari bahwa masalah utang ini perlu diwaspadai. Beberapa indikator ditampilkan secara rutin belakangan ini. Diantaranya membuat beberapa rasio pembayaran bunga utang. Secara umum tampak beban yang makin berat. (Gambar disalin dari publikasi Kemenkeu)


Jadi bagi para pengusul agar Pemerintah berhenti utang, maka kita akan kesulitan membiayai belanja pemerintah. Pemerintah mungkin tidak mampu memberi layanan publik sebesar yang kita rasakan sekarang, apalagi memperbaikinya.


Begitulah kondisinya, utang makin menjerat Pemerintah, dan selanjutnya beban utang mencekik rakyat!     

Jumat, 20 Januari 2017

KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) HARUS DIKAJI ULANG


Keuangan inklusif (financial inclusion) biasa diartikan sebagai suatu kegiatan menyeluruh yang bertujuan untuk meniadakan segala bentuk hambatan baik yang bersifat harga maupun non harga terhadap akses masyarakat dalam menggunakan atau memanfaatkan layanan jasa keuangan. Programnya adalah agar sebanyak mungkin orang bisa memperoleh produk dan jasa keuangan yang paling dasar seperti: tabungan, transfer, pinjaman, dan asuransi. Diupayakan dengan harga dan prosedur yang terjangkau, wajar dan transparan.

Program keuangan inklusif yang diklaim berhasil oleh Pemerintahan Presiden SBY adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR). KUR memang diakui berbagai forum internasional mengenai implementasi keuangan inklusif, dan diadopsi menjadi praktik terbaik penanggulangan kemiskinan di beberapa negara berkembang. Capaian KUR secara data agregat memang luar biasa. Penyaluran sejak diluncurkan Nopember 2007 hingga Nopember 2014 mencapai Rp 175 triliun, dengan baki debet (outstanding) sekitar Rp 50 triliun, serta menjangkau lebih dari 12 juta unit UMKM.




Kesuksesan KUR tampak diakui oleh Pemerintahan Presiden Jokowi, yang kemudian menggandakan skalanya. Dana subsidi dialokasikan lebih banyak sejak APBNP 2015, serta APBN 2016 menetapkan target spektakuler, lebih dari Rp 100 triliun. Kepada bank penyalur diberikan subsidi untuk KUR mikro sebesar 10%, KUR ritel sebesar 4,5%, dan KUR TKI sebesar 12%. Suku bunga efektif bagi nasabah menjadi maksimal 9%. Dana subsidi APBN disediakan sekitar Rp 10,5 triliun, dari pos subsidi Bunga dan Kredit Program, yang berplafon Rp 16,5 triliun. KUR masih akan berlanjut pada tahun 2017, subsidi siap digelontorkan lagi dengan jumlah yang setara, namun suku bunga efektif diharapkan menjadi maksimal 7%.

KUR baru secara konseptual memang tampak seperti terobosan besar. Diyakini akan makin banyak orang (UMKM) yang bisa mengakses kredit, dan biaya modal menjadi jauh lebih rendah. Akan tetapi, jika data data realisasi dicermati, maka ada indikasi perpindahan nasabah lama yang menikmati suku bunga tinggi ke suku bunga rendah. Artinya, 12 juta nasabah KUR era Presdien SBY dan beberapa juta nasabah era Presiden Jokowi, mungkin lebih dari separuhnya berasal dari perpindahan status nasabah nonKUR menjadi KUR saja.

Sebagai contoh, data nasabah kredit UMKM baru mencapai 11,93 juta rekening hingga Desember 2015, atau bertambah sebanyak 0,95 juta dari Desember 2014. Data tersebut terkonfirmasi dari sumber resmi Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, yang mencakup nasabah penerima kredit KUR dan yang nonKUR. Pada kurun bersamaan, komite KUR melaporkan bahwa selama 2015 telah tersalur KUR kepada 1.003.533 debitur. Secara lebih khusus, ketika KUR baru lebih dimasifkan pada tahun 2016, data rekening kredit UMKM (KUR dan non KUR) dari Januari hingga Oktober 2016 memang bertambah cukup signifikan, bertambah bertambah 1,33 juta, dari 11,93 juta menjadi 13.26 juta. Akan tetapi data Sistem Informasi Kredit Program (SIKP) KUR melaporkan pada kurun tersebut nasabah bertambah lebih dari 3 juta. Dan total rekening yang masih outstanding adalah 5,23 juta rekening, karena jangka waktu kredit adalah antara 1 sampai dengan 3 tahun. Terkonfirmasi pula dengan data nilai plafond kredit UMKM versi Statistik Perbankan dengan SIKP KUR, yang menunjukkan indikasi serupa.


Sekitar dua tahun, data BI memperlihatkan bahwa total rekening kredit naik dari 40,51 juta rekening (januari 2015) menjadi 41,44 juta rekening (oktober 2016), suatu kenaikan yang “biasa” dan bahkan sedikit di bawah rata-rata kenaikan sebelumnya. Seiring dengan laju pertumbuhan kredit (nilai) yang memang melambat, akibat kondisi umum perekonomian. Akan tetapi, data jumlah rekening kredit nonUMKM justeru turun dari 29,51 juta (jan 2016) menjadi 28,18 juta (okt 2016). Hal yang amat tidak lazim dalam kurun dua tahun, yang biasanya selalu bertambah. Penjelasan sederhananya, yang penerima kredit nonUMKM sebagiannya pindah menjadi UMKM, karena ada insentif KUR. Tidak hanya itu, dalam kriteria kredit UMKM sendiri, terjadi penurunan dalam kredit Menengah, yang memang secara teknis tidak tercakup KUR. KUR hanya tersalur pada skala mikro dan kecil. Dengan demikian, terindikasi kuat adanya perpindahan nasabah nonKUR menjadi KUR, yang tidak sesuai dengan tujuan kebijakan yang bermaksud memperluas jangkauan layanan.


Perlu diketahui bahwa berdasarkan definisi usaha dalam UU. No.20/2008 tentang UMKM, baki debet kredit UMKM mencapai Rp 835,21 triliun pada september 2016. Kontribusi kredit UMKM terhadap total kredit perbankan itu adalah 19,68 %. Porsi kredit UMKM mengalami fluktuasi selama beberapa tahun terakhir. Pada kurun tahun 2011-2013, laju kredit UMKM lebih cepat dari yang nonUMKM. Pada tahun 2014 dan 2015, ada kecenderungan laju pertumbuhan kredit perbankan yang lebih tinggi daripada yang khusus UMKM. Akibatnya porsi kredit UMKM pun menurun, meski menaik perlahan hingga September tahun 2016. Bisa dikatakan bahwa data umum pertumbuhan kredit UMKM setara saja dengan non UMKM. Porsi kredit UMKM tidak beranjak dari 18-20%, bahkan kredit mikro hanya 4%, karena dominasi kredit menengah.

Perlu dicatat bahwa penyalur KUR adalah perbankan yang megajukan dan memenuhi persyaratan. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) belum dilibatkan sebagai penyalur langsung. LKM dimaksud adalah yang sudah operasional puluhan tahun, seperti: koperasi simpan pinjam dan koperasi syariah (BMT). Akibatnya di lapangan, BPR sudah merasakan dampak “persaingan” yang berat, bahkan sebelum era bersubsidi bunga. LKM tidak banyak terdampak ketika itu, karena orientasinya kepada komunitas dan pendekatan dilakukan secara berbeda. Namun, jelas akan terdampak jika KUR baru ini makin bersifat masif. Dengan demikian, KUR belakangan ini justeru membuat BRI mungkin akan memindah nasabah Kupedes menjadi KUR, daripada direbut oleh bank lain. BPR akan lebih terpuruk, jika tidak segera dilibatkan dalam penyaluran KUR. Sedangkan LKM (koperasi) akan menghadapi masalah serius karena perpindahan nasabah.

Sementara itu, dalam konteks paket kebijakan keuangan inklusif yang lebih luas, yang tampak berjalan cukup masif antara lain adalah edukasi kepada masyarakat luas tentang layanan keuangan, khususnya bank. Program unggulan lainnya adalah apa yang disebut sebagai Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai), yang dalam wacana akademis biasa disebut branchless banking. Laku Pandai adalah kegiatan menyediakan layanan perbankan atau layanan keuangan lainnya yang dilakukan tidak melalui jaringan kantor, namun melalui kerjasama dengan pihak lain dan perlu didukung dengan penggunaan sarana teknologi informasi. Dalam konteks ini dikenallah istilah agen laku pandai. Agen dimaksud bisa perorangan atau badan hukum, yang berfungsi sebagai “kantor layanan” dari bank.

LKM yang mandiri dari masyarakat saat ini terancam menjadi korban dari program KUR dan laku pandai, yang tersubsidi oleh APBN. Agen kemungkinan akan berasal dari pindahan SDM LKM (Koperasi). Ditambah dengan peluang eks rentenir yang berganti baju, bahkan berperan ganda sebagi agen sekaligus rentenir. KUR memang terbukti memberi manfaat, namun tidak sebesar pewartaannya, dan telah pula memiliki pula dampak buruk jika diperhitungkan dalam konteks industry keuangan secara keseluruhan.

Analisis atas berbagai data simpanan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) serta data kredit dari Bank Indonesia mengisyaratkan banyak hal, diantaranya memperkuat fakta peningkatan ketimpangan. Dan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa simpanan dengan nilai nominal yang besar leluasa memilih bentuk dan akan mendapat imbal hasil yang secara prosentase lebih besar. Sedangkan dalam hal kredit, mereka yang meminjam dalam nominal kecil akan membayar biaya (bunga) yang lebih tinggi. 


Otoritas ekonomi, moneter dan perbankan perlu mencermati lebih jauh apakah agenda Keuangan Inklusif (termasuk KUR) benar-benar akan memberi kontribusi positif saat ini dan kedepannya. Baik dalam hal mensejahterakan rakyat kebanyakan, maupun dalam hal mengurangi tingkat ketimpangan ekonomi. Yang jelas, ketika agenda tersebut mulai dikenalkan dan dijalankan, tingkat ketimpangan ekonomi antar kelompok masyarakat cenderung sedang melebar. Tidak cukup hanya memperhitungkan soal peningkatan akses layanan keuangan, meningkatkan pendapatan atau mengurangi kemiskinan, melainkan juga perlu berorientasi mempersempit jurang ketimpangan. BPS sudah mengingatkan melalui data Susenas bahwa penerima KUR justeru lebih banyak dua kuintil atas atau 40% penduduk yang berpendapatan paling tinggi. Bukan yang berada pada kuintil bawah.


Upaya pengembangan Laku Pandai dan KUR sejak awal seharusnya sudah melibatkan pelaku UMKM dan koperasi sebagai subyek, bukan sekadar objek. Target RPJMN meningkatkan kontribusi koperasi pada PDB dari 1,7% tahun 2014 menjadi 8,0% tahun 2019 menjadi mustahil terwujud. Sesuai penamaannya, kebijakan keuangan inklusif berarti bukan semata perbankan inklusif.


Dalam hal KUR, wacana dan pembicaraan koordinatif di pemerintahan telah mengarah kepada pelibatan koperasi. Secara prinsip dan regulasi, hal itu akan dimungkinkan, meski masih perlu dicari skema dan prosedur teknisnya. Dalam hal Laku Pandai, koperasi masih diposisikan sebagai agen, setara dengan agen perorangan. Jika demikian, koperasi yang sudah mandiri dan berkembang tidak akan diuntungkan. Masih perlu dicari kemungkinan skema untuk posisi yang lebih tepat bagi koperasi. 

Rabu, 18 Januari 2017

IPM TERTINGGI BUKAN BERARTI PENDUDUK JAKARTA PALING SEJAHTERA, APALAGI PALING BAHAGIA

Debat pilgub Jakarta beberapa waktu lalu banyak menyoroti soal kemiskinan dan ketimpangan, yang sudah pula kutulis dalam dua tulisan sebelumnya. Salah satu paslon penantang menyampaikan pandangan dari sudut pandang kesejahteraan, karena memang tidak serupa antara mengurangi kemiskinan dengan meningkatkan kesejahteraan, meski berhubungan erat. Menurutnya, yang utama musti menjadi orientasi adalah peningkatan kesejahteraan. Sementara itu, calon Petahana sempat pula menyodorkan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai bukti perbaikan kesejahteraan penduduk Jakarta,  yang berarti masalah kemiskinan teratasi.

Untuk mengetahui apakah terjadi perbaikan kesejahteraan, bahkan seberapa besar peningkatannya dari tahun ke tahun, diperlukan ukuran atau indikator. IPM yang disebut petahana hanya salah satunya, yang nanti akan kita bahas. BPS DKI Jakarta sendiri mempublikasikan satu buku tentang indikator Kesejahteraan Rakyat DKI Jakarta setiap tahun, yang antara lain menganalisis data tentang: pendidikan, kesehatan, pendapatan masyarakat, pengangguran, kondisi perumahan, dan sebagainya.

IPM menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. IPM dibentuk oleh tiga dimensi dasar, yaitu umur panjang dan hidup sehat (a long and healthy life), pengetahuan (knowledge), dan standar hidup layak (decent standard of living). Dimensi kesehatan diukur melalui Angka Harapan Hidup saat lahir (AHH). Dimensi pengetahuan atau pendidikan diukur dengan Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS). Sedangkan standar hidup layak digambarkan melalui pengeluaran per kapita disesuaikan, yang ditentukan dari nilai pengeluaran per kapita dan paritas daya beli.

Pada tahun 2015, angka IPM Indonesia sebesar 69,55%, tumbuh 0,94 persen atau bertambah 0,65 poin dibandingkan IPM tahun 2014. Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dibanding pertumbuhan tahun-tahun sebelumnya: 0,87% (2014), 0,91% (2013), 0,90% (2012), 0,84% (2011).



 Berdasarkan status pencapaiannya, 8 provinsi berada pada kategori pembangunan manusia “tinggi” atau IPM diatas 70 pada tahun 2015. DKI Jakarta memang sudah sekitar sepuluh tahun termasuk kategori ini, baik dalam metode ukuran lama maupun yang baru dari BPS, serta menempati peringkat teratas IPM. Gambar yang disalin dari publikasi BPS DKI Jakarta memperlihatkan perkembangan lima tahun dengan metode perhitungan yang baru. Dan bisa dibandingkan dengan gambar IPM nasional di atas yang disalin dari publikasi BPS. Dengan kata lain, IPM Jakarta yang tertinggi sulit diklaim sebagai prestasi utama gubernur Petahana sekarang.  

Menarik pula jika IPM Jakarta kita telisik lebih jauh dari masing-masing dimensinya. Ketiga dimensi (yang dicerminkan oleh empat indikator) memang mengalami perbaikan selama lima tahun terakhir. Akan tetapi dua indikator atau komponen, yaitu Angka Harapan Hidup saat lahir (AHH) dan Harapan Lama Sekolah (HLS) DKI Jakarta bukan lah yang tertinggi di Indonesia. IPM peringkat satu, tetapi AHH berada di peringkat empat, dan HLS hanya perinkat 11. IPM yang amat tinggi lebih banyak dikontribusi oleh pengeluaran per kapita, yang memang jauh dibandingkan rata-rata nasional, dan berbagai propinsi lain. Gambar yang disalin dari publikasi BPS DKI juga menunjukkan laju perbaikan IPM sudah lebih rendah dibanding rata-rata nasional, meskipun wajar karena sudah berada dalam posisi yang jauh lebih tinggi.  


Catatan lain yang harus diberikan pada IPM tertinggi DKI Jakarta, yang tadi terindikasi ditopang oleh pengeluaran per kapita  sebagai penggambaran standar hidup yang layak. Angka demikian bersifat agregat dan rerata, yang memang tak bisa dihindari sebagai penyederhanaan untuk keperluan statistik, sehingga memerlukan informasi tambahan untuk menggambarkan kondisi penduduk Jakarta yang lebih sesuai kenyataan. Dalam dua tulisan terdahulu di blog ini, sudah dijelaskan tentang masih rawannya soalan kemiskinan dan meningkatnya ketimpangan ekonomi di Jakarta. Artinya, IPM tinggi tak mencerminkan kedua soalan itu, bahkan menyamarkannya. Bahwa ada 384 ribu orang miskin, dan jika ditambahkan dengan yang hampir miskin serta yang rentan miskin (dalam ukuran BPS) akan mencapai hampir 3 juta orang, menjadi tidak terlalu penting. Jika ketiga kelompok ini diberi angka IPM tersendiri, maka kita bisa membayangkan capaian yang amat rendah. Setidaknya kita bisa memastikan bahwa IPM tertinggi tidak berarti (hampir) semua penduduk Jakarta sejahtera. 

Lebih banyak lagi catatan yang harus diberikan jika menganalisis publikasi BPS DKI Jakarta tentang indikator Kesejahteraan Rakyat dalam kurun beberapa tahun. Terutama dengan hal-hal seperti: kesehatan, pengangguran, dan kondisi perumahan. Akan menguatkan bahwa masih amat banyak penduduk Jakarta yang tidak atau belum sejahtera.

BPS dan BPS DKI Jakarta juga sempat mempublikasikan suatu indeks yang disebut Indeks Kebahagiaan. Indeks Kebahagiaan. Indeks Kebahagiaan yang dipublikasi adalah untuk kondisi tahun 2013 dan tahun 2014, yang dipublikasikan pada tahun berikutnya. Sayang, hingga kini BPS belum mengeluarkannya lagi. Indeks kebahagiaan merupakan rata-rata dari angka indeks yang dimiliki oleh setiap individu pada skala 0–100. Semakin tinggi nilai indeks menunjukkan tingkat kehidupan yang semakin bahagia, demikian pula sebaliknya, semakin rendah nilai indeks maka penduduk semakin tidak bahagia. Indeks kebahagiaan merupakan indeks komposit yang disusun oleh tingkat kepuasan terhadap 10 aspek kehidupan yang esensial. Kesepuluh aspek tersebut secara substansi dan bersama-sama merefleksikan tingkat kebahagiaan yang meliputi kepuasan terhadap: 1) kesehatan, 2) pendidikan,   3) pekerjaan, 4) pendapatan rumah tangga, 5) keharmonisan keluarga, 6) ketersediaan waktu luang, 7) hubungan sosial, 8) kondisi rumah dan aset, 9)  keadaan  lingkungan, dan 10) kondisi keamanan.

Indeks Kebahagiaan Provinsi DKI Jakarta tahun 2014 sebesar 69,21, sedikit lebih tinggi dari Indeks Kebahagiaan Indonesia yang sebesar 68,28. Perlu dicermati bahwa dalam hal Indeks kebahagiaan, DKI Jakarta hanya sedikit lebih tinggi dibanding nasional, dan cuma berada pada peringkat ke 15. IPM peringkat 1, Indeks kebahagiaan peringkat 15. Tampak pula pada gambar yang disalin dari BPS DKI Jakarta bahwa tingkat kepuasan yang paling rendah terjadi pada aspek pendidikan (62,72) dan Pendapatan rumah tangga (65,56).

Jika dibandingkan dengan tingkat kepuasan, yang merupakan komponen dari indeks kebahagiaan, tampak DKI Jakarta lebih rendah dalam beberapa hal dibandingkan rata-rata nasional. (gambar di bawah adalah untuk kondisi nasional). Diantaranya adalah:  Kondisi keamanan, Keadaan lingkungan, dan Hubungan sosial. Kita dapat mengatakan bahwa penduduk Jakarta masih belum puas atas masalah keamanan dan kenyamanan hidup di lingkungannya.


Siapapun yang terpilih menjadi gubernur masih akan menemui bahwa sangat banyak penduduk Jakarta yang masih belum sejahtera, dan jauh dari bahagia. Banyak kebijakan dan program yang bisa dilakukan untuk memperbaiki itu. Semua penduduk Jakarta berhak menjadi bahagia! 

Sabtu, 14 Januari 2017

KETIMPANGAN EKONOMI YANG MENINGKAT DI JAKARTA

Banyak orang kaya yang tinggal di Jakarta adalah kasat mata, dan memang diindikasikan oleh data distribusi pengeluaran BPS, dan juga oleh informasi mengenai sebaran pembayar pajak terbesar. Sementara itu, orang miskin pun masih amat banyak untuk ukuran domisili di sebuah wilayah perkotaan, masih 384 ribu per September 2016. Bahkan, kondisi kemiskinan masih sangat rawan jika data BPS ditelisik lebih lanjut dan lebih detil, sebagaimana yang sudah disampaikan pada tulisan terdahulu.  

Salah satu ukuran ketimpangan ekonomi yang paling banyak dipakai adalah gini rasio atau koefisien gini dari BPS. Koefisien Gini didasarkan pada kurva Lorenz, yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variable tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk. Untuk membentuk koefisien Gini, grafik persentase kumulatif penduduk (dari kelompok termiskin hingga terkaya) digambar pada sumbu horizontal dan persentase kumulatif pengeluaran (pendapatan) digambar pada sumbu vertikal. Ini menghasilkan kurva Lorenz seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Garis diagonal mewakili pemerataan sempurna. Koefisien Gini didefinisikan sebagai A/(A+B), dimana A dan B seperti yang ditunjukkan pada grafik. Jika A=0 koefisien Gini bernilai 0 yang berarti pemerataan sempurna, sedangkan jika B=0 koefisien Gini akan bernilai 1 yang berarti ketimpangan sempurna.


Perkembangan gini rasio mengindikasikan kecenderungan ketimpangan ekonomi yang makin meningkat di Jakarta. Indeks Gini yang sempat terus meningkat dan cenderung lebih tinggi dari rata-rata nasional. Data terkini, gini rasio Jakarta tahun 2016 (Maret) memang turun menjadi 0,411, namun itu seiring dengan kecenderungan nasional. Jakarta tetap menempati peringkat ke 5 tertinggi. Jika gini rasio nasional sudah kembali ke kategori ketimpangan rendah, maka Jakarta masih bertahan dalam kategori ketimpangan sedang.



Kecenderungan yang serupa diindikasikan oleh data BPS dalam hal distribusi pendapatan dengan kriteria Bank Dunia. Penduduk dikelompokkan dalam tiga bagian, yaitu 40 persen terbawah, 40 persen menengah, dan 20 persen teratas. BPS mengolah data dari Modul Konsumsi Susenas, yang bisa menjadi indikator melihat distribusi pengeluaran antar kelompok penduduk. Data pengeluaran dianggap proxy atau cukup mencerminkan data pendapatan. Hasilnya untuk Jakarta juga tergolong ketimpangan sedang, sementara nasional telah beranjak menjadi ketimpangan rendah. Pengeluaran 40% kelompok terendah hanya sebesar 16,02%. Sedangkan 20% kelompok teratas justeru menikmati konsumsi sebesar 50,38%.






Ketimpangan adalah fakta sekaligus rasa. Ketimpangan di Jakarta berpotensi akan lebih terasa karena fakta itu demikian kasat mata. Mereka hidup di lokasi yang relatif tidak luas dan daratan, kecuali yang di kepulauan Seribu, sehingga peluang interaksi menjadi cukup tinggi. Lapisan terbawah dapat melihat gaya hidup lapisan atasan, semisal urusan transportasi, tempat makan, mall, dan lain-lain.

Melihat kecenderungan pertumbuhan ekonomi dan dinamika ekonomi yang tengah berlangsung, maka masalah ketimpangan berpeluang menjadi lebih akut di Jakarta. Dibutuhkan tindakan nyata dan sebagian bersifat langsung dari Pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah. 

KEMISKINAN MASIH SANGAT RAWAN DI JAKARTA


Ada 385,84 ribu orang penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan September 2016, menurut publikasi BPS tanggal 3 Januari 2017.  Jumlah itu adalah sekitar 3,75% dari jumlah penduduk Jakarta yang sekitar 10,29 juta orang. Prosentasi itu dikenal pula dengan istilah tingkat kemiskinan.

Bagaimana kondisi itu dibandingkan dengan tahun sebelumnya? BPS mempublikasikan data kemiskinan dua kali setahun, data untuk kondisi bulan Maret dan kondisi bulan September, dan BPS biasa merekomendasikan analisis antar bulan yang sama, karena lebih mencerminkan perkembangan kondisi sesungguhnya. Jumlah penduduk miskin meningkat dari kondisi September 2015 yang hanya 368,67 orang menjadi 385,84 ribu orang . Tingkat kemiskinan pun meningkat dari semula 3,61% menjadi 3,75%. Kondisi 2016 tampak lebih baikk dibanding 2015 jika dilihat data kondisi bulan Maret, 384,30 ribu orang (3,75%) dibandingkan dengan 398,92 ribu orang (3,93%).


Bagaimana jika dibandingkan dengan sebelumnya? Tingkat kemiskinan di Jakarta berfluktuasi namun dengan perubahan yang tidak besar tiap tahunnya, cenderung hanya di kisaran 3,2% sampai dengan 4,6% dalam 13 tahun terakhir. Dan di kisaran 3,6% sampai dengan 4,0% dalam 5 tahun terakhir. Akan tetapi jika dilihat dari jumlahnya, penduduk miskin tidak mengalami penurunan yang berarti selama 13 tahun, dan bahkan sempat meningkat dalam 5 tahun terakhir. Untuk ilustrasi kondisi bulan Maret, 294 ribu (2003), 323 ribu (2009), 363 ribu (2012) dan 384 ribu (2016).


Jika dibandingkan dengan data kemiskinan nasional pada September 2016 sebesar 10,70%, maka angka kemiskinan Jakarta jauh lebih baik. Akan tetapi dalam hal kecenderungan penurunan tingkat kemiskinan dan jumlah orang miskin, Jakarta lebih buruk. Pada tingkat nasional, kecenderungan penurunan terus berlangsung, meski dengan laju yang amat rendah belakangan ini.

BPS menghitung jumlah pemduduk miskin dengan menggunakan ukuran garis kemiskinan (GK). GK juga ditetapkan tiap 6 bulan, berdasar data SUSENAS. GK ditetapkan atas dasar pengeluaran perkapita perbulan, dari data sampel terkait yang secara umum mencakup orang miskin dan hampir miskin dari data sebelumnya. GK berubah terutama karena kenaikan harga, dan untuk jangka menengah terkait perubahan pola konsumsi.

Garis Kemiskinan DKI Jakarta pada September 2016 adalah Rp 520.690 per kapita per bulan. Mereka yang pada waktu itu pengeluarannya dibawah sampai dengan GK tersebut disebut penduduk miskin. GK Jakarta termasuk yang tertinggi, antara lain mencerminkan harga barang dan jasa. GK nasional wilayah perkotaan per September 2016 adalah sebesar Rp 361.990.



Sekalipun GK DKI Jakarta termasuk yang tinggi, namun jika dibayangkan dalam kenyataan hidup sehari-hari, maka batas pengeluaran tersebut bisa dikatakan masih rendah. Maksudnya, untuk disebut tidak miskin, pengeluaran pada kondisi September 2016 hanya Rp520.690 per orang per bulan atau sekitar Rp17.350 per hari. Itu adalah pengeluaran untuk makan, pakaian, pendidikan, transportasi, sewa rumah, dan seluruh pengeluaran lainnya. Jika satu keluarga ada 4 jiwa maka sekitar Rp69.400. BPS menyebutkan pula bahwa GK Kemiskinan DKI terdiri dari 64,33% untuk pengeluaran bahan makanan, dan secara lebih khusus untuk beras sebesar 22,31%. Mereka yang hidup di Jakarta dapat membayangkan bahwa batas kemiskinan itu amat rendah. Artinya jika orang disebut miskin menurut data BPS artinya memang benar-benar miskin dan hidup dengan pilihan yang amat terbatas.

BPS sebenarnya memiliki set data yang lebih detil, namun tidak disertakan dalam publikasi umum tentang kemiskinan. Sesekali dipublikasikan sebagai bagian data dan analisis dalam buku tentang kemiskinan atau tentang kesejahteraan. Ada senjang waktu pula dari berita statistik resmi tentang kemiskinan. Misalnya tentang data distribusi penduduk berdasar ukuran GK tadi, tiap 20% nya, seperti: 0,8GK, GK, 1,2GK dst hingga 4,2GK. Ada penyebutan pula dalam analisisnya, penduduk sangat miskin (SM) bagi yang kurang dari 0,8GK, disebut miskin (M) jika lebih dari sama dengan 0,8GK hingga GK, disebut hampir miskin (HM) jika sama dengan GK hingga 1,2GK, serta disebut rentan miskin lainnya (RML) jika 1,2GK sampai dengan 1,6GK. Klasifikasi ini dipakai untuk rekomendasi kebijakan menjaga mereka yang terdata tidak miskin namun terlalu dekat dengan garis, agar tak jatuh ke bawah pada periode berikutnya. Ditambah fakta nasional bahwa porsi yang berada di bawah dan sekitaran garis kemiskinan, empat kategori tadi, masih mencapai 98,54 juta orang atau sekitar 38,21%.



Jika ukuran 1,6 kali garis kemiskinan (GK) kita terapkan untuk DKI Jakarta, maka per September 2016 adalah Rp 833.000 per bulan atau Rp 27.800 per hari. Jika satu keluarga terdiri dari 4 orang maka batasnya Rp 3,33 juta. Bisa dibayangkan dengan UMR DKI yang Rp 3,4 juta. Jika ukuran ini yang dipakai, maka jumlahnya sekitar 2,7 juta orang atau lebih dari 26% penduduk.

Apa artinya? Kebanyakan penduduk Jakarta amat rentan dengan goncangan ekonomi. Jika ada kenaikan harga yang tinggi, kelesuan ekonomi yang berakibat banyak PHK atau usaha mereka berkurang keuntungannya, maka tingkat kemiskinan langsung naik. Secara ekstrim, contohnya adalah krisis moneter 1998. Sedangkan goncangan secara mikro atau perseorangan, kita bisa membayangkan penggusuran, bangkrutnya usaha kecil, tutupnya suatu usaha yang menimbulkan PHK, dll.

Tetap perlu diingat bahwa 384 ribu penduduk miskin dalam wilayah satu kota DKI Jakarta terbilang sangat banyak. Karena lingkungan geografis sebagai satu kota dan kemudahan mobilitas maupun interaksi, maka problem sosial lebih mudah berkembang akibat kemiskinan. Siapapun yang terpilih menjadi gubernur DKI Jakarta harus mengerti bahwa kemiskinan adalah masalah yang masih serius. Data BPS mengindikasikannya, fakta di lapangan mengindikasikan kondisi yang lebih buruk dari data tersebut.