Selasa, 23 Januari 2018

PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI (PDB) INDONESIA

PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI (PDB) INDONESIA
Indeks Gini Indonesia yang dianggap mencerminkan ketimpangan memang mengalami penurunan dua tahun ini, setelah mencapai puncaknya pada September 2014. Akan tetapi indeks Gini per September 2017 sebesar 0,391 masih lebih tinggi dibandingkan indeks Gini tahun 2010 yang sebesar 0,378 dan bahkan dibanding tahun 2005 yang sebesar 0,32. Peningkatan ketimpangan tersebut kemudian diiringi penurunan kemiskinan yang makin perlahan, bahkan cenderung stagnan. Persoalan yang terkait erat dengan kedua fenomena tersebut adalah transformasi struktur ekonomi berdasar kontribusi sektoral PDB.
Gambar disalin dari publikasi BPS
Sejauh ini, pertumbuhan ekonomi di Indonesia masih bertumpu pada sektor non-tradable. Sektor-sektor tersebut bukan menjadi tempat bergantung penduduk berpengeluaran rendah. Sektor non-tradable merupakan sektor yang menghasilkan keluaran produk yang tidak dapat diperdagangkan di luar negeri, seperti properti, transportasi, pergudangan, informasi, komunikasi dan lain-lain. Sedangkan sektor tradable terdiri dari sektor primer seperti pertanian, kehutanan, perikanan, pertambangan dan penggalian serta industri pengolahan atau manufaktur.
Pada periode 2010-2016 sektor tradable memiliki pertumbuhan ekonomi yang selalu di bawah rata-rata. Bahkan pertambangan dan penggalian sempat mengalami pertumbuhan negatif di tahun 2015. Lapangan usaha pertanian pun selalu tumbuh di bawah 5 persen dan lebih menggantungkan pada perikanan yang saat ini menjadi salah satu primadona perekonomian. Padahal, sektor pertanian menjadi mata pencaharian sepertiga penduduk Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang rendah pada sektor-sektor ini menyebabkan distribusi hasil pembangunan kurang menguntungkan 46,27 persen penduduk yang menggantungkan pada sektor tradable tersebut.
Sekadar info, PDB Indonesia saat ini dirinci menjadi 17 kategori lapangan usaha dan sebagian besar kategori lapangan usaha dirinci lagi menjadi subkategori. Pemecahan menjadi subkategori disesuaikan dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2009. Distribusi atau besarnya kontribusi masing-masing lapangan usaha terhadap pembentukan PDB Indonesia tersebut biasa dianalisis sebagai struktur ekonomi. Perubahannya dalam jangka menengah dianggap menggambarkan perubahan struktural perekonomian, antara lain tingkat industrialisasi. Industrialisasi yang diartikan sebagai beralihnya struktur lapangan usaha sebagian masyarakat Indonesia dari Lapangan Usaha Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan ke lapangan usaha ekonomi manufaktur atau industri pengolahan.
Dilihat dari distribusi PDB atas dasar harga berlaku  maka dalam kurun waktu 2009-2016 struktur perekonomian menurut lapangan usaha dari tahun ke tahun tidak berubah secara signifikan. Lapangan Usaha Industri Pengolahan memberikan kontribusi terbesar di kisaran 20,91 persen. Selanjutnya adalah Lapangan UsahaPertanian, Kehutanan dan Perikanan di kisaran 13,50 persen, kemudian Lapangan Usaha Perdagangan Besar dan Eceran, Reperasi Mobil dan Sepeda Motor memberikan kontribusi di kisaran 13,29 persen. Empat belas lapangan usaha lainnya masing-masing memiliki kontribusi kurang dari 10 persen.
Kenaikan permintaan akan produk barang jadi atau setengah jadi baik domestik maupun internasional, telah mendorong perkembangan Industri Pengolahan menjadi lapangan usaha yang terbesar kontribusinya dalam pembentukan PDB. Pada tahun 2011 Industri Pengolahan berkontribusi sebesar 21,76 persen menurun menjadi 20,51 persen pada tahun 2016. Bisa dikatakan, industrialisasi selama satu dasawarsa ini relatif stagnan atau bahkan cenderung mulai deindustrialisasi. Apalagi jika melihat bahwa struktur PDB Industri Pengolahan didominasi oleh Subkategori Usaha Industri Makanan dan Minuman. Pada saat yang bersamaan, peran sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan masih tetap penting, dan kontribusinya tetap bertahan. Pada tahun 2011 kontribusinya sebesar 13,51 persen, hanya sedikit menurun menjadi 13,45 persen pada tahun 2016.
Gambar disalin dari publikasi BPS
Jika analisis dikembangkan untuk rentang waktu yang lebih panjang, dua atau tiga puluh tahun, maka ada beberapa gambaran tentang proses industrialisasi dan perubahan struktural ekonomi berdasar lapangan usaha. Sektor pertanian sempat menurun secara sistematis, diimbangi dengan kenaikan sektor manufaktur, sektor perdagangan, sektor konstruksi dan sektor pertambangan. Kemudian dalam lima tahun terakhir seperti yang digambarkan di atas, struktur ekonomi menjadi tidak banyak berubah, terkecuali sektor pertambangan yang cenderung menurun. Sektor pertanian masih tetap memberi kontribusi besar, dan sektor industri pengolahan mulai tertahan pertumbuhannya.
Gambar disalin dari publikasi BPS

Akan tetapi perubahan struktur PDB kurang berjalan seiring dengan perubahan komposisi peserta berdasar lapangan pekerjaan, dimana mayoritas penduduk justeru bekerja di sektor jasa-jasa. Kondisi pada Agustus 2017 masih mempunyai pola yang serupa dengan kondisi beberapa tahun terakhir, yaitu didominasi oleh sektor jasa-jasa sebesar 48,06 persen, yang bahkan makin meningkat porsinya. Sektor pertanian memang menurun menampung pekerja, namun porsinya masih bertahan sebesar 29,69 persen. Hanya saja perlu dicatat, sesuai musim panen, biasanya porsi sektor pertanian kembali meningkat di bulan Februari. Sementara itu, sektor manufaktur yang sebesar 22,25 persen, belum bisa memaksakan perpindahan signifikan dari sektor lain sebagaimana harusnya ciri industrialisasi yang tinggi. Apabila dicermati lebih lanjut, penyumbang terbesar dari sektor jasa-jasa adalah sektor perdagangan dan sektor jasa kemasyarakatan. Dalam kedua sektor itu, apa yang disebut sektor informal masih dominan. BPS sendiri mengatakan bahwa mayoritas penduduk di Indonesia bekerja di sektor informal yaitu sebanyak 69,02 juta orang atau 57,03 persen dari total penduduk yang bekerja pada Agustus 2017.

Senin, 15 Januari 2018

UMKM HANYA DIPOSISIKAN SEBAGAI PENGAMAN EKONOMI INDONESIA

UMKM HANYA DIPOSISIKAN SEBAGAI PENGAMAN EKONOMI INDONESIA

Pemerintah dan Bank Indonesia selalu mengatakan kondisi perekonomian Indonesia kini sangat baik dan akan lebih baik lagi pada tahun depan. Otoritas ekonomi terbiasa mengungkapkan indikator makroekonomi yang sejauh ini memang tidak terlampau buruk, antara lain: pertumbuhan ekonomi, pengangguran, inflasi dan neraca pembayaran internasional. Sering ditambahkan pula dengan penjelasan tentang angka kemiskinan yang terus turun, dan ketimpangan yang mulai membaik.

Berbagai indikator yang tak buruk dan bahkan cenderung menggembirakan itu sebenarnya masih perlu diwaspadai, mengingat sifat agregat dan rata-ratanya. Musti dicermati indikator disagregasi dan kondisi lain yang terkait, termasuk kondisi sosial dan politik. Perlu diingat pula bahwa pada beberapa bulan menjelang krisis 1997/98 dan kelesuan ekonomi tahun 2009, Pemerintah bersuara serupa saat ini.

Terkait fenomena krisis ekonomi 1997/ 1998, salah satu yang menarik adalah fakta sektor UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) yang mampu tetap berdiri kokoh. Padahal, analisis atau asesmen otoritas ekonomi sebelumnya tidak menonjolkannya sebagai faktor penting dinamika ekonomi nasional. Beberapa tahun setelah krisis, berbagai data bahkan menyebut peningkatan jumlah, pertumbuhan produksi dan serapannya atas tenaga kerja. Sayangnya, data akurat dan berkelanjutan tentang hal ini kurang tersedia. Yang paling sering dikutip adalah data Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2012-2013, yang menyebut jumlah 57,89 juta unit usaha berskala UMKM atau 99,99% dari total usaha.

Diduga pula, perkembangan UMKM pada kurun waktu itu menjadi salah satu faktor yang menahan kehancuran total perbankan, serta mulai mendorong kebangkitannya. Pasca krisis, makin banyak UMKM yang memakai jasa sektor perbankan, hingga mencapai sepertiganya. Di sisi perbankan, kredit yang disalurkan ke UMKM memang hanya di kisaran 20%, namun layanan jasa lainnya yang bersifat nonkredit memang terus meningkat. 

Pengalaman tersebut harusnya menyadarkan banyak pihak, terutama Pemerintah dan Bank Indonesia (OJK) untuk bersama-sama memperkuat dan makin memberi porsi perhatian lebih besar bagi UMKM. Sebagaimana diketahui, UMKM memang masih dan selalu menghadapi berbagai masalah seperti permodalan, manajemen, teknologi, dan pemasaran. Sementara itu tantangan pasar bebas makin nyata dihadapi, sehingga persaingan tak hanya dengan pelaku usaha besar domestik, melainkan dengan asing seperti derasnya arus barang impor yang serupa dengan produksi mereka.

Peran UMKM Dilihat Dari Data Status Pekerjaan Utama 
Data UMKM saat ini memang kurang tersedia. Kementerian koperasi dan MKM tak lagi mempublikasi data terbaru, kecuali data tentang koperasi. Meskipun demikian, data BPS yang berdasar sensus ekonomi 2016 untuk usaha mikro kecil (UMK) nonpertanian masih sejalan dengan data lain sebelumnya. BPS mengatkan bahwa usaha mikro kecil masih menjadi usaha yang paling dominan dalam perekonomian Indonesia dengan persentase mencapai 98,33 persen dengan jumlah usaha sekitar 26,3 juta usaha  dengan serapan tenaga kerja mencapai 53,6 juta orang atau 76,28 persen dari total tenaga kerja di luar usaha Pertanian, Kehutanan dan Perikanan. Sekitar tiga per empatnya merupakan usaha mikro dengan jumlah tenaga kerja 1-4 orang. Sekitar 46,27 persen, dengan penyerapan tenaga kerja sekitar 37,30 persen, berada pada aktivitas Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi dan Perawatan Mobil dan Sepeda Motor.
BPS memberi informasi bahwa usaha  modern  sedang  meningkat pesat  beberapa tahun terakhir, namun proporsi usaha dan tenaga kerja UMK yang bergerak pada bisnis  tersebut  disebutkan masih  relatif  kecil dibandingkan dengan UMK Konvensional. UMK  yang  bergerak pada bisnis berbasis online hanya sekitar 2,14 persen, sedangkan UMK yang menerapkan sistem waralaba hanya sebesar 0,21 persen. Meskipun demikian, UMK Modern memiliki kemampuan daya serap tenaga kerja yang lebih besar. Berdasarkan skala usaha, jumlah usaha dan tenaga kerja aktivitas Ekonomi Kreatif (Ekraf) lebih didominasi oleh usaha mikro kecil dari pada usaha menengah besar, persentasenya mencapai 99,11 persen.


Sementara itu, data BPS tentang status pekerjaan utama bagi pekerja juga dapat menggambarkan pertumbuhan jumlah UMKM, khususnya usaha mikro dan usaha kecil (UMK). Data dimaksud adalah data pekerja yang “Berusaha Sendiri” dan “Berusaha Dibantu Buruh Tidak Tetap/Tidak Dibayar”. Jumlah keduanya untuk kondisi bulan September pada tahun 2001 sebesar 37,78 juta atau 41,62 persen dari pekerja. Kemudian pada tahun 2012 sebesar 37,99 juta atau 33,76 persen, dan 2017 sebesar 39,87 juta atau 32,95 persen. Secara jumlah mengalami peningkatan, secara persentase terjadi penurunan, namun porsinya masih cukup besar. 

Sebenarnya akan menjadi berita baik jika penurunan prosentase kedua status pekerjaan itu diimbangi oleh kenaikan status pekerja yang “Berusaha Dibantu Buruh Tetap/ Buruh Dibayar”, yang mengindikasikan usaha menengah dan usaha besar. Jika demikian, kita dapat mengatakan bahwa sebagian UMK naik kelas skala usahanya. Sayangnya, status itu secara jumlah memang sempat naik, namun belakangan justeru menurun, yakni: 2,79 juta atau  3,07 persen (2001), 3,96 juta atau 3,52 persen (2012), dan 3,95 juta atau 3,27 persen (2017).

Jika dilihat dari sisi lain, maka fenomena ketenagakerjaan atas dasar status pekerjaan utama dapat mengindikasikan kelesuan ekonomi yang mulai berlangsung. Dan jika mulai atau telah terjadi krisis, maka jumlah kedua status yang yang menggambarkan UMK tadi dipastikan akan bertambah secara jumlah dan persentasi.

Perkembangan Kredit UMKM
Kinerja kredit bagi UMKM sering dikabarkan lebih baik dibanding dengan kredit nonUMKM, terutama pada kondisi perbankan yang memburuk karena dampak kondisi keuangan global. Secara lebih khusus, kredit mikro dianggap akan menjadi tumbuh lebih pesat dibanding kredit lainnya. Jika dilihat dari sisi kredit bermasalah, sekalipun kadang turut meningkat, kondisi kredit UMKM dinilai tetap lebih baik daripada kredit korporasi.

Akan tetapi, fenomena penyaluran kredit selama tujuh tahun terakhir masih menguatkan dugaan tentang perbankan umum yang masih menghadapi kendala dalam penyaluran kredit untuk usaha kecil dan mikro. Tatkala dukungan dan dorongan Bank Indonesia, OJK serta Pemerintah begitu kuat, laju kredit UMKM justeru tetap melambat. Kendala tersebut antara lain disebabkan hal-hal sebagai berikut: Tidak semua bank umum memiliki jaringan yang menyebar ke pelosok daerah; Pengetahuan tentang karakter, kondisi dan modal usaha kecil dan mikro kurang dimiliki oleh pengelola perbankan; Bank umum menghadapi masalah pengendalian dan keterbatasan tenaga pengawas atau penagih serta biayanya; Permasalahan usaha kecil dan mikro tidak sekedar permodalan tapi juga manajemen, pemasaran dan pengembangan teknologi.

Prioritas yang ingin diberikan otoritas ekonomi kepada kredit UMKM oleh perbankan, sejauh ini belum menunjukkan hasil memuaskan, jika dilihat dari data porsi nilai kredit dan jangkauan yang terlayani. Program dan kebijakan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang begitu masif dan didukung alokasi dana APBN yang cukup besar juga belum terlampau efektif. Porsi nilai kredit UMKM hanya bertahan di kisaran 19-20 persen. Jumlah rekening kredit UMKM memang meningkat cukup pesat, namun baru sepertiga dari rekening nonUMKM.  Bahkan ada indikasi terjadi cukup banyak perpindahan rekening kredit belaka. Dari yang nonUMKM ke UMKM, dari kredit usaha menengah ke kredit usaha kecil, serta dari kredit usaha kecil ke kredit usaha mikro. Fenomena itu merupakan ekses dari kebijakan KUR dan semacamnya.


UMKM Sebagai Andalan Bukan hanya Pengaman Ekonomi
Sejauh ini UMKM memang lebih berperan sebagai “pengaman” ekonomi Indonesia. Perannya lebih menonjol sebagai penampung tenaga kerja yang kurang terserap sebagai buruh atau pekerja tetap, serta menolong kehidupan ekonomi rakyat banyak di kala resesi. Tak jarang pula menjadi “komoditas politik” dalam berbagai kesempatan. Sedangkan upaya penguatannya, terutama UMK, tampak belum terpadu dan tidak berorientasi pada pengembangannya.

Prioritas pengembangan kredit UMKM yang diharapkan mampu makin mendorong pemberdayaan UMKM, terutama usaha mikro, belum menunjukkan hasil optimal. Berbagai kebijakan yang disusun dan dilaksanakan tampak kurang berdasar kenyataan lapangan, tak memiliki kajian empiris yang memadai. Sedangkan kebijakan dalam hal membantu permodalan tak diimbangi dengan kebijakan riil, seperti: perbaikan regulasi usaha, peningkatan bimbingan teknis, bantuan pemasaran, advokasi terhadap persaingan tak seimbang, dan semacamnya.

Sebagai ilustrasi ketidaksinkronan tadiadalah melemahnya peran Kementerian Koperasi dan UKM dalam hal pembinaan dan pendampingan. Kementerian KUMKM menjadi satu-satunya yang alokasi anggarannya dalam APBN terus menurun, padahal terjadi inflasi, yang berarti berkurangnya kegiatan. Padahal, beberapa kajian sebenarnya menunjukkan bahwa dalam konteks kekinian dan tantangan ke depan, salah satu yang dapat dioptimalkan terkait pemberdayaan UMKM adalah menghubungkannya secara lebih sinergis dengan pengembangan koperasi. Kelembagaan koperasi ditantang untuk direvitalisasi agar mampu mewadahi upaya penguatan UMKM. Koperasi juga dapat sebagai sumber pembiayaan bagi pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Koperasi secara teknis dapat menggantikan atau melengkapi peran perbankan.

Sekali lagi dapat dikatakan bahwa peran UMKM, terutama UMK, baru sebagai pengaman ekonomi di kala lesu atau krisis dan kadang menjadi komoditas politik. Padahal, UMKM berpotensi  menjadi salah satu fundamen ekonomi serta sebagai sumber pertumbuhan ekonomi. Diperlukan kebijakan otoritas ekonomi yang lebih terpadu dalam berbagai aspek, berdasar kajian empiris yang memadai, serta melibatkan para pelaku dan pemangku kepentingan yang lebih faham kondisi. Dan musti menghubungkannya secara erat dengan revitalisasi koperasi di Indonesia. Jangan lupa, koperasi adalah amanat konstitusi, dan salah satu tujuan kemerdekaan adalah memajukan kesejahteraan umum. 

Tulisan untuk sarasehan 100 Ekonom Indonesia 12 Desember 2017 yang diselenggarakan Indef