Minggu, 16 April 2017

LAKU PANDAI DAN KUR: Tinjauan Umum

Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia meyakini bahwa pertumbuhan DPK dan kredit pada tahun 2017 akan lebih baik daripada tahun 2016. Hal itu sejalan dengan menurunnya suku bunga, kecukupan likuiditas dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Menurut prakiraan BI, kredit akan tumbuh di kisaran 10 – 12%, dan Dana Pihak Ketiga akan tumbuh di kisaran 9 – 11%. Perkiraan ini memberikan sinyal akan kembali meningkatnya fungsi intermediasi perbankan, setelah sedikit merosot pada tiga tahun terakhir. Beberapa indikator perbankan lainnya pun diyakini akan menunjukkan perbaikan, seperti rasio kredit bermasalah (NPL) yang tetap terjaga setelah sempat memburuk, serta rasio Kecukupan modal (CAR) yang akan tetap tinggi.  
Meski akan membaik, perbankan tampaknya akan tetap masih menghadapi tantangan berupa potensi ekses likuiditas. Pada saat yang bersamaan, industri perbankan cenderung lebih berhati-hati dan ketat dalam penyaluran kredit, atau dengan kata lain perekonomian justeru menghadapi kesulitan likuiditas. Dalam kondisi perbankan demikian, jika tiba-tiba yang terjadi adalah arus balik berupa derasnya aliran masuk modal asing, maka seketika juga dapat menyebabkan peningkatan ekses likuiditas kembali dalam waktu singkat.
Sementara itu, prioritas kepada pengembangan kredit bagi usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) telah banyak diakui oleh para ahli keuangan dan perbankan sebagai salah satu pilihan langkah strategis dalam memperkuat struktur kredit yang diberikan dan berpotensi stabil. Prioritas itu juga telah menjadi komitmen Bank Indonesia, OJK dan Pemerintah. Sejauh yang dikemukakan kepada publik, prioritas sudah didukung oleh rencana bisnis bank-bank besar. Salah satu argumen utama adalah kinerja kredit bagi UMKM yang sering lebih baik dibanding dengan kredit non MKM, terutama pada kondisi perbankan yang memburuk karena dampak kondisi keuangan global. Secara lebih khusus, kredit mikro dianggap akan tetap bisa tumbuh pesat dibanding kredit lainnya. Jika dilihat dari sisi kredit bermasalah, sekalipun kadang turut meningkat, kondisi kredit UMKM dinilai tetap lebih baik daripada kredit korporasi.
Di sisi lain, para ahli ekonomi sering mengingatkan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi antara lain ditandai dengan terciptanya suatu sistem keuangan yang stabil dan memberi manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat. Institusi keuangan berperan melalui fungsi intermediasinya, terutama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan stabilitas sistem keuangan. Dianggap pula berperan membantu pemerataan pendapatan serta pengentasan kemiskinan. Asumsinya adalah seluruh atau sebagian besar penduduk dewasa memilik akses layanan jasa keuangan yang memadai. Dalam kerangka tersebut dikenal wacana keuangan inklusif (financial inclusion).

Keuangan inklusif sudah mengedepan dalam banyak dokumen kebijakan otoritas ekonomi (Pemerintah, Bank Indonesia dan OJK). Diartikan sebagai suatu kegiatan menyeluruh yang bertujuan untuk meniadakan segala bentuk hambatan baik yang bersifat harga maupun non harga terhadap akses masyarakat dalam menggunakan atau memanfaatkan layanan jasa keuangan. Programnya adalah agar sebanyak mungkin orang bisa memperoleh produk dan jasa keuangan yang paling dasar seperti: tabungan, transfer, pinjaman, dan asuransi. Diupayakan dengan harga dan prosedur yang terjangkau, wajar dan transparan.

Program unggulannya kini adalah apa yang secara resmi disebut sebagai Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai), yang dalam wacana akademis biasa disebut branchless banking. Laku Pandai adalah kegiatan menyediakan layanan perbankan atau layanan keuangan lainnya yang dilakukan tidak melalui jaringan kantor, namun melalui kerjasama dengan pihak lain dan perlu didukung dengan penggunaan sarana teknologi informasi.

Bank penyelenggara harus memenuhi persyaratan yang mencakup sarana teknologi informasi harus yang andal, aman dan teruji, yang antara lain tercermin dari tersedianya sistem yang mampu melakukan pembukuan transaksi pada saat transaksi berlangsung (real time). Ada pengaturan mengenai persyaratan, tata cara seleksi, cakupan perjanjian kerjasama, serta standar dan mekanisme hubungan kerja antara Bank Penyelenggara dengan Agen. Agen dimaksud bisa perorangan atau badan hukum, yang berfungsi sebagai “kantor layanan” dari bank. Laku Pandai diluncurkan OJK secara resmi pada 26 Maret 2015, yang terus didukung oleh makin banyak bank umum.

Program keuangan inklusif terdahulu yang dianggap berhasil oleh Pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR). KUR bahkan diakui berbagai forum internasional mengenai implementasi keuangan inklusif, dan akan diadopsi menjadi praktik terbaik penanggulangan kemiskinan di negara berkembang. Capaian KUR secara data agregat memang luar biasa. Penyaluran sejak diluncurkan Nopember 2007 hingga Nopember 2014 mencapai Rp 175 triliun, dengan baki debet (outstanding) kredit sekitar Rp 50 triliun, menjangkau lebih dari 12 juta unit UMKM.

Kesuksesan KUR diakui juga oleh Pemerintahan Presiden Jokowi, yang menjadikannya sebagai program andalan untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. KUR diharapkan akan bisa memperkuat pelaku usaha mikro, kecil dan menengah, dengan cara mempermudah akses permodalan yang murah. KUR era Jokowi-JK merupakan perbaikan signifikan atas era sebelumnya. Dari hanya subsidi pemberian jaminan kredit, digandakan dengan subsidi bunga. Skema terus diperbaiki dengan menambah lebih banyak subsidi bagi masing-masing peminjam maupun total yang disediakan. Pada tahun 2015, bunga KUR telah diturunkan dari 22% menjadi 12%, dan mulai tahun 2016 menjadi 9%. Realiasasi penyaluran KUR meningkat, pada tahun 2007-2014 sekitar Rp175 triliun, pada tahun 2015 mencapai Rp 22,5 triliun, dan berlipat menjadi sekitar Rp 95 triliun pada tahun 2016. Dilaporkan pula terjadi peningkatan jangkauan atau jumlah orang (UMKM) yang memperolehnya.

Bagaimanapun, setiap kebijakan dan program perlu dicermati secara lebih seksama bagaimana konsep detil dan realisasinya, apalagi jika menyangkut banyak pemangku kepentingan. Kajian dan evaluasi harus dilakukan secara rutin, dan memungkinkan untuk penijauan ulang. Apakah realisasi sesuai target, apakah manfaat yang diharapkan bisa diwujudkan, dan apakah ada dampak (negatif) yang tidak diperhitungkan. Sebagai contoh, dua tahun berjalan, Laku Pandai baru berupa produk tabungan dengan karakteristik Basic Saving Account, serta beberapa fitur transfer dan pembayaran.

Sedangkan tentang KUR, Kajian Perhimpunan BMT Indonesia (beranggotakan 526 Koperasi /BMT) Januari-Februari 2017 antara lain menemukan: 1) sebagian besar penerima KUR adalah mereka yang sebelumnya telah memperoleh pinjaman dari perbankan; 2) sebagian besar penerima KUR yang baru adalah mereka yang sebelumnya telah dilayani oleh koperasi; 3) sebagian besar para penerima KUR adalah dari lapisan pendapatan quintil 3, 4 dan 5 (60% lapisan teratas); 4) secara sectoral, sebagian besar (66,29%) tersalurkan pada perdagangan besar dan eceran, masih relatif sedikit untuk pertanian dan kehutanan (17,36%), dan lebih sedikit lagi untuk industri pengolahan (4,10%); 5) bunga efektif yang secara riil dibayar oleh peminjam masih di atas 9% (ada cash collateral, pembukaan rekening baru, asuransi tambahan, dll) dan masih mensyaratkan jaminan. 

Kajian memaparkan pula tentang KUR yang diharapkan tersalur melalui koperasi. Selama ini penyaluran melalui perbankan, dan ditambahkan dengan lembaga pembiayaan. Koperasi hanya disebut-sebut dalam konsep chanelling, yang hampir tidak ada realisasinya. Padahal dampak KUR bagi koperasi simpan pinjam (termasuk yang syariah) makin terasa, antara lain terjadinya perpindahan peminjaman dan “tekanan harga” (iklan massif bunga 9%) secara mendadak bagi layanan koperasi.  Belakangan, koperasi disebut akan dilibatkan langsung dalam skema KUR. Sayangnya, pemahaman pengambil kebijakan akan dinamika koperasi kurang memadai, sehingga proses berlarut-larut. Pernyataan dukungan hingga perjanjian kerjasama masih belum operasional hingga akhir tahun 2016. Ada kendala dalam regulasi dan juga prosedur operasi. Kajian PBMT Indonesia awal tahun 2017 ini menyampaikan satu gagasan bagaimana KUR disalurkan melalui Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS/BMT).

Salah satu argumen yang dikemukakan dalam kajian PBMT Indonesia adalah data porsi dan pertumbuhan kredit UMKM yang tidak membaik secara berarti. Porsi kredit UMKM justeru sedikit menurun pada tahun 2015 dan 2016, menjadi kembali di bawah 20%. Pada kurun tahun 2011-2013, laju kredit UMKM lebih cepat dari yang nonUMKM. Pada tahun 2014 hingga 2016, ada kecenderungan laju pertumbuhan kredit perbankan yang lebih tinggi daripada yang khusus UMKM.
Gambar 1 Perkembangan porsi kredit UMKM, 2012 - 2016

                                Sumber: Bank Indonesia, diolah
Dilihat dari perkembangan rekening kredit UMKM pun tidak terjadi peningkatan yang signifikan. Jumlah rekening kredit mikro memang meningkat cukup pesat, namun diimbangi dengan stagnasi atau penurunan pada kredit kecil dan menengah. Perlu diselidiki indikasi perpindahan status nasabah, bahkan dari yang dulunya nonUMKM, sejak adanya program KUR.

Gambar 1 Perkembangan jumlah rekening kredit UMKM, 2012 - 2016

Sumber: Bank Indonesia, diolah
Sementara itu, keberadaan agen Laku Pandai secara masif berpeluang mengancam pola hubungan sosial. Perorangan yang potensial menjadi agen adalah tokoh masyarakat, tokoh adat, dan agama. Relasi sosial akan menjadi semakin transaksional, solidaritas dan kohesivitas masyarakat akan terganggu. Agen kemungkinan akan berasal dari pindahan SDM LKM (Koperasi). Ditambah dengan peluang eks rentenir yang berganti baju, bahkan berperan ganda sebagi agen sekaligus rentenir.

Dengan demikian, biaya ekonomi dan sosial terdampaknya LKM (Koperasi) perlu dipertimbangkan dengan baik untuk kelanjutan program Laku Pandai dan KUR. Ada indikasi bahwa LKM yang mandiri dari masyarakat akan menjadi korban program yang belum pasti berkelanjutan, dan akan terus tersubsidi. KUR memang terbukti memberi manfaat, namun tidak sebesar pewartaannya, dan jika mendadak dieskalasi akan mungkin memiliki pula dampak buruk.

Otoritas ekonomi, moneter dan perbankan perlu mencermati lebih jauh apakah agenda Keuangan Inklusif akan memberi kontribusi positif dalam kondisi strukturan ekonomi yang demikian. Baik dalam hal mensejahterakan rakyat kebanyakan, maupun dalam hal mengurangi tingkat ketimpangan ekonomi. Tidak cukup hanya memperhitungkan soal peningkatan akses layanan keuangan, meningkatkan pendapatan atau mengurangi kemiskinan, melainkan juga perlu berorientasi mempersempit jurang ketimpangan. Upaya pengembangan Laku Pandai dan KUR sejak awal seharusnya sudah melibatkan pelaku UMKM dan koperasi.


Dalam hal KUR, wacana dan pembicaraan koordinatif di pemerintahan telah mengarah kepada pelibatan koperasi. Secara prinsip dan regulasi, hal itu akan dimungkinkan, meski masih perlu dicari skema dan prosedur teknisnya. Selama ini penyaluran melalui perbankan dan lembaga pembiayaan. Koperasi hanya disebut-sebut dalam konsep chanelling, yang hampir tidak ada realisasinya. Padahal dampak KUR bagi koperasi simpan pinjam (termasuk yang syariah) makin terasa, antara lain terjadinya perpindahan peminjaman dan “tekanan harga” (iklan massif bunga 9%) secara mendadak bagi layanan koperasi.  Belakangan, koperasi disebut akan dilibatkan langsung dalam skema KUR. Sayangnya, pemahaman pengambil kebijakan akan dinamika koperasi kurang memadai, sehingga proses berlarut-larut. Pernyataan dukungan hingga perjanjian kerjasama masih belum operasional hingga akhir tahun 2016. Ada kendala dalam regulasi dan juga prosedur operasi. Sedangkan dalam hal Laku Pandai, koperasi masih diposisikan sebagai agen, setara dengan agen perorangan. Jika demikian, koperasi yang sudah mandiri dan berkembang mungkin merasa kurang diuntungkan. Masih perlu dicari kemungkinan skema untuk posisi yang lebih tepat bagi koperasi.

TINJAUAN EKONOMI INDONESIA (bagian 2)

Faktor eksternal makin berpengaruh kuat
Kondisi perekonomian Indonesia belakangan sangat dipengaruhi oleh dinamika ekonomi dan keuangan global. Bahkan, cenderung semakin bergantung padanya. Perekonomian nasional tumbuh tinggi dan kondusif jika kondisi global membaik, serta sebaliknya jika memburuk atau tidak stabil. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi selama beberapa tahun dengan mudah melambat, seperti yang terjadi pada tahun 2014 hingga tahun 2016. Goncangan eksternal masih akan menjadi ancaman serius secara terus menerus pada tahun-tahun mendatang.

Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) tahun 2016 memang membaik, terutama didukung oleh surplus transaksi modal dan finansial yang meningkat. Diakui bahwa surplus transaksi modal dan finansial itu lebih karena menurunnya ketidakpastian di pasar keuangan global, meskipun juga ada faktor membaiknya keyakinan atas prospek perekonomian Indonesia. Dengan kata lain, risiko NPI dan terutama neraca transaksi berjalan selalu ada dan bergantung kepada kondisi global.
Sementara itu Neraca Perdagangan berangsur membaik. Perbaikan terutama dikarenakan penurunan laju impor yang lebih cepat daripada penurunan impor. Ekspor nonmigas Indonesia masih terkendala pada terbatasnya produk dan ketergantungan kepada komoditas primer, serta kurang luasnya jangkauan negara tujuan.

Data ekonomi lainnya yang mencerminkan pengaruh faktor eksternal, serta berkaitan langsung dengan tekanan kepada rupiah adalah soal utang luar negeri (ULN) Indonesia. Bank Indonesia mempublikasikan posisi ULN Indonesia pada akhir tahun 2016 sebesar USD310,7 miliar. Meningkat USD17,0 miliar atau tumbuh 5,8% dari posisi akhir 2015 sebesar USD293,8 miliar. Rasio ULN terhadap produk domestik bruto (PDB) tercatat sebesar 36,1%, lebih tinggi daripada 33,0% pada akhir tahun 2014. Sejauh ini, Bank Indonesia memandang perkembangan ULN terkini masih cukup sehat, namun mengaku perlu terus mewaspadai risikonya terhadap perekonomian nasional. Dipastikan bahwa ke depan, Bank Indonesia akan terus memantau perkembangan ULN, khususnya ULN sektor swasta. Pemantauan dan pengawasan dimaksudkan untuk memberi keyakinan bahwa ULN dapat berperan secara optimal dalam mendukung pembiayaan pembangunan tanpa menimbulkan risiko besar bagi stabilitas makroekonomi.

Prospek Ekonomi Tahun 2017
Pemerintah dan Bank Indonesia sebagai otoritas ekonomi meyakini bahwa kondisi perekonomian nasional tahun 2017 akan lebih baik daripada tahun 2016. Diantaranya yang dinyatakan adalah: pertumbuhan ekonomi diprakirakan meningkat; inflasi tetap terkendali; defisit transaksi berjalan dapat ditekan; nilai tukar rupiah lebih stabil; dan industri perbankan tumbuh lebih baik. Indikator lain yang juga diprakirakan sekaligus menjadi target akan membaik adalah: pengangguran, kemiskinan, IPM, defisit APBN, nilai  dan indikator beban utang luar negeri.  

Otoritas ekonomi Indonesia melihat perkononomian global semakin menunjukkan gejala pemulihan dan kondisi keuangan global tampak akan lebih stabil. Sementara itu, kondisi perekonomian domestik juga masih dinamis dan terbukti tetap mampu menggeliat tumbuh pada tahun 2016.  Kinerja makroekonomi Indonesia secara umum lebih baik daripada negara-negara lain yang sekelompok kategori. Bahkan, termasuk diantara negara yang tertinggi pertumbuhan ekonominya. Bagaimanapun, Pemerintah dan BI tetap menyadari bahwa risiko akibat gejolak perekonomian global masih dapat menjadi gangguan yang serius pada tahun 2016.

Pemerintah dalam APBN 2017 menyebut target pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 5,1%, inflasi 4,0%, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika di kisaran Rp 13.300. Sementara itu, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun 2017 di kisaran 5,1 – 5,4%, dan inflasi terkendali di sekitar titik tengah kisaran sasaran inflasi 4 ± 1%. Sedangkan defisit neraca pembayaran akan bisa dikendalikan pada tingkat di bawah tahun 2016. Khusus neraca transaksi berjalan juga diyakini oleh BI akan menurun defisitnya atau setidaknya terkendali di kisaran 2% dari PDB. Dengan prakiraan ini, ditambah asumsi keuangan global yang lebih stabil, maka nilai rupiah pun diyakini tidak akan bergejolak.


Sebagaimana yang ditargetkan APBN 2017, beberapa hal berikut tampaknya secara umum bisa dicapai: turunnya jumlah penduduk miskin dan angka kemiskinan, turunnya jumlah penganggur dan angka pengangguran, serta naiknya Indeks Pembangunan Manusia. Akan tetapi, dengan melihat kondisi terkini dalam tataran global dan dinamika perekonomian domestik, maka tingkat capaian mungkin sedikit di bawah yang ditargetkan.

TINJAUAN EKONOMI INDONESIA (bagian 1)

Perkembangan makroekonomi Indonesia selama satu dekade terakhir terbilang cukup baik, seperti: angka pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, angka pengangguran yang menurun, dan inflasi yang terkendali. Dalam hal pembangunan ekonomi yang lebih luas pun tidak buruk, antara lain: angka kemiskinan dan jumlah penduduk miskin dapat ditekan, disertai terjadi perbaikan cukup signifikan dalam indeks pembangunan manusia.

Pertumbuhan ekonomi memang sedikit menurun dan dibawah target dalam tiga tahun terakhir, karena melambatnya perbaikan ekonomi global, serta meningkatnya turbulensi sektor keuangan dunia, namun masih termasuk yang tertinggi di dunia. Disertai angka pengangguran dan inflasi yang terkendali.

Tabel 1  Perkembangan indikator makroekonomi Indonesia 2010-2016
INDIKATOR 
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
Pertumbuhan ekonomi
4,63
6,17
6,03
5,58
5,02
4,79
5,02
Tingkat Pengangguran
7,17
6,56
6,13
6,17
5,94
6,18
5,61
Inflasi
6,96
3,79
4,30
8,38
8,36
3,35
3,02
PDB per kapita (Rp juta)
28,78
32,36
35,11
38,37
41,81
45,18
47,96
Tingkat kemiskinan (%)
13,33
12,36
11,56
11,46
10,96
11,13
10,70
Penduduk miskin (juta orang)
31,02
30,01
28,71
28,60
27,73
28,51
27,76
IPM Metode Baru
66,59
67,09
67,70
68,31
68,90
69,55
-
Sumber: BPS, berbagai publikasi.

Perkembangan PDB per kapita menunjukkan kenaikan signifikan, dan biasa dianggap mencerminkan perbaikan tingkat kesejahteraan rakyat pada umumnya. Jumlah penduduk miskin pun telah mengalami penurunan signifikan, dari 36,15 juta jiwa atau 16,66% dari total penduduk pada tahun 2004 menjadi 27,76 juta jiwa atau 10,70% pada bulan September 2016. Ukuran lain tentang kesejahteraan rakyat di Indonesia pada umumnya juga membaik, contohnya adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar, yaitu: umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang layak.

Masalah kemiskinan, ketimpangan dan ketenagakerjaan
Para ahli ekonomi mengingatkan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi tidak sebesar yang digambarkan oleh angka-angka agregat di atas. Sebagai contoh, dalam hal penurunan angka kemiskinan sebenarnya mulai melambat, dan jumlah penduduk miskin sebanyak 27,6 juta jiwa masih terlampau besar bagi suatu negara. Salah satu permasalahan adalah masih rentannya mereka yang tergolong tidak miskin untuk kembali jatuh miskin, jika ada goncangan ekonomi ataupun adanya pelemahan kemampuan Pemerintah menjalankan kebijakan populis anti kemiskinan. Dengan alasan serupa, mereka yang masih miskin juga dapat dengan mudah menjadi lebih miskin atau semakin menjauh dari garis kemiskinan.

Hal itu berkaitan erat dengan masalah ketenagakerjaan seperti: pekerja tidak penuh yang tidak menurun secara berarti; pekerja informal masih lebih besar daripada yang formal; ada kecenderungan peningkatan pengangguran terdidik; upah yang rendah bagi kebanyakan pekerja, dimana kenaikan upah hanya mengimbangi atau di bawah laju inflasi; lapangan kerja terbesar masih di sediakan oleh sektor pertanian; perlindungan bagi pekerja masih tersedia secara minimal; serta kualitas banyak pekerja masih rendah dan produktifitasnya belum optimal.

Komposisi penduduk bekerja menurut status pekerjaan utama menggambarkan distribusi yang hampir serupa dalam tiga tahun terakhir, yang sekitar 40% nya adalah dengan status berusaha. BPS juga membuat kategori atau penyebutan khusus berdasar status pekerjaan, yang disebut pekerja rentan (vulnerable employment), yang mencakup:  berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap/tak dibayar, pekerja bebas dan pekerja keluarga. Pekerja rentan dalam beberapa tahun terakhir di kisaran 57%, dengan mayoritas adalah perempuan. Ciri lain adalah berdasar lapangan pekerjaan, yang mayoritas bekerja di sektor jasa-jasa dan di sektor pertanian. Sektor manufaktur belum bisa menampung perpindahan signifikan dari sektor lain sebagaimana harusnya ciri industrialisasi yang tinggi. Dan apabila dicermati lebih lanjut, penyumbang terbesar dari sektor jasa-jasa adalah sektor perdagangan dan sektor jasa kemasyarakatan. Dalam kedua sektor itu, apa yang disebut sektor informal masih dominan.

Tentu saja masalah ketenagakerjaan dapat dilihat dari sudut pandang optimis atau sebagai potensi optimalisasi. Jika ditangani secara lebih baik oleh Pemerintah, dunia pendidikan dan kalangan usaha, maka akan menjadi faktor penting bagi perkembangan perekonomian di masa mendatang. Tenaga kerja tetap saja merupakan faktor produksi atau sumber pertumbuhan ekonomi.  

Terkait erat dengan soal pekerja dan lapangan kerja yang masih menyisakan masalah cukup serius di atas, terjadi pula peningkatan ketimpangan pendapatan dan giliran selanjutnya ketimpangan ekonomi. Fenomena meningkatnya ketimpangan ekonomi antar lapisan masyarakat beberapa tahun menjadi makin serius, sehingga membutuhkan perhatian lebih dari otoritas ekonomi untuk mengantisipasi. Salah satu ukuran adalah Rasio Gini yang menunjukkan trend peningkatan selama beberapa tahun terakhir, dari 0.35 (2008) menjadi 0.402 (2015), meskipun sedikit menurun menjadi 0,397 (2016).


Pertumbuhan ekonomi memang telah memberikan dampak kepada seluruh kelompok ekonomi. Kelompok miskin maupun kaya secara nyata menikmati peningkatan pengeluaran. Namun, peningkatan pengeluaran selama satu dekade terakhir tidak merata untuk seluruh kelompok masyarakat. Sekitar 40% kelompok penduduk dengan kondisi sosial-ekonomi terendah hanya mengalami pertumbuhan pengeluaran riil sebesar 2% per tahun, sementara rata-rata Indonesia selama periode tersebut adalah hampir 5% per tahun. Sekitar 20% kelompok masyarakat terkaya mengalami pertumbuhan pengeluaran yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional. Ketimpangan dari sisi pendapatan jelas lebih buruk. Orang miskin membelanjakan hampir seluruh pendapatannya, sedangkan orang kaya menabung. 

Minggu, 09 April 2017

PAJAK TERKAIT KENDARAAN BERMOTOR ADALAH ANDALAN DKI JAKARTA

Pendapatan Daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode yang bersangkutan. Bersumber dari: 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD); 2. Pendapatan Transfer (dari Pemerintah pusat); dan 3. Lain-lain Pendapatan yang Sah. PAD terdiri dari: Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan Lain-lain PAD yang sah.

Pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sebagai daerah khusus, DKI Jakarta bisa menetapkan pajak yang menjadi wewenang Provinsi maupun kabupaten/kota, sehingga jenis pajaknya mencapai 13 jenis. Realisasi penerimaan Pajak Daerah DKI tahun Anggaran 2016 (unaudited) sebesar Rp31.607,48 miliar. Jumlah itu adalah 85,70% dari PAD (Rp36,88 trilyun), dan dari 58,79% dari total pendapatan daerah (Rp53,77 trilyun).

Rincian realisasi penerimaan pajak daerah tahun 2016 adalah sebagai berikut: Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) Rp7.143,53 miliar, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN KB) Rp5.004 miliar, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB KB)Rp 1.094,9 miliar, Pajak Air Tanah Rp112,40 miliar, Pajak Hotel Rp 1.500 miliar,  Pajak Restoran Rp2.453,44 miliar, Pajak Hiburan Rp769,54 miliar, Pajak Reklame Rp894,27 miliar, Pajak Penerangan Jalan Rp714.84 miliar, Pajak Parkir Rp465,99 miliar, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Rp3.903,78 miliar, Pajak Rokok Rp 531,27 miliar, Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan Rp 7.019,73 miliar.

Penerimaan pajak yang terkait langsung dengan kendaraan bermotor tampak memiliki porsi sangat besar. Total dari empat jenis pajak (PKB, BBN KB, PBB KB, dan Pajak Parkir) dimaksud adalah sebesar Rp13.708,53 miliar atau sekitar 43,37% dari total pajak daerah. Prosentasi ini tidak banyak berubah selama beberapa tahun terakhir, yaitu: 44,67% (2014) dan 42,85% (2015).

Dengan demikian, berbagai ide tentang perbaikan transportasi dan mengatasi kemacetan akan memiliki dampak besar dan langsun, misalnya: soal pembatasan kendaraan bermotor, peningkatan moda tarnsportasi publik, dan lain-lain yang serupa. Di sisi lain, jenis pajak ini terbilang mudah pemungutannya dan hampir tidak perlu kerja keras aparatur pemerintah daerah.

KETERANGAN
2014
2015
2016
Pajak Kendaraan Bermotor
4.979,11
6.090,20
7.143,53
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
5.526,39
4.685.40
5.004,00
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
1.170,11
1.232.84
1.094,90
Pajak Parkir
406,92
450.94
465,99
Total 4 jenis pajak
12.082.53
12.459,38
13.708,53
Total Pajak Daerah
27.050,95
29.076,93
31.607,48
Total Pendapatan Asli Daerah
31.274,22
33.686,18
36.883,62
Total Pendapatan Daerah
43.824.30
44.209,24
53.766,10

Diolah dari LKPD DKI Jakarta berbagai tahun

Kamis, 02 Februari 2017

ASET TANAH PEMDA DKI UNTUK SIAPA?

Nilai aset Provinsi DKI per 31 Desember 2015 menurut Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang telah diaudit adalah sekitar Rp 421 Triliun. Nilai aset pemerintah pusat berdasar Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang telah diaudit per 31 Desember 2015 adalah sekitar Rp5.163 Triliun. Jika dibandingkan, nilainya sekitar 8,15%.

Karena nilai kewajiban (utang) Pemda DKI Jakarta adalah relatif kecil, sekitar Rp  1 triliun, maka equitas (serupa dengan modal dalam perusahaan) menjadi sebesar Rp 420 Triliun. Sedangkan kewajiban  pemerintah pusat amat besar, maka ekuitasnya hanya Rp 1.669 Triliun. Jika dibandingkan, ekuitas (bisa ditafsirkan kekayaan bersih) pemda DKI setara dengan seperempat (25,17%) dari pemerintah pusat.

Aset terbesar DKI adalah berupa aset tetap yang dilaporkan (sebelum penyusutan) sekitar Rp 363.585 miliar. Terdiri dari: Tanah Rp 284.069 miliar, Peralatan dan Mesin Rp 18.987 miliar, Gedung dan Bangunan Rp 24.170 miliar, Jalan, Irigasi, dan Jaringan Rp 32.309 miliar, Aset Tetap Lainnya Rp 1.423 miliar, Konstruksi Dalam Pengerjaan Rp 2.630 miliar.


Jika kita lihat perkembangan selama enam tahun, sejak tahun 2009, total aset DKI Jakarta hanya meningkat 6,43% dalam enam tahun. Namun dalam jenis aset tertentu mengalami pertumbuhan yang amat pesat. Artinya ada perubahan komposisi aset yang signifikan. Perlu diketehui bahwa perhitungannya menggunakan harga perolehan. Tentu saja ada penjelasan atau argumentasi dalam hal ini, namun publik perlu pula mulai mengerti apa yang secara umum terjadi, serta apa rambu-rambu untuk kondisi ke depannya. Secara lebih khusus, aset terbesar berupa aset tetap yang dilaporkan (setelah dikurangi akumulasi penyusutan) per 31 Desember tahun 2009 adalah Rp366.906.322.397.715, sedangkan per 31 Desember tahun 2015 sebesar Rp334.403.041.973.049. Fenomena penurunan nilai asset tetap tahun 2015 ini memerlukan data rincian yang lebih banyak, serta analisis tersendiri. Dikaitkan pula dengan perkembangan harga.


Aset berupa tanah mencapai Rp 284,07 Triliun atau 67,48% dari nilai total aset atau 84,95% dari nilai aset tetap Provinsi DKI per 31 Desember 2015. Sebagai perbandingan nilai itu sekitar 28,64% dari nilai aset tanah pemerintah pusat pada periode yang sama sebear Rp 991,84 Triliun. Tentu saja perbandingan itu perlu rincian lebih lanjut karena tanah pada dasarnya dicatat sesuai nilai historis atau harga perolehan, yang tidak mencerminkan “NILAI PASAR” saat ini.

Dalam hal nilai pasar aset berupa tanah, sepintas kita telisik, nilainya akan lebih dari tiga kali yang tercatat dalam pembukuan. Artinya aset tanah DKI kemungkinan besar jika divaluasi akan dapat mencapai kisaran Rp 1000 triliun. Jika ditambah dengan aset lainnya, maka bisa dikatakan bahwa tiap penduduk Jakarta yang berjumlah 10,20 juta orang itu memiliki asset senilai Rp 100 juta. Jika satu keluarga terdiri dari 4 orang maka, secara administrasi sebenarnya mereka memiliki kekayaan yang “dititipkan” kepada pemda senilai Rp 400 juta tiap keluarga.   

Terlepas dari hal tersebut, BPK telah menilai aset provinsi DKI yang berupa tanah senilai Rp 284,07 Triliun tersebut belum dikelola secara baik. Salah satu diantaranya adalah soal Pengamanan Bukti Kepemilikan Tanah oleh BPKAD yang Belum Optimal. Dikatakan BPK bahwa pengamanan dan pemeliharaan aset terkait dokumen kepemilikan seperti aset tanah berupa sertifikat/surat kepemilikan lainnya merupakan tupoksi BPKAD, yaitu Bidang Pengendalian Aset Daerah pada Subbidang Inventarisasi dan Dokumen Aset BPKAD, sedangkan pelaksanaan pengamanan dan pemeliharaan masing-masing asset merupakan tupoksi SKPD/UKPD yang mencatat aset tersebut. Berdasarkan pemeriksaan pada Subbidang Inventarisasi dan Dokumentasi Aset diketahui bahwa sertifikat tanah berada pada Gedung Arsip Pulomas (dibawah pengelolaan BPKAD Subbidang Inventarisasi dan Dokumentasi Aset). Sertifikat yang berada pada gedung arsip Pulomas tersebut hanya untuk sertifikat tanah yang telah berstatus/atas nama Pemprov DKI Jakarta, sedangkan untuk yang belum bersertifikat/belum berstatus/atas nama Pemprov DKI berada pada masing-masing SKPD/UKPD.

BPK juga menyebutkan bahwa data tanah yang telah diinventarisasi oleh Subbidang Inventarisasi dan Dokumentasi Aset dari 5.787 bidang tanah, yang telam memiliki Sertifikat baru sebanyak 2.900 bidang tanah. Sedangkan separuhnya lagi, 2.887 bidang tanah, adalah nonsertifikat.




BPK menyampaikan pula bahwa berdasarkan penjelasan Kepala Subbidang Inventarisasi dan Dokumentasi Aset diketahui bahwa Subbidang Inventarisasi dan Dokumentasi Aset tidak mengetahui jumlah total aset tanah yang dimiliki oleh Pemprov DKI Jakarta. Hal ini karena banyak dokumen kepemilikan tanah yang belum diserahkan oleh SKPD/UKPD kepada BPKAD.

BPK dalam catatannya atas LKPD tahun 2015 merinci beberapa persoalan aset tanah ini. Diantaranya adalah: a) Aset Tetap Tanah pada Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Tidak Didukung Bukti Kepemilikan yang Lengkap; b) Aset Tetap Tanah pada Dinas Kelautan Pertanian dan Ketahanan Pangan (KPKP) Tidak Didukung Bukti Kepemilikan yang Lengkap dan Terdapat Tanah yang Tercatat dalam KIB Tanah Dinas KPKP Dibeli Oleh Dinas PGP dari Pihak Ketiga; c) Upaya pensertifikatan tanah berlarut-larut; d) Berbagai Tanah yang dicatat masih menjadi obyek sengketa dengan pihak ketiga; e) masalah pertukaran dengan pihak Ketiga; pencatatan ganda atas tanah; dll.

Dengan demikian, salah satu soalan serius pemda DKI adalah bagaimana mengelola aset dengan sebaik-baiknya. Apakah telah dicatat sesuai aturan, dengan jumlah dan nilai yang benar? Dipelihara secara baik, sesuai aturan dan dengan iktikad baik? Apakah telah dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk 10,25 juta rakyat Jakarta?

Sabtu, 28 Januari 2017

PEKERJA BERUSAHA SENDIRI YANG MEMANG SENDIRI.


Badan Pusat Statistik (BPS) merilis berbagai publikasi atas dasar sumber data hasil Survei Ketenagakerjaan Nasional (Sakernas), yang kini dilaksanakan pada bulan Februari dan Agustus tiap tahun. BPS mengatakan tujuannya adalah untuk menyediakan data pokok ketenagakerjaan secara berkesinambungan. Data terkini yang dipublikasi adalah untuk kondisi Agustus 2016.

Menurut BPS, bekerja adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu. Pada Agustus 2016 terdapat 118,41 juta orang penduduk bekerja. Ada tujuh kelompok berdasar status pekerjaan, yang salah satunya adalah Berusaha sendiri, yang berjumlah 20.015.291 orang atau sekitar 16,90% dari total penduduk yang bekerja. 

Berusaha sendiri, adalah bekerja atau berusaha dengan menanggung risiko secara ekonomis, yaitu dengan tidak kembalinya ongkos produksi yang telah dikeluarkan dalam rangka usahanya tersebut, serta tidak menggunakan pekerja dibayar maupun pekerja tak dibayar, termasuk yang sifat pekerjaannya memerlukan teknologi atau keahlian khusus.

Mayoritas pekerja berusaha sendiri berpendidikan SD ke bawah yakni sekitar 51,19%. Jika dilihat dari jenis kelamin, 48,81 persen untuk laki‐laki dan 54,92 persen untuk perempuan. Secara wilayah, di perdesaan sebanyak 60,79%, dan di perkotaan sebanyak 42,53% yang demikian itu.



Sebanyak 39,93% dari pekerja berusaha sendiri adalah pada sektor perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel. Urutan berikutnya adalah usaha yang berkaitan dengan pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan sebesar 27,38%; pada usaha angkutan, pergudangan, dan komunikasi sebanyak 12,10%; dan industri pengolahan sebanyak 9,96%.



Dilihat dari jenis pekerjaan, sebanyak 36,58% bekerja sebagai tenaga usaha penjualan. Sebanyak 29,41% sebagai tenaga produksi, operator alat‐alat angkutan dan pekerja kasar. Dan sekitar 26,78% sebagai tenaga usaha pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan.

Salah satu yang perlu diperhatikan adalah terkait dengan cukup lamanya jam kerja beberapa jenis pekerjaan utama,  dengan jam kerja lebih dari 48 jam per minggu. Diantaranya adalah tenaga usaha penjualan sebesar 46,25%; tenaga tata usaha dan yang sejenis sebesar 39,76%; tenaga produksi, operator alat‐alat angkutan dan pekerja kasar sebesar 35,08%; dan tenaga usaha jasa sebesar 32,96%.

Rata‐rata pendapatan pekerja berusaha sendiri pada Agustus 2016 adalah sebesar Rp1.621,43 ribu per bulan. Jika dilihat secara umum, pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, rata‐rata pendapatan juga lebih tinggi. Jenjang Tidak /Belum Tamat SD sebesar Rp1.071,21 ribu; pendidikan SD sebesar Rp1. 455,82 ribu, dan SMA ke atas sebesar  Rp2.157,02 ribu rupiah.



Jika dilihat berdasarkan lapangan usaha yang dirinci sembilan sektor, rata‐rata pendapatan pekerja berusaha sendiri pada sektor yang paling banyak digeluti adalah: pada sektor perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel sebesar Rp1.903,09 ribu; pada lapangan usaha pertanian sebesar Rp 1.120,95 ribu; pada usaha angkutan, pergudangan, dan komunikasi sebesar Rp1.853,44 ribu; dan industri pengolahan sebanyak Rp1.169,60 ribu.



Sekitar 20 juta penduduk yang bekerja dengan kategori berusaha sendiri kondisinya masih cukup memprihatinkan. Secara pendapatan memang lebih baik dibandingkan dengan status pekerja bebas, namun karena berusaha sendiri maka tidak ada jaminan dan perlindungan. Selain pendapatannya secara umum masih dibawah UMP buruh, jumlah jam kerja nya pun secara rata-rata jauh lebih lama. Secara teoritis mereka ini disebut wirausaha, dan seluruhnya mendapat penyebutan usaha mikro dan usaha kecil. Sebenarnya ada Undang-Undang untuk UMKM, ada kementerian Koperasi dan UMKM, ada pidato kebijakan yang berpihak kepada UMKM, ada kewajiban minimum perbankan memberi kredit UMKM, ada klaim keberhasilan Kredit Usaha Rakyat (KUR), ada CSR untuk UMKM, dan lain sebagainya. Kenyataan di lapangan 20 juta orang (sebagian besarnya adalah kepala keluarga) benar-benar berusaha sendiri dan memang sendirian. Hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa mereka bergantung.