Rabu, 26 September 2018

UTANG PEMERINTAH BERTAMBAH TAK SESUAI RENCANA


Pemerintah selalu menjelaskan bahwa kondisi utang pemerintah masih aman terkendali, dan bahkan diberi rating yang baik oleh berbagai lembaga pemeringkat internasional. Argumen berulang adalah porsi utang atas PDB yang masih di kisaran 30%, dan jauh dari batas yang dibolehkan undang-undang sebesar 60%. Ditambahkan alasan penggunaan utang selama ini adalah untuk keperluan produktif, terutama membiayai proyek-proyek strategis yang diprioritaskan. Diingatkan pula bahwa sebagian beban utang berasal dari era pemerintahan sebelumnya.

Terlepas dari cukup beralasannya, perlu ditelusuri tentang berapa target utang berdasar perencanaan jangka menengah yang disusun oleh pemerintah sendiri. Salah satu diantaranya adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019, yang ditetapkan melalui Perpres No.2/2015 tanggal 8 Januari 2015. Perpres itu menyebutkan bahwa RPJM Nasional adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode 5 (lima) tahun, serta merupakan penjabaran dari visi, misi dan program Presiden hasil Pemilihan Umum tahun 2014.

Secara teknis, pemerintah era sebelumnya memang berkewajiban menyiapkan rancangan teknokratik. Namun, penentuan hal yang bersifat pokok telah dilakukan selama kurun 2,5 bulan setelah pelantikan Presiden. Selain itu, langkah membuat tim Transisi Jokowi-JK telah memberi kesempatan yang cukup untuk membahas ide pokok dan berbagai sasaran dan target.

Pada buku I dan buku II RPJMN 2015 – 2019 dijelaskan tentang berbagai sasaran ekonomi nasional, yang bahkan disajikan juga berupa tabel. Ada 14 indikator, termasuk tentang posisi utang pemerintah yang dinyatakan dalam persentasi atas Produk Domestik Bruto (PDB).

 “Terjaganya rasio utang pemerintah dibawah 30 persen PDB dan terus menurun yang diperkirakan menjadi 20,0 persen PDB pada tahun 2019… (Buku I RPJMN halaman 6-183). Dirinci target rasio tiap pada Buku I halaman 4-16 dan Buku II halaman 3-63 sebagai berikut: 26,7% (2015), 23,3% (2016), 22,3% (2017), 21,1% (2018), dan 19,3% (2019). Realisasinya kemudian meleset jauh, yaitu: 27,43% (2015), 28,33% (2016), dan 28,98% (2017).

Posisi utang pemerintah pada akhir Agustus 2018 sebesar Rp4.363 triliun pada akhir Agustus 2018. Rasionya atas PDB tahun 2018 berdasar asumsi APBN yang sebesar Rp14.395 triliun, adalah 30,31%. Jika kurs rupiah tetap stabil seperti saat ini, maka posisi utang pemerintah diperkirakan masih akan bertambah karena realisasi APBN 2018 terkait pembiayaan utang. Tambahan diluar faktor kurs rupiah sekitar Rp125 triliun, sehingga posisi utang menjadi Rp4.488 triliun pada akhir tahun 2018. Rasio utang akan tetap sedikit di atas 30%.

Mengingat target RPJMN tentang posisi utang pemerintah pada akhir 2018 adalah 21,1% dari PDB, maka target posisi utang sebesar Rp3.037 triliun. Target meleset jauh dibandingkan perkiraan realisasi posisi sebesar Rp4.488 triliun tadi. Dan berdasar perhitungan dari angka-angka RAPBN 2019, maka akan meleset lebih besar lagi pada akhir tahun 2019 yang ditargetkan sebesar 19,3%.



Realisasi tersebut juga amat jauh dari target yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara dalam Kepmen No113/KMK.08/2014 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara tahun 2014-2017. Bahkan masih meleset dari target yang ditetapkan pada 27 Nopember 2017 dalam Kepmen No884/KMK.08/2017 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Jangka Menengah tahun 2018-2021. Target rasio utang pada tahun 2018 dalam kepmen yang belum berumur setahun itu sebesar 29,3%.

Tambahan utang tiap tahun memang naik signifikan pada era pemerintahan Jokowi. Posisi utang pada akhir Oktober 2014 sebesar Rp2.601 triliun, naik menjadi Rp4.363 triliun pada akhir Agustus 2018. Dan berdasar perhitungan dari angka-angka pada APBN 2018 dan RAPBN 2019, jika kurs rupiah stabil di level sekarang setahun ke depan, maka posisi utang pada Oktober 2019 akan di kisaran Rp4.795 triliun.



Dengan demikian, utang bertambah sebesar Rp2193 triliun atau sekitar 84,31% pada era Pemerintahan Jokowi. Sebagai perbandingan, tambahan utang era SBY-Boediono (Oktober 2009-Oktober 2014) bertambah Rp999 triliun atau 62,36%. Sedangkan pada periode SBY-JK bertambah Rp352 triliun atau 28,16%.

Terlepas dari perdebatan tentang penggunaan dan risiko utang, tampak bahwa realisasi utang pemerintah tak pernah sesuai dengan target jangka menengah, baik RPJMN maupun Kepmen. Bahkan masih meleset dari rencana tahunan yang ditetapkan setahun sebelumnya. Pemerintah terpaksa merevisi satu atau dua kali dalam setahun tentang rencana utangnya. Perbaikan rencana utang adalah keniscayaan di masa mendatang.

Minggu, 16 September 2018

UTANG LUAR NEGERI SWASTA TETAP PERLU DIWASPADAI


Bank Indonesia (2009) mengatakan, “Jika kita ingin mengetahui laba/rugi suatu perusahaan pada suatu tahun maka kita dapat melihat Laporan Rugi Laba (Income Statement) perusahaan tersebut. Jika kita ingin mengetahui surplus atau defisit negara akibat transaksi ekonomi yang dilakukannya dengan negara lain maka kita dapat membaca…Neraca Pembayaran (Balance of Payments)“. Selama belasan tahun terakhir, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) cenderung mengalami surplus. NPI hanya mengalami defisit pada tahun 2008, 2013 dan 2015, dalam jumlah yang tak seberapa besar. NPI pada tahun 2018 memang terancam mengalami defisit, karena hingga akhir Juni telah defisit sebesar 8,16 miliar USD.

Bagian terpenting dari NPI adalah Transaksi Berjalan (Current Account) yang memang sejak tahun 2012 selalu mengalami defisit. Defisitnya selama ini meski cenderung membesar, masih bisa ditutupi oleh surplus dalam Transaksi Finansial. Namun, surplus Transaksi Finansial pada tahun 2018 tampaknya akan lebih kecil dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Kinerja NPI sebenarnya tak bisa difahami sepenuhnya jika hanya melihat kondisi dalam satu tahun, apalagi satu triwulan. Beberapa pos pada suatu tahun adalah akibat transaksi tahun-tahun sebelumnya, dan berdampak setelahnya. Sebagai contoh utama adalah yang terkait dengan transaksi utang.

Utang luar negeri (ULN) yang diperoleh pemerintah atau swasta pada suatu tahun akan membawa masuk devisa, yang tercatat dalam Transaksi Finansial pada NPI. Akan tetapi pada saat harus dilakukan pelunasan dan pembayaran bunga, maka akan tercatat pula sebagai arus ke luar. Tentu saja dapat diperdebatkan “hasil bersih” nya dikaitkan dengan apakah utang itu berhasil meningkatkan ekpor. Namun akibat yang bersifat segera adalah hal yang disebut pertama. Oleh karenanya, otoritas ekonomi sering mewaspadai perkembangan ULN. ULN Pemerintah langsung bisa dikontrol, sedangkan ULN swasta diawasi dan coba dipengaruhi dengan berbagai kebijakan. Indonesia telah berpengalaman buruk di masa lampau mengenai ULN swasta yang tak terkontrol.

ULN swasta tercatat tumbuh kembali dengan cepat dan melampaui utang pemerintah lagi sejak tahun 2012. Kini lajunya memang sedikit melambat sehingga posisinya pada akhir Juni 2018 adalah 176,01 miliar USD, hampir sama dengan ULN Pemerintah sebesar 176,48 miliar USD.



ULN yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dicatat oleh Bank Indonesia sebagai utang swasta, yang posisinya cenderung meningkat selama 10 tahun terakhir. Peningkatan signifikan terjadi sejak tahun 2011, dan posisi pada akhir Juni 2018 adalah sebesar 34,76 miliar USD. Terlepas dari kebutuhan dan manfaatnya, ULN BUMN kemudian ikut memberi tekanan pada Transaksi Berjalan dan Neraca Pembayaran Indonesia, karena harus membayar bunga dan cicilan.



Dilihat dari porsinya, ULN BUMN kini mencapai 19,75% dari total ULN swasta. Bandingkan dengan kondisi pada tahun 2007 yang masih 6.51% dan tahun 2010 sebesar 10,19%.



Dilihat dari denominasi ULN, maka porsi dolar Amerika masih amat dominan, mencapai 90,09% dari total ULN swasta. Porsi ini mengalami peningkatan dibanding tahun-tahun sebelumnya, seperti tahun 2007 (85,91%) dan pada tahun 2012 (87,43%). Artinya, dilihat dari sisi ini, pengaruh kurs rupiah atas dolar makin membesar.

Jika dilihat dari jangka waktu peminjaman, maka ULN swasta berjangka pendek (kurang dari sama dengan setahun) kini memiliki porsi sekitar 25,88%. Porsi ini memang cenderung stabil selama sepuluh tahun terakhir. Namun, porsi lebih dari seperempat utang itu memberatkan jika kondisi ekonomi memburuk mendadak. Terutama jika depresiasi rupiah cukup signifikan, sementara korporasi swasta (termasuk BUMN) tersebut tidak memproduksi barang atau jasa yang diekspor.

Secara umum, kondisi terkini dari ULN swasta memang masih jauh lebih baik dibandingkan tahun 1997/1998. Masih terlihat aman jika dilihat dari besarnya cadangan devisa, kinerja NPI, dan bahkan tekanan atas Transaksi Berjalan yang tengah terjadi. Namun, kewaspadaan otoritas ekonomi atas dinamika ULN tetap diperlukan mengingat kondisi global belakangan ini yang masih mungkin akan menyulitkan di waktu mendatang. ULN BUMN mustinya salah satu yang bisa segera dikendalikan.
Perlu dicatat bahwa ulasan tulisan ini bersifat umum, hanya melihat data-data keseluruhan dan pengelompokan oleh Bank Indonesia. Masalah bisa saja timbul dari korporasi swasta dan BUMN secara individual ataupun suatu industri. Salah satu faktor krusialnya adalah jika mereka memiliki ULN dalam denominasi dolar Amerika, namun produksinya dijual dalam rupiah di pasar domestik.  

Jumat, 14 September 2018

INVESTASI PORTOFOLIO YANG SANGAT MENENTUKAN


Salah satu bagian dari Neraca Pembayaran Indonesia  adalah Transaksi Finansial, yang mencatat perubahan kepemilikan aset dan kewajiban finansial luar negeri Indonesia. Transaksi finansial antara lain terdiri dari investasi langsung dan investasi portofolio. Investor langsung berharap untuk mendapatkan manfaat dari hak suaranya dalam manajemen perusahaan atau memperoleh akses terhadap sumber daya atau pasar di negara domisili perusahaan afiliasinya.

Investor portofolio cenderung lebih bersifat spekulatif dibanding investasi langsung, karena tidak memiliki pengaruh yang cukup dalam perusahaan tempatnya berinvestasi. Transaksi investasi portofolio adalah atas surat berharga, baik di pasar perdana ataupun di pasar sekunder. Transaksi terjadi di pasar finansial terorganisasi, melalui bursa ataupun di luar bursa. Investor portofolio terutama menimbang keamanan investasi, kemungkinan apresiasi nilainyai, dan imbal hasil yang diperoleh. Jika kondisi atau keadaan berubah, investor portofolio dapat dengan mudah menggeser investasi mereka ke wilayah lain.

Dalam Neraca Pembayaran tercatat istilah aset untuk nilai investasi penduduk Indonesia keluar negeri dalam hal investasi portofolio. Contohnya transaksi pembelian surat utang asing oleh sektor swasta domestik. Sebaliknya bagi nonresiden yang investasi ke Indonesia dicatat sebagai kewajiban. Contohnya pemberlian nonresiden atas surat utang negara. Selisih aset dan kewajiban merupakan nilai investasi portofolio neto.


  
Secara tahunan, investasi portofolio selalu mengalami surplus selama belasan tahun terakhir. Pada tahun 2017, surplus investasi portofolio meningkat menjadi sebesar USD20,7 miliar dari USD19,0 miliar pada tahun sebelumnya. Akan tetapi untuk tahun 2018 masih belum bisa dipastikan apakah akan surplus atau defisit, mengingat hingga satu semester masih defisit tipis sebesar USD1,10 miliar.
Jika dilihat tren triwulanan, investasi portofolio pernah mengalami beberapa kali defisit. Nilai defisit yang cukup besar adalah pada triwulan IV 2008, triwulan III 2011, dan triwulan III 2015. Pada tahun 2018 ini memang sempat defisit pada triwulan I, namun kemudian mencatatkan surplus tipis pada triwulan II.



NPI bagian investasi portofolio saat ini mempublikasikan pula masing-masing aset dan kewajiban tadi sebagai suatu sisi atau neraca. Dalam sisi aset, investor Indonesia ke luar negeri, ada arus masuk dan arus keluar. Sebagai contoh dicatat tentang pembelian surat utang luar negeri oleh swasta nasional, dan tentang penjualannya. Begitu pula dengan sisi kewajiban, yang mencatat transaksi investor nonresiden. Sebagai contoh, dicatat tentang pembelian asing atas surat utang negara, dan penjualannya. Perhatian besar biasanya ditujukan kepada catatan kewajiban dalam investasi portofolio, karena mencerminkan “potensi” untuk keluar.   



Sisi kewajiban dalam investasi portofolio secara tahunan selalu mengalami surplus. Dengan kata lain, arus masuk devisa dari investor asing selalu surplus, meski nilainya fluktuatif. Secara triwulanan, memang pernah beberapa kali defisit. Ketika investasi portofolio secara neto masih defisit dalam dua triwulan tahun 2018, neraca kewajiban ini masih mencatatkan surplus.



Bisa dikatakan bahwa tidak atau belum ada arus balik investor asing melalui investasi portofolio. Hanya perlu diwaspadai tentang nilai arus masuknya yang secara triwulanan mengalami penurunan yang cukup signifikan. Menariknya, penduduk Indonesia melakukan neto pembelian surat berharga di luar negeri yang cukup signifikan selama dua triwulan 2018. Sehingga, investasi portofolio secara neto masih tercatat defisit.

Hal lain yang perlu diketahui pada kondisi triwulan II-2018, arus masuk investasi portofolio di sisi kewajiban terutama adalah dari penerbitan obligasi pemerintah dual currency bond senilai USD2 miliar dan samurai bond senilai USD0,9 miliar. Saat bersamaan, terjadi neto jual investor asing atas instrumen berdenomonasi rupiah.   

Secara umum tampak bahwa dinamika investasi portofolio amat mempengaruhi keseluruhan Neraca Pembayaran Indonesia sekitar sepuluh tahun terakhir. Pengaruhnya makin menentukan beberapa tahun ke depan. Bagian neraca lainnya tampak lebih stabil, tidak mudah membaik atau memburuk dalam jangka pendek. Ditambah kemudahan teknis dari jenis transaksi ini berbalik arah atau sekurangnya melambat. Catatan tentang posisi dari nilai investasi portofolio sisi kewajiban dipublikasikan oleh Bank Indonesia dalam Posisi Investasi Internasional, yang terakhir pada akhir triwulan I 2018 sebesar USD266,2 miliar. Meski nyaris mustahil akan mendadak balik ke luar negeri sejumlah itu, namun nilainya bersifat potensial.    

Kamis, 13 September 2018

ANCAMAN DEFISIT NERACA PEMBAYARAN INDONESIA PADA TAHUN 2018


Pemerintah secara terbuka mulai mengakui bahwa perekonomian Indoensia masih bermasalah dalam Transaksi Berjalan (TB) yang selalu defisit dan cenderung makin membesar. TB mencatat keluar masuknya devisa melalui transaksi barang (seperti ekspor, impor), transaksi jasa (seperti transportasi,travel, asuransi), transaksi pendapatan primer (seperti bunga utang, keuntungan investasi), dan transaksi pendapatan sekunder (seperti remitansi tenaga kerja). TB mengalami defisit secara tahunan sejak tahun 2012, padahal sebelumnya selalu surplus.

Transaksi Berjalan defisit berarti lebih banyak devisa yang keluar atau menggerus cadangan devisa. Meskpun demikian, cadangan devisa Indonesia sempat terus bertambah dan kini masih besar. Faktornya adalah aliran masuk devisa melalui Transaksi Finansial, seperti investasi asing yang bersifat langsung (bikin pabrik, perluasan usaha), investasi portofolio (beli SBN, obligasi korporasi), dan investasi lainnya. Secara keseluruhan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) masih cenderung mengalami surplus, karena transaksi finansial mampu “melebihi” defisit dari Transaksi Berjalan. Selama 15 tahun terakhir, NPI hanya defisit pada tahun 2008, 2013 dan 2015, dalam jumlah yang tak seberapa besar.



Pada tahun 2018 dipastikan TB akan kembali defisit, yang mungkin akan lebih besar dibanding tahun 2017 yang sebesar USD17,33 miliar, karena hingga akhir Juni telah defisit sebesar USD13,75 miliar. Sementara itu, NPI berpotensi mengalami defisit, mengingat hingga akhir Juni telah terjadi defisit sebesar USD8,16 miliar. Kemungkinan pula akan menjadi defisit terbesar selama belasan tahun terakhir. Membesarnya defisit TB memang menjadi faktor yang menekan NPI hingga kemungkinan defisit. Akan tetapi ada faktor lain, yaitu mengecilnya surplus Transaksi Finansial. Surplusnya berpeluang menjadi yang terendah sejak tahun 2010. Bahkan, investasi portofolio berpeluang menjadi defisit pertama kalinya dalam belasan tahun terakhir, karena telah defisit sebesar USD1,10 miliar hingga akhir Juni.




Transaksi finansial masih surplus karena investasi langsung masih terus memberi kontribusi yang besar. Meskipun demikian, investasi langsung pada tahun 2018 tampaknya akan mengalami surplus yang lebih kecil dibanding tahun 2017 yang sebesar USD19,42 miliar. Surplusnya hingga akhir Juni 2018 baru tercatat sebesar USD5,42 miliar.



Pada catatan tentang Transaksi Finansial ini lah indikasi pengaruh kebijakan Trump terlihat. Sejauh ini baru pada investasi portofolio yang memang lebih mudah berbalik arah atau setidaknya pengurangan arus masuk. Sedangkan arus masuk investasi langsung bersifat lebih kaku, dan sebagian besarnya adalah realisasi dari keputusan waktu sebelumnya. Perlu diperhatikan bahwa publikasi NPI baru pada kondisi hingga akhir Juni, maka ada kemungkinan akan lebih tampak pada publikasi untuk kondisi September dan Desember nanti.

NPI yang defisit berarti cadangan devisa akan berkurang. Meskipun cadangan devisa telah dan kemungkinan masih akan berkurang, rupiah belum tentu akan melemah dibanding kondisi saat ini (pertengahan September). Selain karena cadangan devisa masih terbilang besar dan aman, NPI hanya bersifat potensial permintaan dan penawaran atas devisa. Yang bersifat efektif akan dipengaruhi beberapa faktor lain. Akan tetapi, secara potensial dilihat dari NPI dan TB tampak tidak ada faktor yang akan memperkuat rupiah secara signifikan. Upaya menekan impor dari kebijakan menaikkan tarif impor atas 1,147 komoditas belum bisa diandalkan, mengingat nilai keseluruhannya terbilang kecil. Upaya meminta devisa hasil ekspor masuk bukan hal mudah, mengingat sistem devisa yang bebas. 

Peluang terbesar berdasar fundamental, kurs rupiah adalah di kisaran Rp15 ribu seperti sekarang. RAPBN 2019 mengajukan asumsi kurs sebesar Rp14.400, yang dalam pembahasan dengan DPR mungkin akan berubah menjadi sekitar Rp14.600.

Hanya “faktor lain” yang bisa menguatkan kembali ke Rp13-14 ribu, dan dapat memperlemah ke Rp17 ribu an pada akhir tahun. Faktor lain itu diantaranya adalah spekulasi. Otoritas ekonomi telah meyakinkan bahwa ruang spekulasi nyaris ditutup. Namun, pelaku pasar keuangan yang besar memiliki kemampuan teknis dan jaringan yang kekuatannya kadang melampaui kapasitas otoritas ekonomi. Faktor lainnya adalah sudden reversal, arus balik transaksi finansial (portofolio) yang mendadak dalam waktu singkat (kurang dari sebulan). Tekanan psikologisnya akan amat besar pada nilai tukar, dan dapat menular pada aspek perekonomian lainnya.  

Minggu, 09 September 2018

PENGARUH PELEMAHAN RUPIAH PADA REALISASI APBN 2018


Dalam Nota Keuangan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari APBN selalu dijelaskan tentang asumsi dasar ekonomi makro yang menjadi acuan perhitungan umum angka anggaran. Perubahan angka asumsi akan langsung mengubah postur anggaran pada sisi belanja, pendapatan, dan pembiayaan. Nota Keuangan juga mengemukakan tentang risiko fiskal akibat perbedaan antara realisasi dengan angka asumsi itu, dilengkapi dengan perhitungannya.

Salah satu asumsi dasar adalah tentang nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Bahkan, dalam wacana publik, Sri Mulyani telah berulangkali mengatakan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan memberikan dampak positif pada APBN. Untuk RAPBN 2019, beberapa hari lalu dijelaskan bahwa setiap pelemahan Rp 100 per dolar AS dapat memberikan tambahan pendapatan neto sebesar Rp 900 miliar hingga Rp 1,5 triliun.

Jika dicermati dokumen Nota Keuangan, perhitungan dimaksud adalah pelemahan dari asumsi APBN secara rata-rata sepanjang tahun anggaran. Bukan kurs 1 Januari dibandingkan 31 Desember, misalnya. Pada APBN 2018, asumsi nilai tukar adalah Rp13.400. Realisasinya masih akan dinamis dan diperhitungkan secara rata-rata hingga akhir tahun. Ketika RAPBN 2019 diajukan kepada DPR, Pemerintah telah memiliki realisasi satu semester 2018 dan membuat outlook realisasi kurs hingga akhir tahun, yakni sebesar Rp13.973, artinya akan ada selisih Rp573.


(Gambar disalin dari Nota Keuangan RAPBN 2019)

Nota keuangan menjelaskan bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat memiliki dampak pada semua sisi APBN, baik pendapatan negara, belanja negara, maupun pembiayaan anggaran. Perubahan tersebut terjadi terutama pada anggaran yang menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat sebagai komponen penghitungan. Pada sisi pendapatan negara, fluktuasi nilai tukar rupiah antara lain akan memengaruhi penerimaan yang terkait dengan aktivitas perdagangan internasional seperti PPh pasal 22 impor, PPN dan PPnBM impor, bea masuk, dan bea keluar. Selain itu, perubahan nilai tukar rupiah juga akan berdampak pada penerimaan PPh migas dan PNBP SDA migas. Pada sisi belanja negara, perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat akan berpengaruh terhadap pembayaran bunga utang, subsidi energi, DAU, serta DBH migas akibat perubahan PNBP SDA migas. Sementara itu, pada sisi pembiayaan, fluktuasi nilai tukar rupiah akan berdampak pada pinjaman luar negeri, baik pinjaman program maupun pinjaman proyek, penerusan pinjaman, dan pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri.

Dalam perhitungan Nota Keuangan APBN 2018, setiap pelemahan Rp100 per 1USD akan mengakibatkan pendapatan negara bertambah sekitar Rp3,4 – Rp3,9 triliun. Baik dari kenaikan penerimaan perpajakan maupun karena PNBP SDA migas. Sedangkan belanja negara akan bertambah sekitar Rp2,2 – Rp3,4 triliun. Perhitungan secara presisi terkait beberapa realisasi teknis nantinya.


(Gambar disalin dari Nota Keuangan APBN 2018)

Sebenarnya analisis sensitivitas satu variabel seperti kurs ini berkaitan pula dengan asumsi ekonomi makro lainnya. Sebagai contoh asumsi pertumbuhan ekonomi akan mempengaruhi perpajakan yang sebagiannya akan dihitung terkait kurs. Begitu pula dengan harga migas dan liftingnya. Oleh karena itu, dalam RAPBN 2018, sensitivitas perubahan nilai tukar mengalami perubahan perhitungannya. Jika pengaruh netonya dalam APBN 2018 adalah kelebihan Rp 1,5 hingga Rp 1,6 triliun tiap selisih melemah Rp100 dari asumsi, maka pada RAPBN 2019 menjadi hanya Rp900 miliar hingga Rp1,5 triliun.

Sebagaimana disebut di atas, Pemerintah telah memiliki realisasi satu semester 2018 dan secara resmi membuat outlook kurs hingga akhir tahun, yakni sebesar Rp13.973. Dengan selisih melemah Rp573 itu, secara perhitungan sensitivitas akan ada tambahan bersih (neto) sekitar Rp8,60 hingga Rp9,17 triliun. Dalam perkembangan terkini, tampaknya realisasi kurs rata-rata setahun akan di kisaran Rp14.100, atau selisihnya adalah Rp700 dari asumsi. Tambahan netonya bagi APBN dapat mencapai Rp11 triliun.

Hanya saja musti diingat dua hal. Pertama, perhitungan baru dari sisi deviasi kurs, belum asumsi yang lain. Jika dilihat dari harga minyak, akan bersifat menambah. Sedangkan dari pertumbuhan ekonomi dan lifting akan mengurangi. Sejauh ini, keseluruhan deviasi asumsi ekonomi makro tampaknya memang akan lebih menambah surplus dan kelebihan pembiayaan. Kedua, dampak ekonomi pelemahan rupiah bagi perekonomian secara keseluruhan. Yang pada giliran berikut akan amat mempengaruhi realisasi APBN 2019.

Bagaimanapun suatu perencanaan anggaran yang baik adalah yang realisasinya sesuai atau amat mendekati asumsi dan target. Kebijakan yang didasari asumsi yang tak realistis berdampak pada banyak aspek, yang pada umumnya dampak buruk, meski seandainya pendapatan bertambah.

Jumat, 07 September 2018

DEFISIT PENDAPATAN PRIMER MAKIN MENEKAN TRANSAKSI BERJALAN


Pelemahan rupiah memang terutama disebabkan faktor eksternal, seperti langkah Trump dan krisis di beberapa negara. Namun secara fundamental, Indonesia juga tak bisa dinilai kuat, meski tak terbilang rapuh. Salah satu sebabnya adalah defisit Transaksi Berjalan (Current Account) yang telah berlangsung selama tujuh tahun berturut-turut.

Selama Januari hingga akhir Juni 2018, defisit Transaksi Berjalan mencapai USD13,75 miliar. Transaksi berjalan tersebut mencakup empat bagian, yang berbentuk neraca juga. Yaitu: 1. Neraca Barang yang surplus USD2,61 miliar (ekspor sebesar USD88,14 miliar dan impor sebesar USD85,53 miliar); 2. Neraca Jasa yang defisit USD3,34 miliar; 3. Neraca Pendapatan Primer yang defisit USD16,06 miliar; 4. Neraca Pendapatan Sekunder yang surplus USD3140.79 miliar.



Upaya pemerintah untuk menekan impor dengan menaikkan tarif 1.147 pos, diharapkan akan memberi kontribusi perbaikan, sepanjang tidak menyebabkan ekspor juga menurun. Begitu pula upaya mempersuasi atau memaksa agar eksportir memasukan seluruh devisanya ke dalam negeri. Akan tetapi perlu diketahui bahwa dari kondisi defisit Transaksi Berjalan selama empat tahun terakhir, yang paling membebani adalah defisit pendapatan primer (Primary Income).

Per definisi, pendapatan (income) merupakan perolehan yang timbul dari penyediaan faktor produksi tenaga kerja dan modal finansial. Arus masuk (inflow) pendapatan mengacu pada hasil yang diperoleh dari penyediaan tenaga kerja Indonesia atau modal finansial Indonesia kepada bukan penduduk; sementara arus keluar (outflow) pendapatan merupakan biaya yang harus dibayar Indonesia karena memanfaatkan tenaga kerja atau modal finansial asing. Neraca pendapatan primer meliputi transaksi penerimaan dan pembayaran kompensasi tenaga kerja, pendapatan dari investasi. Pendapatan investasi dimaksud adalah dari investasi langsung, investasi portofolio dan investasi lainnya.

Neraca Pendapatan primer selama ini selalu defisit, dengan kecenderungan meningkat, yaitu: USD29,70 miliar (2014), USD28,38 miliar (2015), USD29,65 miliar (2016), dan USD32,90 miliar (2017). Pada Januari hingga akhir Juni 2018 telah defisit USD16,06 miliar.



Perkembangan defisit Pendapatan Primer secara triwulanan juga menunjukkan kecenderungan yang meningkat selama beberapa triwulan terakhir, meski nilainya fluktuatif.


Kenaikan pembayaran pendapatan primer terutama sebagai konsekwensi dari transaksi finansial yang selalu surplus. Dari arus modal asing (termasuk utang) yang terus masuk ke Indonesia. Masuknya memang memperbaiki neraca pembayaran dan menambah cadangan devisa pada tahun bersangkutan.  Namun kompensasinya kemudian akan muncul sebagai pembayaran pada bagian neraca Pendapatan Primer. Kondisi surplus Transaksi Finansial selama beberapa tahun terakhir adalah:USD44,92 miliar (2014), USD16,84 miliar (2015), USD29,31 miliar (2016), dan USD29,18 miliar (2017). Pada Januari hingga akhir Juni 2018, surplus sebesar USD6,40 miliar.



Jika dicermati salah satu bagian dari transaksi finansial, yaitu investasi portofolio, secara tahunan selalu mengalami surplus sejak tahun 2004, dan hanya beberapa kali triwulan yang mengalami defisit. Nilai surplusnya memang fluktuatif, dan selama empat tahun (2014-2017) terbilang cukup besar. Dengan kata lain pembelian SBN, obligasi korporasi dan saham mengalami peningkatan signifikan. Laju ini mulai tertahan sejak triwulan III-2017, dan neto satu semester 2018 masih defisit. Amat mungkin, tahun 2018 akan menjadi kondisi pertama kali defisit investasi portofolio sejak 2004. Kemungkinan itu bisa tak terjadi jika imbal hasil yang ditawarkan naik signifikan dan kepercayaan investor asing atas kondisi Indonesia tetap terjaga.


Pada sisi lain, jika transaksi finansial tetap surplus dalam jumlah yang besar, maka tekanan pada neraca pendapatan primer di waktu berikutnya, akan meningkat. Secara lebih khusus, investasi portofolio memang memiliki dua sisi dilihat dari NPI keseluruhan. Peningkatan arus masuk (surplusnya) akan menambah devisa pada triwulan atau tahun berjalan. Akan tetapi, untuk membuat itu terjadi pada kondisi saat ini, maka akan ada tekanan pada arus pendapatan primer di waktu selanjutnya.

Dengan demikian, kebijakan untuk “mengelola” Transaksi Finansial dan Pendapatan Primer memang musti cermat dan harus dilakukan konsisten. Koordinasi antar otoritas ekonomi (Bank Indonesia, OJK dan Pemerintah) musti lebih kuat dan bersifat sinergis. Penanganan jangka pendek tetap harus memperhitungkan beban jangka menengah dan panjang dari transaksi berjalan, dan pada akhirnya bagi perekonomian keseluruhan.

Rabu, 05 September 2018

DEFISIT TRANSAKSI BERJALAN YANG RENTAN


Transaksi Berjalan sebenarnya adalah suatu neraca yang merupakan bagian dari neraca yang lebih besar, yaitu Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). NPI adalah neraca pembayaran internasional yang mencatat keluar masuknya uang dalam denominasi mata uang asing (devisa) dalam wilayah negara Indonesia. NPI dipublikasikan secara triwulan dan atau tahunan oleh Bank Indonesia, yang dinyatakan dalam nilai US dolar.
   
Transaksi berjalan mencatat keluar masuknya devisa akibat perdagangan (transaksi) barang dan jasa. Transaksi utang piutang atau penanaman modal tidak dicatat dalam neraca ini. Publikasi Transaksi berjalan kini mencakup empat bagian, yang sebetulnya berbentuk neraca juga. Yakni: 1. Barang (Goods); 2. Jasa-Jasa (Services); 3. Pendapatan Primer (Primary Income); dan 4. Pendapatan Sekunder (Secondary Income).

Neraca Barang mencakup transaksi ekspor dan impor barang dagangan umum, baik komoditas migas maupun nonmigas. Neraca barang hingga kini masih mencatatkan surplus, dan nilainya cenderung meningkat pada tahun 2013 - 2017. Namun nilai surplusnya jauh lebih rendah dibandingkan kurun 2004 - 2011. Jika dicermati, kenaikan ekspor memang tidak pesat dan cendrung tak stabil. Surplus neraca barang terjadi lebih dikarenakan laju pertumbuhan impor yang lebih rendah. Surplus pada tahun 2017 sebesar USD18,79 miliar. Namun baru mencapai USD2,61 miliar selama semester 1 tahun 2018.




Neraca jasa-jasa antara lain mencakup ekspor dan impor jasa manufaktur, jasa pemeliharaan dan perbaikan, jasa transportasi, jasa perjalanan, jasa konstruksi, jasa asuransi, jasa keuangan, dan lain-lain. Neraca ini selalu mengalami defisit, dengan nilai berfluktuasi, terutama karena pembayaran freight terkait ekspor dan impor barang. Ketergantungan pada jasa transportasi negara lain sudah lama berlangsung. Begitu pula dengan jasa lainnya yang berterkaitan, seperti asuransi. Kita hanya mengalami surplus dalam hal jasa perjalanan, karena wisman yang berkunjung jauh lebih banyak dibanding orang kita yang bepergian ke luar negeri. Defisitnya pada tahun 2017 sebesar USD7,81 miliar, dan satu semester 2018 sebesar USD3,34 miliar.



Neraca pendapatan primer meliputi transaksi penerimaan dan pembayaran kompensasi tenaga kerja, pendapatan dari investasi. Pendapatan investasi dimaksud adalah dari investasi langsung, investasi portofolio dan investasi lainnya. Per definisi, pendapatan (income) merupakan perolehan yang timbul dari penyediaan faktor produksi tenaga kerja dan modal finansial. Inflow pendapatan mengacu pada hasil yang diperoleh dari penyediaan tenaga kerja Indonesia atau modal finansial Indonesia kepada bukan penduduk. Sedangkan outflow pendapatan merupakan biaya yang harus dibayar Indonesia karena memanfaatkan tenaga kerja atau modal finansial asing.

Neraca Pendapatan primer selama ini selalu defisit, dengan kecenderungan meningkat. Hal ini terutama sebagai konsekwensi dari modal asing (termasuk utang) yang terus masuk ke Indonesia. Masuknya memang memperbaiki neraca pembayaran, dan menambah cadangan devisa.  Namun kompensasinya dari tahun ke tahun akan muncul pada bagian neraca ini. Defisitnya pada tahun 2017 sebesar USD32,90 miliar, dan satu semester 2018 sebesar USD16,06 miliar.



Neraca Pendapatan Sekunder mencakup penerimaan dan pembayaran transfer berjalan oleh sektor pemerintah dan sektor lainnya, dan transfer dari tenaga kerja. Neraca ini antara lain mencatat transfer dana dari tenaga kerja yang bekerja di luar negeri, dan sebaliknya dari tenaga kerja asing. Kondisi Neraca Pendapatan sekunder selalu mengalami surplus, terutama disumbang oleh remitansi TKI, yang masuk di kisaran USD10 miliar per tahun selama beberapa tahun terakhir.

Secara keseluruhan, Transaksi Berjalan selama kurun tahun 2004 - 2011 selalu surplus, dengan nilai berfluktuasi. Sejak tahun 2012, selalu mengalami defisit. Defisitnya adalah sebagai berikut: USD24,418 miliar atau 2.65% dari PDB (2012), USD29,109 miliar atau 3.19% dari PDB (2013), USD27,510 milar atau 3.09% dari PDB (2014), USD17,519 milar atau 2.03% dari PDB (2015), USD16,952 miliar atau  1.82 dari PDB (2016), USD17,528 atau 2.20 dari PDB (2017). Tampaknya defisit tahun 2018 akan lebih besar dibanding tahun 2017, karena hingga akhir Juni defisit telah mencapai USD13,745 miliar.


Salah satu ciri kuatnya fundamental ekonomi adalah kecenderungan transaksi berjalan yang mengalami surplus. Kecenderungan adalah kondisi sekitar 5 tahun atau lebih. Alasannya, surplus neraca yang menambah devisa itu bersumber dari produksi, bukan dari sesuatu yang menimbulkan kewajiban untuk dibayar seperti utang atau penanaman modal asing. Terjaganya kecukupan devisa dari sumber-sumber yang fundamental, karena produksi barang dan jasa. Tentu tidak masalah jika dalam beberapa triwulan defisit atau suatu tahun mengalami defisit, sebagai bagian dari dinamika pasar. Jika berlangsung selama 7 tahun berturut-turut seperti selama ini, maka perlu berhati-hati. Jelas bahwa depresiasi rupiah antara lain disebabkan kondisi tersebut.

Minggu, 02 September 2018

PEKERJA TIDAK PENUH MENGINDIKASIKAN MASALAH


Jumlah pengangguran dan tingkat pengangguran terbuka memang cenderung menurun selama belasan tahun terakhir. Laju penurunannya mulai melambat dalam beberapa tahun terakhir, bahkan sempat meningkat pada beberapa waktu. Bagaimanapun, pada Februari 2018 telah berhasil dicapai posisi terbaik, yakni sebanyak 6,87 juta orang penganggur dengan tingkat pengangguran sebesar 5,13%.



Akan tetapi, fenomena ketenagakerjaan tampak masih membebani perekonomian. Beberapa diantaranya adalah: pekerja tidak penuh tidak menurun secara berarti bahkan cenderung meningkat dari tahun-tahun sebelumnya; pekerja informal masih lebih besar daripada yang formal; ada kecenderungan peningkatan pengangguran terdidik; upah yang rendah bagi kebanyakan pekerja, dimana kenaikan upah hanya mengimbangi atau di bawah laju inflasi; lapangan kerja terbesar masih di sediakan oleh sektor pertanian; perlindungan bagi pekerja masih tersedia secara minimal; serta kualitas banyak pekerja masih rendah dan produktifitasnya belum optimal.

Salah satu yang kurang diperhatikan adalah fenomena meningkatnya pekerja tidak penuh. Pekerja Tidak Penuh adalah mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu). Jumlah jam kerja berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan penduduk yang bekerja, serta tingkat produktivitas dan biaya tenaga kerja perusahaan. Hal ini dapat mengkonfirmasi penurunan atau stagnasi daya beli masyarakat, karena menyangkut pendapatan yang mereka peroleh.  Secara lebih jauh dapat menjadi peringatan dini adanya gejala awal krisis, atau sedikitnya kondisi umum perekonomian yang relatif stagnan.

Selama kurun waktu tahun 2010 hingga tahun 2018, jumlah pekerja tidak penuh justeru cenderung bertambah, hanya sesekali berkurang. Pada Februari 2010 jumlahnya sebanyak juta orang, naik menjadi 39,99 juta orang pada Februari 2018. Pada saat bersamaan, jumlah pengangguran memang turun dari 8,59 Juta orang menjadi 6,87 orang.



Jika digabungkan antara jumlah penganggur dengan pekerja tidak penuh, maka selama era 2015 – 2018 tidak hanya jumlahnya yang cenderung meningkat, melainkan porsinya pun tak mengalami perbaikan. Pada februari 2018, jumlah kedua kelompok ini sebanyak 46,86 juta orang atau 34,99% dari total angkatan kerja. Dengan kata lain, jika, definisi bekerja adalah 35 jam dalam seminggu, maka tingkat pengangguran adalah 34,99%. Bandingkan dengan angka pengangguran terbuka yang memakai batasan bekerja satu jam dalam seminggu, yang sebesar 5,13%.

Persoalan umum lainnya dari ketenagakerjaan tergambar pula dari persentase penduduk bekerja menurut status pekerjaan utama, yang tak mengindikasikan adanya perbaikan berarti. Ada tujuh status pekerjaan menurut BPS, yaitu: 1. Berusaha Sendiri; 2. Berusaha Dibantu Buruh Tidak Tetap; 3. Berusaha Dibantu Buruh Tetap; 4. Buruh/karyawan/pegawai;  5. pekerja bebas di pertanian; 6. pekerja bebas di non pertanian; 7. pekerja keluarga. Pada Februari 2018, kelompok ke 3 dan 4 yang digolongkan pekerja formal oleh BPS adalah sebanyak 53,09 juta orang atau 41,78% dari total pekerja. Sebanyak 73,98 juta orang (58,22%) digolongkan pekerja informal. Pekerja informal ini  pula yang disebut pekerja rentan (vulnerable employment).  



Salah satu status yang patut mendapat perhatian lebih khusus adalah Pekerja keluarga atau pekerja tak dibayar, yaitu seseorang yang bekerja membantu orang lain yang berusaha dengan tidak mendapat upah/gaji, baik berupa uang maupun barang. Jumlahnya pada tahun 2004 adalah sebanyak 17,59 juta orang, dan justeru meningkat pada Februari 2018 adalah sebenyak 18,50 juta orang.

Begitu pula dua status yang mencerminkan pengusaha mikro dan pengusaha kecil (UMK), tidak termasuk yang menengah. Yaitu, berusaha sendiri dan berusaha dibantu buruh tidak tetap. Berusaha sendiri, adalah bekerja atau berusaha dengan menanggung resiko secara ekonomis, yaitu dengan tidak kembalinya ongkos produksi yang telah dikeluarkan dalam rangka usahanya tersebut, serta tidak menggunakan pekerja dibayar maupun pekerja tak dibayar, termasuk yang sifat pekerjaannya memerlukan teknologi atau keahlian khusus.

Pada tahun 2004 jumlah pekerja dari kedua status itu adalah 37,78 juta orang, dan pada Februari 2018 bertambah menjadi 44,55 juta orang. Jika dilihat dari sisi prosentasi atas total pekerja, memang telah terjadi penurunan dari 41,60% menjadi 35,06%. Namun persentasinya masih besar.

Dapat disimpulkan bahwa penurunan jumlah penganggur dan angka pengangguran terbuka selama ini tidak cukup menggambarkan tentang masih sulitnya penciptaan lapangan kerja. Terkonfirmasi dari cendrung meningkatnya pekerja tidak penuh, serta masih besarnya status pekerja yang informal. Terutama untuk status pekerjaan tertentu yang amat rentan, seperti pekerja keluarga. Otoritas ekonomi musti waspada, karena hal ini bisa menjadi indikasi stagnasinya perekonomian, alih-alih dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas.

Sabtu, 01 September 2018

PEMBIAYAAN UTANG DAN TAMBAHAN UTANG


RAPBN 2019 mentargetkan Pendapatan Negara sebesar Rp2.142.524,1 miliar, dan merencanakan belanja negara sebesar Rp2.439.687,5 miliar. Akan ada defisit anggaran sebesar Rp297.163,3 miliar atau setara 2,12% dari PDB. Untuk mengatasi defisit tersebut, maka diperlukan penerimaan yang dalam catatan APBN tidak digolongkan Pendapatan, melainkan disebut dengan pembiayaan anggaran.

Per definisi, pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. Dengan demikian, pembiayaan dapat bersifat pengeluaran ataupun penerimaan. Sebagai contoh, yang disebut pembiayaan utang besifat penerimaan karena menerima dana dari trasaksi berutang. Membayar cicilannya bersifat pengeluaran. Berbagai item pembiayaan biasanya dinyatakan dalam jumlah bersih (neto) dari pengeluaran dan penerimaan.

Pembiayaan utang saat ini dibutuhkan untuk membiayai defisit anggaran. Selain itu juga untuk membiayai pengeluaran yang tidak digolongkan pada belanja, melainkan pembiayaan yang bersifat pengeluaran. Contoh pengeluaran pembiayaan adalah investasi kepada BUMN, investasi kepada BLU, dan pemberian pinjaman kepada BUMN atau Pemda.

Secara teoritis bisa saja pembiayaan utang lebih kecil dari defisit dalam satu tahun anggaran. Misalnya karena pada tahun itu, ada banyak pengembalian pinjaman dari BUMN/Pemda, penjualan aset atau divestasi saham BUMN. Penjualan atau divestasi banyak dilakukan pada era BPPN dahulu. Sejak tahun 2005 hingga kini, pembiayaan utang selalu lebih besar dibandingkan defisit anggaran.
RAPBN 2019 merencanakan defisit sebesar Rp297,16 triliun. Sedangkan pembiayaan utang sebesar Rp359.279,1 miliar. Hal itu dikarenakan pos-pos pembiayaan lain secara neto bersifat pengeluaran. 

Dapat pula diartikan, pemerintah berencana menambah utangnya sebesar pembiayaan utang tersebut. Nilainya memang sedikit menurun dibanding realisasi 2017 sebesar Rp429,08 triliun dan outlook APBN 2018 sebesar Rp387,36 triliun. Meski masih terbilang jauh lebih besar dibandingkan tahun-tahun lampau, nampaknya Pemerintah telah memperhatikan berbagai kritik yang berkembang tentang utang. Kenaikan atau penambahan utang karena pembiayaan utang pun cenderung diupayakan turun.


Kemudian apakah posisi utang pemerintah pada akhir 2019 hanya akan bertambah sebesar itu pula? Masih akan ada penambahan ataupun pengurangan posisi utang yang disebabkan perubahan kurs rupiah, karena porsi valuta asing masih sekitar 40% dari total utang. Khusus yang berdenominasi dolar Amerika masih sekitar 30%. Sebagai contoh, outlook APBN tahun 2018 menyebut pembiayaan utang sebesar Rp387,4 triliun. Posisi utang pemerintah akhir 2017 adalah sebesar Rp3.938,45 triliun, namun posisi utang pada akhir 2018 kemungkinan akan sebesar Rp4.425 triliun. Bertambah diluar pembiayaan utang sekitar Rp100 triliun. Per tanggal 8 Juli 2018 saja posisi utang pemerintah sudah Rp4.253 triliun. 


Untuk tahun 2019, kita belum tahu pengaruh kurs ini. Jika asumsi kurs Rp14.400 dalam RAPBN 2019 tercapai, maka posisi utang akhir 2019 hanya akan bertambah sebesar pembiayaan utang atas posisi utang akhir 2018 nanti.

BELANJA MODAL MULAI STAGNAN


Belanja Pemerintah Pusat yang direncanakan RAPBN 2019 sebesar Rp1.607,34 triliun dapat dicermati menurut jenisnya, yang terdiri dari 8 jenis. Salah satunya adalah belanja modal yang dialokasikan sebesar Rp211,86 triliun atau sekitar 13,18%.

Belanja Modal adalah pengeluaran untuk pembayaran perolehan aset tetap dan/ atau aset lainnya atau menambah nilai aset tetap dan/atau aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi dan melebihi batas minimal kapitalisasi aset tetap/ aset lainnya yang ditetapkan pemerintah. Aset tetap/aset lainnya tersebut dipergunakan atau dimaksudkan untuk dipergunakan untuk operasional kegiatan suatu Satker atau dipergunakan oleh masyarakat/publik, tercatat sebagai aset kementerian negara/lembaga terkait dan bukan dimaksudkan untuk dijual/ diserahkan kepada masyarakat/Pemda. Dalam pembukuan nilai perolehan aset dihitung semua pendanaan yang dibutuhkan hingga aset tersebut tersedia dan siap untuk digunakan. 

Kriteria kapitalisasi dalam pengadaan/ pemeliharaan barang/ aset merupakan suatu tahap validasi untuk penetapan belanja modal atau bukan dan merupakan syarat wajib dalam penetapan kapitalisasi atas pengadaan barang/ aset: 1. Pengeluaran anggaran belanja tersebut mengakibatkan bertambahnya aset dan/atau bertambahnya masa manfaat/umur ekonomis aset berkenaan. Pengeluaran anggaran belanja tersebut mengakibatkan bertambahnya kapasitas, peningkatan standar kinerja, atau volume aset. 2. Memenuhi nilai minimum kapitalisasi sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai penatausahaan barang milik negara.3. Pengadaan barang tersebut tidak dimaksudkan untuk diserahkan/ dipasarkan kepada masyarakat/Pemda/entitas lain di luar Pemerintah Pusat.

Belanja modal dipergunakan untuk antara lain: 1. Belanja modal tanah; 2. Belanja modal peralatan dan mesin; 3. Belanja modal gedung clan bangunan; 4. Belanja modal jalan, irigasi, clan jaringan; 5. Belanja modal lainnya; 6. Belanja modal Badan Layanan Umum (BLU).

Porsi belanja modal dalam periode 2015 – 2019 (era pemerintahan Jokowi-JK) secara rata-rata adalah sebesar 15,18%. Porsi tersebut lebih tinggi dibandingkan periode 2005 – 2009 (APBN era SBY-JK) sebesar 11,38%, dan  era 2010 – 2014 (APBN era SBY-Boediono) sebesar 13,47%. 



Pada tahun pertama APBN yang disusun dan direalisasikan era pemerintahan Jokowi-JK, belanja modal langsung dinaikan sebesar 46.20%, dari Rp147,35 triliun (2014) menjadi Rp215,43 triliun. Porsinya pada tahun itu adalah 18,21%, yang tertinggi sejak tahun 2005. Namun, pada tahun 2016 turun menjadi Rp169,47 triliun. Pada tahun-tahun berikut nilainya cenderung stagnan, sehingga porsinya atas total belanja pemerintah pusat menjadi menurun kembali. Porsi dalam RAPBN 2019 sebesar 13,18% adalah paling rendah selama sembilan tahun terakhir, dan bahkan lebih rendah dibanding porsi tahun 2011 yang sebesar 13,34%.

Upaya pemerintahan Jokowi-JK untuk menggenjot belanja modal sebagai bagian dari kebijakan prioritas pembangunan infrastruktur tampak terkendala oleh kemampuan fiskal yang terbatas. Seiring dengan upaya menekan defisit dan menurunkan laju penambahan utang, belanja modal pun dikendalikan.