Jumat, 19 April 2019

FUNDAMENTAL EKONOMI YANG RAPUH (bagian 6)

Iklim Investasi Dan Kondisi Usaha Mikro dan Kecil Masih Belum Baik
Investasi diakui secara luas sebagai faktor terpenting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Besaran dan laju pertumbuhan investasi merupakan salah satu penentu angka pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya, pemerintah Indonesia didukung oleh otoritas ekonomi lainnya berupaya keras agar iklim investasi terus membaik. Iklim investasi antara lain mencakup kemudahan berusaha, kepastian usaha, dan potensi keuntungan atau kembalian dari modal yang ditanamkan.

Kebijakan otoritas ekonomi pun diupayakan mencakup semua aspek tersebut. Pemerintahan Jokowi mengeluarkan berbagai paket kebijakan ekonomi, diantaranya yang menonjol adalah Online Single Submission (OSS) atau Sistem Perizinan Terpadu Daring dan berbagai keringanan pajak untuk menarik investasi (tax allowence dan tax holiday). Bank Indonesia dan Otoritas Jasa keuangan juga membuat kebijakan pendukung di bidang moneter dan bidang perbankan agar iklim investasi makin sehat dan membaik. Sebagaimana era pemerintahan sebelumnya, Pemerintahan Jokowi terutama berharap besar pada arus masuk investasi modal asing.

Upaya tersebut tampaknya mulai membuahkan hasil. Country Director Bank Dunia untuk Indonesia, Rodrigo Chaves (Januari 2019) memuji Indonesia sebagai negara negara tujuan investasi yang cukup menjanjikan. Dia menilai makin baiknya iklim investasi, yang terlihat dari lima tanda. Pertama, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang kuat, rata-rata 5% per tahun dari 2015 hingga 2017. Kedua, fundamental ekonomi yang baik dan koordinasi kebijakan fiskal dan moneter yang solid. Ketiga, pertumbuhan penerimaan pajak yang tinggi. Keempat, surat utang Indonesia yang berada pada level investment grade. Kelima, lelang surat utang negara terbaru yang selalu oversubscribed rata-rata hingga 2,5 kali.

Iklim Iinvestasi di Indonesia memang tampak makin membaik, atau sekurangnya tidak buruk,  jika dilihat dari data realisasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA) dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). PMDN meningkat setiap tahun dan mencapai Rp328,6 triliun pada tahun 2018. Sedangkan PMA berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat, meski realisasi tahun 2018 sebesar USD290 miliar lebih rendah dibanding tahun 2017.


Investasi yang cenderung meningkat tersebut belum diikuti oleh peningkatan laju pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi masih tetap bertahan di kisaran 5%, dan dua era pemerintahan sebelumnya pun rata-rata hanya 5,73% per tahun. Untuk menentukan penyebabnya memang diperlukan kajian yang lebih menyeluruh dan mencermati lintas faktor, namun salah satu indikasi adalah dari tingginya Rasio Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia. ICOR merupakan rasio antara investasi dengan pertumbuhan output. ICOR yang tinggi menujukkan tingkat efisiensi yang masih rendah.

Pemerintah mengklaim terjadi penurunan dalam tiga tahun terakhir, namun rasionya masih sebesar 6,3. Sebelumnya sempat di level 6,64 pada tahun 2015. Akan tetapi jika dibandingkan ICOR negara se-kawasan, Indonesia lebih tinggi dari hampir semua negara ASEAN. ICOR Malaysia sebesar 4,6, Filipina sebesar 3,7, Thailand sebesar 4,5, dan Vietnam sebesar 5,2. Umumnya diakui bahwa ICOR yang ideal adalah mendekati atau di kisaran 3%.

Dapat pula dikatakan bahwa ICOR sangat dipengaruhi soal kemudahan dalam berbisnis dan daya saing pasar tenaga kerja. ICOR yang tinggi dan bertahan lama mengindikasikan masih banyak soalan struktural yang terkait dengan investasi. Ada beberapa indikasi yang cukup jelas. Sebagai contoh, peringkat Ease of Doing Business (EoDB) Indonesia dalam hasil survei Bank Dunia pada laporan edisi 2019 adalah ke-73 dunia dari 190 negara, dan itu turun satu tingkat dari sebelumnya. OSS yang belum lama diterapkan juga merupakan pengakuan bahwa selama ini koordinasi masih tumpang tindih dan aturan main kadang tidak jelas bagi investasi. Dalam perspektif investor asing, diketahui bahwa mereka memiliki pilihan yang kurang banyak dan kurang leluasan atas instrumen investasi dan sektor riil investasi. Ketidakpastian dalam hal regulasi ketenagakerjaan juga menjadi isu yang penting dari sudut pandang investor. ICOR tertekan dari dua sisi dalam konteks ketenagakerjaan, pertumbuhan upah rata-rata sekitar 8–9% per tahun, sedangkan tingkat produktivitas pekerja hanya di kisaran 3%.

Kebutuhan akan investasi asing yang sangat besar kadang menimbulkan dilema pilihan kebijakan jika dikaitkan dengan neraca pendapatan primer (Primary Income Balance) yang telah dibahas pada bagian terdahulu. Masuknya investasi asing tadi akan menimbulkan kewajiban pembayaran di waktu kemudian, seperti keuntungan dan bunga. Jumlah pembayaran ke pihak asing yang dilakukan pada tahun 2018 mencapai USD39,58 miliar, naik hampir dua setengah kali lipat dibanding tahun 2009 yang masih sebesar USD16,99 miliar.

Dengan menimbang akan adanya tekanan pada neraca pendapatan primer di kemudian hari, maka tidak bisa kebijakan berorientasi asal masuk modal asing sebesar-besarnya. Perlu kajian mendalam dan kebijakan lintas otoritas (termasuk Pemerintah Daerah) yang menghasilkan bauran kebijakan (policy mix) yang memperhitungkan neraca perdagangan, transaksi berjalan, ICOR, daya saing, dan lain sebagainya. Soalan pun akan menjadi lebih rumit dan sensitif dikaitkan dengan kekhawatiran banyak pihak atau “persepsi” atas dominasi asing.

Dilihat dari aspek teknis ekonomi, arus masuk PMA memang dibutuhkan agar investasi meningkat yang akan lebih mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun perlu tambahan pertimbangan agar memprioritaskan investasi yang dapat menghasilkan devisa, agar mampu membayar kewajiban di kemudian hari. Akan lebih baik jika porsi besar PMA adalah ke dalam sektor yang menghasilkan barang dan jasa yang dapat diperdagangkan (ekspor). PMA di negara berkembang biasanya diharapkan pula dapat memperbaiki teknologi produksi secara berkelanjutan, yang pada gilirannya menurunkan ICOR atau meningkatkan efisiensi. Salah satu cara mengeliminasi “persepsi negatif” atas modal asing adalah dengan memperlihatkan manfaat nyatanya bagi perekonomian dan bagi hidup rakyat banyak.

Persoalan lain yang kini sering mendapat sorotan dalam hal iklim investasi adalah peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Peran BUMN tampak meningkat selama era Jokowi, yang antara lain ditunjukkan oleh pertumbuhan pengeluaran investasi (capital expenditure) dan kinerja keuangan lainnya. Peningkatan peran ini positif dalam satu hal, karena sesuai amanat konstitusi, serta dinilai lebih dapat dikontrol oleh Pemerintah. Namun menimbulkan reaksi negatif dari pelaku usaha yang telah existing di sektor usaha yang makin didominasi oleh BUMN. Dalam jangka menengah dan panjang memang diperlukan harmoninasi antar pelaku usaha ini, melalui regulasi dan kebijakan yang lebih memberi kepastian dan rasa keadilan bagi semua pihak.


Sejauh ini pembahasan kita dapat dikatakan menyangkut pelaku usaha menengah dan besar, baik domestik (termasuk BUMN) maupun asing. Sementara itu, jumlah pelaku usaha yang berskala mikro dan berskala kecil (UMK) sebenarnya jauh lebih banyak. Jumlah usaha nonpertanian menurut Sensus Ekonomi 2016 Lanjutan adalah sebanyak 26,42 juta usaha. Terdiri dari usaha mikro dan usaha kecil (UMK) sebanyak 26,07 juta usaha, dan usaha menengah dan usaha besar (UMB) sebanyak 348,57 ribu usaha.

Peran UMK dalam perekonomian Indonesia telah sering diakui oleh Pemerintah, dan berbagai kajian para ahli pun memberi konfirmasi. Kontribusi terbesar UMK adalah pada penyerapan tenaga kerja, yang berdasar Sensus Ekonomi 2016 Lanjutan mencapai 59,27 juta orang. Wajar jika tiap era pemerintahan mengeluarkan berbagai kebijakan yang bermaksud membantu dan mendorong perkembangan UMK.

Salah satu kebijakan terkait itu yang menonjol adalah program Kredit Usaha Rakyat (KUR), yang telah dimulai oleh Pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. KUR dinilai berhasil oleh banyak pihak, dan bahkan diakui berbagai forum internasional mengenai implementasi keuangan inklusif, dan akan diadopsi menjadi praktik terbaik penanggulangan kemiskinan di beberapa negara berkembang. Capaian KUR secara data agregat memang luar biasa. Penyaluran sejak diluncurkan Nopember 2007 hingga Nopember 2014 mencapai Rp 175 triliun, dengan baki debet (outstanding) kredit sekitar Rp 50 triliun, menjangkau lebih dari 12 juta unit UMKM.

Kesuksesan KUR diakui juga oleh Pemerintahan Presiden Jokowi, yang menjadikannya sebagai program andalan untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. KUR diharapkan akan bisa memperkuat pelaku usaha mikro, kecil dan menengah, dengan cara mempermudah akses permodalan yang murah. KUR era Jokowi merupakan perbaikan signifikan atas era sebelumnya. Dari hanya subsidi pemberian jaminan kredit, digandakan dengan subsidi bunga. Skema terus diperbaiki dengan menambah lebih banyak subsidi bagi masing-masing peminjam maupun total yang disediakan. Realiasasi penyaluran KUR dilaporkan terus meningkat pesat, baik dari sisi nilai kredit maupun jangkauan penerimanya. Pada tahun 2018 dilaporkan telah disalurkan kredit dengan skema KUR sekitar Rp120 triliun dengan 4,44 juta orang debitur.

KUR tampaknya memang sedikit membantu UMK, terutama dalam hal menurunkan biaya modal, karena bunga nya yang tersubsidi. Cukup banyak pula UMK yang baru memperoleh kredit, setelah sebelumnya tidak bisa mengakses kredit perbankan. Akan tetapi klaim keberhasilan tereliminasi oleh berbagai fakta lain. Data porsi dan pertumbuhan nilai kredit UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah) ternyata tidak mengalami peningkatan berarti. Porsi kredit UMKM justeru turun dan kemudian relatif stagnan pada periode 2015 hingga tahun 2018, menjadi kembali di bawah 20%. Pada kurun tahun 2011-2013, laju kredit UMKM lebih cepat dari yang nonUMKM. Sejak tahun 2015, ada kecenderungan laju pertumbuhan kredit non UMKM yang lebih tinggi daripada yang khusus UMKM, atau setidaknya hanya tumbuh dengan kecepatan setara.


Perkembangan jumlah rekening kredit UMKM pun tidak terjadi peningkatan yang signifikan, dalam arti dampak KUR tak terlampau besar. Pada saat KUR tahun 2018 dikucurkan pada sekitar 4,44 juta debitur, statistik tentang kredit UMKM hanya menunjukkan penambahan 382 ribu rekening. Jumlah rekening kredit usaha mikro memang meningkat cukup pesat, namun diimbangi dengan stagnasi atau penurunan pada kredit usaha kecil dan usaha menengah. Ada indikasi kuat terjadinya perpindahan status nasabah, dari kredit kecil dan menengah ke kredit mikro. Bahkan dari yang dulunya nonUMKM, menjadi kredit UMKM. Meski secara teknis, KUR mensyaratkan tidak sedang memperoleh kredit lainnya, namun hal itu mudah disiasasti. Tekanan agar petugas bank meningkatkan jangkauan KUR sering mengurangi dampak positif yang diharapkan dalam hal jangkauan program.  


Kondisi makin tidak menggembirakan jika dilihat nilai kredit yang diterima oleh usaha mikro dan usaha kecil hanya separuh dari UMKM. Separuhnya lagi diterima oleh usaha menengah yang tetap dicatat sebagai UMKM.

Persoalan lain dari usaha mikro dan usaha kecil adalah kecepatannya untuk berganti jenis atau sektor usaha, namun tetap dalam skala yang mikro atau kecil. Upaya mengembangkan UMK bukan berarti selalu menambah jumlah usahanya, melainkan bagaimana memperbaiki kondisi usaha dan kondisi hidup para pelakunya. Sebagai contoh informasi data yang memberi indikasi bahwa hasil yang diperoleh oleh usaha mikro secara rata-rata masih dibawah upah pekerja atau buruh. Usaha mikro dalam data ini diwakili oleh status berusaha sendiri.


Keberhasilan kebijakan yang mendorong perkembangan UMK mustinya tercermin pula dalam peningkatkan skala usahanya secara umum. Misalnya, terjadi peningkatan cukup banyak usaha kecil menjadi usaha menengah. Data BPS yang dapat dijadikan indikasi menunjukkan bahwa tak terjadi perubahan signifikan dalam hal itu. Jumlah UMK hasil sensus ekonomi 2016 meningkat lebih pesat dibanding UMB meningkatporsi, bias dengan membandingkan sensus ekonomi 2006 dengan 2016. Diperkuat pula oleh data BPS tentang ketenagakerjaan tentang pekerja berstatus usaha dibantu buruh tetap yang mencerminkan UMB justeru menurun persentasinya.


Persoalan terakhir, namun paling mendasar dari kondisi dunia usaha Indonesia adalah dominasi sekelompok pelaku usaha yang makin membesar, hingga dapat disebut fenomena oligarki ekonomi. Oligarki ekonomi tersebut tumbuh dalam proses puluhan tahun, yang antara lain memanfaatkan relasi erat pelaku usaha dengan pelaku politik yang berkuasa. Antara lain tercermin dari informasi bahwa Indonesia menempati urutan ketujuh dalam indeks Kapitalisme Kroni 2017 versi The Economist. Hal itu didukung antara lain oleh fakta-fakta berikut: Lonjakan kekayaan para miliarder yang mempunyai hubungan erat dengan penguasa politik; Beberapa industri besar cenderung mengandalkan rente; Praktik kartel, monopoli dan lobi-lobi bisnis menjadi cara  yang diduga sering dilakukan pengusaha dengan melibatkan aparat negara. Dapat ditambahkan bahwa sektor bisnis yang rentan terjadinya kartel antara lain di sektor telekomunikasi, industri berbasis sumber daya alam, real estate, konstruksi dan pertahanan.

Dari keseluruhan uraian di atas, iklim investasi di Indonesia tidak bisa dikatakan buruk atau tidak sehat, namun juga belum dapat dikatakan baik. Kebijakan investasi tampaknya belum menyeluruh dan mempertimbangkan hal-hal yang bersifat jangka panjang dan fundamental. Daya saing memang sedikit membaiki, namun lebih karena tingginya return dan kedisiplinan Indonesia dalam membayar utang dan kewajiban lainnya, serta stabilitas politik yang cukup baik. Beberapa hal yang mendasar belum cukup memadai ditangani, seperti: soal ketenagakerjaan, kepastian usaha, porsi peran BUMN, daftar negatif investasi, dan kebijakan atas UMK.
Bersambung

Selasa, 16 April 2019

FUNDAMENTAL EKONOMI YANG RAPUH (bagian 8)


Masalah Kemiskinan dan Ketimpangan Belum Teratasi
Suatu perekonomian yang berfundamental kuat dapat dipastikan memiliki ciri telah mampu mengatasi masalah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Jumlah penduduk miskin dan angka kemiskinannya telah cukup rendah, dan cenderung turun tiap tahun. Ketimpangan ekonomi tidak terlampau besar, tidak ada kecenderungan meneningkat. Secara lebih khusus, porsi pendapatan atau pengeluaran dari kelompok terbawah relatif meningkat, sekurangnya tidak mengecil.   

Pemerintah era Jokowi mengklaim memiliki prestasi luar biasa dengan mengedepankan data penurunan angka kemiskinan dan menyebut bahwa pertama kalinya mencapai angka satu digit. Sedangkan klaim tentang penurunan ketimpangan ekonomi dilakukan dengan mengemukakan  indeks gini yang turun. Klaim tersebut perlu diuji dengan pencermatan lebih teliti atas data atau rincian data, serta melihatnya dalam horison waktu yang lebih panjang, untuk melakukan asesmen atas fundamental ekonomi.

Sebelumnya, perlu diketahui bahwa tingkat kemiskinan adalah salah satu indikator yang dinilai penting dan ditetapkan sebagai target dalam tiap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). RPJMN yang berkurun waktu 5 tahun ditetapkan pada awal era masing-masing pemerintahan. Faktanya kemudian, tingkat kemiskinan tidak pernah tercapai pada tiga RPJMN dari tiga periode Pemerintahan terakhir. RPJMN menargetkan 8,2% pada tahun 2009, realisasinya 14,2% atau selisih kurang sebesar 5,0%. RPJMN menargetkan 9,0% pada tahun 2014, realisasinya 11,0% atau selisih kurang sebesar 2,0%. RPJMN menargetkan 7,5% pada tahun 2019, realisasi diprakirakan di kisaran 9,5%, atau selisih kurang sebesar 2%.



Angka kemiskinan di Indonesia amat rentan meningkat dalam waktu singkat, jika terjadi krisis ekonomi. Hanya butuh waktu dua tahun, 1996-1998, angka kemiskinan naik 12%, dan butuh waktu 15 tahun, 1999-2014, untuk kembali ke angka kemiskinan tahun 1996. Jika dilihat dari jumlah orangnya, penduduk miskin pada September tahun 2018 sebanyak 25,67 juta orang, masih lebih besar dibanding tahun 1996 yang sebanyak 22,5 juta orang. Menteri Bambang Brodjonegoro bahkan mengingatkan jumlah penduduk miskin itu jelas masih sangat besar, dan sama dengan jumlah penduduk Australia.

Publik umumnya hanya mengetahui tentang angka atau tingkat kemiskinan (%) dan jumlah penduduk miskin, yang diukur dengan Garis Kemiskinan (GK). Mereka yang berada dibawah garis disebut miskin, dan yang diatasnya tidak miskin. Sebenarnya, BPS juga menghitung dan mengelompokan penduduk menjadi lima kelompok penduduk berdasar garis kemiskinan. Hanya data ini tidak dipublikasi melalui berita resmi statistik, melainkan dalam buku analisa tentang kemiskinan yang terdiri dari banyak aspek. Data yang dipublikasi luas biasanya hanya untuk kondisi Maret saja (publikasi Desember), karena sampel Susenas yang jauh lebih banyak dibanding kondisi September.

Pengelompokannya adalah sebagai berikut: Sangat Miskin, Miskin, Hampir Miskin, Rentan Miskin Lainnya, dan Tidak Miskin. Dua kelompok terbawah, yaitu sangat miskin dan miskin itu sama dengan kategori miskin dalam publikasi yang popular. Sedangkan tiga kelompok lainnya masuk kategori tidak miskin. Keempat kelompok yang disebut dengan tambahan istilah miskin itu menurut Tim Nasional Percepatan Penanggulanan Kemiskinan (TNP2K) memiliki banyak kesamaan ciri dalam kehidupan sehari-hari, dan cukup sulit dibedakan. Program perlindungan sosial atau penanganan kemiskinan dari Pemerintah pun umumnya menyasar keempat kelompok itu, tidak hanya yang berkategori miskin saja. Jumlah mereka pada Maret 2018 adalah sebesar 90,22 juta orang atau 34,15% dari total penduduk Indonesia.

Sebagai contoh selama periode Maret 2014 hingga Maret 2018 terjadi penurunan tingkat kemiskinan dan berkurangnya jumlah penduduk miskin, dalam kategori hanya dibawah garis kemiskinan. Akan tetapi terjadi peningkatan persentasi dan jumlah penduduk yang sangat miskin, yang memakai ukuran kurang dari 0,8 garis kemiskinan. Penduduk sangat miskin bertambah dari 8.826 ribu menjadi 9.438 ribu orang, dan naik dari 3,57% menjadi 3,57% dari total penduduk. Dan khusus di perdesaan, mereka yang sangat miskin bertambah dari 5.833 ribu menjadi 6.018 ribu orang, dan secara persentasi dari 4,65% menjadi 5,17%.


BPS juga menghitung tingkat kedalaman kemiskinan, yaitu rata-rata pengeluaran penduduk miskin dari garis kemiskinan, yang disebut indeks kedalaman kemiskinan (P1). Makin tinggi nilai P1, berarti makin jauh rata-rata pengeluaran dari garis kemiskinan. P1 nasional hanya sedikit berkurang, bahkan sempat mengalami kenaikan dalam beberapa tahun. P1 nasional pada September 2014 sebesar 1,75 yang memang turun menjadi 1,63 pada September 2018, namun sempat naik. Bahkan, P1 perdesaan justeru memburuk, dari 2,25 menjadi 2,32, dan tidak pernah berada di bawah P1 per September 2014. Artinya rata-rata pengeluaran penduduk miskin di perdesaan makin jauh lebih kecil (dibawah) dari garis kemiskinannya.


BPS menghitung dan menyajikan data tentang distribusi diantara penduduk miskin itu sendiri dengan memakai Indeks Keparahan Kemiskinan (P2). Semakin tinggi nilai indeks (P2), semakin terjadi ketimpangan antar mereka. Selama era pemerintahan Presiden Jokowi, P2 hanya sedikit berkurang, bahkan sempat mengalami kenaikan dalam beberapa tahun. P2 nasional pada September 2014 sebesar 0,44 turun sedikit menjadi 0,41 pada September 2018, namun sempat naik. Bahkan P2 perdesaan justeru memburuk, dari 0,57 menjadi 0,62, dan tidak pernah berada di bawah P2 per September 2014. Hal ini memperkuat fakta sebelumnya tentang bertambahnya penduduk sangat miskin di perdesaan.


Sebagaimana umum difahami, distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan yang diakui penting dilihat sebagai ukuran kemiskinan relatif atau ukuran ketimpangan antar kelompok penduduk. BPS masih kesulitan memperoleh data pendapatan sehingga pengukuran distribusi pendapatan didekati memakai data pengeluaran. Perhitungan BPS tentang hal ini yang populer dan dikedepankan oleh Pemerintah adalah indeks Gini atau Gini Ratio. Sebenarnya, BPS menghitung dan mempublikasikan beberapa ukuran ketimpangan lainnya, seperti: Indeks Theil, Indeks-L, kriteria Bank Dunia, dan rasio kuintil tertinggi dengan terendah.

Indeks-L adalah indikator ketimpangan pengeluaran yang lebih sensitif untuk melihat perubahan distribusi pengeluaran penduduk pada kelompok bawah (penduduk miskin). Lebih sensitif itu maksudnya, perubahan porsi pada kelompok bawah lebih berdampak pada besaran angka indikator. Sebagai perbandingan, gini ratio lebih sensitif pada kelompok tengah. Indeks-L juga dibaca makin timpang jika makin besar. Indeks-L pada 2018 di perdesaan justeru sedikit meningkat, dari 0,165 menjadi 0,173.

BPS juga menghitung dan mempublikasikan distribusi pengeluaran penduduk menurut kriteria Bank Dunia. Antara lain, dihitung berapa porsi dari 40% kelompok terbawah dari total pengeluaran penduduk. Berdasar ukuran ini, kondisi ketimpangan di perdesaan masih memburuk. Porsi 40% penduduk terbawah di perdesaan berkurang dari 20,94% (2014) menjadi 20,15% (2018).

Indikator lainnya dari BPS tentang ketimpangan adalah melihat porsi kuintil terbawah dan rasio dari kuintil teratas dibanding yang terbawah. Basis datanya serupa dengan kriteria Bank Dunia dari BPS. Penduduk dibagi menjadi lima kelompok pengeluaran (satu kuintil sama dengan 20% penduduk), mulai dari kuintil terendah (Q1) sampai dengan kuintil tertinggi (Q5). Jika rasio dari Q5/Q1 makin besar berarti ketimpangan pendapatan/pengeluaran semakin tinggi.

Sebagai contoh perhitungan kondisi Maret 2018 di perdesaan, Q1 memiliki porsi 7,98% dari total pengeluaran, sedangkan Q5 memiliki porsi 40,26%. Rasio Q5 dibagi Q1 adalah 5,05. Dapat dibaca, 20% penduduk teratas memiliki pengeluaran 5,05 kali lipat dari 20% yang terbawah. Kondisi itu lebih buruk dibanding Maret 2014, porsi Q1 sebesar 8,70%. Jatah mereka yang terbawah makin tergerus. Sedangkan rasio Q5/Q1 mengalami kenaikan, dari 4,67(2014), atau ketimpangan di perdesaan meningkat.

Dengan demikian, selama periode 2014 hingga 2018, sebagian ukuran tentang kemiskinan dan ketimpangan di perdesaan memang membaik. Namun, sebagian besar ukuran lainnya justeru memburuk. Bisa dikatakan bahwa secara umum, kemiskinan dan ketimpangan belum membaik secara signifikan dan masih menjadi soalan penting ekonomi Indonesia.

Sementara itu, ketimpangan antar wilayah (kepulauan) juga belum tampak ada perbaikan yang signifikan selama hampir satu dekade. Pemerintahan era Jokowi yang berulang kali menyebut hal tersebut menjadi prioritas pembangunan, kurang berhasil menampakkannya dalam distribusi porsi PDB (pendapatan nasional). Pulau Jawa pada tahun 2014 memiliki porsi 57,39% justeru meningkat menjadi 58,48% pada tahun 2018. Perubahan distribusi adalah hanya antar kepulauan lainnya.


Sebenarnya, semua era Pemerintahan telah mengatakan komitmen untuk mengurangi angka kemiskinan dan jumlah penduduk miskin, serta akan mengurangi tingkat ketimpangan. Komitmen itu antara lain ditindaklanjuti dengan cukup besarnya alokasi anggaran untuk program perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan. Jika dilihat besaran alokasi anggaran dengan hasilnya pada berbagai indicator yang kita bahas di atas, jelas ada indikasi tentang kurang efektifnya program dan kebijakan.  Dapat pula berarti kebijakan tersebut dilaksanakan dan memiliki dampak positif, namun dinamika perekonomian secara umum mereduksinya, karena terjadi pula proses pemiskinan dari dinamika itu.  


Kesimpulan umum dalam bahasan bagian tulisan ini adalah fundamental ekonomi Indonesia tidak dapat dikatakan kuat, bahkan cenderung rapuh. Masalah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi masih bersifat laten, dan dapat memburuk sewaktu-waktu.

Sabtu, 13 April 2019

FUNDAMENTAL EKONOMI YANG RAPUH (bagian 7)


Ketahanan Pangan yang Rentan dan Produksi Tanaman Perkebunan yang Stagnan
Perekonomian yang makin berkembang umumnya ditandai porsi sektor pertanian dalam jangka panjang yang menurun, namun nilai tambahnya tetap meningkat. Sebagaimana dibahas pada bagian dua, fenomena penurunan porsinya terjadi di Indonesia, karena laju sektor industri pengolahan dan beberapa sektor lain yang lebih cepat dari sektor pertanian. Akan tetapi, laju pertumbuhan nilai tambah sektor pertanian terbilang tidak pesat, hampir selalu di kisaran 3 persen per tahun. Sementara itu, jumlah pekerja di sector pertanian cenderung tidak berkurang, sehingga tak terjadi peningkatan produkitifitas yang berarti.

Salah satu perhatian utama dalam asesmen fundamental ekonomi adalah kinerja sektor pertanian, terutama dalam konteks menjamin kecukupan pangan seluruh rakyat. Ada berbagai istilah lain yang biasa mengemuka dalam diskusi, seperti: ketahanan pangan, kemandirian pangan dan kedaulatan pangan. Selain berkenaan dengan kecukupan, wacana itu berhubungan dengan tingkat ketergantungan pada pihak asing, serta pengaruhnya jika terjadi keguncangan pada pasar global. Pangan dimaksud mencakup pula hasil peternakan seperti daging dan susu.

Ketahanan Pangan menurut undang-undang tentang pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Sedangkan kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri dalam menentukan kebijakan pangan yang dapat menjamin hak atas pangan bagi rakyat, serta  memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.

Bagian terpenting dari kemandirian pangan adalah kemampuan memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup bagi tiap rakyat. Keragaman produksi perlu ditekankan agar tak bias hanya soalan beras saja. Uraian berikut meninjau sekilas perkembangan produksi dan konsumsi pangan di Indonesia selama sekitar satu dua dekade terakhir.

Produksi beras meningkat dari tahun ke tahun, namun diimbangi oleh konsumsi yang besar. Indonesia tercatat sebagai salah satu negara penghasil beras terbesar di dunia. Secara umum, produksi melebihi konsumsi, sehingga ada surplus beras. Namun surplus yang tidak terlalu besar disertai masalah distribusi dan ketersediaan antar waktu (bulanan), maka keran impor tetap dibuka oleh pemerintah. Realisasi impor juga kadang mendapat tambahan argumen tentang kebutuhan beras berkualitas premium yang masih belum mencukupi.

Indonesia selalu impor beras sejak tahun 2000. Pada periode 2000-2018, impor beras mencapai puncaknya pada tahun 2011, yaitu mencapai 2,75 juta ton. Jumlah impor setelahnya lebih sedikit, namun kembali meningkat pesat pada tahun 2018 yang mencapai 2,25 juta ton.

Produksi tanaman pangan yang mengalami peningkatan signifikan dalam dua dekade ini adalah jagung. Produksinya juga diimbangi oleh konsumsi yang tinggi, antara lain karena dipakai amat banyak oleh subsektor lain seperti peternakan.


Kecenderungan penurunan, stagnasi atau peningkatan yang tidak signifikan terjadi pada produksi tanaman pangan penting lainnya, seperti: ubi jalar, ubi kayu, kacang tanah, dan kedelai. Produksi Ubi Kayu selama era 2014-2018 turun dari 23,44 juta ton menjadi 19,34 juta ton. Produksi Ubi Jalar selama era 2014-2018 turun dari 2,38 juta ton menjadi 1,91 juta ton. Produksi Kedelai selama era 2014-2018 mengalami sedikit kenaikan dari 954.997 ton menjadi 982.598 ton. Pada tahun 1993, produksinya telah mencapai hampir dua kali lipatnya, yaitu 1,71 juta ton. Produksi Kacang Hijau selama era 2014-2108 turun dari 244.589 ton menjadi 234.718 ton. Jauh dibawah produksi tahun 1998, 2003 dan 2011.


Produksi daging secara umum dapat meningkat, namun tidak terlampau pesat. Peningkatan pesat hanya terjadi pada ayam ras pedaging, yang mencapai 2,14 ton pada tahun 2018. Produksi daging dari ayam ras petelur stagnan di kisaran 115 ton, dan daging ayam bukan ras di kisaran 300 ton. Sementara itu, produksi daging sapi dan daging kambing berfluktuasi, namun tidak tampak peningkatan yang berarti selama 15 tahun terakhir. Sempat mengalami kenaikan produksi daging sapi dari tahun 2007 sampai mengalami puncaknya sebanyak 509 ton tahun 2012. Setelah itu terjadi stagnasi atau penurunan perlahan dan pada tahun 2018 hanya sebesar 496 ton. Produksi daging kambing bahkan stagnan di kisaran 64-67 ton tiap tahun, setelah sempat mencapai 74 ton pada tahun 2009.


Produksi susu segar sempat mengalami kenaikan yang cukup signifikan selama periode tahun 2007 hingga tahun 2012, namun kembali turun pada tahun-tahun berikutnya. Produksi cenderung stagnan dalam tiga tahun terakhir di kisaran 900 ton.


Sifat produksi komoditas pangan yang musiman dan berfluktuasi karena sangat dipengaruhi oleh iklim masih amat memperngaruhi ketersediaan pangan nasional. Beberapa karakteristik komoditi pangan juga cenderung mengurangi ketersedian, seperti: mudah rusak, lahan produksi petani yang terbatas, sarana dan prasarana pendukung pertanian yang kurang memadai, lemahnya penanganan panen dan pasca panen. Begitu pula dengan soalan distribusi dan tata niaga yang masih kurang mendukung stok atau persediaan yang optimal. Akibatnya ada pula gejala substitusi pangan pokok dari pangan lokal ke bahan pangan impor.

Dalam konteks fundamental ekonomi, kebijaksanaan pangan nasional harusnya mampu menjaga kesimbangan antara aspek penawaran dan permintaan. Dalam hal penawaran, kebijakan yang mendorong peningkatan produksi dan produktifitas menjadi sangat penting. Soalan menjadi lebih penting jika dikaitkan dengan kecukupan gizi, terutama yang menjamin kecukupan bagi anak-anak dan generasi muda, serta harga yang terjangkau bagi lapisan masyarakat terbawah.

Beberapa informasi produksi tanaman perkebunan, meski tak dikategorikan sebagai pangan, perlu dilihat pula. Selain merupakan komoditas konsumsi utama dari rakyat, juga untuk mengukur perkembangan sektor pertanian secara umum, dan potensi pengembangan ekspor pada khususnya.  

Produksi kopi cenderung stagnan selama 15 tahun terakhir, bahkan produksi tahun 2017 masih lebih rendah dibanding tahun 2002. Produksi kakao sedikit berfluktuasi, namun produksi tahun 2017 masih lebih rendah dibanding tahun 2003. Padahal kopi dan coklat adalah komoditas yang permintaan domestik maupun luar negerinya terbilang amat besar. Produksi teh Indonesia mengalami stagnasi selama dua dekade, dan bahkan cenderung sedikit menurun. Volume dan nilai ekspornya pun cenderung mengalami penurunan. Produksi tembakau lebih berfluktuasi, namun dengan kecenderungan yang juga tidak meningkat. Meskipun sempat mencapai puncaknya pada tahun 2012, produksi tembakau tahun 2017 lebih rendah dibanding tahun 1990. Indonesia mengabaikan potensi produksi dan juga ekspor berbagai komoditas perkebunan yang memiliki sejarah panjang sejak era kolonial. 


Sementara itu, produksi produksi tebu kita berfluktuasi dengan kecenderungan stagnan. Produksi tahun 2017 setara dengan tahun 1990. Padahal Indonesia adalah produsen besar sekaligus eksportir gula no 2 di dunia di era kolonial Belanda. Kini Indonesia menjadi salah satu importir gula yang amat besar.



Dari uraian di atas, fundamental ekonomi belum bisa dikatakan kuat jika dilihat dari aspek kecukupan, ketahanan dan kemandirian pangan. Produksi beberapa tanaman perkebunan yang mustinya mampu surplus besar dan dapat menjadi andalan ekspor pun belum mengalami perkembangan yang menggembirakan.
Bersambung.

Rabu, 10 April 2019

FUNDAMENTAL EKONOMI YANG RAPUH (bagian 5)


Beban Utang Pemerintah yang Makin Berat
Sri Mulyani mengatakan utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) masih di bawah 30 persen yang masih sangat rendah bila dibandingkan dengan standar internasional. Selain itu, defisit anggaran yang mencapai 1,7 persen juga disebutnya masih aman. (22 Januari 2019). Penjelasan tentang utang dan defisit APBN yang aman serta terkendali serupa ini berulang kali disampaikan kepada publik oleh para pejabat negara.

Kondisi keuangan pemerintah jelas merupakan hal fundamental dalam perekonomian nasional, antara lain karena memiliki porsi yang cukup besar dalam hal produksi, konsumsi, dan investasi. Perlu diperiksa lebih teliti kebenaran klaim pemerintah tentang keberhasilan mengendalikan defisit APBN tersebut. Bagaimana kenaikan posisi utang pemerintah selama 5-10 tahun terakhir, dan apakah memang betul-betul aman jika diproyeksikan hingga beberapa tahun ke depan. Perlu difahami bahwa posisi utang itu sendiri bukan masalah utamanya, melainkan beban pembayarannya. Perlu dicermati mengenai seberapa besar peningkatan beban pembayaran bunga utang dan cicilan utang ataupun pelunasan selama ini dan ke depannya. Apakah realisasi telah sesuai dengan perencanaan utang pemerintah dalam jangka menengah, sepertu RPJMN atau Keputusan Menteri Keuangan? Selain utang pemerintah, perlu dianalisis mengenai utang sektor publik, yang mencakup utang BUMN. Secara keseluruhan dapat digambarkan aspek fundamental dari keuangan pemerintah, yaitu seberapa kuat jaminan akan keberlanjutan atau kesinambungan fiskal dalam jangka menengah dan panjang.

Realisasi APBN selama era reformasi selalu mengalami defisit, atau jumlah nilai belanja lebih besar dibandingkan dengan pendapatan. Sejak tahun 2011, Belanja cenderung naik lebih cepat dibanding Pendapatan, sehingga defisit pun makin besar. Pada tahun 2018, defisit memang berhasil sedikit ditekan menjadi lebih kecil dibanding tahun sebelumnya. Namun, APBN 2019 merencanakan defisit yang nilainya kembali lebih besar.   

Dalam analisis, yang lebih banyak dipakai bukan nilai nominal dari defisit, melainkan rasio atau persentasenya atas Produk Domestik Bruto (PDB). PDB dianggap mewakili besaran pendapatan nasional. Defisit secara nominal mungkin saja naik pada suatu tahun dibanding tahun sebelumnya, namun tercatat turun jika dilihat dari rasionya atas PDB. Meskipun tak setajam kenaikan defisit dalam nominal dan mengalami fluktuasi, kecenderungan rasio itu tetap meningkat. Jika target APBN 2019 terpenuhi, maka rata-rata defisit era Jokowi-Jusuf Kalla (2015-2019) sebesar 2,23% dari PDB. Sedangkan pada era Era SBY-Boediono (2010-2014) sebesar 1,58%, dan era SBY-Jusuf Kalla (2005 – 2009) sebesar 0,80%.

Dengan demikian, klaim defisit dapat dikendalikan dan aman memang tidak salah jika memakai patokan yang diperkenankan oleh undang-undang, yaitu 3% dari PDB. Akan tetapi jika dilihat dari kecenderungannya yang meningkat dan hampir selalu di atas 2% selama era Presiden Jokowi, maka keuangan pemerintah tak bisa disebut sehat, dan berpotensi menyulitkan kesinambungan fiskal.


Defisit APBN saat ini seluruhnya ditutupi dengan utang. Di masa awal reformasi, sebagian defisit sempat ditutupi dengan penjualan aset negara. Oleh karena hanya dibiayai oleh utang, maka posisi utang pun terus bertambah besar. Selain untuk menutupi defisit anggaran, utang juga diperlukan untuk membiayai pengeluaran lainnya yang tidak termasuk dalam belanja. Contoh pengeluaran dimaksud antara lain adalah: investasi kepada BUMN, investasi kepada BLU, pemberian pinjaman kepada BUMN atau Pemda, dan kewajiban penjaminan. Dalam APBN saat ini dikenal istilah pembiayaan utang, yang pada prinsipnya adalah rencana tambahan utang karena defisit dan karena kebutuhan pengeluaran pembiayaan tadi. Sebagai contoh, APBN 2019 merencanakan defisit sebesar Rp 296 trilyun, sedangkan pembiayaan utangnya sebesar Rp359,28 trilyun. Pembiayaan utang merupakan rencana tambahan utang neto pada tahun bersangkutan. Disebut tambahan utang neto karena telah memperhitungkan pelunasan dan cicilan utang lama.

Perubahan posisi utang atau sisa utang (outstanding) pada akhir tahun dalam realisasi tidak sama dengan nilai pembiayaan utang, karena ada faktor lain yang juga besar, yaitu perubahan kurs rupiah. Sekitar sepertiga dari utang pemerintah berdenominasi valuta asing, yang sebagian besarnya dalam dolar Amerika. Jika terjadi pelemahan kurs rupiah, maka posisi utang yang dinyatakan dalam rupiah akan bertambah, serta sebaliknya. Sebagai contoh, posisi utang Pemerintah adalah Rp4.418,30 trilyun per 31 Desember 2018, atau bertambah Rp479,85 trilyun dibanding posisi Rp3.938,45 per 31 Desember 2017. Pembiayaan utang tahun 2018 hanya sebesar Rp366,66 trilyun.


Pemerintah sendiri saat ini masih tetap yakin dan selalu menjelaskan utangnya aman terkendali, dan bahkan diberi rating yang baik oleh berbagai lembaga pemeringkat internasional. Argumen berulang yang dikemukakan adalah porsi utang atas PDB yang masih di kisaran 30%, yang jauh dibawah  batas yang diperbolehkan oleh undang-undang sebesar 60%. Bagaimanapun, kecenderungan  kenaikan rasio utang belakangan ini bukan lah petanda baik. Setelah sempat melampaui 50% di awal era reformasi, rasio utang telah berhasil diturunkan tiap tahun. Posisi rasio terendah dicapai pada akhir tahun 2012 sebesar 22,95%. Rasio naik kembali menjadi 24,90% pada tahun 2013 dan hanya sedikit turun menjadi 24,74% pada tahun 2014. Sejak tahun 2015, rasio terus meningkat dan mencapai 29,98% pada akhir tahun 2018. Diprakirakan tahun 2019 akan melampaui 30%.




Salah satu yang jarang dianalisis adalah perkembangan posisi dan rasio utang dibandingkan dengan perencanaannya dalam jangka menengah. Hal ini penting karena menunjukkan seberapa besar faktor yang tidak atau kurang terkontrol oleh Pemerintah, yang sekaligus memberi satu indikasi tentang fundamental ekonomi. Target utang berdasar perencanaan jangka menengah yang disusun oleh pemerintah sendiri satu diantaranya adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019, yang ditetapkan melalui Perpres No.2/2015 tanggal 8 Januari 2015. “Terjaganya rasio utang pemerintah dibawah 30 persen PDB dan terus menurun yang diperkirakan menjadi 20,0 persen PDB pada tahun 2019… (Buku I RPJMN halaman 6-183). Dirinci target rasio tiap tahun pada Buku I halaman 4-16 dan Buku II halaman 3-63 sebagai berikut: 26,7% (2015), 23,3% (2016), 22,3% (2017), 21,1% (2018), dan 19,3% (2019). Realisasinya kemudian meleset amat jauh, yaitu: 27,43% (2015), 28,33% (2016), 28,98% (2017), dan 29,98% (2018).


Realisasi tersebut juga amat jauh dari target yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara dalam Kepmen No113/KMK.08/2014 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara tahun 2014-2017. Bahkan realisasi tahun 2018 masih meleset dari target yang ditetapkan setahun sebelumnya pada 27 Nopember 2017, dalam Kepmen No884/KMK.08/2017 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Jangka Menengah tahun 2018-2021.

Pemakaian rasio utang atas PDB sebagai salah satu ukuran tentang aman dan tidaknya utang pemerintah antara lain adalah memperkirakan kemampuan membayar beban utang kini dan di masa datang. Peningkatan PDB dinilai akan meningkatkan pendapatan atau kemampuan membayar utang dari pemerintah. Sebagaimana diketahui, PDB adalah salah satu konsep perhitungan pendapatan nasional. PDB dianggap mencerminkan pendapatan pemerintah, swasta dan rakyat perseorangan.

Dengan alasan serupa, mustinya diperiksa pula bagaimana perkembangan rasio antara posisi utang dengan pendapatan negara. Karena bisa saja laju peningkatan pendapatan negara tidak secepat laju pertumbuhan PDB. Pendapatan Negara memiliki hubungan langsung dan seketika dengan beban pembayaran bunga dan pelunasan utang. Kecenderungan rasionya terus menaik sejak tahun 2014, meski sedikit menurun pada tahun 2018, seiring dengan pendapatan yang melebihi target. Bagaimanapun rasio tahun 2018 masih sebesar 227,48%, artinya posisi utang sekitar 2,27 kali lipat dibandingkan dengan pendapatan negara.


Utang Pemerintah menimbulkan biaya dari sisi anggaran pemerintah, baik biaya perolehan maupun biaya selama proses pembayaran cicilan atau pelunasannya. Biaya terbesar dari utang adalah bunga utang. Bunga utang dianggap wajar sebagai biaya dalam perekonomian modern terkait dengan nilai sekarang (present value) dan biaya atas kesempatan yang hilang (opportunity) dari modal yang dipinjamkan. Secara teknis, bunga antara lain berwujud: bunga (interest) untuk pinjaman luar negeri dan kupon (coupon) untuk Surat Berharga Negara.

Ada pula biaya lain yang terkait dengan pengadaan pinjaman luar negeri, seperti: commitment fee, management fee, dan premi asuransi. Bahkan ada denda jika tidak jadi dicairkan, padahal sudah disepakati dalam perjanjian tertulis. Secara bahasa awam, biaya itu antara lain adalah: ongkos untuk perundingan, proses pencairan, pengawasan dan ongkos pembatalan, keterlambatan pencairan, denda, dan lain sebagainya. Sedangkan untuk surat utang atau Surat Berharga Negara (SBN), biaya riil bukan sekadar kupon, melainkan terkait dengan imbal hasil (yield) yang diperoleh investor atau pembelinya. Imbal hasil SBN merupakan keuntungan bagi investor sesudah memperhitungkan besarnya kupon dan harga pasar. Pemerintah juga harus mengeluarkan beberapa biaya terkait dengan proses penerbitan dan distribusi SBN.

Dalam pencatatan dan publikasi APBN, keseluruhan biaya utang dianggap merupakan pembayaran bunga utang. Pos pembayaran bunga utang luar negeri telah memperhitungkan semua jenis biayanya. Pos pembayaran bunga dalam negeri telah mencakup perhitungan imbal hasil neto dan biaya lainnya dari SBN. Biaya yang dikeluarkan dalam hal SBN Syariah, meskipun mekanismenya tidak dengan perhitungan bunga, pembayaran riil nya dicatat pula dalam pos ini.

Pembayaran bunga utang terus meningkat sejak tahun 2011, setelah sebelumnya mengalami fluktuasi. Bahkan nilai kenaikannya pun turut meningkat. APBN 2019 merencanakan kenaikan yang lebih kecil, namun nilai pembayaran bunga utangnya tetap naik, yaitu sebesar Rp275,89 trilyun.


Sebagaimana diketahui, pembayaran cicilan atau pelunasan utang tidak dicatat sebagai belanja, melainkan sebagai pengeluaran pembiayaan. APBN 2019 merencanakannya sebesar Rp474,68 trilyun. Jika dijumlahkan antara pelunasan dengan bunga, maka total keduanya sebesar Rp750,57 trilyun. Di sisi lain, pendapatan negara ditargetkan sebesar Rp2.165,1 trilyun.  Berarti rasio antara pelunasan dan bunga utang berbanding pendapatan sebesar 34,67%, atau lebih dari sepertiganya, serta tertinggi sejak tahun 2004.


Dalam kaitannya dengan fundamental ekonomi, selain utang pemerintah, perlu pula dianalisis mengenai utang sektor publik. Utang sektor publik adalah utang pemerintah ditambah dengan utang Bank Indonesia dan utang BUMN. Utang sektor publik terus meningkat dan mencapai Rp9.371,94 triliun pada akhir tahun 2018. Jika dilihat rasionya atas PDB telah mencapai 63,60%. Rasio tertinggi selama era reformasi, dan telah dua tahun melampaui 60%.



Pemerintah saat ini berusaha menjelaskan bahwa sebagian besar yang dicatat sebagai utang BUMN adalah Dana Pihak Ketiga (DPK) Bank BUMN. DPK itu merupakan simpanan masyarakat yang terdiri dari tabungan, deposito dan giro. Namun, jika dilihat perkembangan utang yang dipisah dengan DPK bank BUMN, tampak bahwa pertumbuhan yang pesat tetap saja utang nonDPK. DPK tahun 2018 hanya naik dari Rp3.207 T menjadi Rp3.219 T atau sebesar 0,37%. Utang nonDPK naik dari Rp1.623 T menjadi Rp2.394 T atau sebesar 47,5%.

Dari ulasan di atas, kondisi keuangan pemerintah dalam perspektif asesmen fundamental ekonomi adalah tentang seberapa kuat jaminan akan keberlanjutan atau kesinambungan fiskal dalam jangka menengah dan panjang. Meski mungkin masih aman dalam satu dua tahun ke depan, dalam hal ini tampak indikasi pelemahan fundamental ekonomi Indonesia.
Bersambung. 

Sabtu, 06 April 2019

FUNDAMENTAL EKONOMI YANG RAPUH (bagian 4)


Perekonomian yang Rentan atas Guncangan Eksternal
“Kondisi perekonomian Indonesia jauh lebih baik dibanding 20 tahun lalu. Reformasi kebijakan yang telah dilakukan di sektor perbankan, moneter, dan kelembagaan, pascakrisis 1997-1998 telah memperkuat ketahanan ekonomi Indonesia. Hal tersebut menyebabkan kondisi fundamental Indonesia menjadi lebih tahan terhadap guncangan eksternal," kata Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo (4/10/2018). Cukup jelas bahwa ukuran kekuatan fundamental ekonomi menurut beliau adalah daya tahan atas guncangan eksternal.

Tidak perlu menunggu datangnya guncangan eksternal yang besar, kita musti menakar diri terlebih dahulu dalam kaitannya dengan itu. Tidak akan memadai jika mengklaim sebagai kuat, jika yang dihadapi baru guncangan eksternal yang relatif kecil, seperti ketidakpastian ekonomi global atau kebijakan the Fed satu dua kali saja.

Hal-hal berikut akan menggambarkan seberapa kuat fundamental ekonomi dalam menghadapi guncangan eksternal jika terjadi. Bagaimana kondisi defisit Transaksi Berjalan selama beberapa tahun terakhir? Seberapa kuat struktur ekspor? Apakah surplus dan defisit neraca perdagangan barang lebih karena faktor eksternal atau kemampuan produksi domestik? Apakah komponen impor dalam ekspor industri pengolahan meningkat atau menurun? Seberapa besar tekanan dari defisit neraca pendapatan primer (keuntungan investasi, bunga utang, dan lainnya) saat ini dan proyeksi ke depannya? Apakah terjadi peningkatan ketergantungan pada arus masuk investor asing dalam investasi portofolio makin besar, serta kepada makin sedikit pihak? Seberapa sensitif perekonomian nasional terhadap kondisi dan kebijakan negara maju? Seberapa rawan kemungkinan terjadinya sudden reversal kini dan tahun-tahun mendatang?

Bagian tulisan ini hanya akan membahas sebagiannya saja. Salah satu yang paling mendasar adalah kondisi Transaksi berjalan (Current Acount). Transaksi Berjalan merupakan catatan keluar masuknya devisa akibat perdagangan (transaksi) barang dan jasa. Ada empat bagian cakupan, yang sebetulnya juga berbentuk neraca, yaitu: 1. Barang (Goods); 2. Jasa-Jasa (Services); 3. Pendapatan Primer (Primary Income); dan 4. Pendapatan Sekunder (Secondary Income). Secara keseluruhan, Transaksi Berjalan selama kurun tahun 2004 - 2011 selalu surplus, dengan nilai berfluktuasi. Sejak tahun 2012, selalu mengalami defisit hingga mencapai rekor pada tahun 2018 sebesar USD31,06 miliar.


Bank Indonesia menilai kondisi yang demikian masih aman dan terkendali, namun pihak lain bisa saja mengartikan sebaliknya. Pandangan yang umum tentang ciri kuatnya ketahanan eksternal adalah kecenderungan transaksi berjalan yang mengalami surplus. Kecenderungan adalah kondisi sekitar 5 tahun atau lebih. Alasannya, surplus neraca yang menambah devisa itu perlu bersumber dari kesinambungan produksi, bukan dari sesuatu yang menimbulkan kewajiban untuk dibayar seperti utang atau penanaman modal asing. Terjaganya kecukupan devisa harus berasal dari sumber-sumber yang fundamental, karena produksi barang dan jasa. Wajar jika selama beberapa triwulan atau satu-dua tahun mengalami defisit, sebagai bagian dari dinamika pasar. Namun, hal ini telah berlangsung selama 7 tahun berturut-turut dengan kecenderungan defisit yang membesar. Lebih mungkin untuk mengatakan ketahanan eksternal kita sebagai rawan atau rentan.

Neraca Barang mencakup transaksi ekspor dan impor barang dagangan umum, baik komoditas migas maupun nonmigas. Neraca barang selama periode tahun 2004 sampai dengan tahun 2017 selalu mencatatkan surplus. Nilainya sempat cenderung meningkat pada tahun 2013 – 2017, meski masih jauh lebih rendah dibandingkan kurun 2004 - 2011. Jika dicermati, kenaikan ekspor memang tidak pesat dan cenderung tak stabil. Surplus neraca barang terjadi lebih dikarenakan laju pertumbuhan impor yang lebih rendah. Dan untuk pertama kalinya mengalami defisit pada tahun 2018, sebesar USD431 juta.

Masalah yang bersifat fundamental dalam neraca barang memang bukan soal surplus atau defisitnya, melainkan fakta bahwa struktur ekspor masih kurang kokoh. Baik dilihat dari aspek komoditas maupun negara tujuan. Kelompok barang yang berasal dari ekstrasi hasil alam dan yang hanya sedikit diolah masih memiliki porsi cukup besar. Selain bernilai tambah tidak maksimal, harga komoditasnya pun amat fluktuatif, dan Indonesia bukan penentu harga. Barang ekspor yang berasal dari industri pengolahan juga masih memiliki konten impor dalam porsi besar. Secara keseluruhan, ragam barang ekspor masih kurang bervariasi, dan komoditas unggulan bersifat kurang menentukan dalam pasar internasional. Sedangkan dalam hal tujuan negara ekspor, sebaran negara masih kurang tersebar luas, dan porsi beberapa negara tampak terlampau besar.    


Neraca jasa-jasa antara lain mencakup ekspor dan impor jasa manufaktur, jasa pemeliharaan dan perbaikan, jasa transportasi, jasa perjalanan, jasa konstruksi, jasa asuransi, jasa keuangan, dan lain-lain. Neraca ini selalu mengalami defisit, dengan nilai berfluktuasi, terutama karena pembayaran freight terkait ekspor dan impor barang. Ketergantungan pada jasa transportasi negara lain sudah lama berlangsung. Begitu pula dengan jasa lainnya yang berterkaitan, seperti asuransi. Kita hanya mengalami surplus dalam hal jasa perjalanan, karena wisman yang berkunjung jauh lebih banyak dibanding orang kita yang bepergian ke luar negeri. Defisitnya pada tahun 2018 sebesar USD7,10 miliar. Dilihat dari aspek fundamental, ketergantungan pada jasa asing masih terus berlangsung.




Transaksi pendapatan primer yang bersifat outflow antara lain adalah: keuntungan dari investasi langsung asing, pembayaran bunga surat utang pemerintah, dan pembayaran bunga pinjaman luar negeri. Nilai yang berupa pembayaran ke pihak asing cenderung terus meningkat, dan mencapai USD39,58 miliar pada tahun 2018. Kecenderungan naik terutama sebagai konsekwensi dari transaksi finansial yang selalu surplus, akibat arus modal finansial asing (termasuk utang) yang terus masuk ke Indonesia. Arus masuk memang memperbaiki neraca pembayaran dan menambah cadangan devisa pada tahun bersangkutan.  Namun, kompensasinya akan berupa pembayaran pada bagian neraca Pendapatan Primer pada waktu berikutnya.

Publik telah mengetahui bahwa ekonomi Indonesia menerima arus masuk modal dari luar, baik berupa investasi langsung, investasi portofolio, atau transaksi keuangan lainnya. Otoritas ekonomi sering membanggakan hal ini sebagai indikasi kredibelnya ekonomi nasional. Bukankah tak mungkin pihak lain mau berinvestasi atau memberi utang jika tak yakin akan ada hasil kembalian (return) berupa keuntungan dan pembayaran bunga utang. Namun, dalam jangka menengah dan Panjang musti dipertimbangkan apakah “kemampuan membayar” atas itu meningkat sepadan, bahkan lebih besar. Sebagai suatu negara (bukan hanya Pemerintah), transaksi berutang dan kerjasama investasi adalah lazim, sepanjang menguntungkan dikemudian hari.

Untuk memahami penyebab besarnya arus keluar dalam neraca pendapatan primer tadi, kita perlu mencermati Transaksi Finansial selama tahun-tahun sebelumnya. Transaksi Finansial adalah bagian neraca pembayaran yang mencatat perubahan kepemilikan aset dan kewajiban finansial luar negeri Indonesia. Transaksi finansial antara lain terdiri dari investasi langsung dan investasi portofolio. Investor langsung berharap untuk mendapatkan manfaat dari hak suaranya dalam manajemen perusahaan atau memperoleh akses terhadap sumber daya atau pasar di negara domisili perusahaan afiliasinya.

Investor portofolio cenderung lebih bersifat spekulatif dibanding investasi langsung, karena tidak memiliki pengaruh yang cukup dalam perusahaan tempatnya berinvestasi. Transaksi investasi portofolio adalah atas surat berharga, baik di pasar perdana ataupun di pasar sekunder. Transaksi terjadi di pasar finansial terorganisasi, melalui bursa ataupun di luar bursa. Investor portofolio terutama menimbang keamanan investasi, kemungkinan apresiasi nilainyai, dan imbal hasil yang diperoleh. Jika kondisi atau keadaan berubah, investor portofolio dapat dengan mudah menggeser investasi mereka ke wilayah lain.



Secara tahunan, investasi portofolio selalu mengalami surplus selama belasan tahun terakhir. Surplusnya pada tahun 2018 jauh lebih rendah dibanding tahun sebelumnya, dan terendah sejak tahun 2013. Sedangkan secara triwulanan, investasi portofolio pernah mengalami beberapa kali defisit.

Dilihat dari aspek fundamental, dinamika investasi portofolio amat mempengaruhi keseluruhan Neraca Pembayaran Indonesia sekitar sepuluh tahun terakhir. Pengaruhnya makin menentukan beberapa tahun ke depan. Bagian neraca lainnya tampak lebih stabil, tidak mudah membaik atau memburuk dalam jangka pendek. Ditambah kemudahan teknis dari jenis transaksi ini berbalik arah atau sekurangnya melambat.

Selain hal yang disebutkan di atas, investasi portofolio tampak “berpotensi” memperburuk kondisi jika terjadi guncangan eksternal adalah karena nilai posisinya yang sudah amat besar bagi ukuran perekonomian Indonesia. Posisi dari nilai investasi portofolio sisi kewajiban dipublikasikan oleh Bank Indonesia pada akhir 2018 sebesar USD268,9 miliar, atau sekitar 30% dari PDB. Sebesar itulah “modal finansial” yang cukup likuid untuk keluar dalam waktu singkat. Meski nyaris mustahil akan mendadak balik ke luar negeri sebesar jumlah itu, namun nilainya bersifat potensial. Bahkan, untuk mengguncang atau memperburuk guncangan, 10 hingga 20 persen saja yang keluar mendadak dalam kurun satu minggu hingga satu bulan, maka akan terjadi krisis ekonomi. 
    
Kesimpulan umum  dalam bagian tulisan ini menguatkan asesmen bahwa fundamental ekonomi Indonesia tidak bisa dikatakan kuat, justeru tampak rapuh. Dalam ungkapan lebih sederhana, perekonomian yang mengalami defisit transaksi berjalan selama 7 tahun berturut-turut dalam nilai yang cukup besar, bisa dipastikan memiliki masalah dan potensi masalah saat ini dan di kemudian hari.  
Bersambung

Senin, 01 April 2019

FUNDAMENTAL EKONOMI YANG RAPUH (bagian 3)


Masalah Pengangguran Mengindikasikan Rapuhnya Fundamental Ekonomi  
 “Pada periode Februari tahun 2018, tingkat pengangguran terbuka (TPT) berhasil diturunkan pada tingkat 5,13 persen atau mencapai 6,87 juta orang. Jumlah ini merupakan angka terendah yang berhasil dicapai sejak tahun 2000… “kata Pemerintah dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2019. Beberapa bulan kemudian, publikasi BPS untuk kondisi Agustus 2018 justeru mengalami kenaikan menjadi sebesar 5,34 persen, bahkan sedikit di atas kondisi Februari 2017. Dalam debat KPU, calon wakil presiden Ma’ruf Amin masih menyebut tingkat pengangguran di Indonesia saat ini mencapai tingkat terendah sejak 20 tahun terakhir.



Tingkat pengangguran di era Jokowi memang mencapai tingkat terendah selama era reformasi, namun kecenderungan turun telah terjadi tiap tahun sejak 2006. Perlu diperbandingkan laju tingkat penurunan dan berkurangnya jumlah penganggur, yang hanya berkurang 0,60% atau sejumlah 244.905 orang selama 4 tahun. Lebih rendah dibanding dua era pemerintahan sebelumnya. Tingkat pengangguran ini juga masih lebih tinggi dibanding era sebelum reformasi.


Dalam perspektif topik rangkaian tulisan tentang fundamental ekonomi ini, yang harus lebih mendapat perhatian adalah tentang apakah penggunaan tenaga kerja sudah cukup optimal selama kurun waktu yang cukup panjang. Hal-hal berikut perlu ditelusuri dalam 5 hingga 10 tahun terakhir: Apakah mayoritas pekerja telah memiliki pekerjaan yang layak?; Apakah terjadi transformasi yang menguatkan fundamental ekonomi jika dilihat dari penyerapan masing-masing sektoral?; Bagaimana dengan perbandingan status pekerja formal dan informal; perkembangan upah dan penghasilan riil pada berbagai jenis pekerjaan; perkembangan kualitas dan produktifitas pekerja; serta seberapa banyak mereka terlindungi oleh jaminan sosial.

Pekerjaan layak merupakan pekerjaan yang dilakukan atas pilihan sendiri, memberikan upah atau penghasilan yang dapat membiayai hidup diri dan keluarganya secara layak dan bermartabat, serta cukup menjamin keselamatan fisik maupun psikologis. Meskipun bukan pengangguran, memiliki pekerjaan yang tidak atau kurang layak membuat seseorang memiliki posisi sebagai pekerja rentan. Dengan demikian tingkat pengangguran yang cukup rendah tak menunjukkan kuatnya fundamental ekonomi, jika porsi pekerja rentan masih amat besar.

Di banyak negara yang belum atau yang sedang berkembang sering terkadi paradoks. Tingkat pengangguran yang rendah justeru menyamarkan kemiskinan yang substansial. Pada umumnya tidak tersedia jaminan perlindungan sosial, seperti asuransi pengangguran dan tunjangan kesejahteraan, sehingga mereka yang relatif “kaya” saja yang mampu menganggur. Pengangguran seolah barang mewah, karena hanya yang mempunyai tabungan atau pendapatan di luar pekerjaan (nonlabor income) yang bisa menganggur untuk bertahan hidup. Sementara mereka yang miskin, tidak bisa menganggur, mereka harus bekerja apa saja untuk dapat hidup (too poor to be unemployed). Sementara tingkat pengangguran yang tinggi kadang terjadi secara temporer di negara-negara dengan perkembangan ekonomi yang tinggi dengan tingkat kemiskinan yang rendah.

Dilihat dari aspek sektoral atau lapangan usaha, sektor pertanian masih menampung 35,7 juta orang. pekerja. Mayoritas (65,82%) berusia di atas 45 tahun, sehingga berproduktifitas rendah. Pekerja di sektor industri pengolahan sebesar 18,25 juta orang atau 14,72% dari total pekerja, cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Akan tetapi porsi nilai tambahnya atas PDB cenderung menurun, yang berarti produktifitas secara umum sebenarnya turun. Dinamika penyerapan kedua sektor ini, dikaitkan pula dengan kontribusi nilai tambahnya pada PDB, merupakan salah satu gambaran penting tentang fundamental ekonomi. Ditambah fenomena terus meningkatnya serapan sektor jasa yang “kurang modern” yang memiliki produktifitas rendah. Sebagai contoh, sektor perdagangan besar dan perdagangan kecil menyerap 18,61%, dan separuhnya adalah perdagangan kecil. Dapat disimpulkan dari data penyerapan sektoral terjadi pelemahan fundamental selama lima hingga sepuluh tahun terakhir.



Masih kurangnya pekerjaan yang layak terlihat pula dari perkembangan porsi status pekerjaan menurut BPS. Sebanyak 56,84% penduduk yang bekerja tergolong pekerja informal. Porsi ini memang cenderung berkurang dari tahun ke tahun, namun selama era Jokowi berlangsung amat lambat. Hanya turun sebesar 2,5% selama empat tahun, dan capaian porsi pekerja informal masih jauh dari target RPJMN, yang mematok 49% pada tahun 2019.


Dilihat dari status pekerjaan menurut BPS, ada tiga status pekerjaan yang memiliki kerentanan tinggi, yaitu: berstatus berusaha sendiri (23,62 juta orang), berusaha dibantu buruh tidak tetap (19,55 juta orang), dan pekerja tak dibayar atau yang disebut juga pekerja keluarga (15,13 juta orang). Ketiganya mencapai 58,3 juta orang.

Dapat pula dikatakan dari status berusaha sendiri dan status berusaha dibantu buruh tidak tetap merupakan usaha berskala mikro dan berskala kecil. Di sisi lain, status bekerja sebagai berusaha sendiri dibantu buruh tetap menggambarkan usaha yang berskala menengah dan berskala besar. Selama beberapa tahun terakhir, terlihat pengusaha berskala mikro dan kecil belum berhasil ditingkatkan secara signifikan, yang terindikasi dari pekerja berstatus berusaha dibantu buruh tetap hanya sedikit meningkat, dan bahkan menurun secara persentasi.


Hal lain dari aspek ketenagakerjaan yang mencerminkan funfdamental yang tidak kuat adalah soalan pekerja tidak penuh. BPS mengatakan bahwa indikator ini mampu menjelaskan bahwa seseorang  yang bekerja ternyata tidak semua memiliki produktivitas yang tinggi. Pekerja Tidak Penuh adalah mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu). Pekerja Tidak Penuh terdiri dari setengah penganggur dan pekerja paruh waktu. Hal ini berkaitan dengan definisi bekerja menurut BPS yang menjadi ukuran tingkat pengangguran terbuka. Bekerja didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu. Kegiatan tersebut termasuk pola kegiatan pekerja tak dibayar yang membantu dalam suatu usaha atau kegiatan ekonomi.

Sementara itu pula, mayoritas pekerja masih didominasi yang berpendidikan rendah dan menengah. Lapangan pekerjaan yang tercipta selama beberapa tahun terakhir pun makin tersedia untuk tingkat pendidikan yang demikian.  Ditambah lagi fakta bahwa tak terjadi penurunan tingkat pengangguran pada Pendidikan SMK. Bahkan, meningkat pula pada pendidikan Universitas.


Aspek lainnya yang mengkonfirmasi lemahnya fundamental dilihat dari aspek ketenagakerjaan antara lain adalah: cenderung turunnya upah pekerja buruh tani dan buruh bangunan; banyak pekerja yang upah atau penghasilannya amat jauh di bawah upah minimum; pendapatan pekerja berusaha sendiri yang meningkat lebih perlahan dibanding upah buruh/karyawan; dan masih banyaknya pekerja yang belum terlindungi oleh jaminan sosial.
Bersambung