Rabu, 19 Desember 2018

APAKAN APBN 2019 SEHAT? (bagian 2)


Klaim sehat dari Pemerintah juga memakai argumen bahwa keseimbangan primer turun konsisten sejak 2015. Dan diiyakini akan mendekati nol rupiah pada akhir tahun 2019.

Keseimbangan primer sebenarnya adalah suatu neraca, semacam neraca rugi laba dalam akuntansi, atau kondisi arus dana selama setahun. Neraca yang memperlihatkan pendapatan dikurangi belanja, namun besaran belanjanya tidak menyertakan pembayaran bunga utang. Kondisi keseimbangan primer anggaran pemerintahan suatu negara, terutama negara berkembang, biasa dikaitkan dengan kesinambungan fiskalnya. Diakui luas bahwa kesinambungan fiskal dapat dipertahankan melalui pemenuhan pembayaran bunga utang dengan pendapatan negara dan bukan pengadaan atau penerbitan utang baru. Pandangan lain yang lebih hati-hati bahkan menyebut tidak cukup hanya sekadar surplus, melainkan nilai surplusnya musti meningkat. Peningkatan itu setidaknya dapat mempertahan surplus dengan rasio yang setidaknya tetap (finite) atas PDB. Oleh karena nilai PDB meningkat tiap tahun, maka surplus keseimbangan primer juga musti bertambah.

APBN 2019 memang mentargetkan keseimbangan primer yang jauh lebih baik dibanding  beberapa tahun terakhir. Direncanakan Pendapatan Negara sebesar Rp2.165,11 triliun dan Belanja Negara sebesar Rp2.461,11 triliun. Diantara pos belanja, terdapat pembayaran bunga utang adalah Rp275,89 triliun. Dengan demikian, target keseimbangan primer adalah Pendapatan dikurangi Belanja yang tak memasukkan pembayaran, atau sebesar minus Rp20,12 triliun. Ini berarti bahwa sebagian bunga utang masih akan dibayar dari utang baru. Untuk dikatakan sehat, setidaknya keseimbangan primer adalah nol, dan seyogyanya positif dengan nilai yang cukup besar. Pada tulisan bagian satu, target pendapatan tampak terlampau tinggi, yang berpotensi defisit tahun 2019 melampaui target, sehingga defisit keseimbangan primer pun mungkin akan lebih besar dari target.

Perlu diketahui bahwa selama tahun 2000 hingga tahun 2011, keseimbangan primer bernilai surplus (positif). Sejak tahun 2012 hingga 2018 tercatat selalu minus (negatif).



Salah satu kunci perbaikan keseimbangan adalah pengendalian pembayaran bunga utang. Bunga utang tercatat terus meningkat signifikan selama beberapa tahun terakhir. APBN tahun 2019 merencanakan pembayaran bunga utang sebesar Rp275,89 triliun, mengalami kenaikan 10,4% dari outlook APBN tahun 2018. Target kenaikan yang lebih rendah dibanding outlook 2018 sebesar 15,16%, dan dibandingkan rata-rata 2012-2017 sebesar 15,15%. Artinya pula, keseimbangan primer yang ditargetkan membaik itu mensyaratkan pemenuhan target pembayaran bunga yang juga butuh upaya keras.



Bunga utang dianggap wajar sebagai biaya dalam perekonomian modern terkait dengan nilai sekarang (present value) dan biaya atas kesempatan yang hilang (opportunity) dari modal yang dipinjamkan. Secara teknis, bunga antara lain berwujud: bunga (interest) untuk pinjaman luar negeri dan kupon (coupon) untuk Surat Berharga Negara. Ada pula biaya lain yang terkait dengan pengadaan pinjaman luar negeri, seperti: commitment fee, management fee, dan premi asuransi. Bahkan ada denda jika tidak jadi dicairkan, padahal sudah disepakati dalam perjanjian tertulis. Secara bahasa awam, biaya itu antara lain adalah: ongkos untuk perundingan, proses pencairan, pengawasan dan ongkos pembatalan, keterlambatan pencairan, denda, dan lain sebagainya.

Sedangkan untuk SBN, biaya riil bukan sekadar kupon, melainkan terkait dengan imbal hasil (yield) yang diperoleh investor atau pembelinya. Imbal hasil SBN merupakan keuntungan bagi investor sesudah memperhitungkan besarnya kupon dan harga pasar. Selain itu, pemerintah juga harus mengeluarkan beberapa biaya terkait dengan proses penerbitan dan distribusi SBN.

Dalam pencatatan APBN, keseluruhan biaya utang dianggap merupakan pembayaran bunga utang. Pos pembayaran bunga utang luar negeri telah memperhitungkan semua jenis biayanya. Pos pembayaran bunga dalam negeri telah mencakup perhitungan imbal hasil neto dan biaya lainnya dari SBN. Biaya yang dikeluarkan dalam hal SBN Syariah, meskipun mekanismenya tidak dengan perhitungan bunga, pembayaran riil nya dicatat pula dalam pos ini.

Dari uraian di atas, dapat saja dikatakan bahwa APBN 2019 sedikit lebih sehat dibanding APBN 2018 dan APBN 2017. Namun belum dapat dikatakan sehat berdasar dua variabel yang dipakai sebagai alat penjelasan Pemerintah itu sendiri. Tulisan bagian satu membahas argumen tentang turunnya defisit, dan bagian dua membahas tentang keseimbangan primer.

Kamis, 13 Desember 2018

APAKAH APBN 2019 SEHAT? (bagian 1)


Pemerintah mengatakan bahwa APBN 2019 dirancang sebagai kebijakan fiskal yang sehat, adil, dan mandiri. Argumen yang disampaikan atas klaim sehat terdiri dari dua hal. Pertama, defisit APBN yang makin turun. Kedua, Keseimbangan Primer yang menurun menuju arah positif. Disimpulkan bahwa APBN menjadi sustainable dan prudent.

Defisit APBN 2019 direncanakan sebesar Rp296 triliun. Memang lebih rendah dibandingkan target APBN 2018 sebesar Rp325,9 triliun dan outlook APBN 2018 sebesar Rp314,23 triliun. Berdasar perkembangan terkini, realisasi defisit bisa turun menjadi sekitar Rp300 triliun. Dilihat dalam rasionya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), target APBN 2019 adalah sebesar 1,84%. Pemerintah pun mengklaimnya sebagai yang terendah sejak tahun 2013.


Kondisi defisit tahun 2018 memang relatif membaik dan ditargetkan lebih baik lagi dalam APBN 2019. Akan tetapi perlu dicatat bahwa secara nominal defisit di era Jokowi mencatat rekor tertinggi. Tentu saja kurang adil jika hanya melihat nominalnya, melainkan musti dari rasio. Rasio yang lazim dikemukakan adalah rasio dari PDB sebagai cerminan pendapatan nasional. Rasio rata-rata era Jokowi yang telah direalisasi (2015-2018) sebesar 2,43% per tahun. Jika target 2019 tercapai, maka rata-ratanya sebesar 2,31%. Masih jauh lebih tinggi dibandingkan era pemerintahan SBY-JK (2005 – 2009) yang hanya 0,80% per tahun. Dan era SBY-Boediono (2010-2014) sebesar 1,58% per tahun.

Ada rasio lain dari defisit yang bisa dan perlu dilihat, yaitu dari Pendapatan Negara dan Belanja Negara. Rasio defisit atas pendapatan pada APBN 2019 sebesar 13,67%. Secara rata-rata per tahun, rasio defisit atas pendapatan era Jokowi (2015-2019) sebesar 18,01%. Masih lebih tinggi dibanding era 2005-2009 sebesar 4.74%, dan era 2010-2014 sebesar 10.49%. Sedangkan rasio atas Belanja Negara pada APBN 2019 sebesar 12,03%. Rata-rata era 2015-2019 sebesar 15,25%, era 2005-2009 sebesar 4.39%, dan era 2010-2014 sebesar 9.37%.


Bisa dikatakan bahwa dilihat dari perbandingan dengan tahun-tahun sebelumnya dalam horison waktu yang lebih panjang, APBN 2019 tak dapat dikatakan lebih sehat. Hanya mengalami perbaikan dari tahun-tahun era pemerintahan Jokowi sendiri.

Pencermatan lebih jauh atas target penurunan defisit APBN 2019 terutama berdasar target kenaikan Pendapatan Negara, sebesar 13,77% dari outlook APBN 2018. Namun, selama era Jokowi yang telah direalisasi, hanya pada tahun 2017 dan tahun 2018 terjadi kenaikan yang signifikan. Pada tahun 2015 bahkan terjadi penurunan. Secara keseluruhan, kenaikannya lebih rendah dibanding era sebelumnya. Kenaikan rata-rata era 2005-2009 sebesar 17,56% per tahun. Era tahun 2010-2014 sebesar 12,94%. Sedangkan era 2015-2018 sebesar 5,43%, dan jika target tahun 2019 tercapai, maka rata-ratanya menjadi 7,10%.   



Jika dicermati lagi, kenaikan pendapatan negara pada tahun 2017 dan tahun 2018 tidak sepenuhnya didukung oleh kondisi perekonomian nasional yang stabil atau membaik. Ada berbagai faktor lain yang justeru lebih berpengaruh. Diantaranya adalah tren peningkatan harga minyak dunia dan kenaikan berbagai harga komoditas, dan pelemahan rupiah. Pelemahan rupiah pada tahun 2018 memberi tambahan pendapatan yang cukup signifikan. Tentu harus diakui adanya faktor internal, karena kebijakan yang cukup mendukung, seperti kebijakan amnesti pajak dan reformasi perpajakan.

Kondisi pendapatan negara pada tahun 2019 besar kemungkinan tak memiliki “keberuntungan” seperti tahun 2018, sehingga target dipatok terlampau tinggi. Harga minyak dan komoditas, seandainya naik atau bertahan, tentu tidak menyumbang tambahan dalam porsi yang setara. Apalagi target lifting minyak telah diturunkan. Dampak kebijakan reformasi perpajakan memang masih bisa dirasakan. Nominal penerimaan akan naik, namun dengan tambahan kenaikan yang menurun. Keuntungan dari uang denda dan perbaikan basis data pembayar pajak telah diperoleh pada tahun 2017 dan 2018. Tambahan pada tahun 2019 akan tertahan.

Target kenaikan pendapatan sebesar 13,77% tadi menjadi tidak realistis jika melihat rata-rata kenaikan selama empat tahun (2015-2018) era Jokowi yang sebesar 5,43%. Bahkan jika dibandingkan dengan rata-rata kenaikan periode 2005-2018 sebesar 12,45%. Tahun 2017 dan 2018 tampak tidak memadai menjadi acuan, karena beberapa faktor yang disebut di atas. Target kenaikan pendapatan yang lebih realistis hanya di kisaran 7-8%. Artinya pula, jika belanja akan berhasil diserap mendekati target, maka defisit akan jauh lebih besar dibanding targetnya.


Lebih jauh lagi, beban target diberikan pada kenaikan penerimaan perpajakan yang mentargetkan kenaikan 15,36% dari outlook 2018. Tampak realistis jika melihat Outlook 2018  memperkirakan kenaikan sebesar 15,26% dibanding realisasi tahun 2017. Akan tetapi catatan kenaikan penerimaan perpajakan selama era Jokowi dan horison waktu yang lebih panjang tak mendukung target tersebut. APBN 2019 terlampau ambisius dengan targetnya, mengingat “dampak positif” kebijakan amnesti pajak telah melemah jika dilihat dari aspek tambahan atau kenaikannya. Di sisi lain, Nota Keuangan belum mengemukakan kebijakan dan rencana aksi yang luar biasa dalam hal perpajakan pada tahun 2019.

Dengan demikian, tidak cukup kuat argumen sebagai sehat berdasar angka-angka defisit, target pendatan negara, dan target penerimaan perpajakan. Argumen sehat berdasar angka keseimbangan primer akan diulas pada bagian dua.

Selasa, 11 Desember 2018

MENCERMATI PENDAPATAN NEGARA YANG MELAMPAUI TARGET APBN


Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meyakini penerimaan negara akan melampaui target APBN 2018, yaitu sekitar Rp 1.936 triliun berbanding Rp1.894 triliun. Diklaim sebagai pertama kalinya penerimaan negara melebihi target APBN. Pernyataan tanggal 5 Desember lalu itu bahkan sudah merevisi prakiraan Pemerintah sendiri bulan sebelumnya (dalam APBN Kita edisi Nopember) yang masih Rp1.903 triliun.

Untuk menilai apakah hal tersebut merupakan suatu prestasi dari kinerja Pemerintah, maka perlu diperiksa dan dicermati beberapa hal dan rincian. Diantaranya yang akan dibahas berikut.

Pertama, Pelampauan target APBN bukan yang pertama kalinya. Pada tahun 2008, realisasi Pendapatan Negara jauh melampaui APBN, yaitu Rp982 triliun berbanding Rp781 triliun atau sebesar 125,62%. Sedangkan tahun 2018 hanya sebesar 102,18%. Pada tahun 2018 tak ada APBNP, sementara tahun 2008 bahkan lebih tinggi dibanding APBNP 2008 sebesar 109,68%.

Kedua, rincian dari perolehan pendapatan tersebut. Ternyata yang jauh melampaui target adalah Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang diprakirakan mencapai Rp349,2 triliun berbanding target yang sebesar Rp275,4 triliun. Sedangkan penerimaan perpajakan tak akan mencapai 100% dari target Rp1.618,1 triliun. Penyebab kenaikan PNBP bisa dikatakan tak berhubungan dengan prestasi atau kinerja pemerintah, melainkan karena faktor eksternal yang kebetulan menguntungkan dalam konteks ini.

PNBP yang melampaui target terutama disebabkan oleh: Harga minyak (ICP), harga batubara acuan (HBA), dan kurs rupiah. Asumsi ICP dalam APBN sebesar USD48 per barel, sedangkan realisasi hingga Oktober telah mencapai USD69,18. HBA rata-rata tahun 2018 hingga Oktober mencapai USD99,72 per ton, lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya yang USD84,22 per ton. Realisasi kurs hingga Oktober di kisaran Rp14.250 dan akan sekitar Rp14.400 hingga akhir tahun, berbanding asumsi APBN sebesar Rp13.400.

Ketiga, fenomena pelemahan rupiah yang berdampak signifikan. Realisasi kurs rupiah amat jauh dari asumsi dalam APBN. Nota Keuangan APBN 2018 (halaman III.2-3) merinci tentang prakiraan perhitungan risiko akan hal ini. Tiap pelemahan Rp100 dari asumsi, pendapatan negara akan bertambah sekitar Rp3,8 sampai dengan Rp5,1 triliun. Dampaknya terhadap surplus atau defisit memang hanya sekitar Rp1,5 – Rp1,6 triliun, karena dampak kenaikan pada belanja. Dalam konteks klaim di atas, maka pelemahan rupiah menambah pendapatan sekitar Rp38 – Rp51 triliun. Dengan demikian, prakiraan realisasi seluruh pendapatan 2018 yang melampaui target sebesar Rp41 triliun dapat saja dikatakan hanya karena hal ini.  

Keempat, perkembangan kinerja pendapatan secara keseluruhan pada era pemerintahan Jokowi. Pendapatan Negara memang cenderung meningkat selama era tahun 2004 - 2018, hanya sempat turun sedikit pada tahun 2009 dan 2015. Laju kenaikan pendapatan tiap tahunnya berfluktuasi. Dalam era Jokowi bahkan sempat turun pada tahun 2015, dan hanya naik sedikit pada tahun 2016. Peningkatan laju kenaikan signifikan terjadi pada tahun 2017 dan tahun 2018. Namun, perlu dicatat bahwa rata-rata kenaikan per tahun dalam era 2005 – 2009 adalah sebesar 17.56%, dan pada era 2010 – 2014 sebesar 12.94%. Sedangkan pada era pemerintahan Jokowi yang telah direalisasi, tahun 2015 – 2018 hanya sebesar 5,93% per tahun, atau jauh lebih rendah.



Kelima, penerimaan perpajakan memang mengalami peningkatan pada era Jokowi, namun dengan laju yang lebih lambat dibanding era sebelumnya. Selama era 2015 – 2018, kenaikan penerimaan perpajakan rata-rata sebesar 7.89% per tahun. Sedangkan pada era 2005 – 2009 sebesar 17.97% per tahun, dan era 2010 – 2014 sebesar 13.21% per tahun.



Keenam, pertumbuhan penerimaan perpajakan bukan lah prestasi. Lajunya sedikit dibawah atau hanya setara laju PDB menurut harga berlaku, sehingga tax ratio turun pada tahun 2015 dan 2016, dan hanya sedikit membaik pada tahun 2017 dan 2018. Akan tetapi tetap masih di bawah tahun 2014. Tax ratio dalam arti luas, yang memasukkan penerimaan SDA tahun 2018 akan sekitar 12,20%, sedangkan tahun 2014 sebesar 13,70%. Tax ratio dalam arti sempit, yang hanya menghitung penerimaan perpajakan, tahun 2018 sekitar 11,09%, sedangkan tahun 2014 sebesar 11,36%.



Penjelasan di atas menunjukkan kinerja pemerintahan Jokowi dalam pendapatan negara tidak cukup baik, dan justeru lebih buruk dibanding sebelumnya. Pada tahun 2018 memang terjadi perbaikan, namun disertai berbagai catatan kritis, yang bahkan mengindikasikan buruknya perencanaan pemerintah pada banyak aspek APBN. Misalnya, tambahan posisi utang yang juga jauh melampaui target.

Senin, 19 November 2018

UTANG PEMERINTAH BISA MENCAPAI 5000 TRILIUN PADA AKHIR 2019


Posisi utang Pemerintah mencapai Rp4.478,57 Triliun pada akhir Oktober 2018, menurut publikasi dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia dalam APBN KITA edisi Nopember 2018. Terdiri dari  Pinjaman sebesar Rp833,92 Triliun (18,62%) dan  Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp3.644,65 Triliun (81,38%).

Perlu diketahui bahwa penambahan utang pemerintah selama tahun 2018 terdiri dari dua sebab utama. Yaitu karena pembiayaan utang bagi APBN, dan karena pelemahan kurs rupiah terhadap dolar Amerika.

APBN 2018 merencanakan pembiayaan utang sebesar Rp399,22 Triliun, yang digunakan untuk menutupi defisit anggaran sebesar Rp325,94 triliun, serta membiayai pengeluaran lainnya yang tak termasuk dalam belanja. Contoh pengeluaran dimaksud antara lain adalah: investasi kepada BUMN, investasi kepada BLU, pemberian pinjaman kepada BUMN atau Pemda, dan kewajiban penjaminan.



APBN KITA menginformasikan bahwa dari rencana pembiayaan utang tadi, telah direalisasi sebesar Rp333,72 triliun atau 83,59% hingga akhir Oktober. Khusus untuk target penerbitan SBN neto sebesar Rp414,52 triliun, telah direalisasi sebesar Rp343.23 triliun. Sedangkan Pinjaman Neto direncanakan negatif, karena penarikan pinjaman baru akan lebih sedikit dibanding pembayaran cicilan pokok, yang dari target negatif Rp15,30 triliun telah direalisasi sebesar negatif Rp9.51 triliun.

Penyebab kedua penambahan posisi utang selama tahun 2018 adalah pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika. Meskipun porsi SBN berdenominasi rupiah meningkat, jika dilihat secara keseluruhan utang, maka utang berdenominasi dolar Amerika masih berporsi sekitar 40%. Akibatnya, pelemahan rupiah telah menambah posisi utang. 

Informasi terbaru lainnya dari Kemenkeu RI untuk kondisi per 14 Nopember 2018, posisi SBN neto telah meningkat menjadi Rp374,81 triliun. Artinya, bertambah sekitar Rp31,58 triliun selama dua minggu. Jika dianggap posisi pinjaman belum berubah, maka posisi utang telah naik menjadi Rp4.510,15 triliun.



Pemerintah sendiri masih tetap menjelaskan bahwa kondisi utangnya aman terkendali, dan bahkan diberi rating yang baik oleh berbagai lembaga pemeringkat internasional. Argumen berulang adalah porsi utang atas PDB yang masih di kisaran 30%, dan jauh dari batas yang dibolehkan undang-undang sebesar 60%. Ditambahkan alasan penggunaan utang selama ini adalah untuk keperluan produktif, terutama membiayai proyek-proyek strategis yang diprioritaskan. Diingatkan pula bahwa sebagian beban utang berasal dari era pemerintahan sebelumnya.

Terlepas dari cukup beralasannya, perlu ditelusuri tentang berapa target utang berdasar perencanaan jangka menengah yang disusun oleh pemerintah sendiri. Salah satu diantaranya adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019, yang ditetapkan melalui Perpres No.2/2015 tanggal 8 Januari 2015. “Terjaganya rasio utang pemerintah dibawah 30 persen PDB dan terus menurun yang diperkirakan menjadi 20,0 persen PDB pada tahun 2019… (Buku I RPJMN halaman 6-183). Dirinci target rasio tiap tahun pada Buku I halaman 4-16 dan Buku II halaman 3-63 sebagai berikut: 26,7% (2015), 23,3% (2016), 22,3% (2017), 21,1% (2018), dan 19,3% (2019).



Dari target RPJMN pada akhir 2018 sebesar 21,1% dari PDB, maka target posisi utang sebenarnya hanya sebesar Rp3.079,89 triliun. Sebagaimana perhitungan di atas, posisi utang pada 14 Nopember 2018 telah mencapai Rp4.510 triliun. Sedangkan asumsi PDB tahun 2018 menurut APBN KITA edisi Nopember sebesar Rp14.596,64 triliun, maka rasionya telah mencapai 30,90%. Berdasar prakiraan realisasi APBN hingga akhir tahun, dengan asumsi rupiah tetap stabil seperti saat ini, maka posisi utang masih akan sedikit bertambah menjadi sekitar Rp4.530 triliun, dengan rasio utang menjadi 31%.

Prakiraan realisasi itu juga meleset dari target yang ditetapkan pada 27 Nopember 2017 dalam Keputusan Menteri Keuangan No.884/KMK.08/2017 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Jangka Menengah tahun 2018-2021. Target rasio utang pada tahun 2018 dalam Kepmen itu sebesar 29,3%, yang jika diperhitungkan dengan asumsi PDB tahun 2018 dalam APBN KITA di atas berarti sebesar Rp4.276,81 triliun. Ada selisih perkiraan tambahan utang lebih dari Rp250 tiliun dibanding perencanaan Kemenkeu setahun lalu.

Sementara itu, APBN 2019 merencanakan pembiayaan utang sebesar Rp359.279,1 miliar, yang antara lain untuk membiayai defisit sebesar Rp297,16 triliun. Jika asumsi kurs rupiah sebesar Rp15.000 dapat dipenuhi sepanjang tahun 2019, maka posisi utang akan di kisaran Rp4.890 triliun, dan rasio masih akan tetap di atas 30%. Jika target defisit meleset dan atau rupiah melemah, maka kondisinya akan lebih buruk. Posisi utang sangat mungkin mencapai angka psikologis Rp5.000 triliun pada akhir tahun 2019.

Kamis, 18 Oktober 2018

MENCERMATI PENURUNAN TINGKAT PENGANGGURAN DI ERA JOKOWI


Pemerintah mengatakan dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2019 (hal II.2-15) sebagai berikut, “Pada periode Februari tahun 2018, tingkat pengangguran terbuka (TPT) berhasil diturunkan pada tingkat 5,13 persen atau mencapai 6,87 juta orang. Jumlah ini merupakan angka terendah yang berhasil dicapai sejak tahun 2000… “ Pada bagian lain disebutkan bahwa tingkat pengangguran tahun 2019 akan dapat ditekan pada rentang 4,8 hingga 5,2 persen.

Meskipun betul merupakan angka yang terendah sejak tahun 2000, namun kecenderungan tingkat pengangguran terbuka memang turun tiap tahun sejak tahun 2006. Yang perlu dibandingkan adalah laju tingkat penurunannya. Data menunjukkan bahwa prestasi di era pemerintahan Jokowi sebenarnya masih lebih rendah dibanding dua era pemerintahan sebelumnya, untuk kurun waktu setara (3,5 tahun).

Terjadi penurunan tingkat pengangguran terbuka selama era Agustus 2014 sampai dengan Februari 2018, dari 5,94% menjadi 5,13% atau sebesar 0,81%. Padahal pada era SBY-JK, dalan kurun waktu setara, sebesar 1,40%. Dan pada era SBY-Boediono sebesar 1,99%.


Jika dilihat dari jumlah penganggur, prestasinya lebih buruk lagi. Jumlah penganggur turun dari 7,24 juta orang menjadi 6,87 juta orang atau sebanyak 373.641 orang. Sedangkan pada era SBY-JK, untuk kurun waktu setara adalah sebanyak 823.761 orang. Dan pada era SBY-Boediono sebanyak 1.721.720 orang.


Hal lain yang perlu dicermati dan dapat menjadi pertimbangan kebijakan ekonomi untuk waktu mendatang adalah soalan pekerja tidak penuh. BPS mengatakan bahwa indikator ini mampu menjelaskan bahwa seseorang  yang bekerja ternyata tidak semua memiliki produktivitas yang tinggi. Pekerja Tidak Penuh adalah mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu). Pekerja Tidak Penuh terdiri dari setengah penganggur dan pekerja paruh waktu. Hal ini berkaitan dengan definisi bekerja menurut BPS yang menjadi ukuran tingkat pengangguran terbuka. Bekerja didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu. Kegiatan tersebut termasuk pola kegiatan pekerja tak dibayar yang membantu dalam suatu usaha atau kegiatan ekonomi.



Jumlah pekerja tidak penuh pada Februari 2018 adalah sebanyak 39,99 juta orang atau 31,47% dari total pekerja. Sedangkan jika dilihat persentasinya dari angkatan kerja adalah sebesar 29,86%. Dengan demikian, jika definisi bekerja adalah memakai jam kerja normal, maka tingkat pengangguran adalah sebesar 35% atau sebanyak 46,87 juta orang. Sementara itu, pada Agustus 2014, jumlah pekerja tidak penuh adalah sebanyak 35,77 juta orang atau 31,20% dari total pekerja, dan 29,35% dari angkatan kerja. Dengan demikian, terjadi peningkatan jumlah pekerja tidak penuh dan persentasinya selama era pemerintahan Jokowi. Secara sederhana dapat diartikan fakta tersebut mengurangi arti prestasi pengurangan jumlah penganggur dan angka pengangguran terbuka.

BPS juga mengelompokkan para pekerja sebagai formal dan informal berdasarkan status pekerjaan. Pekerja formal mencakup status berusaha dengan dibantu buruh tetap dan buruh/karyawan/pegawai. Selebihnya termasuk pekerja informal. Berdasarkan identifikasi itu, maka pada Februari 2018 sebanyak 53,09 juta orang (41,78%) bekerja pada kegiatan formal dan sebanyak 73,98 juta orang (58,22%). Dalam hal ini memang terjadi sedikit perbaikan dibanding kondisi Agustus 2014, pekerja formal sebanyak 46,5 juta orang (40,62%), pekerja informal sebanyak 68,1 juta orang (59,83%). 

Persentase pekerja informal menurun, namun jumlah orangnya masih bertambah. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa ini masih menujukkan tingginya tingkat kerentanan pekerja. Tingkat kerentanan berdasar status pekerjaan dikuatkan lagi oleh rincian dari pekerja informal, yang termasuk dalam status berusaha sendiri dan status berusaha dibantu buruh tidak tetap atau buruh tidak dibayar. Jumlah pekerja pada kedua status ini mengalami peningkatan dari Agustus 2014 sebanyak 40,06 juta orang menjadi 44,55 juta orang pada Februari 2018. Kedua status pekerjaan ini mencerminkan jumlah pengusaha (bukan pekerjanya) dari usaha berskala mikro dan berskala kecil. Untuk pengusaha yang berskala menengah umumnya telah masuk pada status berusaha dibantu buruh tetap. 
Salah satu kelemahan definisi bekerja atau penganggur saat ini adalah tidak menyertakan variabel nilai upah atau hasil usaha yang minimum diterima. Ada indikasi mereka yang bekerja dengan jam normal atau melebihinya pun tak selalu berarti menerima imbalan yang baik.

Dapat disimpulkan bahwa pengangguran masih menjadi masalah serius perekonomian negeri, dan prestasi selama era pemerintahan Jokowi tidak bisa dikatakan baik.

Rabu, 26 September 2018

UTANG PEMERINTAH BERTAMBAH TAK SESUAI RENCANA


Pemerintah selalu menjelaskan bahwa kondisi utang pemerintah masih aman terkendali, dan bahkan diberi rating yang baik oleh berbagai lembaga pemeringkat internasional. Argumen berulang adalah porsi utang atas PDB yang masih di kisaran 30%, dan jauh dari batas yang dibolehkan undang-undang sebesar 60%. Ditambahkan alasan penggunaan utang selama ini adalah untuk keperluan produktif, terutama membiayai proyek-proyek strategis yang diprioritaskan. Diingatkan pula bahwa sebagian beban utang berasal dari era pemerintahan sebelumnya.

Terlepas dari cukup beralasannya, perlu ditelusuri tentang berapa target utang berdasar perencanaan jangka menengah yang disusun oleh pemerintah sendiri. Salah satu diantaranya adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019, yang ditetapkan melalui Perpres No.2/2015 tanggal 8 Januari 2015. Perpres itu menyebutkan bahwa RPJM Nasional adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode 5 (lima) tahun, serta merupakan penjabaran dari visi, misi dan program Presiden hasil Pemilihan Umum tahun 2014.

Secara teknis, pemerintah era sebelumnya memang berkewajiban menyiapkan rancangan teknokratik. Namun, penentuan hal yang bersifat pokok telah dilakukan selama kurun 2,5 bulan setelah pelantikan Presiden. Selain itu, langkah membuat tim Transisi Jokowi-JK telah memberi kesempatan yang cukup untuk membahas ide pokok dan berbagai sasaran dan target.

Pada buku I dan buku II RPJMN 2015 – 2019 dijelaskan tentang berbagai sasaran ekonomi nasional, yang bahkan disajikan juga berupa tabel. Ada 14 indikator, termasuk tentang posisi utang pemerintah yang dinyatakan dalam persentasi atas Produk Domestik Bruto (PDB).

 “Terjaganya rasio utang pemerintah dibawah 30 persen PDB dan terus menurun yang diperkirakan menjadi 20,0 persen PDB pada tahun 2019… (Buku I RPJMN halaman 6-183). Dirinci target rasio tiap pada Buku I halaman 4-16 dan Buku II halaman 3-63 sebagai berikut: 26,7% (2015), 23,3% (2016), 22,3% (2017), 21,1% (2018), dan 19,3% (2019). Realisasinya kemudian meleset jauh, yaitu: 27,43% (2015), 28,33% (2016), dan 28,98% (2017).

Posisi utang pemerintah pada akhir Agustus 2018 sebesar Rp4.363 triliun pada akhir Agustus 2018. Rasionya atas PDB tahun 2018 berdasar asumsi APBN yang sebesar Rp14.395 triliun, adalah 30,31%. Jika kurs rupiah tetap stabil seperti saat ini, maka posisi utang pemerintah diperkirakan masih akan bertambah karena realisasi APBN 2018 terkait pembiayaan utang. Tambahan diluar faktor kurs rupiah sekitar Rp125 triliun, sehingga posisi utang menjadi Rp4.488 triliun pada akhir tahun 2018. Rasio utang akan tetap sedikit di atas 30%.

Mengingat target RPJMN tentang posisi utang pemerintah pada akhir 2018 adalah 21,1% dari PDB, maka target posisi utang sebesar Rp3.037 triliun. Target meleset jauh dibandingkan perkiraan realisasi posisi sebesar Rp4.488 triliun tadi. Dan berdasar perhitungan dari angka-angka RAPBN 2019, maka akan meleset lebih besar lagi pada akhir tahun 2019 yang ditargetkan sebesar 19,3%.



Realisasi tersebut juga amat jauh dari target yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara dalam Kepmen No113/KMK.08/2014 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara tahun 2014-2017. Bahkan masih meleset dari target yang ditetapkan pada 27 Nopember 2017 dalam Kepmen No884/KMK.08/2017 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Jangka Menengah tahun 2018-2021. Target rasio utang pada tahun 2018 dalam kepmen yang belum berumur setahun itu sebesar 29,3%.

Tambahan utang tiap tahun memang naik signifikan pada era pemerintahan Jokowi. Posisi utang pada akhir Oktober 2014 sebesar Rp2.601 triliun, naik menjadi Rp4.363 triliun pada akhir Agustus 2018. Dan berdasar perhitungan dari angka-angka pada APBN 2018 dan RAPBN 2019, jika kurs rupiah stabil di level sekarang setahun ke depan, maka posisi utang pada Oktober 2019 akan di kisaran Rp4.795 triliun.



Dengan demikian, utang bertambah sebesar Rp2193 triliun atau sekitar 84,31% pada era Pemerintahan Jokowi. Sebagai perbandingan, tambahan utang era SBY-Boediono (Oktober 2009-Oktober 2014) bertambah Rp999 triliun atau 62,36%. Sedangkan pada periode SBY-JK bertambah Rp352 triliun atau 28,16%.

Terlepas dari perdebatan tentang penggunaan dan risiko utang, tampak bahwa realisasi utang pemerintah tak pernah sesuai dengan target jangka menengah, baik RPJMN maupun Kepmen. Bahkan masih meleset dari rencana tahunan yang ditetapkan setahun sebelumnya. Pemerintah terpaksa merevisi satu atau dua kali dalam setahun tentang rencana utangnya. Perbaikan rencana utang adalah keniscayaan di masa mendatang.

Minggu, 16 September 2018

UTANG LUAR NEGERI SWASTA TETAP PERLU DIWASPADAI


Bank Indonesia (2009) mengatakan, “Jika kita ingin mengetahui laba/rugi suatu perusahaan pada suatu tahun maka kita dapat melihat Laporan Rugi Laba (Income Statement) perusahaan tersebut. Jika kita ingin mengetahui surplus atau defisit negara akibat transaksi ekonomi yang dilakukannya dengan negara lain maka kita dapat membaca…Neraca Pembayaran (Balance of Payments)“. Selama belasan tahun terakhir, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) cenderung mengalami surplus. NPI hanya mengalami defisit pada tahun 2008, 2013 dan 2015, dalam jumlah yang tak seberapa besar. NPI pada tahun 2018 memang terancam mengalami defisit, karena hingga akhir Juni telah defisit sebesar 8,16 miliar USD.

Bagian terpenting dari NPI adalah Transaksi Berjalan (Current Account) yang memang sejak tahun 2012 selalu mengalami defisit. Defisitnya selama ini meski cenderung membesar, masih bisa ditutupi oleh surplus dalam Transaksi Finansial. Namun, surplus Transaksi Finansial pada tahun 2018 tampaknya akan lebih kecil dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Kinerja NPI sebenarnya tak bisa difahami sepenuhnya jika hanya melihat kondisi dalam satu tahun, apalagi satu triwulan. Beberapa pos pada suatu tahun adalah akibat transaksi tahun-tahun sebelumnya, dan berdampak setelahnya. Sebagai contoh utama adalah yang terkait dengan transaksi utang.

Utang luar negeri (ULN) yang diperoleh pemerintah atau swasta pada suatu tahun akan membawa masuk devisa, yang tercatat dalam Transaksi Finansial pada NPI. Akan tetapi pada saat harus dilakukan pelunasan dan pembayaran bunga, maka akan tercatat pula sebagai arus ke luar. Tentu saja dapat diperdebatkan “hasil bersih” nya dikaitkan dengan apakah utang itu berhasil meningkatkan ekpor. Namun akibat yang bersifat segera adalah hal yang disebut pertama. Oleh karenanya, otoritas ekonomi sering mewaspadai perkembangan ULN. ULN Pemerintah langsung bisa dikontrol, sedangkan ULN swasta diawasi dan coba dipengaruhi dengan berbagai kebijakan. Indonesia telah berpengalaman buruk di masa lampau mengenai ULN swasta yang tak terkontrol.

ULN swasta tercatat tumbuh kembali dengan cepat dan melampaui utang pemerintah lagi sejak tahun 2012. Kini lajunya memang sedikit melambat sehingga posisinya pada akhir Juni 2018 adalah 176,01 miliar USD, hampir sama dengan ULN Pemerintah sebesar 176,48 miliar USD.



ULN yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dicatat oleh Bank Indonesia sebagai utang swasta, yang posisinya cenderung meningkat selama 10 tahun terakhir. Peningkatan signifikan terjadi sejak tahun 2011, dan posisi pada akhir Juni 2018 adalah sebesar 34,76 miliar USD. Terlepas dari kebutuhan dan manfaatnya, ULN BUMN kemudian ikut memberi tekanan pada Transaksi Berjalan dan Neraca Pembayaran Indonesia, karena harus membayar bunga dan cicilan.



Dilihat dari porsinya, ULN BUMN kini mencapai 19,75% dari total ULN swasta. Bandingkan dengan kondisi pada tahun 2007 yang masih 6.51% dan tahun 2010 sebesar 10,19%.



Dilihat dari denominasi ULN, maka porsi dolar Amerika masih amat dominan, mencapai 90,09% dari total ULN swasta. Porsi ini mengalami peningkatan dibanding tahun-tahun sebelumnya, seperti tahun 2007 (85,91%) dan pada tahun 2012 (87,43%). Artinya, dilihat dari sisi ini, pengaruh kurs rupiah atas dolar makin membesar.

Jika dilihat dari jangka waktu peminjaman, maka ULN swasta berjangka pendek (kurang dari sama dengan setahun) kini memiliki porsi sekitar 25,88%. Porsi ini memang cenderung stabil selama sepuluh tahun terakhir. Namun, porsi lebih dari seperempat utang itu memberatkan jika kondisi ekonomi memburuk mendadak. Terutama jika depresiasi rupiah cukup signifikan, sementara korporasi swasta (termasuk BUMN) tersebut tidak memproduksi barang atau jasa yang diekspor.

Secara umum, kondisi terkini dari ULN swasta memang masih jauh lebih baik dibandingkan tahun 1997/1998. Masih terlihat aman jika dilihat dari besarnya cadangan devisa, kinerja NPI, dan bahkan tekanan atas Transaksi Berjalan yang tengah terjadi. Namun, kewaspadaan otoritas ekonomi atas dinamika ULN tetap diperlukan mengingat kondisi global belakangan ini yang masih mungkin akan menyulitkan di waktu mendatang. ULN BUMN mustinya salah satu yang bisa segera dikendalikan.
Perlu dicatat bahwa ulasan tulisan ini bersifat umum, hanya melihat data-data keseluruhan dan pengelompokan oleh Bank Indonesia. Masalah bisa saja timbul dari korporasi swasta dan BUMN secara individual ataupun suatu industri. Salah satu faktor krusialnya adalah jika mereka memiliki ULN dalam denominasi dolar Amerika, namun produksinya dijual dalam rupiah di pasar domestik.  

Jumat, 14 September 2018

INVESTASI PORTOFOLIO YANG SANGAT MENENTUKAN


Salah satu bagian dari Neraca Pembayaran Indonesia  adalah Transaksi Finansial, yang mencatat perubahan kepemilikan aset dan kewajiban finansial luar negeri Indonesia. Transaksi finansial antara lain terdiri dari investasi langsung dan investasi portofolio. Investor langsung berharap untuk mendapatkan manfaat dari hak suaranya dalam manajemen perusahaan atau memperoleh akses terhadap sumber daya atau pasar di negara domisili perusahaan afiliasinya.

Investor portofolio cenderung lebih bersifat spekulatif dibanding investasi langsung, karena tidak memiliki pengaruh yang cukup dalam perusahaan tempatnya berinvestasi. Transaksi investasi portofolio adalah atas surat berharga, baik di pasar perdana ataupun di pasar sekunder. Transaksi terjadi di pasar finansial terorganisasi, melalui bursa ataupun di luar bursa. Investor portofolio terutama menimbang keamanan investasi, kemungkinan apresiasi nilainyai, dan imbal hasil yang diperoleh. Jika kondisi atau keadaan berubah, investor portofolio dapat dengan mudah menggeser investasi mereka ke wilayah lain.

Dalam Neraca Pembayaran tercatat istilah aset untuk nilai investasi penduduk Indonesia keluar negeri dalam hal investasi portofolio. Contohnya transaksi pembelian surat utang asing oleh sektor swasta domestik. Sebaliknya bagi nonresiden yang investasi ke Indonesia dicatat sebagai kewajiban. Contohnya pemberlian nonresiden atas surat utang negara. Selisih aset dan kewajiban merupakan nilai investasi portofolio neto.


  
Secara tahunan, investasi portofolio selalu mengalami surplus selama belasan tahun terakhir. Pada tahun 2017, surplus investasi portofolio meningkat menjadi sebesar USD20,7 miliar dari USD19,0 miliar pada tahun sebelumnya. Akan tetapi untuk tahun 2018 masih belum bisa dipastikan apakah akan surplus atau defisit, mengingat hingga satu semester masih defisit tipis sebesar USD1,10 miliar.
Jika dilihat tren triwulanan, investasi portofolio pernah mengalami beberapa kali defisit. Nilai defisit yang cukup besar adalah pada triwulan IV 2008, triwulan III 2011, dan triwulan III 2015. Pada tahun 2018 ini memang sempat defisit pada triwulan I, namun kemudian mencatatkan surplus tipis pada triwulan II.



NPI bagian investasi portofolio saat ini mempublikasikan pula masing-masing aset dan kewajiban tadi sebagai suatu sisi atau neraca. Dalam sisi aset, investor Indonesia ke luar negeri, ada arus masuk dan arus keluar. Sebagai contoh dicatat tentang pembelian surat utang luar negeri oleh swasta nasional, dan tentang penjualannya. Begitu pula dengan sisi kewajiban, yang mencatat transaksi investor nonresiden. Sebagai contoh, dicatat tentang pembelian asing atas surat utang negara, dan penjualannya. Perhatian besar biasanya ditujukan kepada catatan kewajiban dalam investasi portofolio, karena mencerminkan “potensi” untuk keluar.   



Sisi kewajiban dalam investasi portofolio secara tahunan selalu mengalami surplus. Dengan kata lain, arus masuk devisa dari investor asing selalu surplus, meski nilainya fluktuatif. Secara triwulanan, memang pernah beberapa kali defisit. Ketika investasi portofolio secara neto masih defisit dalam dua triwulan tahun 2018, neraca kewajiban ini masih mencatatkan surplus.



Bisa dikatakan bahwa tidak atau belum ada arus balik investor asing melalui investasi portofolio. Hanya perlu diwaspadai tentang nilai arus masuknya yang secara triwulanan mengalami penurunan yang cukup signifikan. Menariknya, penduduk Indonesia melakukan neto pembelian surat berharga di luar negeri yang cukup signifikan selama dua triwulan 2018. Sehingga, investasi portofolio secara neto masih tercatat defisit.

Hal lain yang perlu diketahui pada kondisi triwulan II-2018, arus masuk investasi portofolio di sisi kewajiban terutama adalah dari penerbitan obligasi pemerintah dual currency bond senilai USD2 miliar dan samurai bond senilai USD0,9 miliar. Saat bersamaan, terjadi neto jual investor asing atas instrumen berdenomonasi rupiah.   

Secara umum tampak bahwa dinamika investasi portofolio amat mempengaruhi keseluruhan Neraca Pembayaran Indonesia sekitar sepuluh tahun terakhir. Pengaruhnya makin menentukan beberapa tahun ke depan. Bagian neraca lainnya tampak lebih stabil, tidak mudah membaik atau memburuk dalam jangka pendek. Ditambah kemudahan teknis dari jenis transaksi ini berbalik arah atau sekurangnya melambat. Catatan tentang posisi dari nilai investasi portofolio sisi kewajiban dipublikasikan oleh Bank Indonesia dalam Posisi Investasi Internasional, yang terakhir pada akhir triwulan I 2018 sebesar USD266,2 miliar. Meski nyaris mustahil akan mendadak balik ke luar negeri sejumlah itu, namun nilainya bersifat potensial.    

Kamis, 13 September 2018

ANCAMAN DEFISIT NERACA PEMBAYARAN INDONESIA PADA TAHUN 2018


Pemerintah secara terbuka mulai mengakui bahwa perekonomian Indoensia masih bermasalah dalam Transaksi Berjalan (TB) yang selalu defisit dan cenderung makin membesar. TB mencatat keluar masuknya devisa melalui transaksi barang (seperti ekspor, impor), transaksi jasa (seperti transportasi,travel, asuransi), transaksi pendapatan primer (seperti bunga utang, keuntungan investasi), dan transaksi pendapatan sekunder (seperti remitansi tenaga kerja). TB mengalami defisit secara tahunan sejak tahun 2012, padahal sebelumnya selalu surplus.

Transaksi Berjalan defisit berarti lebih banyak devisa yang keluar atau menggerus cadangan devisa. Meskpun demikian, cadangan devisa Indonesia sempat terus bertambah dan kini masih besar. Faktornya adalah aliran masuk devisa melalui Transaksi Finansial, seperti investasi asing yang bersifat langsung (bikin pabrik, perluasan usaha), investasi portofolio (beli SBN, obligasi korporasi), dan investasi lainnya. Secara keseluruhan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) masih cenderung mengalami surplus, karena transaksi finansial mampu “melebihi” defisit dari Transaksi Berjalan. Selama 15 tahun terakhir, NPI hanya defisit pada tahun 2008, 2013 dan 2015, dalam jumlah yang tak seberapa besar.



Pada tahun 2018 dipastikan TB akan kembali defisit, yang mungkin akan lebih besar dibanding tahun 2017 yang sebesar USD17,33 miliar, karena hingga akhir Juni telah defisit sebesar USD13,75 miliar. Sementara itu, NPI berpotensi mengalami defisit, mengingat hingga akhir Juni telah terjadi defisit sebesar USD8,16 miliar. Kemungkinan pula akan menjadi defisit terbesar selama belasan tahun terakhir. Membesarnya defisit TB memang menjadi faktor yang menekan NPI hingga kemungkinan defisit. Akan tetapi ada faktor lain, yaitu mengecilnya surplus Transaksi Finansial. Surplusnya berpeluang menjadi yang terendah sejak tahun 2010. Bahkan, investasi portofolio berpeluang menjadi defisit pertama kalinya dalam belasan tahun terakhir, karena telah defisit sebesar USD1,10 miliar hingga akhir Juni.




Transaksi finansial masih surplus karena investasi langsung masih terus memberi kontribusi yang besar. Meskipun demikian, investasi langsung pada tahun 2018 tampaknya akan mengalami surplus yang lebih kecil dibanding tahun 2017 yang sebesar USD19,42 miliar. Surplusnya hingga akhir Juni 2018 baru tercatat sebesar USD5,42 miliar.



Pada catatan tentang Transaksi Finansial ini lah indikasi pengaruh kebijakan Trump terlihat. Sejauh ini baru pada investasi portofolio yang memang lebih mudah berbalik arah atau setidaknya pengurangan arus masuk. Sedangkan arus masuk investasi langsung bersifat lebih kaku, dan sebagian besarnya adalah realisasi dari keputusan waktu sebelumnya. Perlu diperhatikan bahwa publikasi NPI baru pada kondisi hingga akhir Juni, maka ada kemungkinan akan lebih tampak pada publikasi untuk kondisi September dan Desember nanti.

NPI yang defisit berarti cadangan devisa akan berkurang. Meskipun cadangan devisa telah dan kemungkinan masih akan berkurang, rupiah belum tentu akan melemah dibanding kondisi saat ini (pertengahan September). Selain karena cadangan devisa masih terbilang besar dan aman, NPI hanya bersifat potensial permintaan dan penawaran atas devisa. Yang bersifat efektif akan dipengaruhi beberapa faktor lain. Akan tetapi, secara potensial dilihat dari NPI dan TB tampak tidak ada faktor yang akan memperkuat rupiah secara signifikan. Upaya menekan impor dari kebijakan menaikkan tarif impor atas 1,147 komoditas belum bisa diandalkan, mengingat nilai keseluruhannya terbilang kecil. Upaya meminta devisa hasil ekspor masuk bukan hal mudah, mengingat sistem devisa yang bebas. 

Peluang terbesar berdasar fundamental, kurs rupiah adalah di kisaran Rp15 ribu seperti sekarang. RAPBN 2019 mengajukan asumsi kurs sebesar Rp14.400, yang dalam pembahasan dengan DPR mungkin akan berubah menjadi sekitar Rp14.600.

Hanya “faktor lain” yang bisa menguatkan kembali ke Rp13-14 ribu, dan dapat memperlemah ke Rp17 ribu an pada akhir tahun. Faktor lain itu diantaranya adalah spekulasi. Otoritas ekonomi telah meyakinkan bahwa ruang spekulasi nyaris ditutup. Namun, pelaku pasar keuangan yang besar memiliki kemampuan teknis dan jaringan yang kekuatannya kadang melampaui kapasitas otoritas ekonomi. Faktor lainnya adalah sudden reversal, arus balik transaksi finansial (portofolio) yang mendadak dalam waktu singkat (kurang dari sebulan). Tekanan psikologisnya akan amat besar pada nilai tukar, dan dapat menular pada aspek perekonomian lainnya.  

Minggu, 09 September 2018

PENGARUH PELEMAHAN RUPIAH PADA REALISASI APBN 2018


Dalam Nota Keuangan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari APBN selalu dijelaskan tentang asumsi dasar ekonomi makro yang menjadi acuan perhitungan umum angka anggaran. Perubahan angka asumsi akan langsung mengubah postur anggaran pada sisi belanja, pendapatan, dan pembiayaan. Nota Keuangan juga mengemukakan tentang risiko fiskal akibat perbedaan antara realisasi dengan angka asumsi itu, dilengkapi dengan perhitungannya.

Salah satu asumsi dasar adalah tentang nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Bahkan, dalam wacana publik, Sri Mulyani telah berulangkali mengatakan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan memberikan dampak positif pada APBN. Untuk RAPBN 2019, beberapa hari lalu dijelaskan bahwa setiap pelemahan Rp 100 per dolar AS dapat memberikan tambahan pendapatan neto sebesar Rp 900 miliar hingga Rp 1,5 triliun.

Jika dicermati dokumen Nota Keuangan, perhitungan dimaksud adalah pelemahan dari asumsi APBN secara rata-rata sepanjang tahun anggaran. Bukan kurs 1 Januari dibandingkan 31 Desember, misalnya. Pada APBN 2018, asumsi nilai tukar adalah Rp13.400. Realisasinya masih akan dinamis dan diperhitungkan secara rata-rata hingga akhir tahun. Ketika RAPBN 2019 diajukan kepada DPR, Pemerintah telah memiliki realisasi satu semester 2018 dan membuat outlook realisasi kurs hingga akhir tahun, yakni sebesar Rp13.973, artinya akan ada selisih Rp573.


(Gambar disalin dari Nota Keuangan RAPBN 2019)

Nota keuangan menjelaskan bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat memiliki dampak pada semua sisi APBN, baik pendapatan negara, belanja negara, maupun pembiayaan anggaran. Perubahan tersebut terjadi terutama pada anggaran yang menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat sebagai komponen penghitungan. Pada sisi pendapatan negara, fluktuasi nilai tukar rupiah antara lain akan memengaruhi penerimaan yang terkait dengan aktivitas perdagangan internasional seperti PPh pasal 22 impor, PPN dan PPnBM impor, bea masuk, dan bea keluar. Selain itu, perubahan nilai tukar rupiah juga akan berdampak pada penerimaan PPh migas dan PNBP SDA migas. Pada sisi belanja negara, perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat akan berpengaruh terhadap pembayaran bunga utang, subsidi energi, DAU, serta DBH migas akibat perubahan PNBP SDA migas. Sementara itu, pada sisi pembiayaan, fluktuasi nilai tukar rupiah akan berdampak pada pinjaman luar negeri, baik pinjaman program maupun pinjaman proyek, penerusan pinjaman, dan pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri.

Dalam perhitungan Nota Keuangan APBN 2018, setiap pelemahan Rp100 per 1USD akan mengakibatkan pendapatan negara bertambah sekitar Rp3,4 – Rp3,9 triliun. Baik dari kenaikan penerimaan perpajakan maupun karena PNBP SDA migas. Sedangkan belanja negara akan bertambah sekitar Rp2,2 – Rp3,4 triliun. Perhitungan secara presisi terkait beberapa realisasi teknis nantinya.


(Gambar disalin dari Nota Keuangan APBN 2018)

Sebenarnya analisis sensitivitas satu variabel seperti kurs ini berkaitan pula dengan asumsi ekonomi makro lainnya. Sebagai contoh asumsi pertumbuhan ekonomi akan mempengaruhi perpajakan yang sebagiannya akan dihitung terkait kurs. Begitu pula dengan harga migas dan liftingnya. Oleh karena itu, dalam RAPBN 2018, sensitivitas perubahan nilai tukar mengalami perubahan perhitungannya. Jika pengaruh netonya dalam APBN 2018 adalah kelebihan Rp 1,5 hingga Rp 1,6 triliun tiap selisih melemah Rp100 dari asumsi, maka pada RAPBN 2019 menjadi hanya Rp900 miliar hingga Rp1,5 triliun.

Sebagaimana disebut di atas, Pemerintah telah memiliki realisasi satu semester 2018 dan secara resmi membuat outlook kurs hingga akhir tahun, yakni sebesar Rp13.973. Dengan selisih melemah Rp573 itu, secara perhitungan sensitivitas akan ada tambahan bersih (neto) sekitar Rp8,60 hingga Rp9,17 triliun. Dalam perkembangan terkini, tampaknya realisasi kurs rata-rata setahun akan di kisaran Rp14.100, atau selisihnya adalah Rp700 dari asumsi. Tambahan netonya bagi APBN dapat mencapai Rp11 triliun.

Hanya saja musti diingat dua hal. Pertama, perhitungan baru dari sisi deviasi kurs, belum asumsi yang lain. Jika dilihat dari harga minyak, akan bersifat menambah. Sedangkan dari pertumbuhan ekonomi dan lifting akan mengurangi. Sejauh ini, keseluruhan deviasi asumsi ekonomi makro tampaknya memang akan lebih menambah surplus dan kelebihan pembiayaan. Kedua, dampak ekonomi pelemahan rupiah bagi perekonomian secara keseluruhan. Yang pada giliran berikut akan amat mempengaruhi realisasi APBN 2019.

Bagaimanapun suatu perencanaan anggaran yang baik adalah yang realisasinya sesuai atau amat mendekati asumsi dan target. Kebijakan yang didasari asumsi yang tak realistis berdampak pada banyak aspek, yang pada umumnya dampak buruk, meski seandainya pendapatan bertambah.

Jumat, 07 September 2018

DEFISIT PENDAPATAN PRIMER MAKIN MENEKAN TRANSAKSI BERJALAN


Pelemahan rupiah memang terutama disebabkan faktor eksternal, seperti langkah Trump dan krisis di beberapa negara. Namun secara fundamental, Indonesia juga tak bisa dinilai kuat, meski tak terbilang rapuh. Salah satu sebabnya adalah defisit Transaksi Berjalan (Current Account) yang telah berlangsung selama tujuh tahun berturut-turut.

Selama Januari hingga akhir Juni 2018, defisit Transaksi Berjalan mencapai USD13,75 miliar. Transaksi berjalan tersebut mencakup empat bagian, yang berbentuk neraca juga. Yaitu: 1. Neraca Barang yang surplus USD2,61 miliar (ekspor sebesar USD88,14 miliar dan impor sebesar USD85,53 miliar); 2. Neraca Jasa yang defisit USD3,34 miliar; 3. Neraca Pendapatan Primer yang defisit USD16,06 miliar; 4. Neraca Pendapatan Sekunder yang surplus USD3140.79 miliar.



Upaya pemerintah untuk menekan impor dengan menaikkan tarif 1.147 pos, diharapkan akan memberi kontribusi perbaikan, sepanjang tidak menyebabkan ekspor juga menurun. Begitu pula upaya mempersuasi atau memaksa agar eksportir memasukan seluruh devisanya ke dalam negeri. Akan tetapi perlu diketahui bahwa dari kondisi defisit Transaksi Berjalan selama empat tahun terakhir, yang paling membebani adalah defisit pendapatan primer (Primary Income).

Per definisi, pendapatan (income) merupakan perolehan yang timbul dari penyediaan faktor produksi tenaga kerja dan modal finansial. Arus masuk (inflow) pendapatan mengacu pada hasil yang diperoleh dari penyediaan tenaga kerja Indonesia atau modal finansial Indonesia kepada bukan penduduk; sementara arus keluar (outflow) pendapatan merupakan biaya yang harus dibayar Indonesia karena memanfaatkan tenaga kerja atau modal finansial asing. Neraca pendapatan primer meliputi transaksi penerimaan dan pembayaran kompensasi tenaga kerja, pendapatan dari investasi. Pendapatan investasi dimaksud adalah dari investasi langsung, investasi portofolio dan investasi lainnya.

Neraca Pendapatan primer selama ini selalu defisit, dengan kecenderungan meningkat, yaitu: USD29,70 miliar (2014), USD28,38 miliar (2015), USD29,65 miliar (2016), dan USD32,90 miliar (2017). Pada Januari hingga akhir Juni 2018 telah defisit USD16,06 miliar.



Perkembangan defisit Pendapatan Primer secara triwulanan juga menunjukkan kecenderungan yang meningkat selama beberapa triwulan terakhir, meski nilainya fluktuatif.


Kenaikan pembayaran pendapatan primer terutama sebagai konsekwensi dari transaksi finansial yang selalu surplus. Dari arus modal asing (termasuk utang) yang terus masuk ke Indonesia. Masuknya memang memperbaiki neraca pembayaran dan menambah cadangan devisa pada tahun bersangkutan.  Namun kompensasinya kemudian akan muncul sebagai pembayaran pada bagian neraca Pendapatan Primer. Kondisi surplus Transaksi Finansial selama beberapa tahun terakhir adalah:USD44,92 miliar (2014), USD16,84 miliar (2015), USD29,31 miliar (2016), dan USD29,18 miliar (2017). Pada Januari hingga akhir Juni 2018, surplus sebesar USD6,40 miliar.



Jika dicermati salah satu bagian dari transaksi finansial, yaitu investasi portofolio, secara tahunan selalu mengalami surplus sejak tahun 2004, dan hanya beberapa kali triwulan yang mengalami defisit. Nilai surplusnya memang fluktuatif, dan selama empat tahun (2014-2017) terbilang cukup besar. Dengan kata lain pembelian SBN, obligasi korporasi dan saham mengalami peningkatan signifikan. Laju ini mulai tertahan sejak triwulan III-2017, dan neto satu semester 2018 masih defisit. Amat mungkin, tahun 2018 akan menjadi kondisi pertama kali defisit investasi portofolio sejak 2004. Kemungkinan itu bisa tak terjadi jika imbal hasil yang ditawarkan naik signifikan dan kepercayaan investor asing atas kondisi Indonesia tetap terjaga.


Pada sisi lain, jika transaksi finansial tetap surplus dalam jumlah yang besar, maka tekanan pada neraca pendapatan primer di waktu berikutnya, akan meningkat. Secara lebih khusus, investasi portofolio memang memiliki dua sisi dilihat dari NPI keseluruhan. Peningkatan arus masuk (surplusnya) akan menambah devisa pada triwulan atau tahun berjalan. Akan tetapi, untuk membuat itu terjadi pada kondisi saat ini, maka akan ada tekanan pada arus pendapatan primer di waktu selanjutnya.

Dengan demikian, kebijakan untuk “mengelola” Transaksi Finansial dan Pendapatan Primer memang musti cermat dan harus dilakukan konsisten. Koordinasi antar otoritas ekonomi (Bank Indonesia, OJK dan Pemerintah) musti lebih kuat dan bersifat sinergis. Penanganan jangka pendek tetap harus memperhitungkan beban jangka menengah dan panjang dari transaksi berjalan, dan pada akhirnya bagi perekonomian keseluruhan.

Rabu, 05 September 2018

DEFISIT TRANSAKSI BERJALAN YANG RENTAN


Transaksi Berjalan sebenarnya adalah suatu neraca yang merupakan bagian dari neraca yang lebih besar, yaitu Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). NPI adalah neraca pembayaran internasional yang mencatat keluar masuknya uang dalam denominasi mata uang asing (devisa) dalam wilayah negara Indonesia. NPI dipublikasikan secara triwulan dan atau tahunan oleh Bank Indonesia, yang dinyatakan dalam nilai US dolar.
   
Transaksi berjalan mencatat keluar masuknya devisa akibat perdagangan (transaksi) barang dan jasa. Transaksi utang piutang atau penanaman modal tidak dicatat dalam neraca ini. Publikasi Transaksi berjalan kini mencakup empat bagian, yang sebetulnya berbentuk neraca juga. Yakni: 1. Barang (Goods); 2. Jasa-Jasa (Services); 3. Pendapatan Primer (Primary Income); dan 4. Pendapatan Sekunder (Secondary Income).

Neraca Barang mencakup transaksi ekspor dan impor barang dagangan umum, baik komoditas migas maupun nonmigas. Neraca barang hingga kini masih mencatatkan surplus, dan nilainya cenderung meningkat pada tahun 2013 - 2017. Namun nilai surplusnya jauh lebih rendah dibandingkan kurun 2004 - 2011. Jika dicermati, kenaikan ekspor memang tidak pesat dan cendrung tak stabil. Surplus neraca barang terjadi lebih dikarenakan laju pertumbuhan impor yang lebih rendah. Surplus pada tahun 2017 sebesar USD18,79 miliar. Namun baru mencapai USD2,61 miliar selama semester 1 tahun 2018.




Neraca jasa-jasa antara lain mencakup ekspor dan impor jasa manufaktur, jasa pemeliharaan dan perbaikan, jasa transportasi, jasa perjalanan, jasa konstruksi, jasa asuransi, jasa keuangan, dan lain-lain. Neraca ini selalu mengalami defisit, dengan nilai berfluktuasi, terutama karena pembayaran freight terkait ekspor dan impor barang. Ketergantungan pada jasa transportasi negara lain sudah lama berlangsung. Begitu pula dengan jasa lainnya yang berterkaitan, seperti asuransi. Kita hanya mengalami surplus dalam hal jasa perjalanan, karena wisman yang berkunjung jauh lebih banyak dibanding orang kita yang bepergian ke luar negeri. Defisitnya pada tahun 2017 sebesar USD7,81 miliar, dan satu semester 2018 sebesar USD3,34 miliar.



Neraca pendapatan primer meliputi transaksi penerimaan dan pembayaran kompensasi tenaga kerja, pendapatan dari investasi. Pendapatan investasi dimaksud adalah dari investasi langsung, investasi portofolio dan investasi lainnya. Per definisi, pendapatan (income) merupakan perolehan yang timbul dari penyediaan faktor produksi tenaga kerja dan modal finansial. Inflow pendapatan mengacu pada hasil yang diperoleh dari penyediaan tenaga kerja Indonesia atau modal finansial Indonesia kepada bukan penduduk. Sedangkan outflow pendapatan merupakan biaya yang harus dibayar Indonesia karena memanfaatkan tenaga kerja atau modal finansial asing.

Neraca Pendapatan primer selama ini selalu defisit, dengan kecenderungan meningkat. Hal ini terutama sebagai konsekwensi dari modal asing (termasuk utang) yang terus masuk ke Indonesia. Masuknya memang memperbaiki neraca pembayaran, dan menambah cadangan devisa.  Namun kompensasinya dari tahun ke tahun akan muncul pada bagian neraca ini. Defisitnya pada tahun 2017 sebesar USD32,90 miliar, dan satu semester 2018 sebesar USD16,06 miliar.



Neraca Pendapatan Sekunder mencakup penerimaan dan pembayaran transfer berjalan oleh sektor pemerintah dan sektor lainnya, dan transfer dari tenaga kerja. Neraca ini antara lain mencatat transfer dana dari tenaga kerja yang bekerja di luar negeri, dan sebaliknya dari tenaga kerja asing. Kondisi Neraca Pendapatan sekunder selalu mengalami surplus, terutama disumbang oleh remitansi TKI, yang masuk di kisaran USD10 miliar per tahun selama beberapa tahun terakhir.

Secara keseluruhan, Transaksi Berjalan selama kurun tahun 2004 - 2011 selalu surplus, dengan nilai berfluktuasi. Sejak tahun 2012, selalu mengalami defisit. Defisitnya adalah sebagai berikut: USD24,418 miliar atau 2.65% dari PDB (2012), USD29,109 miliar atau 3.19% dari PDB (2013), USD27,510 milar atau 3.09% dari PDB (2014), USD17,519 milar atau 2.03% dari PDB (2015), USD16,952 miliar atau  1.82 dari PDB (2016), USD17,528 atau 2.20 dari PDB (2017). Tampaknya defisit tahun 2018 akan lebih besar dibanding tahun 2017, karena hingga akhir Juni defisit telah mencapai USD13,745 miliar.


Salah satu ciri kuatnya fundamental ekonomi adalah kecenderungan transaksi berjalan yang mengalami surplus. Kecenderungan adalah kondisi sekitar 5 tahun atau lebih. Alasannya, surplus neraca yang menambah devisa itu bersumber dari produksi, bukan dari sesuatu yang menimbulkan kewajiban untuk dibayar seperti utang atau penanaman modal asing. Terjaganya kecukupan devisa dari sumber-sumber yang fundamental, karena produksi barang dan jasa. Tentu tidak masalah jika dalam beberapa triwulan defisit atau suatu tahun mengalami defisit, sebagai bagian dari dinamika pasar. Jika berlangsung selama 7 tahun berturut-turut seperti selama ini, maka perlu berhati-hati. Jelas bahwa depresiasi rupiah antara lain disebabkan kondisi tersebut.

Minggu, 02 September 2018

PEKERJA TIDAK PENUH MENGINDIKASIKAN MASALAH


Jumlah pengangguran dan tingkat pengangguran terbuka memang cenderung menurun selama belasan tahun terakhir. Laju penurunannya mulai melambat dalam beberapa tahun terakhir, bahkan sempat meningkat pada beberapa waktu. Bagaimanapun, pada Februari 2018 telah berhasil dicapai posisi terbaik, yakni sebanyak 6,87 juta orang penganggur dengan tingkat pengangguran sebesar 5,13%.



Akan tetapi, fenomena ketenagakerjaan tampak masih membebani perekonomian. Beberapa diantaranya adalah: pekerja tidak penuh tidak menurun secara berarti bahkan cenderung meningkat dari tahun-tahun sebelumnya; pekerja informal masih lebih besar daripada yang formal; ada kecenderungan peningkatan pengangguran terdidik; upah yang rendah bagi kebanyakan pekerja, dimana kenaikan upah hanya mengimbangi atau di bawah laju inflasi; lapangan kerja terbesar masih di sediakan oleh sektor pertanian; perlindungan bagi pekerja masih tersedia secara minimal; serta kualitas banyak pekerja masih rendah dan produktifitasnya belum optimal.

Salah satu yang kurang diperhatikan adalah fenomena meningkatnya pekerja tidak penuh. Pekerja Tidak Penuh adalah mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu). Jumlah jam kerja berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan penduduk yang bekerja, serta tingkat produktivitas dan biaya tenaga kerja perusahaan. Hal ini dapat mengkonfirmasi penurunan atau stagnasi daya beli masyarakat, karena menyangkut pendapatan yang mereka peroleh.  Secara lebih jauh dapat menjadi peringatan dini adanya gejala awal krisis, atau sedikitnya kondisi umum perekonomian yang relatif stagnan.

Selama kurun waktu tahun 2010 hingga tahun 2018, jumlah pekerja tidak penuh justeru cenderung bertambah, hanya sesekali berkurang. Pada Februari 2010 jumlahnya sebanyak juta orang, naik menjadi 39,99 juta orang pada Februari 2018. Pada saat bersamaan, jumlah pengangguran memang turun dari 8,59 Juta orang menjadi 6,87 orang.



Jika digabungkan antara jumlah penganggur dengan pekerja tidak penuh, maka selama era 2015 – 2018 tidak hanya jumlahnya yang cenderung meningkat, melainkan porsinya pun tak mengalami perbaikan. Pada februari 2018, jumlah kedua kelompok ini sebanyak 46,86 juta orang atau 34,99% dari total angkatan kerja. Dengan kata lain, jika, definisi bekerja adalah 35 jam dalam seminggu, maka tingkat pengangguran adalah 34,99%. Bandingkan dengan angka pengangguran terbuka yang memakai batasan bekerja satu jam dalam seminggu, yang sebesar 5,13%.

Persoalan umum lainnya dari ketenagakerjaan tergambar pula dari persentase penduduk bekerja menurut status pekerjaan utama, yang tak mengindikasikan adanya perbaikan berarti. Ada tujuh status pekerjaan menurut BPS, yaitu: 1. Berusaha Sendiri; 2. Berusaha Dibantu Buruh Tidak Tetap; 3. Berusaha Dibantu Buruh Tetap; 4. Buruh/karyawan/pegawai;  5. pekerja bebas di pertanian; 6. pekerja bebas di non pertanian; 7. pekerja keluarga. Pada Februari 2018, kelompok ke 3 dan 4 yang digolongkan pekerja formal oleh BPS adalah sebanyak 53,09 juta orang atau 41,78% dari total pekerja. Sebanyak 73,98 juta orang (58,22%) digolongkan pekerja informal. Pekerja informal ini  pula yang disebut pekerja rentan (vulnerable employment).  



Salah satu status yang patut mendapat perhatian lebih khusus adalah Pekerja keluarga atau pekerja tak dibayar, yaitu seseorang yang bekerja membantu orang lain yang berusaha dengan tidak mendapat upah/gaji, baik berupa uang maupun barang. Jumlahnya pada tahun 2004 adalah sebanyak 17,59 juta orang, dan justeru meningkat pada Februari 2018 adalah sebenyak 18,50 juta orang.

Begitu pula dua status yang mencerminkan pengusaha mikro dan pengusaha kecil (UMK), tidak termasuk yang menengah. Yaitu, berusaha sendiri dan berusaha dibantu buruh tidak tetap. Berusaha sendiri, adalah bekerja atau berusaha dengan menanggung resiko secara ekonomis, yaitu dengan tidak kembalinya ongkos produksi yang telah dikeluarkan dalam rangka usahanya tersebut, serta tidak menggunakan pekerja dibayar maupun pekerja tak dibayar, termasuk yang sifat pekerjaannya memerlukan teknologi atau keahlian khusus.

Pada tahun 2004 jumlah pekerja dari kedua status itu adalah 37,78 juta orang, dan pada Februari 2018 bertambah menjadi 44,55 juta orang. Jika dilihat dari sisi prosentasi atas total pekerja, memang telah terjadi penurunan dari 41,60% menjadi 35,06%. Namun persentasinya masih besar.

Dapat disimpulkan bahwa penurunan jumlah penganggur dan angka pengangguran terbuka selama ini tidak cukup menggambarkan tentang masih sulitnya penciptaan lapangan kerja. Terkonfirmasi dari cendrung meningkatnya pekerja tidak penuh, serta masih besarnya status pekerja yang informal. Terutama untuk status pekerjaan tertentu yang amat rentan, seperti pekerja keluarga. Otoritas ekonomi musti waspada, karena hal ini bisa menjadi indikasi stagnasinya perekonomian, alih-alih dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas.