Pemerintah mengatakan bahwa APBN 2019 dirancang sebagai
kebijakan fiskal yang sehat, adil, dan mandiri. Argumen yang disampaikan atas
klaim sehat terdiri dari dua hal. Pertama,
defisit APBN yang makin turun. Kedua,
Keseimbangan Primer yang menurun menuju arah positif. Disimpulkan bahwa APBN
menjadi sustainable dan prudent.
Defisit APBN 2019 direncanakan sebesar Rp296 triliun. Memang
lebih rendah dibandingkan target APBN 2018 sebesar Rp325,9 triliun dan outlook APBN 2018 sebesar Rp314,23
triliun. Berdasar perkembangan terkini, realisasi defisit bisa turun menjadi sekitar
Rp300 triliun. Dilihat dalam rasionya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB),
target APBN 2019 adalah sebesar 1,84%. Pemerintah pun mengklaimnya sebagai yang
terendah sejak tahun 2013.
Kondisi defisit tahun 2018 memang relatif membaik dan
ditargetkan lebih baik lagi dalam APBN 2019. Akan tetapi perlu dicatat bahwa
secara nominal defisit di era Jokowi mencatat rekor tertinggi. Tentu saja kurang
adil jika hanya melihat nominalnya, melainkan musti dari rasio. Rasio yang
lazim dikemukakan adalah rasio dari PDB sebagai cerminan pendapatan nasional.
Rasio rata-rata era Jokowi yang telah direalisasi (2015-2018) sebesar 2,43% per
tahun. Jika target 2019 tercapai, maka rata-ratanya sebesar 2,31%. Masih jauh
lebih tinggi dibandingkan era pemerintahan SBY-JK (2005 – 2009) yang hanya
0,80% per tahun. Dan era SBY-Boediono (2010-2014) sebesar 1,58% per tahun.
Ada rasio lain dari defisit yang bisa dan perlu dilihat, yaitu
dari Pendapatan Negara dan Belanja Negara. Rasio defisit atas pendapatan pada
APBN 2019 sebesar 13,67%. Secara rata-rata per tahun, rasio defisit atas
pendapatan era Jokowi (2015-2019) sebesar 18,01%. Masih lebih tinggi dibanding
era 2005-2009 sebesar 4.74%, dan era 2010-2014 sebesar 10.49%. Sedangkan rasio atas
Belanja Negara pada APBN 2019 sebesar 12,03%. Rata-rata era 2015-2019 sebesar
15,25%, era 2005-2009 sebesar 4.39%, dan era 2010-2014 sebesar 9.37%.
Bisa dikatakan bahwa dilihat dari perbandingan dengan
tahun-tahun sebelumnya dalam horison waktu yang lebih panjang, APBN 2019 tak
dapat dikatakan lebih sehat. Hanya mengalami perbaikan dari tahun-tahun era
pemerintahan Jokowi sendiri.
Pencermatan lebih jauh atas target penurunan defisit APBN
2019 terutama berdasar target kenaikan Pendapatan Negara, sebesar 13,77% dari outlook
APBN 2018. Namun, selama era Jokowi yang telah direalisasi, hanya pada tahun 2017
dan tahun 2018 terjadi kenaikan yang signifikan. Pada tahun 2015 bahkan terjadi
penurunan. Secara keseluruhan, kenaikannya lebih rendah dibanding era
sebelumnya. Kenaikan rata-rata era 2005-2009 sebesar 17,56% per tahun. Era
tahun 2010-2014 sebesar 12,94%. Sedangkan era 2015-2018 sebesar 5,43%, dan jika
target tahun 2019 tercapai, maka rata-ratanya menjadi 7,10%.
Jika dicermati lagi, kenaikan pendapatan negara pada tahun
2017 dan tahun 2018 tidak sepenuhnya didukung oleh kondisi perekonomian
nasional yang stabil atau membaik. Ada berbagai faktor lain yang justeru lebih
berpengaruh. Diantaranya adalah tren peningkatan harga minyak dunia dan
kenaikan berbagai harga komoditas, dan pelemahan rupiah. Pelemahan rupiah pada
tahun 2018 memberi tambahan pendapatan yang cukup signifikan. Tentu harus
diakui adanya faktor internal, karena kebijakan yang cukup mendukung, seperti
kebijakan amnesti pajak dan reformasi perpajakan.
Kondisi pendapatan negara pada tahun 2019 besar kemungkinan tak
memiliki “keberuntungan” seperti tahun 2018, sehingga target dipatok terlampau
tinggi. Harga minyak dan komoditas, seandainya naik atau bertahan, tentu tidak
menyumbang tambahan dalam porsi yang setara. Apalagi target lifting minyak
telah diturunkan. Dampak kebijakan reformasi perpajakan memang masih bisa
dirasakan. Nominal penerimaan akan naik, namun dengan tambahan kenaikan yang
menurun. Keuntungan dari uang denda dan perbaikan basis data pembayar pajak
telah diperoleh pada tahun 2017 dan 2018. Tambahan pada tahun 2019 akan
tertahan.
Target kenaikan pendapatan sebesar 13,77% tadi menjadi tidak
realistis jika melihat rata-rata kenaikan selama empat tahun (2015-2018) era
Jokowi yang sebesar 5,43%. Bahkan jika dibandingkan dengan rata-rata kenaikan periode
2005-2018 sebesar 12,45%. Tahun 2017 dan 2018 tampak tidak memadai menjadi
acuan, karena beberapa faktor yang disebut di atas. Target kenaikan pendapatan yang
lebih realistis hanya di kisaran 7-8%. Artinya pula, jika belanja akan berhasil
diserap mendekati target, maka defisit akan jauh lebih besar dibanding
targetnya.
Lebih jauh lagi, beban target diberikan pada kenaikan
penerimaan perpajakan yang mentargetkan kenaikan 15,36% dari outlook 2018. Tampak
realistis jika melihat Outlook 2018 memperkirakan kenaikan sebesar 15,26%
dibanding realisasi tahun 2017. Akan tetapi catatan kenaikan penerimaan
perpajakan selama era Jokowi dan horison waktu yang lebih panjang tak mendukung
target tersebut. APBN 2019 terlampau ambisius dengan targetnya, mengingat
“dampak positif” kebijakan amnesti pajak telah melemah jika dilihat dari aspek
tambahan atau kenaikannya. Di sisi lain, Nota Keuangan belum mengemukakan
kebijakan dan rencana aksi yang luar biasa dalam hal perpajakan pada tahun
2019.
Dengan demikian, tidak cukup kuat argumen sebagai sehat berdasar
angka-angka defisit, target pendatan negara, dan target penerimaan perpajakan.
Argumen sehat berdasar angka keseimbangan primer akan diulas pada bagian dua.