Jumat, 31 Agustus 2018

BELANJA BARANG YANG MENINGKAT


Belanja Pemerintah Pusat yang direncanakan RAPBN 2019 sebesar Rp1.607,34 triliun dapat dicermati menurut jenisnya, yang terdiri dari 8 jenis. Salah satunya adalah belanja barang yang dialokasikan sebesar Rp319.34 triliun atau sekitar 19,87%.

Belanja Barang dan Jasa adalah pengeluaran untuk menampung pembelian barang dan/ atau jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan/atau jasa yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan dan pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat/ Pemerintah Daerah (Pemda) dan belanja perjalanan.

Belanja barang dan jasa dikelompokan menjadi enam kelompok penggunaan. Pertama, belanja barang, seperti: belanja barang untuk kegiatan operasional, belanja barang untuk kegiatan non operasional, belanja barang yang menghasilkan persediaan. Kedua, belanja jasa seperti: belanja langganan daya dan jasa, belanja jasa pos dan giro, belanja jasa konsultan, belanja sewa, belanja jasa profesi, dan belanja jasa lainnya. Ketiga, belanja pemeliharaan aset yang tidak menambah umur ekonomis/masa manfaat atau kapitalisasi kinerja aset tetap atau aset lainnya, dan/ atau kemungkinan besar tidak memberikan manfaat ekonomi di masa yang akan datang dalam bentuk peningkatan kapasitas, mutu produksi, atau peningkatan standar kinerja. Keempat, belanja perjalanan dinas dalam negeri dan luar negeri. Kelima, belanja barang Badan Layanan Umum (BLU) merupakan pengeluaran anggaran belanja operasional BLU termasuk pembayaran gaji dan tunjangan pegawai BLU. Keenam, belanja barang untuk diserahkan kepada masyarakat/Pemda merupakan pengeluaran anggaran belanja negara untuk pengadaan barang untuk diserahkan kepada masyarakat/Pemda yang dikaitkan dengan tugas fungsi dan strategi pencapaian target kinerja suatu Satker dan tujuan kegiatannya tidak termasuk dalam kriteria kegiatan belanja bantuan sosial.

Catatan pentingnya, belanja barang tidak dimaksudkan untuk menambah nilai aset pemerintah pusat. Batasannya adalah habis pakai pada tahun anggaran bersangkutan, atau jika ada yang berupa aset adalah untuk diserahkan kepada pihak lain pada tahun itu. Bahkan, beberapa komponennya tampak “serupa” dengan belanja pegawai, dalam artian diterima oleh pegawai. Dan salah satu subjenis belanjanya yang sering menjadi perhatian adalah biaya perjalanan dinas.

Nilai belanja barang terus meningkat. Porsinya pun cenderung membesar, meski kadang terjadi penurunan sesekali. Pada tahun 2018 dan 2019, porsinya tampak diupayakan untuk turun kembali. Secara rata-rata, belanja barang dalam era Jokowi-JK meningkat sangat signifikan dibanding era sebelumnya. Porsi belanja barang era 2005 – 2009 (APBN era SBY-JK) adalah 10,10%, dan  era 2010 – 2014 (APBN era SBY-Boediono) meningkat menjadi 14,33%. Sedangkan era 2015 – 2019 (APBN era Jokowi-JK) meningkat menjadi 21,42%.



Dapat dikatakan porsi APBN yang bersifat keperluan “operasional” memang makin besar. Sebelumnya kita telah membahas tentang belanja pegawai. Jika belanja pegawai dan belanja barang digabungkan, maka nilainya dalam RAPBN 2019 mencapai Rp687,93 triliun atau sekitar 43% dari total Belanja Pemerintah Pusat. Rencana ini sudah terbilang berupaya menurunkan porsinya, karena pada tahun 2016 mencapai 49% dan hampir 48% pada tahun 2017.

BELANJA PEGAWAI TERUS MENINGKAT


BELANJA PEGAWAI TERUS MENINGKAT  
Belanja Pemerintah Pusat yang direncanakan RAPBN 2019 sebesar Rp1.607,34 triliun dapat dicermati menurut jenisnya, yang terdiri dari 8 jenis. Salah satunya adalah belanja pegawai yang dialokasikan sebesar Rp368,59 triliun atau sekitar 22,93%.

Belanja Pegawai adalah kompensasi terhadap pegawai baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk barang, yang harus dibayarkan kepada pegawai pemerintah dalam dan luar negeri, baik kepada Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pegawai yang dipekerjakan oleh pemerintah yang belum berstatus PNS dan/atau non-PNS sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan dalam rangka mendukung tugas fungsi unit organisasi pemerintah.

Belanja pegawai pada dasarnya terdiri dari tiga kelompok. Pertama, belanja gaji dan tunjangan. Diantaranya adalah adalah: (1) gaji dan tunjangan PNS dan TNI/Polri termasuk uang makan dan tunjangan lauk pauk; (2) gaji dan tunjangan yang melekat pada pembayaran gaji Pejabat Negara; 3. gaji dan tunjangan dokter /bidan pegawai tidak tetap. Kedua, belanja Honorarium dan lembur. Diantaranya adalah: (1) honorarium dalam rangka pembayaran honor tetap, termasuk honor pegawai honorer yang akan diangkat menjadi pegawai; (2) gaji dan tunjangan pegawai non-PNS, termasuk tunjangan tenaga pendidik dan tenaga penyuluh non-PNS; (3) pembayaran uang lembur; (4) pembayaran tunjangan khusus, seperti belanja pegawai transito dan kompensasi atas pemberhentian sebagai dampak reformasi birokrasi. Ketiga, belanja kontribusi sosial. Diantaranya adalah: (1) pensiun dan uang tunggu PNS/Pejabat Negara/TNI/Polri; (2) pembayaran program Jamman sosial pegawai; (3) pembayaran untuk uang duka wafat.

Jumlah belanja pegawai terus meningkat. Porsinya pun cenderung membesar, meski kadang terjadi penurunan. Secara rata-rata, porsi belanja pegawai era 2005 – 2009 (APBN era SBY-JK) adalah 17,41%, dan  porsi belanja pegawai era 2010 – 2014 (APBN era SBY-Boediono) meningkat menjadi 20,09%. Sedangkan era 2015 – 2019 (APBN era Jokowi-JK) meningkat menjadi 24,28%.


Perlu diketahui bahwa belanja pegawai tersebut tidak memasukkan untuk pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal dan/atau kegiatan yang mempunyai output dalam kategori belanja barang. Begitu pula yang termasuk belanja modal, jika terkait langsung dengan proses kegiatan belanja modal. Pada kenyataannya, sebagian imbalan yang riil diterima oleh PNS/TNI/Polri/ Pejabat Negara masuk ke dalam jenis belanja barang dan jenis belanja modal. Diantaranya melalui biaya perjalanan dinas atau honor rapat tertentu.

Jika belanja pegawai dalam artian yang riil dikeluarkan untuk membayar SDM, memasukkan bagian yang ada dalam belanja barang atau belanja modal, maka porsinya pada RAPBN 2019 dapat meningkat dari 22,93% mejadi sekitar 30% dari belanja pemerintah pusat. Kecenderungan kenaikan porsi belanja pegawai dan belanja untuk pegawai dalam arti lebih luas ini kurang mencerminkan perbaikan efisiensi anggaran pemerintah. Reformasi birokrasi tidak menunjukkan perbaikan yang berarti jika dilihat dari aspek ini. 

Kamis, 30 Agustus 2018

KESEIMBANGAN PRIMER YANG MASIH NEGATIF DALAM APBN


Pemerintah mengiklankan RAPBN 2019 telah dirancang sebagai kebijakan fiskal yang sehat. Salah satu penjelasannya adalah rencana Keseimbangan Primer yang menurun menuju arah positif. Apakah keseimbangan primer itu dan benarkah telah mencerminkan sehat?

Selama ini, APBN dan realisasinya selalu mengalami defisit, jumlah nilai belanja lebih besar dibandingkan dengan pendapatan. Kekurangan dana untuk belanja tersebut kini seluruhnya ditutupi dengan utang. Di masa lalu, sebagiannya sempat ditutupi dengan penjualan aset negara. Oleh karena hanya dibiayai oleh utang, maka utang pun terus bertambah.




Utang Pemerintah menimbulkan biaya dari sisi anggaran pemerintah, baik biaya perolehan maupun biaya selama proses pembayaran cicilan atau pelunasannya. Biaya terbesar dari utang adalah bunga utang. Bunga utang dianggap wajar sebagai biaya dalam perekonomian modern terkait dengan nilai sekarang (present value) dan biaya atas kesempatan yang hilang (opportunity) dari modal yang dipinjamkan. Secara teknis, bunga antara lain berwujud: bunga (interest) untuk pinjaman luar negeri dan kupon (coupon) untuk Surat Berharga Negara.

Ada pula biaya lain yang terkait dengan pengadaan pinjaman luar negeri, seperti: commitment fee, management fee, dan premi asuransi. Bahkan ada denda jika tidak jadi dicairkan, padahal sudah disepakati dalam perjanjian tertulis. Secara bahasa awam, biaya itu antara lain adalah: ongkos untuk perundingan, proses pencairan, pengawasan dan ongkos pembatalan, keterlambatan pencairan, denda, dan lain sebagainya.

Sedangkan untuk SBN, biaya riil bukan sekadar kupon, melainkan terkait dengan imbal hasil (yield) yang diperoleh investor atau pembelinya. Imbal hasil SBN merupakan keuntungan bagi investor sesudah memperhitungkan besarnya kupon dan harga pasar. Sebagai contoh, harga SBN ketika diterbitkan (berarti yang diterima oleh pemerintah) tidak selalu sama nilainya (100%) dari nominal tercantum. Jika sama dengan nominalnya berarti yield sama dengan kupon (bunga). Jika lebih rendah dari nominalnya (kurang dari 100%) berarti yield lebih dari kupon. Dimunkinkan pula kasus sebaliknya. Yang lebih sering terjadi adalah yield lebih besar dari kupon. Selain itu, pemerintah juga harus mengeluarkan beberapa biaya terkait dengan proses penerbitan dan distribusi SBN.

Dalam pencatatan dan publikasi APBN, keseluruhan biaya utang dianggap merupakan pembayaran bunga utang. Pos pembayaran bunga utang luar negeri telah memperhitungkan semua jenis biayanya. Pos pembayaran bunga dalam negeri telah mencakup perhitungan imbal hasil neto dan biaya lainnya dari SBN. Biaya yang dikeluarkan dalam hal SBN Syariah, meskipun mekanismenya tidak dengan perhitungan bunga, pembayaran riil nya dicatat pula dalam pos ini.

Pembayaran bunga utang diperlakukan sebagai salah satu pos atau jenis belanja dalam APBN. Sedangkan pembayaran cicilan atau pelunasan utang tidak dicatat sebagai belanja, melainkan sebagai pengeluaran pembiayaan. Begitu pula, pencairan utang baru dan hasil penjualan SBN tidak dicatat sebagai Pendapatan, melainkan dalam penerimaan pembiayaan. Hasil bersih selisih antara penerimaan dan pengeluaran itu disebut pembiayaan utang. Sekali lagi, yang diperhitungkan sebagai belanja hanya pembayaran bunga utang. Pembayaran bunga utang selama ini terus meningkat dari tahun ke tahun.



Keseimbangan primer adalah pendapatan negara dikurangi dengan belanja negara, namun dari komponen belanja negara tersebut pos pembayaran bunga utang tidak diperhitungkan. Sebagai contoh, realisasi APBN 2017 menunjukkan bahwa Pendapatan Negara sebesar Rp1.666,38 triliun dan Belanja Negara sebesar Rp2.007,35 triliun. Diantara pos belanja, terdapat pembayaran bunga utang adalah Rp216,56 triliun. Keseimbangan primer pada realisasi APBN 2017 adalah sebesar minus atau negatif Rp124,41 triliun. Perhitungannya adalah Pendapatan sebesar Rp1.666,38 triliun dikurangi Belanja yang tak memasukkan pembayaran bunga Rp1.791,79 triliun (Rp2.007,35 triliun dikurangi Rp215,56 triliun).

Jika nilainya positif (surplus) berarti bunga utang dibayar dari pendapatan. Jika negatif (defisit) berarti sebagian bunga utang dibayar tidak dari pendapatan, melainkan dari utang baru. Dalam realisasi tahun 2017 tadi, keseimbangan primer adalah minus (negatif). Pada tahun itu, tidak saja cicilan dan pelunasan utang lama yang memakai dana dari utang baru. Sebagian pembayaran bunga utang telah membutuhkan utang baru.

Kondisi keseimbangan primer anggaran pemerintahan suatu negara, terutama negara berkembang, biasa dikaitkan dengan kesinambungan fiskalnya. Diakui luas bahwa kesinambungan fiskal dapat dipertahankan melalui pemenuhan pembayaran bunga utang dengan pendapatan negara dan bukan pengadan atau penerbitan utang baru. Pandangan lain yang lebih hati-hati bahkan menyebut tidak cukup hanya sekadar surplus, melainkan nilai surplusnya musti meningkat. Peningkatan itu setidaknya dapat mempertahan surplus dengan rasio yang setidaknya tetap (finite) atas PDB. Oleh karena nilai PDB meningkat tiap tahun, maka surplus keseimbangan primer juga musti bertambah. 

RAPBN 2019 memang merencanakan kondisi keseimbangan primer yang lebih baik dibandingkan tahun 2018, dan kondisinya mengalami sedikit perbaikan dalam tiga tahun terakhir. Akan tetapi jika dilihat bahwa targetnya masih sebesar minus Rp21,7 triliun, maka kondisi belum dapat dikatakan sehat. Dan realisasi APBN 2019 amat mungkin menambah minus itu, karena target pendapatan yang terlampau tinggi. Sedangkan, rencana belanja lebih sulit direm, dan terutama pembayaran bunga utang akan tetap di kisaran targetnya. Sebagai catatan, selama tahun 2000 hingga tahun 2011, keseimbangan primer bernilai surplus (positif). Sejak tahun 2012, selalu minus (negatif).




Selain upaya meningkatkan pendapatan negara, salah satu strategi penting memperbaiki kondisi keseimbangan primer adalah menekan pembayaran bunga utang. Sejauh ini, kenaikannya bukan hanya karena jumlah atau posisi utang yang bertambah, melainkan juga karena tingkat bunga (termasuk yield) yang masih tinggi. Termasuk salah satu yang tertinggi di kawasan Asia dan bahkan dunia. Artinya peluang menurunkan terbuka lebar, dengan berbagai kebijakan. Salah satunya adalah meningkatkan kerjasama dan koordinasi dengan Bank Indonesia.

Bagaimanapun, Pemerintah musti berupaya lebih keras agar keseimbangan primer kembali surplus. Dan secara bertahap nilai surplusnya bertambah, sehingga kesinambungan fiskal dapat terjaga.

Selasa, 28 Agustus 2018

RAPBN 2019 BELUM MENCERMINKAN KEMANDIRIAN


Pemerintah mengatakan bahwa RAPBN 2019 dirancang sebagai kebijakan fiskal yang sehat, adil, dan mandiri. Klaim mandiri dijelaskan dengan dua hal. Pertama, kontribusi penerimaan perpajakan yang makin meningkat. Kedua, pembiayaan utang yang makin menurun.

Pemerintah mengedepankan kontribusi perpajakan terhadap Pendapatan Negara yang terus meningkat, dari 74,0% pada tahun 2014 menjadi 83,1% dalam RAPBN 2019. Argumen ini dapat diterima sebatas perbandingan via a vis dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Porsi PNBP memang cenderung menurun. (lihat gambar yang disalin dari publikasi Kemenkeu)



PNBP sendiri masih lebih mengandalkan penerimaan SDA, termasuk minyak dan gas. Porsinya masih 48,46% (Rp169,20 triliun) dalam outlook APBN 2018 dan direncanakan 49,33% (Rp178,11 triliun). PNBP dari bagian laba BUMN cenderung stagnan dalam beberapa tahun terakhir, di kisaran 40 triliun rupiah, dan hanya ditargetkan Rp45,59 triliun. PNBP dari pendapatan BLU dan PNBP lainnya juga cenderung stagnan, karena memang secara langsung berkaitan dengan layanan publik yang notabene tidak mengejar keuntungan atau kenaikan pendapatan. (lihat gambar yang disalin dari publikasi Kemenkeu)



Bisa difahami jika argumen kemandirian lebih terkait dengan tak mengandalkan PNBP dari penerimaan SDA lagi, seperti di masa satu dua dasawarsa lalu. Penerimaan jenis ini memang amat fluktuatif dan bergantung kondisi global, terutama harga komoditasnya.

Meskipun demikian, mandiri mustinya lebih dikaitkan dengan sumber pendanaan dari utang. Mandiri jika tak lagi bergantung kepada penambahan utang baru. Pemerintah jelas mengerti hal ini, sehingga argumen yang disampaikan adalah fakta pembiayaan utang yang makin menurun.

Pembiayaan utang adalah tambahan utang secara neto, yaitu pencairan utang baru dikurangi pelunasan.  Ditargetkan sebesar Rp359,28 triliun. Target yang hanya sedikit turun dibanding outlook APBN 2018 sebesar Rp387,4 triliun. Bahkan, jika dilihat era 2015 – 2018 (pemerintahan Jokowi), tak terjadi penurunan yang signifikan (lihat gambar yang disalin dari publikasi Kemenkeu). Dengan kata lain, dana dari utang masih memiliki porsi yang amat besar dalam APBN.



Pembiayaan utang dalam RAPBN 2019 memang makin mengandalkan penerbitan SBN. SBN secara neto, penerbitan baru dikurangi yang jatuh tempo dan buyback, adalah sebesar Rp386,21 triliun. Lebih besar dibandingkan dengan rencana pembiayaan utang, karena pinjaman luar negeri neto direncanakan minus. Pelunasan pinjaman lebih besar dibandingkan pencairannya. Akan tetapi hal ini tidak serta merta menunjukkan kemandirian yang meningkat. Hampir 40% SBN berdenominasi rupiah yang dapat diperjualbelikan dimiliki oleh asing. Hampir seluruh SBN berdenominasi valuta asing dimiliki asing. Pola kepemilikan ini tak ada petanda akan berubah dalam waktu singkat. Penerbitan SBN baru pun masih akan mengandalkan pihak asing untuk membelinya.

Dengan demikian, RAPBN 2019 memang tampak lebih mandiri dibanding outlook APBN 2018. Perlu diingat bahwa pembiayaan utang tahun 2015-2017 sempat meningkat, sehingga upaya 2019 ini dapat dikatakan lebih untuk memperbaiki kondisi sebelumnya. Secara umum, RAPBN belum dapat dikatakan mandiri. Masih cukup bergantung pada tambahan utang. Dan tambahan utang itu terutama sekali diperoleh dari pihak asing.  

RAPBN 2019 BELUM SEHAT


Pemerintah mengatakan bahwa RAPBN 2019 dirancang sebagai kebijakan fiskal yang sehat, adil, dan mandiri. Penjelasan yang diberikan atas klaim sehat terdiri dari dua hal. Pertama, defisit APBN yang makin turun. Kedua, Keseimbangan Primer yang menurun menuju arah positif.

Defisit yang direncanakan adalah sebesar Rp297,16 triliun. Memang lebih rendah dibandingkan outlook APBN 2018 yang memperkirakan defisit sebesar Rp314.23 triliun. Disebut outlook, karena data realisasi ketika RAPBN disampaikan ke DPR adalah per akhir Juli. Biasanya Pemerintah memperlihatkan perbandingan dengan data APBN atau APBNP tahun sebelumnya. Artinya, outlook APBN 2018 itu belum tentu sesuai dengan realisasinya nanti.


Penurunan defisit terutama dari target kenaikan Pendapatan Negara, sebesar 12,59% dibandingkan outlook 2018. Outlook 2018 sendiri memperkirakan kenaikan 14,20%, setelah realisasi 2017 mencatat kenaikan sebesar 7,10%.  

Kenaikan pendapatan negara pada tahun 2017 dan tahun 2018 sebenarnya tidak sepenuhnya didukung oleh kondisi perekonomian nasional yang stabil atau membaik. Ada berbagai faktor lain yang justeru lebih berpengaruh. Diantaranya adalah tren peningkatan harga minyak dunia dan kenaikan berbagai harga komoditas. Sedangkan faktor internal yang mendukung antara lain adalah kebijakan amnesti pajak dan reformasi perpajakan.

Kondisi pendapatan negara pada tahun 2019 tak akan sebaik tahun 2018, dan targetnya terlampau tinggi. Harga minyak dan komoditas, seandainya naik atau bertahan, tentu tidak menyumbang tambahan dalam porsi yang setara. Apalagi target lifting minyak telah diturunkan. Dampak kebijakan reformasi perpajakan masih bisa dirasakan. Nominal penerimaan akan naik, namun dengan tambahan kenaikan yang menurun. Keuntungan dari uang denda dan perbaikan basis data pembayar pajak telah diperoleh pada tahun 2017 dan 2018. Tambahan pada tahun 2019 akan tertahan.


Target kenaikan pendapatan sebesar 12,59% tadi menjadi tidak realistis jika melihat rata-rata kenaikan selama lima tahun (2012-2016) yang sebesar 5,25%. Bahkan pada tahun 2015 sempat mengalami penurunan. Tahun 2017 dan 2018 tak memadai menjadi acuan, karena faktor yang disebut di atas. Kenaikan yang lebih wajar adalah di kisaran 5-7%.

Jika ditelisik lebih dalam, beban lebih diberikan pada kenaikan penerimaan perpajakan yang mentargetkan 15,0% dari outlook 2018. Tampak realistis jika melihat Outlook 2018 sendiri memperkirakan kenaikan sebesar 15.3%. Akan tetapi catatan kenaikan penerimaan perpajakan selama enam tahun (2012 – 2017) hanya sebesar 7,49%. RAPBN 2019 terlampau ambisius dengan targetnya, mengingat “dampak positif” kebijakan amnesti pajak telah melemah jika dilihat dari aspek tambahan (kenaikan)nya. Di sisi lain, Nota Keuangan belum mengemukakan kebijakan dan rencana aksi yang luar biasa dalam hal perpajakan pada tahun 2019.


Klaim sehat juga berargumen keseimbangan primer yang konsisten turun sejak 2015. Diyakini akan mendekati nol rupiah pada akhir tahun 2019.

Keseimbangan primer sebenarnya adalah suatu neraca, semacam neraca rugi laba dalam akuntansi, atau kondisi arus dana selama setahun. Neraca yang memperlihatkan pendapatan dikurangi belanja, namun besaran belanjanya tidak menyertakan pembayaran bunga utang. Jika nilainya positif (surplus) berarti bunga utang dibayar dari pendapatan. Jika negatif (defisit) berarti sebagian bunga utang dibayar tidak dari pendapatan, melainkan dari utang baru.

RAPBN memang merencanakan kondisi keseimbangan primer yang lebih baik, dan kondisinya telah membaik dibandingkan beberapa tahun terakhir. Akan tetapi jika dilihat bahwa targetnya masih sebesar minus Rp21,7 triliun, maka kondisi belum dapat dikatakan sehat. Dan dengan prakiraanku tentang target pendapatan yang terlampau tinggi, maka minusnya akan lebih besar dari itu.


Sementara itu, kenaikan pembayaran bunga utang sendiri cenderung terus meningkat. Dalam RAPBN tahun 2019 direncanakan sebesar Rp275,42 triliun, mengalami kenaikan 10,4% dari outlook APBN tahun 2018. Target kenaikan yang justeru lebih rendah dibanding outlook 2018 sebesar 15,16%. Dan terlampau rendah jika dilihat dari rata-rata 2012-2017 sebesar 15,15%.


Secara umum dapat dikatakan bahwa RAPBN 2019 hanya sedikit lebih sehat dibanding APBN 2018 dan APBN 2017. Namun tetap belum sehat berdasar dua variabel yang dipakai sebagai alat penjelasan Pemerintah itu sendiri.