Pemerintah mengatakan bahwa RAPBN
2019 dirancang sebagai kebijakan fiskal yang sehat, adil, dan mandiri. Penjelasan
yang diberikan atas klaim sehat terdiri dari dua hal. Pertama, defisit APBN yang
makin turun. Kedua, Keseimbangan Primer yang menurun menuju arah positif.
Defisit yang direncanakan adalah sebesar
Rp297,16 triliun. Memang lebih rendah dibandingkan outlook APBN 2018 yang
memperkirakan defisit sebesar Rp314.23 triliun. Disebut outlook,
karena data realisasi ketika RAPBN disampaikan ke DPR adalah per akhir Juli.
Biasanya Pemerintah memperlihatkan perbandingan dengan data APBN atau APBNP
tahun sebelumnya. Artinya, outlook APBN 2018 itu belum tentu sesuai dengan realisasinya
nanti.
Penurunan defisit terutama dari target
kenaikan Pendapatan Negara, sebesar 12,59% dibandingkan outlook 2018. Outlook
2018 sendiri memperkirakan kenaikan 14,20%, setelah realisasi 2017 mencatat kenaikan
sebesar 7,10%.
Kenaikan pendapatan negara pada
tahun 2017 dan tahun 2018 sebenarnya tidak sepenuhnya didukung oleh kondisi
perekonomian nasional yang stabil atau membaik. Ada berbagai faktor lain yang
justeru lebih berpengaruh. Diantaranya adalah tren peningkatan harga minyak
dunia dan kenaikan berbagai harga komoditas. Sedangkan faktor internal yang
mendukung antara lain adalah kebijakan amnesti pajak dan reformasi perpajakan.
Kondisi pendapatan negara pada tahun
2019 tak akan sebaik tahun 2018, dan targetnya terlampau tinggi. Harga minyak
dan komoditas, seandainya naik atau bertahan, tentu tidak menyumbang tambahan
dalam porsi yang setara. Apalagi target lifting minyak telah diturunkan. Dampak
kebijakan reformasi perpajakan masih bisa dirasakan. Nominal penerimaan akan
naik, namun dengan tambahan kenaikan yang menurun. Keuntungan dari uang denda
dan perbaikan basis data pembayar pajak telah diperoleh pada tahun 2017 dan
2018. Tambahan pada tahun 2019 akan tertahan.
Target kenaikan pendapatan
sebesar 12,59% tadi menjadi tidak realistis jika melihat rata-rata kenaikan
selama lima tahun (2012-2016) yang sebesar 5,25%. Bahkan pada tahun 2015 sempat
mengalami penurunan. Tahun 2017 dan 2018 tak memadai menjadi acuan, karena faktor
yang disebut di atas. Kenaikan yang lebih wajar adalah di kisaran 5-7%.
Jika ditelisik lebih dalam, beban
lebih diberikan pada kenaikan penerimaan perpajakan yang mentargetkan 15,0%
dari outlook 2018. Tampak realistis jika melihat Outlook 2018 sendiri
memperkirakan kenaikan sebesar 15.3%. Akan tetapi catatan kenaikan penerimaan
perpajakan selama enam tahun (2012 – 2017) hanya sebesar 7,49%. RAPBN 2019
terlampau ambisius dengan targetnya, mengingat “dampak positif” kebijakan
amnesti pajak telah melemah jika dilihat dari aspek tambahan (kenaikan)nya. Di
sisi lain, Nota Keuangan belum mengemukakan kebijakan dan rencana aksi yang
luar biasa dalam hal perpajakan pada tahun 2019.
Klaim sehat juga berargumen keseimbangan
primer yang konsisten turun sejak 2015. Diyakini akan mendekati nol rupiah pada
akhir tahun 2019.
Keseimbangan primer sebenarnya
adalah suatu neraca, semacam neraca rugi laba dalam akuntansi, atau kondisi
arus dana selama setahun. Neraca yang memperlihatkan pendapatan dikurangi
belanja, namun besaran belanjanya tidak menyertakan pembayaran bunga utang.
Jika nilainya positif (surplus) berarti bunga utang dibayar dari pendapatan.
Jika negatif (defisit) berarti sebagian bunga utang dibayar tidak dari
pendapatan, melainkan dari utang baru.
RAPBN memang merencanakan kondisi
keseimbangan primer yang lebih baik, dan kondisinya telah membaik dibandingkan
beberapa tahun terakhir. Akan tetapi jika dilihat bahwa targetnya masih sebesar
minus Rp21,7 triliun, maka kondisi belum dapat dikatakan sehat. Dan dengan
prakiraanku tentang target pendapatan yang terlampau tinggi, maka minusnya akan
lebih besar dari itu.
Sementara itu, kenaikan
pembayaran bunga utang sendiri cenderung terus meningkat. Dalam RAPBN tahun
2019 direncanakan sebesar Rp275,42 triliun, mengalami kenaikan 10,4% dari
outlook APBN tahun 2018. Target kenaikan yang justeru lebih rendah dibanding
outlook 2018 sebesar 15,16%. Dan terlampau rendah jika dilihat dari rata-rata
2012-2017 sebesar 15,15%.
Secara umum dapat dikatakan bahwa
RAPBN 2019 hanya sedikit lebih sehat dibanding APBN 2018 dan APBN 2017. Namun
tetap belum sehat berdasar dua variabel yang dipakai sebagai alat penjelasan
Pemerintah itu sendiri.