Sabtu, 26 Oktober 2019

MEMAHAMI DATA PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA (bagian tiga)


Dapat pula dicermati pertumbuhan masing-masing sektor atau lapangan usaha. Pertumbuhan ekonomi (PDB) pada tahun 2018 sebesar 5,17% bersifat rerata dan agregat. Ada sektor yang tumbuh lebih rendah dan ada yang lebih tinggi dibanding itu.
Contoh lapangan usaha yang tumbuh lebih rendah antara lain adalah: sektor pertanian yang tumbuh 3,91%, sektor industri pengolahan tumbuh 4,27 persen, sektor pertambangan dan penggalian yang hanya tumbuh sebesar 2,16%.
Sedangkan contoh lapangan usaha yang tumbuh lebih tinggi antara lain adalah: sektor konstruksi tumbuh 6,09%, sektor Transportasi dan pergudangan tumbuh 7,01%, dan sektor informasi dan komunikasi yang pertumbuhannya mencapai 7,04%.
Sektor pertanian memang tumbuh selalu lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi. Lajunya sempat turun selama tiga tahun berturut-turut, dari tahun 2013 hingga tahun 2015. Dalam tiga tahun terakhir justru perlahan meningkat.  
Sementara itu, sektor informasi dan komunikasi yang tahun 2018 masih tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi, sebenarnya mengalami penurunan. Sempat beberapa tahun mengalami tingkat pertumbuhan dua digit, perlahan melambat, hingga hanya tumbuh 7,04% pada tahun 2018.


Perhatian yang lebih besar biasanya diberikan pada pertumbuhan sektor industri pengolahan. Kondisi sektor ini dianggap mencerminkan transformasi perekonomian. Mengindikasikan tingkat industrialisasi yang telah dicapai, yang menjadi kunci utama dari pengembangan “kapasitas produksi” yang lebih berkelanjutan.
Sektor industri pengolahan mulai mengalami laju pertumbuhan yang cukup pesat di era 1970-an. Terutama didukung oleh kondisi pemerintahan Soeharto yang telah mulai stabil, sehingga mampu melakukan pembangunan ekonomi. Lajunya tetap bertahan tinggi pada era tahun 1980an dan 1990an. Pertumbuhan sektor ini baru merosot drastis saat krisis moneter, dan beberapa tahun setelahnya.


Laju pertumbuhan kembali meningkat pesat sejak tahun 2002. Lajunya masih di bawah rata-rata era pemerintahan Soeharto. Dan hal itu pun hanya berlangsung selama tiga tahun. Pertumbuhannya kembali melambat sejak tahun 2005. Sejak saat itu, laju pertumbuhannya hampir selalu di bawah laju pertumbuhan ekonomi atau rata-rata laju sektoral secara umum.


Jumat, 25 Oktober 2019

MEMAHAMI DATA PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA (bagian dua)

Pertumbuhan ekonomi telah menjelma menjadi semacam mantra sakti dalam diskusi atau wacana tentang ekonomi. Pembahasan tentang perekonomian Indonesia hampir selalu menempatkannya sebagai variabel terpenting. Istilah ini telah dianggap merepresentasikan pembangunan ekonomi.   

Pertumbuhan ekonomi pun sering disebut dan menjadi fokus dalam pidato Presiden, dalam Nota Keuangan dan APBN, serta laporan perekonomian resmi lainnya dari pemerintah. Laporan kebijakan dari otoritas ekonomi lainnya, seperti Bank Indonesia, juga memberi porsi besar. Tulisan dan komentar para ahli ekonomi, baik dalam rangka mendukung maupun mengkritik kebijakan, biasa memakai pertumbuhan ekonomi sebagai topik utama.

Sebagaimana disebut pada bagian sebelumnya, arti pertumbuhan ekonomi yang dipergunakan di Indonesia adalah pertumbuhan PDB atas dasar harga konstan yang dihitung oleh BPS. Pernyataan bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2018 sebesar 5,17 persen berasal dari PDB tahun 2018 atas dasar harga konstan (Rp10,425,32 triliun) dibandingkan dengan tahun 2017 (Rp9,912,70 triliun).

Dalam khazanah teori ekonomi, pertumbuhan ekonomi sebenarnya dimaknai secara lebih luas. Lebih dari sekadar pertambahan barang dan jasa yang diproduksi pada satu tahun atas tahun sebelumnya. Definisi pada umumnya menekankan pada aspek peningkatan kapasitas produksi dan produksi riil dalam jangka panjang.

Boediono (1992) mengartikan pertumbuhan ekonomi sebagai proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi diperhatikannya sebagai suatu proses atau bersifat dinamis. Bukan suatu gambaran ekonomi pada suatu saat saja, melainkan dalam jangka panjang.

Penekanan lain dari Boediono, dan memang umum dipakai para ahli ekonomi pembangunan,  pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan kenaikan output per kapita. Hasil produksi atau output per kapita adalah output total dibagi dengan jumlah penduduk.

Berdasar definisi seperti itu, angka pertumbuhan ekonomi dari BPS yang umum diketahui selama ini masih perlu disesuaikan. Angka pertumbuhan ekonomi yang biasa dipakai merupakan pertumbuhan PDB riil. Sedangkan definisi di atas memakai pertumbuhan PDB riil per kapita. Pemakaian angka PDB riil per kapita telah memperhitungkan jumlah penduduk pada pertengahan tahun bersangkutan,

Pertumbuhan ekonomi dalam versi ini selalu lebih rendah dalam kasus Indonesia. Perhitungan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia setelah memperhitungkan jumlah penduduk pada tahun 2018 hanya sekitar 3,73 persen. Lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi yang hanya menghitung pertumbuhan PDB riil, sebesar 5,17 persen. Kecenderungan serupa terjadi pula pada tahun-tahun sebelumnya.



Penyebabnya adalah laju pertumbuhan penduduk masih selalu positif, atau jumlah penduduk bertambah tiap tahun. Dapat dikatakan bahwa barang dan jasa yang diproduksi memang bertambah, namun perlu diperhitungkan pertambahan penduduk yang berproduksi sekaligus mengkonsumsinya. Untuk negara-negara industri maju, hal ini nyaris tak berbeda, karena laju pertumbuhan penduduknya di kisaran nol persen.

Jumat, 18 Oktober 2019

MEMAHAMI DATA PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA (bagian satu)

Pertumbuhan ekonomi secara umum berarti peningkatan produksi barang dan jasa pada suatu tahun dibanding tahun sebelumnya. Secara statistik, misalkan pada tahun 2018 yang sebesar 5,17%, sebenarnya merupakan perbandingan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2018 atas dasar harga konstan dibandingkan dengan nilainya pada tahun 2017.

PDB adalah nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam wilayah Indonesia selama setahun. Nilai PDB tahun 2018 atas dasar harga berlaku (harga tahun bersangkutan) adalah sebesar Rp14.837,4 triliun. Sedangkan PDB harga konstan merupakan nilai dengan memperhitungkan kenaikan harga yang dihadapi produsen dalam rangka berproduksi.

Saat ini, Badan Pusat Statistik (BPS) memakai tahun dasar 2010 untuk menentukan nilai PDB harga konstan. PDB atas dasar harga berlaku tahun 2018 tadi jika diperhitungkan memakai harga tahun 2010, maka nilainya menjadi sebesar Rp10.425,3 triliun. Sementara itu PDB tahun 2017 atas dasar harga konstan sebesar Rp9.912,7 triliun. Terjadi penambahan nilai produksi sebesar 5,17%, yang biasa disebut sebagai pertumbuhan ekonomi.



Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun tahun 2018 mencapai 5,17%, tertinggi di era pemerintahan Jokowi-JK. Pertumbuhan tahun 2019 diprakirakan hanya di kisaran 5,0-5,1%. Secara rata-rata, pertumbuhan per tahun kurun 2014-2019 sebesar 5,03%.

Pertumbuhan rata-rata era pemerintahan Jokowi-JK tercatat lebih rendah dari era pemerintahan SBY. Rata-rata era SBY-JK mencapai 5,64%, dan era SBY-Boediono mencapai 5,80%. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2010 yang mencapai 6,38%.

Pada kurun 1968-1997 (era Pemerintahan Soeharto) rata-rata pertumbuhan ekonomi terbilang tinggi, mencapai 6,77%. Hanya ada tiga tahun dalam periode itu yang tumbuh tidak tinggi, yaitu tahun 1982 (2,25%), 1983 (4,19%) dan 1986 (2,46%). 

Saat terjadi krisis moneter tahun 1998, pertumbuhan ekonomi terkontraksi atau sebesar negatif 13,13% pada tahun 1998, dan hanya 0,79% pada tahun 1999. Berangsur meningkat mulai tahun 2000 hingga tahun 2004, dengan rata-rata 4,57% per tahun.

Jumat, 28 Juni 2019

MEWASPADAI UTANG LUAR NEGERI SWASTA


Utang luar negeri (ULN) yang diperoleh pemerintah dan swasta pada suatu tahun akan membawa masuk devisa, yang menambah surplus Neraca Pembayaran Indonesia. Akan tetapi pada saat harus dilakukan pelunasan dan pembayaran bunga, maka akan tercatat sebagai arus ke luar. Jika hanya dilihat seperti itu tentu total devisa yang keluar akan lebih tinggi, karena ada tambahan bunganya. Akan tetapi sebagian ULN dianggap bisa meningkatkan ekpor yang menghasilkan devisa. Baik secara langsung karena sebagiannya dipakai dalam proses produksi berorientasi ekspor. Ataupun secara tidak langsung, melalui perbaikan kondisi ekonomi dan memacu pertumbuhan ekonomi yang kemudian mendorong ekspor.

Teori ekonomi bahkan memberi pembenaran perlunya utang luar negeri bagi suatu negara yang sedang membangun, karena tingkat tabungan domestik dianggap terlampau rendah. Tidak akan mencukupi bagi kebutuhan investasi yang menjadi syarat utama pertumbuhan ekonomi. Jika tidak berutang, atau hanya dengan mengandalkan tabungan domestik, maka negara itu diyakini kehilangan banyak kesempatan untuk mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.   

Terlepas dari perdebatan tentang manfaat utang luar negeri dan harapan akan menghasilkan devisa yang lebih banyak, akibat yang bersifat segera dan pasti adalah kewajiban pelunasan utang pokok dan pembayaran bunga. Oleh karenanya, otoritas ekonomi sering mewaspadai perkembangan ULN. ULN Pemerintah langsung bisa dikontrol, sedangkan ULN swasta diawasi dan coba dipengaruhi dengan berbagai kebijakan. Indonesia telah berpengalaman buruk di masa lampau mengenai ULN swasta yang tak terkontrol.

ULN swasta tercatat tumbuh kembali dengan cepat dan melampaui utang pemerintah lagi sejak tahun 2012. Laju ULN Pemerintah kemudian sempat naik pesat pada tahun 2017 dan 2018, sehingga kembali setara. Akan tetapi di akhir tahun 2018 hingga April 2019, ULN swasta kembali melampaui ULN Pemerintah. ULN swasta sebesar US$199,61 miliar, ULN Pemerintah sebesar US$189,72 miliar, sehingga totalnya sebesar US$389,34 miliar. Salah satu penyebab kenaikan pesatnya adalah ULN Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dicatat oleh Bank Indonesia sebagai utang swasta.


Posisi ULN BUMN cenderung meningkat selama 10 tahun terakhir. Peningkatan signifikan terjadi sejak tahun 2011, dan posisi pada akhir April 2019 mencapai US$49,02 miliar. Perlu diketahui bahwa BUMN yang paling banyak berutang adalah yang bergerak di bidang nonkeuangan. Bukan BUMN Bank ataupun BUMN lembaga keuangan nonbank.


Dilihat dari porsi, ULN BUMN saat ini mencapai 24,56% dari total ULN swasta. Jauh lebih besar dibanding porsi tahun 2007 yang sebesar 6.51% dan tahun 2010 sebesar 10,19%. Hampir 30% berjangka waktu pendek (kurang dari setahun).


Dilihat dari denominasi valuta asing ULN, maka porsi dolar Amerika masih amat dominan, mencapai 90,09% dari total ULN swasta. Porsi ini mengalami peningkatan dibanding tahun-tahun sebelumnya, seperti tahun 2007 (85,91%) dan pada tahun 2012 (87,43%). Artinya, dilihat dari sisi ini, pengaruh kurs rupiah atas dolar makin membesar.

Jika dilihat dari jangka waktu sisa, maka ULN swasta berjangka pendek (kurang dari sama dengan setahun) kini memiliki porsi sekitar 27,24%. Porsi ini sempat stabil selama sepuluh tahun terakhir di kisaran 25%, dan sedikit meningkat dua tahun terakhir. Porsi yang telah lebih dari seperempat total utang swasta itu akan memberatkan jika kondisi ekonomi memburuk mendadak. Terutama jika depresiasi rupiah cukup signifikan, sementara korporasi swasta (termasuk BUMN) tersebut tidak memproduksi barang atau jasa yang diekspor.

Secara umum, kondisi terkini dari ULN swasta memang masih lebih baik dibanding tahun 1996-1997, menjelang krisis. Masih terlihat aman pula jika dilihat dari besarnya cadangan devisa, kinerja NPI, dan bahkan tekanan atas Transaksi Berjalan yang tengah terjadi. Akan tetapi, kondisinya cenderung memburuk selama beberapa tahun terakhir. Dengan demikian, kewaspadaan otoritas ekonomi atas dinamika ULN perlu ditingkatkan mengingat kondisi global ke depan makin penuh ketidakpastian dan berisiko terjadi turubulensi. ULN BUMN menjadi salah satu yang bisa segera dikendalikan oleh otoritas ekonomi.

Ulasan dalam tulisan ini bersifat umum, hanya melihat data-data keseluruhan dan pengelompokan oleh Bank Indonesia. Masalah bisa saja timbul dari korporasi swasta dan BUMN secara individual ataupun suatu industri. Salah satu faktor krusialnya adalah jika mereka memiliki ULN dalam denominasi dolar Amerika, namun produksinya dijual dalam rupiah di pasar domestik. Yang jelas, terdapat beberapa indikasi yang kurang menggembirakan dan membutuhkan kewaspadaan lebih tinggi dari otoritas ekonomi Indonesia. 

Minggu, 23 Juni 2019

PEMBAYARAN BUNGA UTANG MAKIN MEMBEBANI APBN


Perhatian publik lebih sering kepada tambahan dan posisi utang pemerintah. Perdebatan umum mengedepankan nilai nominal posisi utang ataupun rasionya atas Produk Domestik Bruto (PDB). Padahal yang secara langsung lebih berpengaruh kepada pengelolaan APBN adalah nilai pembayaran bunga utang. Tambahan utang memang cenderung akan menambah pembayaran bunga, namun laju kenaikannya tidak selalu sama atau seiring. Hal itu bergantung pada perkembangan tingkat bunga utang. Dapat saja posisi utang bertambah cukup besar selama setahun, namun tidak diikuti oleh kenaikan pembayaran bunga secara proporsional.

Selama era pemerintahan Jokowi, nilai pembayaran bunga utang cenderung naik lebih cepat dari tambahan utang, kecuali pada tahun pertama pemerintahan (2015). Terlihat bahwa persentase kenaikan pembayaran bunga melampaui persentase pertumbuhan posisi utang. Demikian pula jika dilihat dari kenaikan persentase pembayaran bunga selama setahun dibanding dengan posisi utang akhir tahun yang bersangkutan. Sedangkan selama era pemerintahan SBY pertama dan SBY kedua, terjadi fluktuasi dalam besaran ini.


Cara penjelasan lain adalah dengan melihat data posisi utang akhir tahun 2014 yang sebesar Rp2.607 triliun, yang diprakirakan meningkat menjadi Rp4.778 triliun pada akhir tahun 2019 (posisi per akhir Mei telah mencapai Rp4.572 triliun). Naik sekitar 1,83 kali lipat (183%). Sementara itu, pembayaran bunga utang pada tahun 2014 sebesar Rp133,44 triliun, dan diprakirakan sekitar Rp298 triliun pada tahun 2019 (meski target APBN hanya sebesar Rp275,89 triliun). Naik sekitar 2,23 kali lipat (223%).

APBN KiTA yang dirilis Kementerian Keuangan tanggal 21 Juni lalu memperlihatkan bahwa realisasi pembayaran bunga Januari hingga Mei 2019 (5 bulan) telah mencapai Rp127,07 triliun. Jumlah itu merupakan 46,06% dari target yang sebesar Rp275,89 triliun. Dengan data itu, diprakirakan hingga akhir tahun pembayaran bunga akan melebihi targetnya. Tampaknya memang tidak seburuk tahun lalu yang realisasi mencapai 108,11% dari rencana. Pada tahun 2019 kemungkinan sekitar 105% dari rencana, atau sebesar Rp290 triliun.

Salah satu cara melihat beban utang adalah mencermati perkembangan porsi pembayaran bunga utang selama setahun dari posisi utang rata-rata selama tahun yang bersangkutan. Posisi utang rata-rata secara sederhana dapat diperoleh dari posisi awal tahun (sama dengan akhir tahun sebelumnya) ditambah dengan posisi akhir tahun, kemudian dibagi dua. Rasio itu dapat dibaca sebagai “tingkat bunga riil” yang dibayar Pemerintah melalui APBN.

Rasio pada tahun 2014 sebesar 5,35%, kemudian terus naik menjadi 5,40% (2016), 5,47% (2017), dan 6,18% (2018). APBN 2019 sebenarnya mencerminkan upaya menurunkan rasio. Jika sesuai rencana, rasio pembayaran bunga utang dari posisi utang rata-rata dapat ditekan menjadi 6,0%. Akan tetapi dari prakiraan berdasar realisasi 5 bulan berjalan, justeru dapat meningkat menjadi 6,31%.


Analisis yang lebih cermat adalah memilah biaya dari beberapa jenis utang antara lain karena beberapa jenis utang memang memiliki “biaya” yang jauh lebih rendah, sehingga bisa menyamarkan jenis lainnya. Sebagai contoh, SBN yang tidak bisa diperdagangkan yang dimiliki oleh Bank Indonesia kini nyaris tak berbiaya, dan beberapa pinjaman luar negeri (loan) berbunga kecil.
Salah satu yang paling sering dianalisis karena berguna pula sebagai perbandingan antar negara adalah Surat Utang Negara bertenor 10 tahun. Selama beberapa tahun terakhir SBN bertenor 10 tahun memiliki bunga riil (yield) di kisaran 7-8%. Yield SBN Indonesia itu terbilang paling tinggi di kawasan saat ini. Sebagai contoh per 7 Juni 2019, Indonesia sebesar 7,96% yang lebih tinggi dari Philipina (5,22%), Malaysia (3,70%), Thailand (2,23%) dan Singapura (2,03%).      

Untuk mengetahui seberapa besar beban pembayaran bunga utang pemerintah dalam pengelolaan APBN dapat dilihat dari perbandingan atau rasionya dengan belanja negara dan pendapatan negara. Rasio dalam belanja memperlihatkan porsinya sebagai salah satu pos belanja dalam APBN. Sebagai contoh, pembayaran bunga utang pada tahun 2018 sebesar Rp258,09 triliun merupakan 11,72% dari realisasi Belanja Negara tahun itu. Jika dicermati perubahan porsinya dari tahun ke tahun, maka makin kecil porsinya akan memberi ruang bagi jenis belanja lain. Faktanya, ada kecenderungan porsi yang perlahan meningkat. Sedangkan rasio bunga utang dengan pendapatan menujukkan porsi yang terpakai, seandainya dibayar penuh dari pendapatan. Pembayaran bunga utang tahun 2018 adalah sebesar 13,38% dari realisasi Pendapatan Negara. Kecenderungannya juga mengalami peningkatan selama beberapa tahun terakhir.


Secara umum dari berbagai data di atas dapat dikatakan bahwa pembayaran bunga utang makin membebani pengelolaan APBN. Akan tetapi jika dilihat data kurun waktu yang lebih lama, serta tingkat bunga utang negara-negara lain, maka terdapat peluang bagi perbaikan yang signifikan.

Minggu, 02 Juni 2019

DEFISIT PENDAPATAN PRIMER YANG MAKIN MENEKAN


Kondisi yang rawan namun kurang menjadi wacana diskusi publik adalah fakta bahwa yang paling membebani Transaksi Berjalan (Current Account) hingga defisitnya terus membesar adalah perkembangan neraca Pendapatan Primer (Primary Income).

Per definisi, pendapatan (income) merupakan perolehan yang timbul dari penyediaan faktor produksi tenaga kerja dan modal finansial. Arus masuk (inflow) pendapatan mengacu pada hasil yang diperoleh dari penyediaan tenaga kerja Indonesia atau modal finansial Indonesia kepada bukan penduduk. Sedangkan arus keluar (outflow) pendapatan merupakan biaya yang harus dibayar Indonesia karena memanfaatkan tenaga kerja atau modal finansial asing.

Transaksi pendapatan primer yang berupa pembayaran (outflow) antara lain adalah: keuntungan dari investasi langsung asing, pembayaran bunga surat utang pemerintah, dan pembayaran bunga pinjaman luar negeri. Nilai yang berupa pembayaran ke pihak asing cenderung terus meningkat, dan mencapai USD39,58 miliar pada tahun 2018. Kecenderungan naik terutama sebagai konsekuensi dari transaksi finansial yang selalu surplus, akibat arus modal finansial asing (termasuk utang) yang terus masuk ke Indonesia.

Sebagaimana umum diketahui bahwa ekonomi Indonesia menerima arus masuk modal dari luar, baik berupa investasi langsung, investasi portofolio, atau transaksi keuangan lainnya. Hal itu dicatat dalam Transaksi Finansial yang merupakan bagian dari Neraca Pembayaran. Transaksi finansial terdiri dari transaksi dalam rangka investasi langsung (direct investment), investasi portofolio (portfolio investment), derivatif financial (financial derivatives), dan investasi lainnya (other investment).

Investor langsung berharap untuk mendapatkan manfaat dari hak suaranya dalam manajemen perusahaan atau memperoleh akses terhadap sumber daya atau pasar di negara domisili perusahaan afiliasinya. Sedangkan investor portofolio cenderung lebih bersifat spekulatif dibanding investasi langsung, karena tidak memiliki pengaruh yang cukup dalam perusahaan tempatnya berinvestasi. Transaksi investasi portofolio adalah atas surat berharga, baik di pasar perdana ataupun di pasar sekunder. Transaksi terjadi di pasar finansial terorganisasi, melalui bursa ataupun di luar bursa. Investor portofolio terutama menimbang keamanan investasi, kemungkinan apresiasi nilainyai, dan imbal hasil yang diperoleh. Jika kondisi atau keadaan berubah, investor portofolio dapat dengan mudah menggeser investasi mereka ke wilayah lain.

Sebenarnya, pihak Indonesia juga melakukan hal serupa (investasi) di luar negeri dan menerima arus pendapatan primer. Nilainya pada tahun 2018 mencapai USD9,28 miliar. Namun masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang dibayar ke pihak luar, sehingga terjadi defisit sebesar USD30,43 miliar.

Neraca Pendapatan Primer selama ini memang selalu mengalami defisit. Hal itu disebabkan, Indonesia lah yang lebih banyak memakai faktor produksi asing dibanding sebaliknya. Masalahnya adalah ketika nilai defisit mengalami kenaikan yang pesat. Kenaikan terutama sebagai konsekuensi dari transaksi finansial yang selalu surplus, akibat arus modal finansial asing (termasuk utang) yang terus masuk ke Indonesia. Arus masuk itu memperbaiki neraca pembayaran dan menambah cadangan devisa pada tahun bersangkutan. Namun, kompensasinya akan berupa pembayaran pada bagian neraca Pendapatan Primer pada waktu berikutnya. Perkembangan defisit pendapatan primer secara tahunan sejak tahun 1981 dapat dilihat pada gambar.

          
Dilihat dari perkembangan triwulan I tahun 2019, defisitnya telah lebih besar dibanding triwulan yang sama pada tahun-tahun sebelumnya. Ada kemungkinan, defisit tahun 2019 menciptakan rekor baru dalam neraca Pendapatan Primer.



Neraca Pendapatan Primer 2018 yang defisit sebesar USD 30,43 miliar terdiri dari Kompensansi Tenaga Kerja yang defisit sebesar USD1,50 miliar dan Pendapatan Investasi yang defisit sebesar USD28,93 miliar. Pendapatan Investasi tersebut terdiri dari tiga jenis: Pendapatan investasi langsung yang defisit USD17,14 miliar, pendapatan investasi portofolio yang defisit USD9,65 miliar, dan pendapatan investasi lainnya yang defisit USD2,14 miliar.

Selama lima belas tahun terakhir tampak bahwa defisit pendapatan investasi langsung dan investasi portofolio cenderung meningkat. Pendapatan investasi langsung tahun 2004 defisit sebesar USD8,22 miliar menjadi defisit USD17,14 miliar pada tahun 2018, atau sekitar dua kali lipat. Sedangkan investasi portofolio tahun 2004 justru sempat surplus atau pihak Indonesia menerima hasil investasinya di luar negeri lebih besar dibanding yang dibayar ke pihak asing. Pada tahun 2005 kembali defisit sebesar USD0,46 miliar dan meningkat menjadi deficit USD9,65 miliar pada tahun 2018, atau meningkat lebih dari 20 kali lipat.

Dalam empat tahun terakhir, defisit pendapatan investasi langsung berfluktuasi, sedangkan defisit pendapatan investasi portofolio tetap meningkat. Hal ini seiring dengan arus masuk transaksi finansial dalam investasi portofolio yang juga meningkat.  



Dari aspek pengelolaan perekonomian oleh otoritas ekonomi, keseimbangan eksternal dalam aspek ini perlu mendapat perhatian yang lebih serius. Tekanan pendapatan primer makin memperdalam defisit transaksi berjalan. Dari defisit transaksi berjalan sebesar USD31,06 miliar pada tahun 2018, kontibusi defisit Pendapatan Primer sebesar USD30,43 miliar. Secara teknis, defisit pendapatan primer tentu saja tidak bisa diturunkan seketika secara signifikan, karena merupakan akibat akumulasi dari masuknya modal finansial selama bertahun-tahun. Akan tetapi dapat dilakukan pengendalian agar tidak terjadi peningkatan yang lebih besar lagi, atau diturunkan perlahan-lahan. Perbaikan transaksi berjalan sendiri memang harus mengandalkan perbaikan neraca perdagangan barang dan jasa secara berkesinambungan.

Bagaimanapun, dalam satu dua tahun ke depan, defisit pendapatan primer telah menjadi soalan amat serius. Tekanannya pada transaksi berjalan dapat melemahkan ketahanan Indonesia atas gejolak keuangan global.  

Rabu, 22 Mei 2019

RASIO UTANG YANG SELALU TIDAK SESUAI RENCANA


Pemerintah selalu menjelaskan bahwa kondisi utang pemerintah masih aman terkendali. Argumen berulang adalah rasio utang atas PDB yang masih di kisaran 30%, dan masih jauh dari batas yang dibolehkan undang-undang sebesar 60%.

Terlepas dari cukup beralasannya soal besaran rasio tersebut, perlu dicermati bagaimana atau berapa sebenarnya rencana rasio utang Pemerintah. Apakah rasio yang diklaim rendah dan aman itu sesuai dengan rencana pemerintah sendiri. Perlu ditelusuri tentang berapa target utang berdasar perencanaan jangka menengah serta rencana tahunan yang disusun oleh pemerintah sendiri. Termasuk target menurut APBN, yang merupakan kesepakatan Pemerintah dengan DPR. Berikut disampaikan beberapa rencana dan realisasi tentang rasio utang.



Pertama, rasio utang ternyata jauh melebihi yang direncanakan atau ditargetkan oleh Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019, yang ditetapkan melalui Perpres No.2/2015 tanggal 8 Januari 2015. “Terjaganya rasio utang pemerintah dibawah 30 persen PDB dan terus menurun yang diperkirakan menjadi 20,0 persen PDB pada tahun 2019… (Buku I RPJMN halaman 6-183). Dirinci target rasio tiap pada Buku I halaman 4-16 dan Buku II halaman 3-63 sebagai berikut: 26,7% (2015), 23,3% (2016), 22,3% (2017), 21,1% (2018), dan 19,3% (2019). Realisasinya kemudian meleset jauh, yaitu: 27,43% (2015), 28,33% (2016), 28,98% (2017), dan 29,98 (2018).


Kedua, target dalam RPJMN sebenarnya meneruskan target yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara dalam Kepmen No113/KMK.08/2014 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara tahun 2014-2017. Meski diputuskan di akhir masa jabatan Menkeu era SBY, tetapi tidak dilakukan perubahan karena dianggap bersesuaian dengan RPJMN. Target dalam KMK untuk tahun 2017 adalah 22%, sedang realisasinya 28,98%.

                    Gambar disalin dari Kepmern No113/KMK.08/2014   

Ketiga, Sri Mulyani menetapkan Kepmen No884/KMK.08/2017 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Jangka Menengah tahun 2018-2021 pada 27 Nopember 2017. Target rasio utang pada tahun 2018 dalam kepmen itu sebesar 29,3%. Realisasinya sebesar 29,98%.
                      Gambar disalin dari Kepmen No884/KMK.08/2017 

Keempat, rasio utang pemerintah berdasar target APBN 2018 adalah 29,07%. Sedangkan target APBN 2019 adalah 28,8-29,92%. Disebutkan pula dalam Nota Keuangannya bahwa pada tahun 2022, rasio utang diperkirakan sebesar 26,25-27,87 persen terhadap PDB.

                       Gambar disalin dari KEM-PPKF tahun 2019

Dengan demikian, rasio utang pemerintah atas PDB belakangan ini selalu melampaui target yang direncanakan sebelumnya. Utang naik lebih besar dibanding prakiraan, atau pada saat bersamaan nilai PDB tidak sebesar yang diharapkan. Bahkan untuk target atau rencana yang bersifat tahuanan.
Jika mengira bahwa selisih antara target APBN 2018 (29,07%) dengan realisasinya 29,98% itu amat kecil, karena kurang dari 1%, maka perlu diketahui tentang nilai PDB nya. PDB harga berlaku tahun 2018 adalah sebesar Rp14.735,85 triliun.Tambahan utang meleset (lebih besar dari rencana) sebesar 0,91% berarti sebesar Rp134 triliun. Rencana setahun sebelumnya meleset sedemikian besar. Sedangkan dari rencana 4 tahun sebelumnya (RPJMN dan KMK rencana strategis utang) meleset 8,88% atau Rp1.309 trilun.

Wajar jika perlu dipertanyakan apakah utang telah direncanakan dengan baik? Bukan selalu mengedepan amannya rasio di kisaran 30% saja. Harusnya dijelaskan mengapa selalu meleset dari rencana atau target.

Senin, 13 Mei 2019

Bab I PENDAHULUAN dari Buku "APBN YANG TIDAK MANDIRI"


Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah menjadi topik diskusi yang bersifat publik. Media massa sering memberitakan pernyataan pejabat dan memuat tulisan tentang APBN. APBN makin meningkat intensitasnya sebagai wacana diskusi publik pada saat pengajuan Rancangan APBN (RAPBN) oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pembahasannya dalam rapat DPR, dan setelah penetapan resmi APBN oleh DPR.

Hingga kini, wacana APBN masih didominasi oleh keterangan atau penjelasan dari pihak Pemerintah. Hanya sedikit berita atau tulisan dari pihak lain yang memberi opini pembanding. Dan lebih sedikit lagi yang secara kritis menilai kinerja APBN. Bahkan, pandangan fraksi dan perorangan anggota DPR hanya sesekali diberitakan oleh media massa.

Tentu saja, pandangan Pemerintah bernuansa sangat positif dan optimistis. Penjelasannya bersifat klaim atas keberhasilan realisasi atau kinerja APBN. Pemerintah juga selalu menyampaikan bahwa APBN telah disusun dan direncanakan dengan sangat baik, serta telah menimbang semua aspek dinamika ekonomi serta kondisi hidup seluruh rakyat Indonesia.

Pemerintahan era sebelum Presiden jokowi juga tercatat mengklaim hal serupa, bahwa APBN telah disusun dan dikelola secara baik. Akan tetapi, era Jokowi tampak lebih sering memberi keterangan kepada publik tentang hal ini. Penjelasan bahkan dikemas dalam beberapa bentuk, seperti: dokumen yang bersifat narasi lengkap, paparan populer dengan diagram dan grafik menarik, serta poster advertorial. Istilah dan frasa tertentu makin sering mengemuka ke ruang publik, seperti: APBN yang sehat, APBN yang mandiri, APBN yang adil, APBN yang kredibel, APBN yang realistis, dan APBN yang berkelanjutan.

1.1   Alasan Mempelajari APBN
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2019 disahkan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia pada tanggal 31 Oktober 2018. Dua hari kemudian, Pemerintah (Kementerian Keuangan) menyampaikan Keterangan Pers APBN 2019 sebanyak lima halaman mengenai beberapa hal pokok dan besaran angkanya.

Pemerintah mengatakan bahwa APBN 2019 bertujuan untuk mendukung investasi dan daya saing Indonesia dengan fokus pada pembangunan sumber daya manusia. Dijelaskan bahwa tema besarnya adalah "Sehat, Adil, dan Mandiri". Sehat artinya APBN memiliki defisit yang semakin rendah dan keseimbangan primer menuju positif. Adil karena APBN digunakan sebagai instrumen kebijakan meraih keadilan, menurunkan tingkat kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, dan mengatasi disparitas antarkelompok pendapatan dan antarwilayah. Dari sisi kemandirian, APBN 2019 dapat dilihat dari penerimaan perpajakan yang tumbuh signifikan sehingga memberikan kontribusi dominan terhadap pendapatan negara serta mengurangi kebutuhan pembiayaan yang bersumber dari utang. Dengan APBN yang Sehat, Adil dan Mandiri diharapkan kebijakan fiskal akan mampu merespon dinamika volatilitas global, menjawab tantangan dan mendukung pencapaian target-target pembangunan secara optimal.

Tema “Sehat, Adil, dan Mandiri” tersebut telah pernah dijelaskan oleh Menteri Keuangan kepada publik 2,5 bulan sebelumnya. Menkeu memberi keterangan pers, setelah Presiden menyampaikan Nota Keuangan dan Rancangan APBN 2019 untuk dibahas DPR pada tanggal 16 Agustus 2018. Nota Keuangan adalah semacam dokumen pengantar, yang berisi penjelasan cukup panjang lebar tentang angka-angka APBN. Nota Keuangan juga menyampaikan asesmen atas kondisi perekonomian, serta penilaian atas kinerja APBN pada tahun-tahun sebelumnya.

Sesuai namanya, APBN berisi angka-angka anggaran, tentang pendapatan dan tentang belanja negara. Sebagai contoh, APBN 2019 memuat target Pendapatan Negara sebesar Rp2.165,11 triliun, dan rencana Belanja Negara sebesar Rp2.461,11 triliun. Angka-angka pendapatan dan belanja dirinci lagi dalam dokumen APBN 2019. Rincian disajikan dalam berbagai jenis dan aspek. Oleh karena rencana belanja lebih besar dibanding target pendapatan tadi, maka dicantumkan angka selisihnya atau yang disebut defisit sebesar Rp296 triliun. Bagaimana rencana untuk menutupi atau mengatasi defisit menimbulkan angka yang disebut sebagai Pembiayaan Anggaran. Pembiayaan Anggaran itu sendiri memiliki rincian lagi, kerena menyangkut hak dan kewajiban akibat defisit tahun-tahun sebelumnya, serta pengeluaran lain yang tidak digolongkan sebagai belanja.

Keterangan sebagai “Sehat, Adil, dan Mandiri” merupakan pendapat atau pandangan pemerintah. Bisa dikatakan sebagai klaim. Pihak DPR nampaknya tidak begitu keberatan dengan klaim tersebut, karena tak ada berita mengenai perdebatan serius tentang klaim tersebut. Ditambah fakta bahwa hanya sedikit perubahan angka yang terjadi dari Rancangan APBN (RAPBN) menjadi APBN, terutama tentang postur dan asumsi perhitungan atau asumsi makroekonomi.

Sebagian ahli ekonomi tidak sepenuhnya sependapat dengan klaim Pemerintah tersebut. Ada pula tokoh politik, yang meski partainya ikut pembahasan, menyuarakan pandangan berlawanan. Diantaranya, ada yang mempertanyakan tentang utang pemerintah yang bertambah sangat besar dan pembayaran bunganya telah membebani belanja negara. Ada yang menilai rencana atau target dari pendapatan negara sebagai tidak realistis, sesuatu yang akan sulit untuk dicapai. Ada yang menyoroti beberapa jenis belanja yang meningkat melampaui kenaikan jenis belanja lain, seperti belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja subsidi dan belanja lain-lain. Mereka mengembangkan narasi kritik yang dikaitkan dengan tahun politik atau masa pemilihan umum Presiden.

Kita sebagai warga negara yang telah dewasa, apalagi yang cukup terdidik, sebenarnya berhak dan bisa berupaya memahami argumen klaim Pemerintah, serta mengerti pendapat yang krtis. Setelah memiliki cukup pengetahuan umum, mampu menalar tiap argumen, maka kita dapat memiliki pandangan sendiri. Bagaimanapun, secara langsung atau tidak langsung, APBN mempengaruhi hidup seluruh warga negara. Konstitusi secara tegas mengatakan APBN diselenggarakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.      

APBN memiliki beberapa istilah khusus dan mencakup angka-angka yang sepintas amat banyak. Meski sebagiannya perlu proses bertahap, sebenarnya bukan sesuatu yang sulit dipelajari dan difahami orang dewasa dengan latar belakang pendidikan menengah ke atas. Apalagi jika kebutuhan utamanya hanya untuk mengerti topik yang diperdebatkan, seperti soal tema tadi. Bahkan, sebagian narasi memiliki kemiripan dengan tema dalam kehidupan sehari-hari, seperti pendapatan, belanja, dan utang. Tentu diperlukan sedikit kesabaran untuk mencermati angka-angka yang kadang ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik.

Secara teknis, ada beberapa hal yang perlu diketahui, dipelajari dan sedikit dicermati untuk memahami APBN. Diantaranya adalah pengertian istilah, yang terutama dipelajari dengan merujuk kepada regulasi atau perundang-undangan. Beberapa angka atau besaran yang sering ditampilkan dalam bentuk tabel, membutuhkan sedikit pencermatan. Proses penyusunan atau penganggaran yang melibatkan berbagai pihak dalam pemerintahan dan DPR, termasuk kisaran waktu persiapan dan pembahasannya. Kita juga perlu mengetahui perbandingan beberapa besaran pokok dengan waktu-waktu sebelumnya.

Sebagai tambahan catatan, anggaran negara menjadi tema publik yang amat penting dalam dinamika sosial politik negara-negara yang telah maju dan berkembang perekonomiannya. Terlebih pada masa pemilihan umum di negara tersebut. Janji kampanye tiap calon umumnya bermuatan aspek penting dari anggaran negara. Hal itu mulai tampak pula pada pemilu Presiden lalu di Indonesia, baik dalam debat paslon maupu antar tim pendukung. Secara perlahan, tema perbincangan publik di Indonesia makin bermuatan soalan anggaran negara.

1.2 APBN dan Keuangan Negara
Menurut UUD 1945 dan berbagai undang-undang terkait saat ini, Anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) adalah bagian dari apa yang disebut sebagai keuangan negara. Dapat dikatakan sebagai bagian yang paling penting. Disebutkan bahwa APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.  

Keuangan Negara itu sendiri diartikan sebagai semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Pengertian keuangan negara yang demikian dapat dilihat dalam beberapa aspek, seperti: obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dilihat dari aspek obyek, keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Contoh teknisnya antara lain adalah: penerimaan negara, pengeluaran negara, penerimaan daerah, pengeluaran Daerah, utang piutang negara, penngedaran uang, dan lain sebagainya.

Dilihat dari aspek subyek, keuangan negara meliputi para pihak yang memiliki dan atau menguasai seluruh obyek tadi. Seperti Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah, dan badan lainnya.

Dilihat dari aspek proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas oleh berbagai pihak yang berwenang. Sejak dari perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, pelaporan, hingga pertanggunggjawaban.

Dan diluat dari aspek tujuan, keuangan negara membicarakan obyek, subyek dan proses sebagaimana penjelasan di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Termasuk soalan hukum dan regulasi yang mengaturnya.

Secara keseluruhan, konstitusi dan undang-undang memerintahkan agar pengelolaan keuangan negara diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab. Perintah yang secara tegas mengarah pada keharusan melaksanakan dan mewujudkan tata kelola yang baik (good governance).

Undang-undang tentang Keuangan Negara menjabarkan pokok perintah tersebut ke dalam asas-asas umum. Ada asas -asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas. Serta ada asas-asas yang lebih baru dikenal sebagai penerapan kaidah-kaidah yang baik (best practices) dalam pengelolaan keuangan negara di Indonesia. Asas-asas yang relatif baru tersebut,antara lain: akuntabilitas berorientasi pada hasil, profesionalitas, proporsionalitas, keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, serta pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.

Secara konseptual atau pembahasan dalam berbagai buku ajar, bidang pengelolaan keuangan negara memang terbilang sangat luas. Pembahasan antara lain dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Dalam konteks ini, APBN merupakan sub bidang pengelolaan fiskal.

Dengan demikian, APBN adalah bagian dari keuangan negara, yang bisa dikatakan paling penting, dan tiap tahun ditetapkan oleh undang-undang. Rancangan Undang-Undang tentang APBN diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. Bahkan diatur, apabila DPR tidak menyetujui rancangan APBN yang diusulkan oleh Presiden, maka Pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu.

Sebagai suatu rencana yang ditetapkan bersama oleh Pemerintah dan DPR, APBN melalui proses yang panjang dan mengalami beberapa kali perubahan besaran nilainya. Ada beberapa versi angka pada masing-masing tahap pembahasan. Sebagian hasil tahap pembahasan tertentu memiliki sebutan resmi, yang sebagiannya dipublikasikan secara terbuka. Sebelum diajukan sebagai Rancangan APBN (RAPBN) yang diajukan oleh Pemerintah untuk dibahas DPR, telah ada beberapa rancangan lain. Salah satunya yang penting adalah Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF). KEM-PPKF juga dikomunikasikan kepada DPR, yang disampaikan oleh Menteri Keuangan. RAPBN dapat dikatakan sebagai rancangan final versi Pemerintah, disampaikan langsung oleh Presiden kepada DPR. Hasil final pembahasan DPR, dan sering mengalami sedikit perubahan, ditetapkan dan disebut APBN. Biasanya ada perubahan di pertengahan tahun yang disebut sebagai APBN Perubahan (APBNP), yang harus ditetapkan pula sebagai Undang-Undang, dan memiliki konsep RAPBNP. Pelaksanaan atas APBN tak sepenuhnya sesuai target yang ditetapkan, sehingga menimbulkan versi yang disebut sebagai realisasi APBN pada suatu tahun.

Realisasi APBN bersama beberapa aspek lain dari keuangan negara yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, dimasukkan dalam suatu dokumen yang disebut Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). LKPP disampaikan kepada DPR, setelah sebelumnya diaudit dan diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 

Oleh karena semua istilah, item dan urutan penyajiannya hampir sama, maka perbedaan berbagai versi ini kadang dikutip secara kurang tepat oleh media. Bahkan, suatu tulisan ilmiah kadang memakai angka yang tak sesuai atau kurang tepat sebagai perbandingan antar tahun.

1.3   Postur APBN
APBN pada dasarnya terdiri atas tiga bagian pokok, yaitu: anggaran Pendapatan Negara, anggaran Belanja Negara, dan Pembiayaan Anggaran. Pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Belanja negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.

Ada dua istilah lain yang perlu dimengerti dalam APBN, yaitu penerimaan negara dan pengeluaran negara. Penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara. Pengertiannya lebih luas dibanding pendapatan. Definisi di tas menyebutlan bahwa pendapatan negara adalah penerimaan negara yang tidak perlu dibayar kembali. Namun ada penerimaan negara yang perlu dibayar kembali pada waktu mendatang, contohnya penerimaan yang berasal dari utang. Penerimaan dari utang dalam APBN dikelompokkan sebagai pos pembiayaan.

Begitu pula dengan pengertian pengeluaran negara sebagai uang yang keluar dari kas negara, lebih luas daripada istilah belanja negara. Ada pengeluaran yang tidak dimasukkan pada pos belanja, melainkan pada pos pembiayaan. Contohnya adalah pelunasan atau pembayaran cicilan utang, dan penyertaan modal (investasi) pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Layanan Umum (BLU).

Sebagaimana disebut terdahulu, APBN 2019 memuat target Pendapatan Negara sebesar Rp2.165,11 triliun, dan rencana Belanja Negara sebesar Rp2.461,11 triliun. Selisih keduanya disebut defisit anggaran sebesar Rp296 triliun. Bagaimana rencana untuk menutupi atau mengatasi defisit itu disebut sebagai Pembiayaan Anggaran, yang berart besarannya sama dengan defisit. Akan tetapi, pos pembiayaan ini dalam perkembangan terkini bersifat unik, karena tak sekadar mencerminkan bagaimana mengatasi defisit. Item Pembiayaan menjadi semacam neraca dengan rincian catatan mengenai penerimaan yang tak masuk pendapatan, dan pengeluaran yang tak termasuk belanja. Akan dijelaskan dalam bab tersendiri nantinya.

Pemerintah sering menggunakan istilah postur APBN. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), postur memiliki arti “bentuk tubuh” atau “perawakan”. Kementerian Keuangan dalam buku referensinya mengatakan bahwa secara harfiah, Postur APBN dapat didefinisikan sebagai “bentuk rencana keuangan pemerintah yang disusun berdasarkan kaidah-kaidah yang berlaku untuk mencapai tujuan bernegara”. Dalam praktik penyajian, Pemerintah biasa menggunakan istilah postur ringkas, yang menambahkan dua bagian lagi dari yang telah disebut di atas, yaitu tentang Keseimbangan Primer dan tentang Defisit Anggaran. Postur ringkas APBN 2019 akan dibahas dalam bab tiga. Kemudian diperbandingkan dengan postur tahun-tahun sebelumnya.

1.4 Peran dan Fungsi APBN
Dari uraian di atas, APBN sebenarnya mencerminkan peran negara yang dijalankan oleh Pemerintah Pusat, yang secara teoritis termasuk dalam kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal adalah salah satu jenis kebijakan dalam teori ekonomi makro.

Undang-undang menjelaskan bahwa dasar kebijakan fiskal adalah tiga fungsi utama pemerintah, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi. Dikatakan pula dalam berbagai dokumen resmi bahwa APBN harus didesain sesuai dengan fungsi tersebut, dalam upaya mendukung penciptaan akselerasi pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas.

Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. Dalam fungsi ini, intervensi Pemerintah dinilai dapat mengubah penggunaan sumber daya. Misalnya, pengenaan pajak atas obyek dan subyek pajak tertentu dan pemberian subsidi atas kelompok orang tertentu, atau berdasar penggunaan barang tertentu.

Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Fungsi ini antara lain memberi rambu bagi pengeluaran atau belanja pemerintah agar menjadi perwujudan peran pemerintah dalam melindungi rakyat, terutama kelompok ekonomi yang terbawah. Dilihat dari sisi lain, fungsi distribusi dapat mengubah porsi siapa saja yang akan menikmati barang-barang yang diproduksi oleh perekonomian.

Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental ekonomi. Pemerintah dianggap memiliki tugas disertai kemampuan mempengaruhi kondisi perekonomian secara signifikan dan bersifat cukup segera. 

Dalam praktiknya, ketiga fungsi tersebut berhubungan sangat erat dan sering tak terpisahkan. Secara bersamaan, peran penting kebijakan fiskal melalui ketiga fungsi itu antara lain adalah menanggulangi masalaah kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Berperan pula dalam menyeimbangkan pertumbuhan pendapatan antarsektor ekonomi, antardaerah, atau antargolongan pendapatan. Secara lebih teknis, peran kebijakan fiskal tampak dalam menanggulangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana alam, wabah penyakit, dan konflik sosial.

Kebijakan fiskal lebih luas cakupannya dari sekadar Pengelolaan APBN. Selain ketiga fungsi tadi, pengelolaan APBN memiliki beberapa fungsi lain, seperti: fungsi otorisasi, fungsi perencanaan, dan fungsi pengawasan.  

Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan. Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

1.5 Tentang Buku Ini
Buku ini pada dasarnya bermaksud memberi penilaian atau asesmen atas kinerja APBN selama era pemerintahan Presiden Jokowi, dan terutama memakai contoh APBN tahun 2019. Judul “APBN yang Tidak Mandiri” telah mencerminkan hasil asesmen keseluruhan yang amat jauh berbeda dengan klaim atau pandangan Pemerintah. Bahkan, judul yang lebih lengkap sebenarnya adalah: “APBN yang Belum Sehat, yang Tidak Mandiri, yang Kurang Adil, dan yang Rawan Kesinambungannya.”

Buku ini memiliki misi tambahan selain menyampaikan asesmen penulis, yaitu bertujuan memahamkan pembaca umum (publik) tentang seluk beluk APBN secara mudah, sehingga mampu melakukan analisis sendiri nantinya. Buku ini berharap agar para pembaca dapat ikut aktif mempengaruhi penyusunan dan pengelolaan APBN, antara lain melalui kritik atas berbagai aspeknya.

Secara lebih teknis, setelah membaca buku ini, pembaca diharapkan mengetahui dan memahami secara cukup baik mengenai berbagai hal terkait APBN. Diantaranya adalah: istilah pokok, postur ringkas dan perkembangannya, rincian dan perkembangan Pendapatan Negara, rincian dan perkembangan Belanja Negara, rincian dan perkembangan Pembiayaan Anggaran, soalan posisi utang pemerintah dan beban pembayarannya, proses penganggaran, masalah utama realisasi APBN dan pengawasan APBN, dan tantangan APBN ke depan.

Cara pembahasan dalam buku ini pada dasarnya adalah seperti perkuliahan di kelas, termasuk memakai gaya bercerita. Penjelasan dilakukan tahap demi tahap, dari sesuatu yang dianggap lebih mudah menuju yang lebih butuh perhatian dan kecermatan. Pembahasan pada tahap tertentu dari tiap aspek akan banyak menggunakan tabel, diagram dan grafik. Sebagian pembahasan akan berulang atau menyajikan data yang sama, dengan maksud lebih memahamkan. Oleh karenanya, tidak dapat dihindari kesan agak “menggurui” atau menganggap pembaca belum memiliki pengetahuan yang cukup. Bagi pembaca yang telah memiliki pengetahuan lebih banyak, dapat melewati atau cukup melihat sepintas bagian tertentu dari buku ini. Pendapat penulis terutama disampaikan pada bagian akhir dari tiap bab bahasan.

Buku ini terdiri dari sebelas bab. Bab pertama adalah pendahuluan. Hal yang dibahas antara lain adalah: alasan mempelajari APBN, pengertian APBN dan keuangan Negara, pengertian Postur APBN, peran dan fungsi APBN, serta tentang apa buku ini.

Bab kedua tentang klaim pemerintah atas kinerja APBN. Secara lebih khusus, tentang postur APBN tahun 2019 beserta beberapa rinciannya. Dari klaim tersebut ditentukan apa saja yang perlu diperiksa melalui pembahasan pada bab-bab berikutnya.

Bab ketiga tentang postur APBN. Dijelaskan antara lain hal-hal berikut: pengertian postur, postur ringkas APBN 2019, dan perkembangan postur ringkas APBN 2014 – 2019. Pada bagian akhir, disajikan asesmen penulis atas postur APBN 2019.

Bab keempat adalah tentang Pendapatan Negara. Diuraikan mengenai pendapatan negara dalam APBN 2019 dan perkembangannya selama kurun tahun 2004 hingga tahun 2019. Perkembangan dari beberapa pos pendapatan dijelaskan secara lebih detail, seperti: penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak (PNPB). Pada bagian akhir diberikan analisis umum atas Pendapatan Negara dalam APBN 2019, terutama terkait dengan klaim sebagai mandiri oleh pemerintah.

Bab kelima tentang Belanja Negara. Dijelaskan mengenai pengertian, macam dan jenis belanja secara umum. Diperlihatkan tentang perkembangan Belanja Negara sejak tahun 2004 hingga tahun 2019. Beberapa macam belanja disajikan lebih detil beserta perkembangannya, seperti: Belanja Pemerintah Pusat, Perkembangan Transfer ke daerah, dan perkembangan Dana desa. Disinggung pula tentang apa yang dimaksud dengan anggaran kesehatan, anggaran pendidikan, anggaran kemiskinan, dan anggaran infrastruktur. Bab ini diakhir dengan analisis umum penulis atas Belanja Negara, terutama mengenai klaim sebagai adil oleh pemerintah.

Bab keenam tentang Defisit Anggaran dan Keseimbangan Primer. Dijelaskan mengenai arti istilah Defisit Anggaran dan Keseimbangan Primer, disertai besaran angkanya untuk APBN 2019. Setelah membahas perkembangan selama beberapa tahun, diberikan analisis umum penulis mengenai klaim pemerintah tentang sehatnya APBN 2019.

Bab ketujuh tentang Pembiayaan Anggaran. Dijelaskan tentang pengertian dan besaran angkanya, serta perkembangan selama beberapa tahun. Rincian beberapa pos pembiayaan dibahas secara lebih detail, seperti: pembiayaan utang, penyertaan modal kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan kepada Badan Layanan Umum (BLU).

Bab kedelapan tentang perkembangan utang pemerintah, terutama sebagai akibat dari perkembangan pembiayaan utang. Dijelaskan tentang perkembangan posisi utang, beserta beban pembayaran cicilan dan pembayaran bunga. Profil dari utang pemerintah akan digambarkan secara cukup rinci, didukung data perkembangan selama beberapa tahun. Bab ini ditutup dengan pandangan penulis tentang utang pemerintah.

Bab kesembilan tentang asumsi makroekonomi. Diberikan penjelasan singkat tentang pengertian dan perannya dalam penyusunan APBN. Disajikan perkembangan selama beberapa tahun, dan dibandingkan antara asumsi dengan realisasinya. Bab ditutup dengan contoh analisis asumsi makroekonomi APBN 2019, terkait dengan penilaian realistis atau tidaknya.

Bab kesepuluh tentang siklus APBN. Berbeda dengan bab-bab sebelumnya yang lebih pada menjelaskan tentang angka-angka, bab ini membahas tentang bisnis prosesnya. Diantaranya tentang proses penganggaran, proses pelaksanaan, proses pelaporan, dan proses pengawasan. Akan disinggung tentang bagaimana hubungan beberapa lembaga negara dengan pemerintah dalam pengelolaan APBN. Bab ini ditutup dengan pandangan penulis mengenai salah satu proses dalam siklus APBN.

Bab kesebelas merupakan penutup. Selain berisi kesimpulan umum dari hal-hal yang telah diuraikan, dijelaskan tentang tantangan ke depan. Bab ini lebih merupakan pandangan penulis tentang apa saja yang tengah dihadapi, dan yang mendesak untuk direspon secara baik oleh semua pihak yang terkait langsung dengan pengelolaan APBN. Diantaranya mencakup bisnis proses, serta beberapa besaran APBN yang dianggap memerlukan perubahan mendasar. Salah satu yang krusial, namun juga mungkin kontroversial adalah tantangan perubahan regulasi, sebagai bagian dari menjawab tantangan ke depan.

Minggu, 05 Mei 2019

BAB sebelas (PENUTUP) buku "FUNDAMENTAL EKONOMI YANG RAPUH"


Kesimpulan Umum

Tinjauan atas kondisi perekonomian nasional terkini dan prakiraan (outlook) kondisi ke depan dalam publikasi otoritas ekonomi pada umumnya mencakup kurun waktu yang pendek. Analisa dan asesmen hanya atas kondisi terkini, atau paling jauh membandingkan dengan kondisi satu hingga tiga tahun sebelumnya. Prakiraan hanya untuk satu tahun ke depan saja. Indikator yang dianalisa terutama adalah indikator ekonomi makro, indikator moneter, indikator perbankan, ditambah dengan beberapa indikator pasar dari komoditas yang dianggap penting.
Indikator ekonomi makro biasanya dijelaskan secara sederhana berdasar data yang tersedia, hampir tidak pernah digali secara lebih dalam tentang hal lain yang mungkin terindikasi. Analisis disagregasi dari indikator makro tersebut amat minimal dilakukan. Selain itu, hubungan dinamis antar indikator kurang diperhatikan. Akibat dari ketiga fenomena tersebut, tinjauan ekonomi tampak kurang mampu menggambarkan kondisi umum perekonomian, dan kadang berkebalikan.
Tinjauan kurang memeriksa ulang indikator makro dalam sudut pandang fundamental ekonomi, atau aspek yang mendasar dari perekonomian. Tema fundamental ekonomi ini sempat mengemuka ke ruang publik sekitar satu tahun lalu, ketika kurs rupiah mengalami pelemahan signifikan dalam waktu relatif singkat. Pemerintah, Bank Indonesia dan OJK waktu itu segera menyampaikan tentang masih kuatnya fundamental ekonomi. Akan tetapi, pengertian dan narasi tentang fundamental ekonomi tetap saja serupa dengan dokumen resmi yang secara rutin dipublikasi.
Menarik pula ketika tinjauan ekonomi dalam laporan resmi otoritas ekonomi selalu dimulai dengan penjelasan tentang kondisi perekonomian global, terutama kondisi dan kebijakan ekonomi negara-negara maju, termasuk Tiongkok. Ada pengakuan tersirat dari penalaran laporan yang demikian, yaitu faktor eksternal sangat berpengaruh atau bahkan paling menentukan kondisi perekonomian nasional yang dianalisis dan diprakirakan setahun ke depan. Dapat pula dimaknai bahwa ketahanan eksternal sebagai variabel penting dalam menganalisis ekonomi Indonesia.
Contoh dari tinjauan ekonomi dan outlook ekonomi yang resmi dari Pemerintah adalah yang tertulis dalam dokumen Nota Keuangan yang menjadi pengantar atas RAPBN pada bulan Agustus dan sedikit direvisi ketika APBN telah ditetapkan pada akhir Oktober. Dan contoh tinjauan ekonomi dan outlook ekonomi yang resmi dari Bank Indonesia adalah Laporan Perekonomian Indonesia tahunan, yang biasanya dipublikasikan pada akhir Maret tahun setelahnya.
Nota Keuangan APBN 2019 memulai tinjauan ekonomi dan outlook ekonomi dengan menguraikan tentang proyeksi ekonomi global tahun 2019, dan secara khusus mengenai volume perdagangan dunia dan harga komoditas dunia. Sebagaimana biasanya tiap tahun, dijelaskan pula tentang Asumsi Dasar Ekonomi Makro APBN Tahun 2019. Asumsi Dasar itu meliputi: 1. Pertumbuhan Ekonomi; 2. Inflasi; 3. Suku Bunga SPN 3 Bulan; 4. Nilai Tukar Rupiah; 5. Harga Minyak Mentah Indonesia; 6. Lifting Minyak dan Gas Bumi.
Dalam paragraf awal tinjauan antara lain disebutkan: “Beberapa tantangan dari sisi eksternal yang akan dihadapi merupakan keniscayaan dari perkembangan perekonomian global yang saat ini sedang menuju pada keseimbangan baru. Dinamika perekonomian global tersebut berimbas pada kinerja perekonomian domestik baik itu melalui jalur sektor keuangan maupun perdagangan internasional. Tantangan perekonomian global ke depan masih akan bersumber dari dampak beberapa hal berikut: (i) kebijakan proteksionisme dan perpajakan Amerika Serikat; (ii) keberlanjutan normalisasi kebijakan moneter di negara maju yang berpotensi menimbulkan dinamika likuiditas pada sektor keuangan global; dan (iii) situasi geopolitik yang sewaktu-waktu dapat berisiko tinggi.” (Buku II Nota Keuangan dan APBN 2019, halaman II.1-2)
Laporan perekonomian Indonesia 2018 terdiri dari sepuluh bab. Bab satu berjudul “Perekonomian Global” antara lain menjelaskan tentang perekonomian global yang melambat, kenaikan Federal Funds Rate, ketidakpastian pasar keuangan global, serta respon kebijakan global yang beragam. Bab 2 hingga bab 4 adalah asesmen tentang indikator makroekonomi, yaitu: pertumbuhan ekonomi, neraca pembayaran Indonesia, inflasi dan nilai tukar. Bab 5 hingga bab 9 adalah penjelasan tentang respon kebijakan Bank Indonesia atas kondisi dan dinamika yang digambarkan dalam bab-bab sebelumnya. Bab 10 sebagai penutup merupakan outlook dan garis besar arah kebijakan yang akan diambil.
Pada tinjauan umum di awal laporan, antara lain dikatakan: “Perekonomian Indonesia 2018 menghadapi tantangan yang tidak ringan dipicu ketidakpastian global yang meningkat. Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, ketidakpastian global memberikan tantangan bagi pengelolaan ekonomi di sektor eksternal, baik dari jalur perdagangan maupun jalur finansial. Dari jalur perdagangan, kinerja ekspor menurun akibat pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat dan harga komoditas yang turun. Tantangan dari jalur perdagangan makin kuat karena pada saat bersamaan permintaan impor untuk proyek infrastruktur domestik cukup besar, sehingga meningkatkan kompleksitas dalam mengelola defisit transaksi berjalan pada level yang sehat. Dari jalur finansial, tantangan berkaitan dengan menurunnya aliran masuk modal asing ke negara berkembang, termasuk Indonesia, karena dipicu kenaikan suku bunga kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) dan ketidakpastian pasar keuangan global. Tantangan dari global ini kemudian menurunkan kinerja neraca pembayaran Indonesia (NPI) terutama pada triwulan II dan III 2018, serta meningkatkan tekanan pada nilai tukar Rupiah.” (halaman xxiii).
Bab 10 atau penutup laporan, antara lain mengatakan: “Prospek perekonomian Indonesia 2019 akan lebih baik, meskipun perekonomian global yang belum kondusif perlu terus mendapat perhatian. Momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia berlanjut dalam kisaran 5,0%–5,4%, ditopang permintaan domestik yang kuat. Ketahanan eksternal juga makin kuat didukung defisit transaksi berjalan (TB) yang turun menjadi sekitar 2,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB), serta aliran masuk modal asing yang kembali meningkat. Stabilitas harga juga terkendali di mana inflasi diprakirakan dalam kisaran sasaran 3,5±1%. Stabilitas sistem keuangan juga terjaga dan ditopang intermediasi yang membaik dengan kredit pada 2019 diprakirakan tumbuh sebesar 10%–12%.” (halaman 158)
Beberapa hal di atas ditambah dengan uraian dalam buku ini menguatkan kebutuhan akan analisis atau tinjauan ekonomi yang menyoroti hal dan aspek yang paling mendasar, yaitu fundamental ekonomi. Pengertian dan aspek yang disebut fundamental ekonomi tidak dapat mengikuti apa yang biasa disebut dalam pernyataan pejabat otoritas ekonomi. Sebagaimana yang telah dikutip pada bab satu, penjelasan mereka pada dasarnya sama saja dengan berbagai dokumen resmi yang disebut tadi dicontohkan. Arti fundamental ekonomi direduksi, hanya diartikan sebagai kondisi umum berdasar indikator makroekonomi, dan bahkan hanya merujuk kepada sebagian indikator.
Arti fundamental menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bersifat dasar (pokok) atau mendasar. Bisa dikatakan sebagai sesuatu yang mendasar (pokok atau prinsip) dalam suatu hal. Secara arti kata, fundamental ekonomi adalah segala hal yang menjadi dasar dan merupakan elemen penting dalam aktivitas ekonomi.

BUKU INI telah menjelaskan bahwa pengertian fundamental ekonomi mencakup segala jawaban atas tiga hal mendasar, yakni tentang apa, bagaimana dan untuk siapa barang dan jasa diproduksi oleh suatu perkonomian. Jawaban atau penjelasan atas tiga hal tersebut didasari oleh data-data dalam kurun waktu cukup panjang, satu dekade atau lebih. Perlunya data demikian karena kondisi terkini perekonomian adalah hasil dari dinamika selama tahun-tahun sebelumnya.
Belum semua pertanyaan penting dalam ketiga hal itu dijawab oleh buku ini, melainkan hanya sebagian yang dianggap paling penting dan bersifat mendasar. Ringkasan penjelasan pokok dari masing-masing bab yang paling berkaitan dengan fundamental ekonomi, disajikan kembali di bawah ini.
Bab dua menjelaskan beberapa hal penting tentang apa saja barang dan jasa yang telah diproduksi dalam perekonomian Indonesia. Produksi barang industri manufaktur memang meningkat, namun lajunya melambat selama satu dekade terakhir. Akibatnya, porsi industri pengolahan menurun dalam struktur produksi (PDB) hingga di bawah 20%. Proses itu gagal mengompensasi penurunan porsi dari sektor pertanian, yang telah lebih dahulu tumbuh lebih lambat dari pertumbuhan ekonomi. Hal semacam ini dikenal dengan gejala deindustrialisasi. Dalam kurun 1970-2000 terjadi industrialisasi yang cukup cepat, melambat pada kurun 2000-2010, dan berbalik arah setelah itu.
Dalam perekonomian yang sedang berkembang biasanya terjadi industrialisasi, yang pada tahap tertentu memang akan stagnan dalam artian porsi industri tak bertambah lagi di kisaran 30-40%. Bahkan dalam perekonomian yang sudah maju dan berkembang, porsi industri mulai menurun kembali, antara lain karena perkembangan “jasa modern” yang lebih cepat. Deindustrialisasi yang demikian terjadi setelah pendapatan per kapita masyarakatnya sangat tinggi, dan teknologi produksi industri pengolahan pun mencapai tahap lanjut.
Bab tiga membahas soal ketahanan pangan sebagai bagian penting dari fundamental ekonomi, tampak bahwa produksi tanaman pangan kurang cepat dan kurang beragam, dan impornya cenderung meningkat. Komoditas pangan yang lain, seperti daging dan susu, juga kurang tersedia memadai. Tumpuan ketersediaan daging hanya dari ayam buras pedaging dan buras petelur, yang produksinya memiliki komponen impor. Kecukupan pangan sejauh ini masih terpenuhi, namun lebih karena impor, sehingga masih rawan jika dilihat dari perspektif fundamental ekonomi.
Bab empat membahas salah satu aspek dari bagaimana cara barang dan jasa diproduksi, yaitu aspek faktor tenaga kerja. Penggunaan tenaga kerja masih cukup amat jauh dari optimal. Meskipun angka pengangguran perlahan menurun menjadi di kisaran 5%, namun jika ditambah dengan mereka yang bekerja tidak penuh masih amat besar, mencapai 33%. Angka pengangguran tersebut juga masih jauh dibawah era 1990an yang di kisaran 2-3%. Dijelaskan pula bahwa mayoritas pekerja masih dalam kondisi yang rentan dan berproduktivitas rendah.
Bab lima hingga bab sembilan akan lebih banyak membahas tentang aspek bagaimana, namun dengan pencermatan atas indikasi lain selain faktor tenaga kerja. Bab lima menjelaskan bagaimana investasi di Indonesia butuh penanaman modal asing yang makin besar. Ditambah dengan kebutuhan utang luar negeri pihak pemerintah dan pihak swata yang juga meningkat menciptakan ketergantungan terhadap transaksi internasional. Pada saat bersamaan, investasi dan utang luar negeri belum menunjukkan hasil yang menciptakan devisa secara berkesinambungan untuk membayar kembali kepada pihak luar negeri. Pembayaran masih mengandalkan dari arus investasi dan utang baru, ditunjukkan oleh defisit transaksi berjalan yang terus berlangsung. Kondisi demikian dapat diartikan lemahnya daya tahan ekonomi Indonesia terhadap gejolak ekonomi dan keuangan global. Bahkan segera terdampak hanya oleh meningkatnya ketidakpastian ekonomi global, atau sekadar perubahan kebijakan The Fed.   
Bab enam menguraikan tentang kondisi keuangan Pemerintah yang makin mengalami kesulitan, sehingga ruang fiskal untuk melakukan kebijakan pro ataupun antisiklikal menjadi terbatas. Peran pemerintah melalui anggaran menjadi berkurang efektivitasnya, dan bahkan jika tidak hati-hati akan membahayakan kesinambungan fiskalnya. Laju pendapatan nyaris tak bisa mengimbangi laju belanja dan laju pengeluaran pembiayaan. Posisi utang tampak masih aman jika dilihat dari rasionya atas PDB, namun cenderung terus meningkat. Dan yang lebih mengkhawatirkan sebenarnya adalah beban pembayaran bunga utang yang bertambah besar, disertai tingkat bunga yang meninggi.
Bab tujuh menguraikan tentang kondisi investasi, dan kondisi umum para pelaku usaha. Secara umum dinilai bahwa iklim investasi di Indonesia tidak bisa dikatakan buruk atau tidak sehat, namun juga belum dapat dikatakan baik. Investasi cenderung meningkat, namun tidak diikuti oleh peningkatan laju pertumbuhan ekonomi, yang bertahan di kisaran 5%, dan pada era pemerintahan sebelumnya pun rata-rata hanya 5,73% per tahun. Salah satu masalahnya adalah tingginya Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia, yang mencerminkan tingkat efisiensi yang masih rendah. Terjadi sedikit penurunan dalam tiga tahun terakhir, namun rasionya masih sebesar 6,3, lebih tinggi dari hampir semua negara ASEAN. Umumnya diakui bahwa ICOR yang ideal adalah mendekati atau di kisaran 3%.
Kebijakan investasi tampak belum mempertimbangkan hal-hal yang bersifat jangka panjang dan fundamental. Daya saing Indonesia memang sedikit membaik, namun lebih karena tingginya return dan kedisiplinan Indonesia dalam membayar utang dan kewajiban lainnya, serta stabilitas politik yang cukup baik. Beberapa hal yang mendasar belum cukup memadai ditangani, seperti: soal ketenagakerjaan, kepastian usaha, porsi peran BUMN, daftar negatif investasi, serta kebijakan atas usaha mikro dan usaha kecil.
Bab delapan menggambarkan kondisi yang disebut dengan stabilitas sistem keuangan. Pencermatan perkembangan beberapa indikator industri keuangan, terutama perbankan selama beberapa tahun terakhir, memang tampak ada perbaikan kebijakan yang signifikan dan lebih menjamin stabilitas. Akan tetapi karena faktor eksternal yang dihadapi oleh perekonomian nasional seperti yang dijelaskan pada bab lima, maka stabilitas tersebut belum cukup memadai. Dapat dinilai hanya tidak memperlemah fundamental. Ditambah faktor kesulitannya industri keuangan dalam mendorong perekonomian, yang ditandai oleh belum optimalnya fungsi intermediasi yang diperankan.
Bab sembilan yang membahas kondisi ketahanan energi pada dasarnya mencermati aspek bagaimana barang dan jasa diproduksi. Dalam hal ini tidak sepenuhnya fundamental ekonomi dapat dikatakan rapuh. Akan tetapi lebih pada uraian tentang potensi besar yang belum dimanfaatkan secara optimal. Salah satu kendala dalam optimalisasi itu adalah perkembangan teknologi yang belum cukup baik.
Bab sepuluh membicarakan aspek fundamental berkenaan dengan untuk siapa barang dan jasa diproduksi. Penjelasan fokus kepada soalan kemiskinan dan distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat. Suatu perekonomian yang berfundamental kuat dapat dipastikan memiliki ciri telah mampu mengatasi masalah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Selama satu dekade ini, jumlah penduduk miskin dan angka kemiskinannya telah cukup rendah, dan cenderung turun tiap tahun. Ketimpangan ekonomi memang tidak ekstrem dan tidak cenderung meningkat, namun juga tidak membaik secara berarti. Porsi yang diperoleh oleh kelompok terbawah memang tidak menjadi lebih kecil, namun relatif tidak bertambah. Uraian bab ini memperlihatkan bahwa masalah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi masih bersifat laten, dan dapat memburuk sewaktu-waktu.
Aspek untuk siapa barang dan jasa diproduksi sebenarnya mencakup pula apakah hasil produksi bisa diekspor secara menguntungkan, dan seberapa banyak surplus ekonomi yang dibawa ke luar negeri. Hal ini tidak dibahas lagi dalam bab 8, namun sempat disinggung pada bab 2 dan bab 5. Dalam hal ekspor, perekonomian Indonesia belum menunjukkan kinerja yang baik dan berdasar struktur yang kuat. Sedangkan dalam hal surplus ekonomi yang dibawa ke luar negeri, tercermin antara lain pada defisit neraca pendapatan primer yang meningkat.
Dari keseluruhan penjelasan tersebut, fundamental ekonomi Indonesia tidak bisa dikatakan kuat, justru tampak rapuh. Fundamental ekonomi yang rapuh dapat pula diartikan kondisi yang rentan terhadap gejolak ekonomi internasional. Bahkan, kebijakan The Fed saja sudah bisa berdampak besar. Begitu pula kebijakan perdagangan luar negeri Amerika dan negara-negara sekutunya. Kerentanan juga terasa jika dikaitkan dengan hubungan ekonomi dengan Tiongkok. Tiongkok menjadi mitra dagang utama Indonesia, baik dilihat dari sisi ekspor maupun impor. Hubungan dalam investasi pun makin meningkat.
Kelemahan fundamental ekonomi itu kadang tertutupi oleh kondisi perekonomian yang tampak cukup baik dilihat dari beberapa indikator makroekonomi. Akan tetapi kondisi yang lebih mendasar atau fundamental tersamarkan. Buku ini menunjukkan pencermatan yang lebih mendalam dan faktor yang lebih menyeluruh, serta dalam rentang waktu yang lebih panjang.
Meskipun penulis menilai fundamental ekonomi Indonesia saat ini rapuh, bukan berarti situasinya telah amat buruk dan tak berpengharapan untuk segera diperbaiki. Tiap bab tulisan sejatinya memberi gambaran pula akan apa yang dapat dan harusnya dibenahi, terutama melalui kebijakan otoritas ekonomi yang tepat.
Tulisan memang sengaja bernuansa “kritik keras” karena klaim yang juga berlebihan dari otoritas ekonomi. Untuk menghindari kesan putus asa, maka sebagian kritik dapat diartikan rekomendasi. Jika dinilai terjadi indstrialisasi prematur, berarti perlu dibenahi dengan merevitalisasi industri. Masalah pengangguran serta mayoritas pekerja berkondisi rentan dengan produktivitas rendah, berarti diperbaiki secara terencana dan terfokus. Faktor tenaga kerja dapat dimaknai bukan semata sebagai masalah mengurangi pengangguran, melainkan bagaimana mengoptimalkan faktor produksi yang tersedia sangat besar itu. Sederhananya, hampir semua kritik atau penilaian tentang jeleknya sesuatu di buku ini masih berpeluang besar dibenahi.  
Cara melihat persoalan fundamental dengan nuansa yang tidak “sepesimis” uraian sebelumnya diberikan pada bab sembilan. Bab ini tidak terkait langsung pada satu aspek tentang apa, bagaimana dan untuk siapa barang dan jasa diproduksi. Sepintas memang dekat pada aspek bagaimana, namun tinjauannya lebih pada salah satu potensi dan peluang besar bagi perbaikan fundamental ekonomi. Dibahas mengenai potensi sumber daya alam yang masih tersedia, perkembangan produksi dan konsumsi energi, serta selintas tentang perkembangan teknologi di Indonesia. Tantangan masih berat dalam pengelolaannya, namun peluang menjawabnya makin terbuka lebar. Jawaban atas tantangan dalam bidang tersebut akan sekaligus memperkuat fundamental ekonomi Indonesia.   
Kesimpulan terakhir dan terpenting dari buku ini, meski menilai perekonomian Indonesia rawan atas krisis atau gejolak global karena berfundamental rapuh, potensi dan asa perbaikan masih besar. Kerja keras semua anak bangsa, dipandu oleh kebijakan otoritas ekonomi yang tepat dan konsisten akan dapat memperkuat fundamental ekonomi dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan. Pada giliran berikutnya, dinamika ekonomi dengan fundamental yang kuat akan mampu mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rekomendasi Umum

Buku ini memberi rekomendasi secara umum tentang beberapa hal yang mendesak untuk segera dilakukan. Terutama oleh otoritas ekonomi, para pengambil kebijakan dan penanggung jawab pelaksanaan kebijakan. Di antaranya adalah hal-hal berikut:
1.   Otoritas ekonomi (Pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas jasa Keuangan) sebaiknya fokus untuk memperkuat fundamental ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Terutama fokus memperbaiki aspek produksi dalam perspektif jangka menengah dan panjang.
2.   Dalam jangka pendek, satu dua tahun ke depan, ancaman guncangan eksternal atau bahkan krisis ekonomi masih cukup besar, sehingga tetap perlu kehati-hatian dari otoritas ekonomi.
3.   Penguatan fundamental memerlukan bauran kebijakan (mix policy) dalam pengertian yang lebih luas dan menyeluruh dibanding yang disebut dalam laporan resmi saat ini.
4.   Sektor pertanian perlu mendapat prioritas utama untuk dibangun, diberi dukungan dan bantuan. Terutama subsektor tanaman pangan, subsektor perkebunan, dan subsektor peternakan.
5.   Pembangunan industri perlu direncanakan ulang dan diperkuat kebijakannya dalam kerangka industrialisasi yang berbasis keunggulan nasional dan lokalistik. Antara lain penguatan industri pengolahan hasil pertanian. Ada kebutuhan road map industrialisasi yang jelas dan dijadikan acuan secara konsisten.
6.   Kebijakan sektor riil harus lebih konsisten dan terarah, sehingga mampu memberi panduan bagi dunia usaha, serta lebih memberi kepastian dalam jangka panjang.
7.   Kebijakan fiskal perlu diubah paradigmatiknya, dari yang terlalu berorientasi “akuntansi” menjadi kepada outcome dan impact bagi ekonomi nasional. Kebijakan fiskal musti berperspektif jangka menengah dan panjang, memperhitungkan kesinambungan fiskal dalam arti sejatinya. Anggaran berbasis kinerja yang telah lama diakui, diterapkan secara lebih konsisten di semua proses penganggaran.
8.   Harmonisasi kebijakan fiskal, moneter dan perbankan masih sangat mendesak diperbaiki dan ditingkatkan. Dibutuhkan koordinasi yang lebih rutin dari sekadar pertemuan bulanan atau triwulan. Tidak hanya pada jajaran paling atas, namun mencakup jajaran tingkat strategis dan teknis.
9.   Kekayaan sumber daya, mineral, dan energi Indonesia masih cukup memberi harapan bagi penguatan fundamental ekonomi Indonesia. Perlu perbaikan kebijakan dan pengelolaannya agar lebih terarah dan berperspektif jangka panjang.
10. Perkembangan teknologi, termasuk teknologi informasi, masih memerlukan perhatian yang lebih serius. Perbaikan signifikan dalam hal ini menjadi salah satu syarat perbaikan fundamental ekonomi Indonesia.