Utang luar negeri (ULN) yang diperoleh pemerintah dan swasta pada suatu tahun akan membawa masuk devisa, yang menambah surplus Neraca
Pembayaran Indonesia. Akan tetapi pada saat harus dilakukan pelunasan dan pembayaran
bunga, maka akan tercatat sebagai arus ke luar. Jika hanya dilihat seperti itu
tentu total devisa yang keluar akan lebih tinggi, karena ada tambahan bunganya.
Akan tetapi sebagian ULN dianggap bisa meningkatkan ekpor yang menghasilkan
devisa. Baik secara langsung karena sebagiannya dipakai dalam proses produksi berorientasi
ekspor. Ataupun secara tidak langsung, melalui perbaikan kondisi ekonomi dan memacu
pertumbuhan ekonomi yang kemudian mendorong ekspor.
Teori ekonomi bahkan memberi pembenaran perlunya utang luar
negeri bagi suatu negara yang sedang membangun, karena tingkat tabungan domestik
dianggap terlampau rendah. Tidak akan mencukupi bagi kebutuhan investasi yang
menjadi syarat utama pertumbuhan ekonomi. Jika tidak berutang, atau hanya dengan mengandalkan tabungan domestik, maka negara itu diyakini kehilangan banyak kesempatan
untuk mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Terlepas dari perdebatan tentang manfaat utang luar negeri
dan harapan akan menghasilkan devisa yang lebih banyak, akibat yang bersifat
segera dan pasti adalah kewajiban pelunasan utang pokok dan pembayaran bunga. Oleh
karenanya, otoritas ekonomi sering mewaspadai perkembangan ULN. ULN Pemerintah
langsung bisa dikontrol, sedangkan ULN swasta diawasi dan coba dipengaruhi
dengan berbagai kebijakan. Indonesia telah berpengalaman buruk di masa lampau
mengenai ULN swasta yang tak terkontrol.
ULN swasta tercatat tumbuh kembali dengan cepat dan
melampaui utang pemerintah lagi sejak tahun 2012. Laju ULN Pemerintah kemudian sempat
naik pesat pada tahun 2017 dan 2018, sehingga kembali setara. Akan tetapi di akhir
tahun 2018 hingga April 2019, ULN swasta kembali melampaui ULN Pemerintah. ULN
swasta sebesar US$199,61 miliar, ULN Pemerintah sebesar US$189,72 miliar, sehingga
totalnya sebesar US$389,34 miliar. Salah satu penyebab kenaikan pesatnya adalah
ULN Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dicatat oleh Bank Indonesia sebagai
utang swasta.
Posisi ULN BUMN cenderung meningkat selama 10 tahun
terakhir. Peningkatan signifikan terjadi sejak tahun 2011, dan posisi pada akhir
April 2019 mencapai US$49,02 miliar. Perlu diketahui bahwa BUMN yang paling
banyak berutang adalah yang bergerak di bidang nonkeuangan. Bukan BUMN Bank
ataupun BUMN lembaga keuangan nonbank.
Dilihat dari porsi, ULN BUMN saat ini mencapai 24,56% dari
total ULN swasta. Jauh lebih besar dibanding porsi tahun 2007 yang sebesar
6.51% dan tahun 2010 sebesar 10,19%. Hampir 30% berjangka waktu pendek (kurang
dari setahun).
Dilihat dari denominasi valuta asing ULN, maka porsi dolar
Amerika masih amat dominan, mencapai 90,09% dari total ULN swasta. Porsi ini
mengalami peningkatan dibanding tahun-tahun sebelumnya, seperti tahun 2007
(85,91%) dan pada tahun 2012 (87,43%). Artinya, dilihat dari sisi ini, pengaruh
kurs rupiah atas dolar makin membesar.
Jika dilihat dari jangka waktu sisa, maka ULN swasta
berjangka pendek (kurang dari sama dengan setahun) kini memiliki porsi sekitar
27,24%. Porsi ini sempat stabil selama sepuluh tahun terakhir di kisaran 25%,
dan sedikit meningkat dua tahun terakhir. Porsi yang telah lebih dari seperempat
total utang swasta itu akan memberatkan jika kondisi ekonomi memburuk mendadak.
Terutama jika depresiasi rupiah cukup signifikan, sementara korporasi swasta
(termasuk BUMN) tersebut tidak memproduksi barang atau jasa yang diekspor.
Secara umum, kondisi terkini dari ULN swasta memang masih lebih
baik dibanding tahun 1996-1997, menjelang krisis. Masih terlihat aman pula jika
dilihat dari besarnya cadangan devisa, kinerja NPI, dan bahkan tekanan atas
Transaksi Berjalan yang tengah terjadi. Akan tetapi, kondisinya cenderung
memburuk selama beberapa tahun terakhir. Dengan demikian, kewaspadaan otoritas
ekonomi atas dinamika ULN perlu ditingkatkan mengingat kondisi global ke depan makin
penuh ketidakpastian dan berisiko terjadi turubulensi. ULN BUMN menjadi salah
satu yang bisa segera dikendalikan oleh otoritas ekonomi.
Ulasan dalam tulisan ini bersifat umum, hanya melihat
data-data keseluruhan dan pengelompokan oleh Bank Indonesia. Masalah bisa saja
timbul dari korporasi swasta dan BUMN secara individual ataupun suatu industri.
Salah satu faktor krusialnya adalah jika mereka memiliki ULN dalam denominasi
dolar Amerika, namun produksinya dijual dalam rupiah di pasar domestik. Yang
jelas, terdapat beberapa indikasi yang kurang menggembirakan dan membutuhkan
kewaspadaan lebih tinggi dari otoritas ekonomi Indonesia.