Minggu, 31 Maret 2013

PRAKIRAAN EKONOMI INDONESIA 2013

PRAKIRAAN EKONOMI INDONESIA 2013 
Oleh: Awalil Rizky
 Diringkas dengan sedikit penyesuaian dari Indonesia economic outlook 2013 OLEH BRIGHT INDONESIA INSTITUTE, yang kutulis bersama DR. Lukman Hakim, dipublikasikan 26 Nopember 2012

Perekonomian Indonesia tahun 2013 diyakini akan berkinerja amat baik oleh banyak pihak, khususnya otoritas ekonomi dan moneter. Sikap optimis diperlihatkan oleh hampir semua pihak yang mempublikasikan prakiraan ilmiah dan akademis. Dalam satu bulan terakhir, beberapa prakiraan indikator ekonomi memang telah direvisi, menjadi tak sebagus yang diutarakan pada akhir tahun lalu. Revisi yang penting diantaranya adalah berupa koreksi prakiraan angka pertumbuhan ekonomi. Namun, tingkat pengkoreksian terbilang kecil, sehingga nuansa optimistik itu sendiri tetap bertahan.

Indikator makroekonomi beserta alat analisis yang tersedia memang cukup mendukung adanya prakiraan optimis. Indikator dimaksud antara lain mengenai: pertumbuhan ekonomi, inflasi, neraca pembayaran internasional, dan pengangguran. Akan tetapi, ada aspek yang beberapa indikator dan dinamikanya cenderung ditafsirkan mendua. Yakni, kondisi perekonomian global, khususnya terkait dengan krisis keuangan Eropa dan isyu pemulihan ekonomi Amerika Serikat. Hingga akhir tahun lalu, pemulihan kondisi perekonomian global diyakini akan berjalan lancar. Dampak positifnya bagi Indonesia dianggap cukup signifikan, sehingga prakiraan optimis memiliki tambahan dasar argumen.

Tatkala, ada koreksi dan penambahan bobot risiko atas krisis Eropa dalam tiga bulan terakhir ini, ditambah proses pemulihan ekonomi Amerika serikat dinilai memerlukan waktu yang lebih lama, otoritas ekonomi Indonesia masih yakin akan aman dari dampak buruknya. Terutama karena alasan masih kuatnya perekonomian (pasar) domestik dan hubungan yang lebih erat ke negara-negara Asia. Bagaimanapun, argumen untuk optimis menjadi sedikit berkurang, terutama dalam hal pertumbuhan ekonomi yang dianggap hanya akan meningkat setara dengan tahun 2012.

 Nota Keuangan RAPBN 2013 memperkirakan pertumbuhan ekonomi mencapai 6,8 %, bahkan dicantumkan sasaran sebesar 6,8 – 7,4 % pada tahun 2013. Dijelaskan bahwa pertumbuhan tersebut didorong oleh konsumsi masyarakat dan pemerintah, serta PMTB/investasi. Dari sisi produksi, sektor pertanian, sektor industri pengolahan, sektor konstruksi, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sertasektor pengangkutan dan komunikasi.

 Ketika APBN ditetapkan, target pertumbuhan ekonomi yang dinyatakan lebih mengarah kepada angka 6,8% saja. Bank Indonesia juga sudah menyatakan prakiraan terbarunya yang masih meyakini peningkatan pertumbuhan ekonomi dari 6,3% pada tahun 2012 menjadi 6,3 – 6,7% pada tahun 2013. IMF sudah mengkoreksi lagi prakiraannya hingga menjadi 6,3%. Terakhir, Bank Dunia mengoreksi prakiraannya menjadi 6,2%. BRIGHT Indonesia institute, suatu lembaga think tank, bahkan menganggap pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2013 memang masih berpeluang besar untuk tumbuh di atas 6%, namun memiliki risiko pula untuk melambat hingga hanya tumbuh 5,9%. Penekanan utama prakiraan BRIGHT adalah akan adanya perlambatan, sedikitnya hanya tumbuh sama dengan tahun 2012. Sedangkan prakiraan pihak lain yang disebut terdahulu tetap melihat adanya peningkatan laju pertumbuhan.

 Nota Keuangan RAPBN 2013 menjelaskan lebih lanjut tentang target pertumbuhan ekonomi.Dari sisi produksi, kinerja semua sektor diperkirakan lebih baik jika dibandingkan dengan tahun 2012. Sektor pertanian, sektor industri pengolahan, sektor konstruksi, serta sektor perdagangan, hotel, dan restoran masih menjadi sektor yang diharapkan mampu menjadi pendorong utama pertumbuhan PDB. Sektor pertanian diperkirakan tumbuh sebesar 3,7 %. sektor industri pengolahan diperkirakan berada pada kisaran 6,5 persen (yoy). Sektor konstruksi di tahun 2013 diperkirakan tumbuh sebesar 7,5 persen (yoy). Sektor perdagangan, hotel, dan restoran di tahun 2013 diperkirakan tumbuh 8,9 persen.

Pemerintah meyakini akan ada perubahan mendasar terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia, dimana diperkirakan terjadi pergeseran, yakni investasi akan menjadi sumber dan penggerak utama. Angka kontribusi investasi pada tahun 2013 disebut akan mengalami peningkatan tinggi hingga melebihi kontribusi konsumsi masyarakat, yang selama ini selalu menjadi kontributor atau penyumbang terbesar. Sumber-sumber investasi antara lain berasal dari realisasi PMA/PMDN, belanja modal pemerintah, capital expenditure (capex) BUMN, laba ditahan, dan kredit perbankan.

 Nota Keuangan RAPBN 2013 juga menjelaskan lebih lanjut tentang target pertumbuhan ekonomi dari sisi penggunaan. Konsumsi masyarakat diperkirakan tumbuh sebesar 4,9%, yang antara lain didorong oleh relatif stabilnya laju inflasi serta beberapa kebijakan belanja negara yang menjaga daya beli masyarakat. Konsumsi pemerintah diperkirakan tumbuh 6,7 %, yang didorong oleh pertumbuhan belanja begawai dan belanja barang. Investasi/PMTB diperkirakan tumbuh sebesar 11,9 %, sehingga kontribusi investasi terhadap pertumbuhan ekonomi meningkat menjadi 3,03% . Lebih tinggi dibandingkan dengan kontribusi konsumsi masyarakat yang sebesar 2,69%. Sedangkan kinerja ekspor-impor diperkirakan mengalami peningkatan pertumbuhan, yaitu sebesar 11,7 % dan 13,5 %.

 Ada pun peran investasi sebagai sumber pertumbuhan baru membaik dalam tiga tahun terakhir ini. Upaya keras Pemerintah mendorong investasi masih terhadang oleh kondisi perekonomian global yang belum kondusif. Kadang, investasi yang dirangsang untuk tumbuh pun terkesan tidak bersifat selektif. Sebagai contoh, kebijakan makroekonomi yang mendorong investasi tersebut sama hampir tidak memperhitungkan ketersediaan teknologi atau berdimensi teknologis. Padahal, penambahan modal secara agregat an sich akan kurang efektif jika tidak disertai perencanaan pengembangan teknologi yang tepat. Yang kemudian terjadi adalah dinamika produksi yang bersifat saling meniadakan atau substitutif, bukannya komplementer untuk menambah kapasitas produksi.

 Bagaimanapun, kontribusi investasi sebagai sumber pertumbuhan terus menaik dalam tiga tahun terakhir: 2,0 % (2010), 2,1% (2011), 2,4% (2012).

 Sementara itu, sumbangan konsumsi telah terbukti dan nampaknya masih (terpaksa) akan diandalkan. Fenomena konsumsi sebagai sumber pertumbuhan terpenting telah bertahan lebih dari sepuluh tahun terakhir, sejak era krisis moneter. Dan yang paling luar biasa adalah konsumsi rumah tangga, meskipun konsumsi pemerintah juga kadang terhitung besar.

 Kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan PDB adalah: 2,4 %(2005), 1,9 %(2006), 2,9 %(2007), 3,1% (2008), 2,8% (2009), 2,7% (2010), 2,7% (2011), 2,9% (2012). Sedangkan kontribusi konsumsi pemerintah terhadap pertumbuhan PDB adalah: 0,51 %(2005), 0,74 %(2006), 0,31 %(2007), 0,8% (2008), 1,3% (2009), 0,8% (2010), 0,3% (2011), 0,4% (2012). Dilihat dari fostur APBN 2013, dan karena tidak mudah mengubah haluan kebijakan fiskal dari orientasi memelihara stabilitas menjadi pendorong pertumbuhan, maka kontribusinya kemungkinan kurang dari 1%.

 Salah satu kekhawatirkan atas kondisi semacam ini adalah terkait fakta bahwa pengangguran dan kemiskinan tidak akan teratasi tanpa pertumbuhan yang didorong oleh investasi riil. Kenyataan bahwa konsumsi bertahan begitu lama menggerakkan pertumbuhan merupakan keanehan, dan hanya mungkin dijelaskan dengan berkembangnya kegiatan ekonomi tersembunyi (hidden economy). Hidden economy yang dimaksud adalah kegiatan ekonomi yang tidak tercatat karena bersifat “bawah tanah”, tetapi berskala besar, seperti : penyelundupan, bisnis narkotik, perjudian, dan pornografi. Namun, diduga pula bahwa kegiatan ekonomi yang tersembunyi sebenarnya tidak seluruhnya berkaitan dengan urusan terlarang. Pencatatan kegiatan ekonomi secara formal kerap dihindari oleh pelaku usaha karena berhubungan dengan birokrasi yang dirasa menyulitkan. Jumlah keseluruhan dari sektor nonformal yang tergolong usaha mikro dan kecil pun menjadi cukup signifikan. Aktivitas ekonomi tersembunyi juga kian berkembang karena praktik ekonomi biaya tinggi dan ketidakpastian hukum. Bisa dikatakan PDB masih “underreporting”, dimana kenyataannya lebih besar daripada itu. Akan tetapi dalam hal pertumbuhan, karena perbandingannya apple to apple memang tidak berbeda secara berarti.

 Patut dicatat bahwa PDB underreporting ini mengisyaratkan soal lain yang cukup serius, yakni disparitas pendapatan antar kelompok masyarakat. PDB per kapita sudah terhitung tinggi, tahun 2012 sebesar Rp 33,3 juta. Sementara indeks Gini justeru terus memburuk menjadi 0,42.

 Selain itu, patut diperhitungkan kondisi perekonomian dunia yang lebih buruk daripada prakiraan sebelumnya. Dampak negatifnya kepada Indonesia dapat segera membesar melalui berbagai cara. Salah satunya adalah melalui signifikannya faktor ekspektasi yang buruk dalam banyak aspek ekonomi. Faktor tambahan ladalah otoritas ekonomi yang agak “overconfidence” atas ketahanan ekonomi domestik terhadap krisis.

 Dari sisi penawaran, ada perhitungan yang berbeda (tak terlalu optimis) dalam melihat dampak krisis keuangan global terhadap beberapa sektor, seperti : sektor industri pengolahan, sektor konstruksi, dan sektor keuangan, real estat dan jasa perusahaan. Sektor-sektor yang tumbuh pesat selama tiga tahun, yakni keuangan akan mulai mendapat pukulan, sedikitnya perlambatan laju peningkatan. Tekanan dalam skala yang lebih kecil tetapi bisa cukup signifikan dialami sektor industri pengolahan, akibat keterkaitannya yang cukup erat dengan pasaran luar negeri (termasuk bahan baku produksinya). Sektor Pertanian pun terancam tumbuh lebih rendah, mengingat ancaman banjir dan kekeringan yang bisa terjadi secara hampir bersamaan di wilayah yang berbeda.

 Sedangkan dari sisi permintaan, laju investasi dan ekspor sangat mungkin tertahan atau bahkan melambat. Pengeluaran pemerintah memang semakin dicoba untuk optimal. Namun, masalah hingga kini dalam kebijakan fiskal adalah masih adanya gap antara policy dan realisasinya. Salah satu sebabnya adalah reformasi birokrasi keuangan yang belum selesai. Upaya mencegah kebocoran justeru masih menjadi kendala bagi optimalisasi peran pengeluaran pemerintah yang lebih ekspansif. Selain itu, otoritas fiskal tidak hanya dipegang oleh pemerintah, melainkan juga oleh DPR. Dan dalam suhu politik yang semakin memanas belakangan ini, terutama terkait isyu korupsi, turut menyulitkan fleksibilitas kebijakan fiskal dalam menghadapi situasi krisis.

 Konsumsi masyarakat pun meski akan tetap tumbuh kemungkinan akan sedikit mengalami tekanan dari beberapa sisi. Diantaranya adalah akan mengendornya sektor keuangan menyalurkan kredit yang begitu deras pada waktu sebelumnya. Tekanan lain berupa terpukulnya berbagai sektor usaha yang akan berdampak pada PHK dan penyerapan tenaga kerja yang rendah, termasuk rasionalisasi akibat kenaikan UMP yang signifikan di beberapa daerah. Sektor mikro dan Kecil atau sektor nonformal memang masih akan menjadi semacam jaring pengaman, namun ”kapasitasnya” sudah mulai optimum.

 Dalam hal harga-harga, inflasi IHK untuk keseluruhan tahun 2012 tercatat 4,30%, sedikit lebih tinggi dari inflasi 2011 sebesar 3,79%, namun masih dalam sasaran inflasi Bank Indonesia sebesar 4,5%±1%. Berdasarkan komponennya, inflasi yang relatif rendah tersebut disumbang inflasi inti yang berhasil dikendalikan pada tingkat yang moderat, yakni 4,40%. Pencapaian inflasi inti ini dipengaruhi penurunan ekspektasi inflasi dan perkembangan nilai tukar yang secara rata-rata stabil, serta penurunan harga pangan komoditas global.

 Bank Indonesia menyebut faktor lain, yakni terjaganya kemampuan sisi penawaran dalam merespons meningkatnya permintaan. Kondisi ini tergambar pada kondisi output gap yang relatif minimal. Berbagai survei Bank Indonesia menunjukkan peningkatan kapasitas terpakai dari tahun sebelumnya, namun masih berada di bawah level 80%, yang berarti sebagian besarindustri masih mempunyai ruang untuk meningkatkan produksi untuk mengimbangi peningkatan permintaan.

 Komponen lain yang mempengaruhi inflasi IHK 2012 yang rendah ialah inflasi volatile foods yang cukup terkendali, inflasi administered prices yang rendah. Rendahnya inflasi administered prices tersebut disebabkan terbatasnya kebijakan penyesuaian harga barang dan jasa yang strategis oleh Pemerintah.

 Untuk 2013, inflasi diperkirakan masih akan terjaga, namun akan sedikit meningkat, dan sangat mungkin sedikit di atas yang diharapkan oleh Bank Indonesia sebesar 4,5% ±1,0%. Sumber inflasi dari sisi eksternal diperkirakan dengan sedikit membaiknya ekonomi dunia, meski pemulihan masih berjalan lambat, serta bergerak naik perlahannya harga-harga komoditas internasional, termasuk harga minyak. Di sisi domestik, tekanan inflasi dari sisi permintaan diperkirakan relatif moderat seiring dengan tetap terjaganya pasokan sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan investasi. Dari sisi volatile foods, kecukupan pasokan baik melalui produksi maupun impor telah membawa inflasi pada level yang cukup rendah di tahun 2012. Sedangkan di tahun 2013 diperkirakan ada beberapa gangguan atas itu, sehingga mendorong inflasi. Dilain pihak, inflasi administered prices diperkirakan akan meningkat mengingat kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) dan kemungkinan kenaikan BBM. Dalam hal ini semua, rencana dan isyu kebijakan administered price dibidang energi adalah yang nantinya paling menentukan.

 Bahwasanya kebijakan moneter hanya dapat mempengaruhi inflasi inti telah banyak ditunjukkan dalam model-model ekonomi, baik secara teoritis maupun secara empiris. Tanpa fluktuasi dari harga volatile foods dan administered goods, inflasi inti dapat dilihat sebagai inflasi yang berasal dari kebijakan moneter. Akan tetapi Perlu dicatat bahwa inflasi inti dapat juga dipengaruhi oleh kenaikan harga volatile foods dan administered goods melalui efek lanjutan (second round effects).

 Bagaimanapun, pada kenyataannya, banyak faktor yang mengakibatkan inflasi IHK di luar kendali kebijakan moneter. Hanya komponen-komponen tertentu dari inflasi IHK yang berada dalam kendali otoritas moneter. Tentu saja urgensi kebijakan pengendalian inflasi dari BI menjadi meningkat jika diakui kesimpulan analisis yang selama dipakai mengenai salah satu faktor fundamental inflasi adalah masalah ekspektasi.

 Bank Indonesia dengan dukungan pemerintah memang berhasil mengendalikan inflasi selama empat tahun terakhir ini, dan sesuai dengan target yang ditetapkan. Akan tetapi, ancaman inflasi di tahun 2013 mulai mengedepan kembali.

 Dalam hal transaksi internasional, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) tahun 2012 mencatat surplus sebesar US$0,2 miliar. Terhitung surplus yang amat tipis dibandingkan selama lima tahun terakhir. Pertumbuhan permintaan dunia yang melambat dan harga komoditas ekspor yang menurun tajam, di tengah permintaan domestik yang masih kuat dan konsumsi BBM yang meningkat, menyebabkan surplus neraca perdagangan nonmigas menyusut dan defisit neraca perdagangan migas melebar. Akibatnya, pada tahun 2012 transaksi berjalan mengalami defisit sekitar 2,7% dari PDB. Defisit transaksi berjalan masih dapat diimbangi oleh surplus transaksi modal dan finansial yang meningkat pesat sehingga NPI masih mengalami surplus tipis, setidaknya cadangan devisa dapat dipertahankan pada tingkat relatif aman. Kenaikan surplus transaksi modal dan finansial itu berasal dari investasi portofolio, dan juga berupa investasi PMA. Dilaporkan pula oleh BI bahwa tercatat semakin besarnya porsi devisa hasil ekspor yang diterima melalui perbankan domestik. Otoritas ekonomi mengklaim keberhasilan dalam meningkatkan arus masuk investasi asing dan mengendalikan defisit transaksiberjalan, padahal perekonomian dunia belum sepenuhnya kondusif, tidak terlepas dari serangkaian kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan Pemerintah, baik dari sisi moneter, makroprudensial, dan pengelolaan nilai tukar, maupun dari sisi pengelolaan fiskal dan perbaikan iklim investasi.

 Bank Indonesia masih yakin jika pada tahun 2013, tekanan defisit transaksi berjalan relatif terhadap PDB diperkirakan menurun seiring ekspektasi pemulihan kondisi perekonomian global dan membaiknya harga komoditas internasional. Kinerja perdagangan nonmigas diperkirakan akan lebih baik, didukung oleh meningkatnya volume perdagangan dunia ( world trade volume) dan harga komoditas ekspor. Ekspor nonmigas diperkirakan dapat tumbuh lebih tinggi daripada pertumbuhan impor nonmigas, seiring dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi China dan India yang lebih baik serta prospek meningkatnya investasi di sektor publik di Jepang terkait dengan adanya stimulus. Di sisi transaksi modal dan finansial, arus masuk modal investasi langsung asing (PMA) diperkirakan masih meningkat seiring perkiraan investasi domestik yang tetap kuat. Sejalan dengan itu, penarikan pinjaman luar negeri sektor swasta juga diperkirakan akan lebih besar dibandingkan dengan tahun 2012.

 Kondisi NPI yang selalu mengalami surplus selama beberapa tahun terakhir telah menambah jumlah cadangan devisa, yang hingga Desember 2012 telah mencapai USD 112,8 miliar. Meski naik tipis dibanding Desember 2011, namun jika dikaitkan dengan kesetaraan atas nilai impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, justeru terjadi penurunan. Dari mencukupi untuk 6,3 bulan menjadi hanya 6,1 bulan. Dampak buruk krisis keuangan global memang belum terlihat jelas pada NPI, namun gejala tertahannya jumlah cadangan devisa di kisaran itu selama dua tahun ini bisa saja membalikkan arah di tahun berikutnya, yang dimulai dari tahun 2013.

 Tatkala terjadi surplus NPI yang besar dan ditunjang oleh surplus transaksi berjalan pada tahun-tahun lalu, sebagian pihak telah mengingatkan tetap adanya kerentanan terhadap gejolak eksternal. Alasan dari sisi penerimaan devisanya adalah karena surplus transaksi modal dan keuangan didominasi oleh aliran dana berjangka pendek atau investasi portofolio. Dari sisi pengeluaran devisa adalah meningkatnya porsi utang jangka pendek korporasi yang mendorong kenaikan kerentanan NPI terhadap risiko gejolak eksternal dan perubahan sentimen investor.

 Soal gejolak eksternal dan perubahan sentimen investor ini dirasa cukup mengkhawatirkan oleh beberapa ekonom. Wacana akan terjadinya sudden reversal, yang bisa secara seketika mengubah wajah NPI menjadi sangat buruk, selalu up to date dengan struktur NPI saat ini. Pada giliran berikutnya adalah gejolak nilai tukar rupiah, yang bisa saja menembus angka psikologis Rp 10.000 di tahun 2013.

 Sekalipun sampai sejauh ini keadaan buruk tidak terjadi, sebagiannya karena otoritas moneter dan pemerintah jauh lebih siap dibanding pada masa lalu, kerawanan bukannya hilang sama sekali. Bagaimanapun, NPI tidak terlampau kokoh karena besarnya porsi arus modal jangka pendek, sehingga goncangan eksternal yang besar bisa berakibat fatal. Di sisi lain, kenaikan harga bahan bakar minyak dan komoditi unggulan dunia berdampak positif terhadap kinerja ekspor Indonesia yang mayoritas berbasis sumber daya alam.

 Secara keseluruhan, meski otoritas ekonomi masih amat optimis, sudah ada pengamat dan lembaga think tank ekonomi yang mengingatkan akan defisitnya Neraca Pembayaran Internasional pada 2013, yang sudah diawali oleh tipisnya surplus pada 2012. Akibatnya, cadangan devisa akan sedikit berkurang. Dan ancaman yang serius bisa menghadang di tahun 2014 jika kecenderungan berlanjut. Defisit itu terutama sekali akan disumbang oleh defisit transaksi modal dan finansial. Bagaimanapun langkah otoritas ekonomi, diingatkan bahwa tetap ada arus modal keluar. Kebijakan yang tepat, termasuk membuat aturan yang lebih ketat atas pembelian valuta asing, hanya bisa mencegah pelarian yang mendadak dan besar-besaran. Sementara itu, perlambatan ekspor diperkirakan tetap terjadi. Penurunan permintaan dunia akan berdampak signifikan, ditambah lagi lebih rendahnya harga komoditas ekspor Indonesia. Depresiasi rupiah hanya akan sedikit memberi insentif bagi ekspor, dan bahkan langsung memberi beban kepada impor. Laju impor diperkirakan turun lebih lambat, sehingga ekspor neto menjadi lebih kecil lagi.

 Perkembangan NPI, khususnya transaksi berjalan, antara lain amat mempengaruhi nilai tukar rupiah. Nilai tukar rupiah selama tahun 2012 secara rata-rata mengalami depresiasi atau pelemahan 6,06% (yoy) dari level Rp8.768 per dolar AS menjadi Rp9.336 per dolar AS. Secara point topoint, rupiah pun terkoreksi setara sehingga mencapai Rp9.638 per dolar AS pada akhir tahun 2012.

 Pergerakan rupiah ke depan masih akan dibayangi oleh beberapa risiko yang bersumber dari kondisi ekonomi global. Pergerakan rupiah masih sangat bergantung pada perkembangan penyelesaian krisis utang di Eropa dan pemulihan ekonomi AS. Meskipun peringkat utang Indonesia menunjukkan perbaikan, berkebalikan dengan kedua kawasan tersebut yang justru mengalami penurunan peringkat, sebagai negara small open economy rambatan kerentanan kondisi global dapat dirasakan juga pada ekonomi domestik. Kondisi tersebut pada gilirannya memberikan tekanan pada volatilitas aliran dana nonresiden dan nilai tukar rupiah.

 Dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut di atas, maka asumsi rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam APBN 2013 sekitar Rp9.000 – 9.300 rasanya sulit dipenuhi. Namun, kehati-hatian dan proaktifnya kebijakan yang ditempuh Pemerintah dan Bank Indonesia dalam mengendalikan nilai rupiah selama ini, mungkin kisarannya adalah pada Rp9.500 – 9.800. Otoritas ekonomi dipastikan akan berupaya keras agar angka psikologis Rp 10.000 tidak terlampaui.

 Selama kurun waktu 2006–2012, pencapaian pertumbuhanekonomi yang cukup tinggi telah berhasil menurunkan angka pengangguran dari 10,93juta orang (10,28 %) di tahun 2006 menjadi 7,24 juta orang (6,14%) di tahun2012. Namun, jumlah pekerja tidak penuh tak mengalami penurunan yang berarti, masih berjumlah 34,29 juta orang (31%). Data menunjukkan jumlah angkatan kerja mengalami peningkatan dari 106,39 jutaorang pada Agustus 2006 menjadi 118,04 juta orang pada Agustus 2012 atau naik 11,65 juta orang. Dari jumlah tersebut, angkatan kerja yang terserap mengalami peningkatan dari 95,46 juta orang pada menjadi 110,8 juta orang, atau naik sebanyak 15,34 juta orang.

 Dalam soal pengangguran khususnya dan ketenagakerjaan umumnya ini memang masih terdapat banyak masalah. Diantaranya: pekerja tidak penuh tidak menurun secara berarti bahkan cenderung meningkat dari tahun-tahun sebelumnya; pekerja informal masih lebih besar daripada yang formal; ada kecenderungan peningkatan pengangguran terdidik; upah yang rendah bagi kebanyakan pekerja, dimana kenaikan upah hanya mengimbangi atau di bawah laju inflasi; lapangan kerja terbesar masih di sediakan oleh sektor pertanian; perlindungan bagi pekerja masih tersedia secara minimal; dan kualitas banyak pekerja masih rendah dan produktifitasnya belum optimal.

 Akan tetapi jika dilihat dari sudut optimis atau potensinya, maka soal ketenaga kerjaan ini jika ditangani secara lebih baik oleh Pemerintah, dunia pendidikan dan kalangan usaha, maka akan menjadi faktor penting bagi perkembangan perekonomian di masa mendatang.

 Perekonomian yang membaik selama periode 2006-2012 berdampak pada penurunan angkakemiskinan. Jumlah penduduk miskin mengalami penurunan dari 39,3 juta (17,75 %)pada tahun 2006 menjadi 29,13 juta (11,96%) pada tahun 2012. Penurunan ini terjadi,baik di perdesaan maupun di perkotaan. Jumlah penduduk miskin di perkotaan mengalami penurunan dari 14,49 juta (2006) menjadi 10,65 juta orang (2012). Sementara itu di perdesaan, penduduk miskin berkurang dari 24,81 juta orang (2006) menjadi 18,49 juta orang (2012).

Pemerintah menganggap penurunan angka kemiskinan tersebut juga merupakan keberhasilan dari berbagai program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan mereka. Program-program tersebut dilakukan untuk memberikan akses yang lebih luas kepada kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah agar dapat menikmati hasil-hasil pembangunan. Langkah ini ditempuh antara lain melalui pemberian subsidi, jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas), infrastruktur sosial, perdesaan, daerah tertinggal dan khusus, program BOS, bantuan sosial dan PKH, PNPM Mandiri,dan dana penjaminan kredit/pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, menengah (UMKM),dan koperasi dalam bentuk Kredit Usaha Rakyat (KUR), serta bantuan tunai bersyarat. Pemerintah pun mengalokasikan anggaran rata-rata sekitar Rp 100 triliun per tahun dalam tiga tahun anggaran terakhir untuk mendukung semua program itu.

 Perkembangan kondisi perbankan masih menunjukkan perkembangan cukup baik, namun sedikit melambat dalam beberapa indikator utama. Penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) di akhir tahun 2012 mencapai Rp3.225,2 triliun, tumbuh 15,8%. Sedangkan tahun sebelumnya tumbuh 19,0%. Total penyaluran kredit mencapai Rp2.707,9 triliun, tumbuh 23,1%, sedangkan tahun sebelumnya tumbuh hingga 24,7 %. Meski laju peningkatan kredit sedikit melambat, ada perbaikan dalam rasio Loan to Deposit (LDR), meneruskan tren LDR yang meningkat beberapa tahun terakhir, sesuai dengan arah kebijakan Bank Indonesia. Rasio penyaluran kredit mencapai 76,85% (Desember 2010), 78,8% (Desember 2011), dan 84,0% (Desember 2012). Perkembangan tersebut memberikan sinyal meningkatnya fungsi intermediasi perbankan. Beberapa indikator perbankan lainnya menunjukkan perbaikan, seperti rasio kredit bermasalah (NPL) yang tetap terjaga pada tingkat yang rendah, serta rasio Kecukupan modal (CAR) yang baik.

 Meski telah membaik, perbankan tetap masih menghadapi tantangan berupa masih besarnya ekses likuiditas. Dalam kondisi perbankan demikian, derasnya aliran masuk modal asing juga dapat menyebabkan peningkatan ekses likuiditas yang telah ada. Ekses likuiditas perbankan yang besar tersebut dapat memberikan tekanan terhadap stabilitas makroekonomi sehingga perlu dikelola secara optimal. Tantangannya ialah bagaimana agar likuiditas tersebut dapat disalurkan untuk membiayai sector usaha produktif dan pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Untuk mengatasi hal tersebut, bank sentral perlu menerapkan berbagai instrumen yang dapat mengendalikan likuiditas, baik secara permanen maupun temporer.

 Di samping itu, koordinasi kebijakan Bank Indonesia dengan Pemerintah sangat diperlukan dalam rangka mengelola ekses likuiditas yang bersumber dari operasi keuangan Pemerintah. Hal tersebut mengingat semakin besarnya sumber pembiayaan APBN yang berasal dari penerimaan valuta asing akan menambah likuiditas dalam perekonomian. Koordinasi tersebut juga diperlukan dalam rangka menambah instrumen yang dapat digunakan dalam memanfaatkan ekses likuiditas untuk pembiayaan kegiatan investasi di sektor riil. Dalam beberapa tahun terakhir, khususnya pascakrisis keuangan global tahun 2008, ekses likuiditas terus mengalami peningkatan, yang mencerminkan peran perbankan dalam pertumbuhan ekonomi belum optimal. 

Kondisi ekses likuiditas perbankan yang cenderung persisten apabila tidak dikelola dengan baik akan berdampak negatif terhadap perekonomian. Ekses likuiditas tersebut berpotensi mendorong perkembangan besaran moneter (kredit dan uang beredar) yang selanjutnya dapat meningkatkan tekanan inflasi ketika ekses likuiditas tersebut disalurkan ke kredit konsumsi, terutama jika penawaran tidak dapat mengimbangi kenaikan konsumsi yang dibiayai oleh kredit tersebut.

 Prioritas pengembangan kredit bagi usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) telah menjadi komitmen Bank Indonesia dan Pemerintah. Sejauh yang dikemukakan kepada publik, prioritas itu pun didukung oleh rencana bisnis bank-bank besar. Sikap semacam ini didukung oleh kinerja kredit bagi UMKM yang justeru lebih baik dibanding dengan kredit non MKM pada kondisi perbankan yang memburuk terkena dampak krisis global. Secara lebih khusus, kredit mikro dianggap akan menjadi tumbuh lebih pesat dibanding kredit lainnya. Dari dilihat dari sisi kredit bermasalah, sekalipun juga turut meningkat, kondisi kredit UMKM jauh lebih baik dari kredit korporasi.

 Pengembangan kredit UMKM sebenarnya diharapkan mampu semakin mendorong pemberdayaan UMKM, khususnya usaha mikro. Usaha mikro diyakini dan sebagian memang telah terbukti dapat berperan besar dalam upaya penanggulangan kemiskinan, yang relatif efektif dan berkelanjutan. Diantaranya melalui penciptaan lapangan pekerjaan dan kesempatan berusaha. UMKM sendiri telah menjadi penopang ekonomi nasional jika dilihat secara makro ekonomi, terlebih pada saat ada badai krisis. Sektor UMKM masih tetap menjadi tumpuan penyerapan tenaga kerja baru. Kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto dan pertumbuhan ekonomi pun selalu bisa diandalkan.

 Berdasarkan definisi usaha dalam UU. No.20/2008 tentang UMKM, realisasi penyaluran kredit mencatat pertumbuhan kredit UMKM mencapai 15,1% (ytd) yaitu dari Rp467,0 triliun pada akhir 2011 menjadi Rp552,2 triliun pada akhir 2012. Kontribusi kredit UMKM terhadap total kredit perbankan menjadi sebesar 19,9%, turun dari tahun sebelumnya sebesar 21,2%. Penurunan itu karena laju pertumbuhan kredit perbankan lebih tinggi daripada yang khusus MKM, pertama kali dari beberapa tahun terakhir. Sementara berdasarkan kriteria plafond, pertumbuhan kredit MKM pada akhir 2012 (ytd) adalah 19,5% (dari Rp1.171,5 triliun menjadi Rp1.399,9 triliun) dengan porsi kredit MKM terhadaptotal kredit sebesar 50,73%. Perbedaan angka tersebut disebabkan Kredit Konsumsi tidak diperhitungkan dalam definisi Kredit Produktif kepada UMKM sesuai UU No. 20/2008.

 Fenomena tahun 2012 menguatkan dugaan tentang perbankan umum masih menghadapi kendala dalam penyaluran kredit untuk usaha kecil dan mikro. Tatkala dukungan dan dorongan Bank Indonesia serta Pemerintah begitu kuat, laju kredit MKM justeru melambat. Kendala tersebut antara lain adalah sebagai berikut: Tidak semua bank umum memiliki jaringan yang menyebar ke pelosok daerah; Pengetahuan tentang karakter, kondisi dan modal usaha kecil dan mikro kurang dimiliki oleh pengelola perbankan; Bank umum menghadapi masalah pengendalian dan keterbatasan tenaga pengawas atau penagih serta biayanya; Permasalahan usaha kecil dan mikro tidak sekedar permodalan tapi juga manajemen, pemasaran dan pengembangan teknologi.

 Pada saat ini, pihak bank memiliki kewajiban mencantumkan realisasi KUK-nya dalam Laporan Keuangan Publikasi yang dilaporkan secara rutin triwulan pada media publikasi. Ini artinya masyarakat luas dapat ikut memantau pelaksanaan penyaluran KUK perbankan. Di sisi lain, pemberian kredit ke UMKM dapat mendongkrak citra perbankan yang bersangkutan dalam aksestabilitasnya oleh masyarakat umum.

 Akan tetapi, melihat keterbatasan teknis dalam penyaluran kredit bagi usaha kecil dan usaha mikro, maka pihak perbankan saat ini dan kemungkinan besar di masa mendatang pun tidak bisa optimal dalam hal ini. Secara umum, jika industri perbankan terlampau memaksakan diri maka akan terjadi inefisiensi dalam dirinya sekaligus bagi perekonomian keseluruhan. Dengan kekuatan permodalannya, dalam jangka pendek dan menengah, masuknya perbankan secara lebih dalam ke kredit kecil dan mikro dapat melemahkan atau setidaknya menghambat perkembangan lembaga keuangan mikro yang sudah eksis. Jika terjadinya karena soal kekuatan modal saja, bukan karena efisiensi dan efektivitas, maka akan merugikan perekonomian dalam jangka menengah dan panjang.

 Hal lain yang amat perlu dipertimbangkan adalah akan semakin terintegrasinya usaha kecil dan mikro kepada system keuangan perbankan, yang berarti pula akan cepat mendapat dampak buruk jika ada gangguan atau ketidakstabilan sistem. Padahal, keunggulan usaha kecil dan mikro yang sudah terbukti selama ini adalah kuat atau hanya mengalami sedikit dampak buruk jika terjadi krisis yang lebih disebabkan faktor eksternal Indonesia.

 Pilihan yang lebih baik adalah perbankan melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan lain, yaitu lembaga keuangan mikro. Hal ini bersesuaian pula dengan hasil Micro Credit Summit Global Campaign di Kopenhagen pada 1995 dan di Washington pada 1997 merumuskan bahwa program pengembangan jaringan Lembaga keuangan mikro sebagai metode efektif untuk menanggulangi kemiskinan.

 Jika dinyatakan dalam beberapa kalimat, maka perekonomian Indonesia di tahun 2013 masih akan memperlihatkan kinerja makroekonomi yang amat baik. Bahkan termasuk diantara negara yang tertinggi pertumbuhan ekonominya. Namun, gejala pemburukan akan mulai segera terlihat, yang jika tak terantisipasi berpeluang memperlambat bahkan menghentikan kecenderungan perbaikan selama beberapa tahun terakhir. Kerentanan perekonomian global akan bisa menjadi gangguan yang serius dan pada akhirnya menyeret ekonomi nasional ke pusaran krisis pada tahun 2014. Kemungkinan itu menjadi lebih terbuka karena adanya pemilu legislatif dan pemilihan presiden di tahun 2014 yang sedikit banyak melabilkan kondisi sosial politik, yang berdampak pada dinamika ekonomi.

 Adapun sebagian prakiraan ekonomi Indonesia 2013 berupa angka adalah sebagai berikut: Pertumbuhan ekonomi sebesar 5,9%, Inflasi di kisaran 5 %, Neraca Pembayaran Internasional akan defisit sekitar 3 – 5 miliar dolar, Kurs rupiah terhadap USD secara rata-rata sebesar Rp 9.500 - Rp 9.800, angka pengangguran terbuka hanya akan sedikit menurun di tingkat 6% . BRIGHT merekomendasikan kepada Pemerintan dan Bank Indonesia melakukan langkah-langkah yang tak sekedar bussiness as usual, melainkan dengan tingkat kewaspadaan dan kehati-hatian tinggi bahwa krisis mengancam di tahu 2014, yang pertandanya akan mulai terlihat di tahun 2013.

 Secara lebih khusus, bisnis keuangan mikro akan semakin menarik pada tahun 2013 ini. Ada banyak program dan alokasi dana pemerintah yang secara langsung atau tidak langsung akan mendorong bisnis. Hal itupun secara tidak langsung karena tahun 2013 dimulai era menjelang tahun politik 2014. Dan ada pula kegiatan bisnis maupun sosial dari kekuatan internasional yang masuk dan berperan positif dalam industri ini. Singkatnya, banyak pertanda sektor keuangan mikro kini menjanjikan potensi keuntungan yang besar pula. Dengan catatan, perbankan umum masih memiliki kendala untuk memperdalam porsi kredit mikro dan kecil dalam struktur kreditnya.