Jumat, 29 Maret 2019

FUNDAMENTAL EKONOMI YANG RAPUH (bagian 2)


Pertumbuhan Ekonomi yang Tidak Memperkuat Fundamental.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2018 mencapai 5,17%, tertinggi di era pemerintahan Presiden Jokowi. Secara rata-rata, pertumbuhan per tahun hanya 5,03%. Sedangkan pada era Presiden SBY, pertumbuhan ekonomi sempat mencapai 6,38%, dan secara rata-rata sebesar 5,73%.

Pertumbuhan ekonomi 5,17% sebenarnya merupakan perbandingan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2018 atas dasar harga konstan dibandingkan dengan nilainya pada tahun 2017. PDB adalah nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam wilayah Indonesia selama setahun. Nilai PDB tahun 2018 atas dasar harga berlaku (harga tahun bersangkutan) adalah sebesar Rp14.837,4 triliun. Sedangkan PDB harga konstan merupakan nilai dengan memperhitungkan kenaikan harga yang dihadapi produsen dalam rangka berproduksi. Saat ini, Badan Pusat Statistik (BPS) memakai tahun dasar 2010 untuk menentukan nilai PDB harga konstan. PDB atas dasar harga berlaku tahun 2018 tadi jika diperhitungkan memakai harga tahun 2010, maka nilainya menjadi sebesar Rp10.425,3 triliun. Sementara itu PDB tahun 2017 atas dasar harga konstan sebesar Rp9.912,7 triliun. Terjadi penambahan nilai produksi sebesar 5,17%, yang biasa disebut sebagai pertumbuhan ekonomi.

Sebagaimana dijelaskan terdahulu, salah satu aspek dari fundamental ekonomi adalah tentang apa saja barang dan jasa yang diproduksi selama beberapa tahun terakhir. Angka pertumbuhan ekonomi hanya menunjukkan peningkatan nilai keseluruhan produksi. Sementara itu, barang dan jasa terdiri dari jutaan macam barang. BPS mengelompokkannya ke dalam 17 jenis menurut lapangan usaha atau sektor usaha yang menghasilkannya. BPS juga mempublikasikan data yang lebih detil, yang merinci 17 sektor tadi menjadi 53 subsektor, dan bahkan tersedia data subsubsektor untuk keperluan kajian tertentu. Analisis tentang apa merupakan pencermatan berbagai sektor dan subsektor tersebut. Dicermati berapa porsi masing-masing dalam keseluruhan produksi, yang angka-angkanya dikenal sebagai struktur PDB. Sebagai contoh, dalam struktur PDB 2018, porsi sektor industri pengolahan sebesar 19,86%. Artinya, barang dan jasa dari sektor itu mencapai sekitar seperlima dari kesuluruhan produksi.  

Pengamatan atas struktur PDB untuk kurun waktu yang panjang akan menggambarkan perubahan struktur perekonomian. Dari contoh tadi, dapat diihat porsi industri pengolahan pada lima, sepuluh, dua puluh hingga tiga puluh tahun lalu. Porsinya sebesar 9,34%(1970), 11,64% (1980), 20,66% (1990), 27,75% (2000) dan 22,04% (2010). Jika digambarkan dalam grafik per tahun dalam kurun 1960 – 2018, tampak kecenderungan naik dari 1970-2008, dan kecenderungan turun dari 2009-2018. Proses pertama dikenal sebagai industrialisasi dan proses era berikutnya adalah indikasi deindustrialisasi. Industrialisasi biasa terjadi pada suatu negara yang mulai membangun dan pembangunannya berjalan cukup baik. Sedangkan deindustrialisasi biasa terjadi jika suatu perekonomian telah maju dan pendapatan per kapita penduduknya tergolong tinggi, yang ditandai pula perkembangan jasa-jasa yang modern yang mengambil sebagian porsi industri pengolahan. Namun yang terjadi di Indonesia jelas bukan hal demikian, karena belum mencapai pendapatan per kapita yang tinggi. Ditambah belum pernah mencapai porsi di atas 30% yang berlangsung selama bertahun-tahun.


Perhatian kepada porsi industri pengolahan antara lain karena menunjukkan seberapa bergantung suatu perekonomian pada hasil alam secara langsung, seperti pertambangan (penggalian) dan pertanian (termasuk kehutanan dan perikanan). Dalam kaitannya dengan fundamental ekonomi, porsi industri pengolahan yang besar dan stabil mengindikasikan kuatnya. Tentu perlu diperiksa lagi perbandingannya dengan porsi jasa-jasa penunjang industri, termasuk sektor keuangan, sektor informasi dan komunikasi. Juga dilihat subsektor industri pengolahan apa saja yang memiliki porsi lebih besar, termasuk kaitannya dengan tingkat teknologi yang dipergunakan dalam produksi.



Dalam hal teknologi produksi, kelompok subsektor industri pengolahan yang memakai teknologi rendah mengalami kenaikan porsi, dari 46,52%(2010) menjadi 51,29%(2018) dari total produksi industri pengolahan. Subsektor yang dikategorikan teknologi rendah antara lain: makanan dan minuman, pengolahan tembakau, tekstil dan pakaian jadi, furniture, dan lain-lain. Kelompok yang tergolong memakai teknologi menengah justeru mengalami penurunan, seperti: Batubara dan Pengilangan Migas, Barang Galian bukan Logam, Logam Dasar. Sedangkan yang berteknologi tinggi hanya sedikit meningkat atau relatif stagnan, seperti: industri Kimia, Farmasi, Komputer, Barang Elektronik, Optik, Peralatan Listrik, Mesin, dan Alat Angkutan. Hal ini memperkuat gejala deindustrialisasi, karena lazimnya dalam industrialisasi, porsi teknologi menengah dan teknologi tinggi yang meningkat.


Perubahan struktur PDB dalam jangka menengah dan panjang adalah akibat dari perbedaan tingkat pertumbuhan masing-masing sektor dan subsektor. Kita dapat mencermati kelompok barang dan jasa apa yang pertumbuhannya lebih tinggi atau lebih rendah dibanding rata-rata pertumbuhan PDB (pertumbuhan ekonomi). Sebagai contoh, dalam kurun 2010-2018, sektor yang tumbuhnya cenderung dibawah PDB adalah sektor pertanian dan industri pengolahan. Sedangkan yang diatasnya adalah sektor informasi dan komunikasi dan sektor jasa keuangan dan asuransi. Salah satu akibatnya penurunan porsi sektor industri pengolahan tadi.

Lazimnya dalam suatu perekonomian yang makin berkembang memang porsi sektor pertanian dalam jangka panjang akan menurun, namun nilainya tetap meningkat. Diiringi dengan berkurangnya jumlah tenaga kerja, maka produkitifitas sektor pertanian meningkat pesat. Perhatian utama dalam rangka fundamental ekonomi adalah subsektor pangan, untuk menjamin kecukupan pangan seluruh rakyat, dan tak mudah terdampak buruk oleh goncangan internasional. Sayangnya, data produksi tanaman pangan Indonesia tak mengkonfirmasi penguatan fundamental ekonomi. Produksi padi (beras) memang cenderung meningkat, namun lajunya cenderung setara dengan konsumsi. Meski dilaporkan mencukupi, impor tetap dilakukan karena kecukupannya tak berlebih dan rawan spekulasi ataupun salah perhitungan jumlah produksi. Produksi jagung termasuk yang cenderung meningkat, namun juga diiringi konsumsi yang meningkat, karena banyak dibutuhkan oleh sektor lainnya. Sementara itu produksi tanaman pangan yang lain justeru turun atau stagnan, seperti: ubi kayu, ubi jalar, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau. Bisa ditambahkan fenomena yang tidak menggembirakan pada produksi subsektor perkebunan seperti tebu dan teh. Begitu pula indikasi stagnasi dalam produksi daging sapi, daging kambing dan susu segar. Jumlah ternaknya pun demikian. Secara umum dilihat dari aspek ini, fundamental ekonomi amat rapuh.



Asesmen atas fundamental ekonomi selanjutnya menelusuri apakah jasa-jasa yang tumbuh kembang telah menunjang industrialisasi? Indikasinya, tidak demikian. Produksi jasa-jasa memang meningkat, namun tak menunjukkan keterkaitan yang saling dukung. Banyak jasa yang berkembang sendiri, lebih karena kreatifitas atau keterpaksaan, antara lain karena tak tertampungnya tenaga kerja pada sector industri pengolahan dan sektor modern lainnya. Banyak yang tidak mampu memberi nilai tambah tinggi.

Berikutnya adalah apakah barang dan jasa yang diproduksi dapat diperdagangkan (ekspor) memiliki porsi yang besar, setidaknya makin meningkat. Hal itu diperlukan untuk dapat mencukupi kebutuhan pembayaran luar negeri, yang tidak hanya karena kebutuhan impor, melainkan pula pembayaran keuntungan investasi dan bunga utang luar negeri. Faktanya, porsi ekspor dari komoditas primer masih besar, seperti: penggalian, pertanian dan perkebunan. Sedangkan ekspor industri pengolahan pun terindikasi mengandung atau membutuhkan bahan impor yang sangat tinggi, yang mengurangi nilai tambah akhir dilihat dari sisi devisa tidak optimal.

Dapat pula dicermati tentang apakah barang dan jasa yang diproduksi cukup bervariasi, serta telah ada yang menjadi andalan atau ciri utama perekonomian Indonesia. Ada barang dan jasa yang menjelma menjadi keunggulan atau kompetensi dalam konteks perdagangan internasional.

Meskipun tak secara langsung diartikan memperkuat fundamental, namun yang berhubungan erat dengan fundamental ekonomi adalah korelasi positif dan signifikan pertumbuhan ekonomi dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan. Pemerintah sering mengklaim pertumbuhan ekonomi telah berkualitas karena diiringi oleh turunnya kedua hal itu. Namun perlu diperiksa apakah korelasinya menguat atau melemah. Tiap satu persen pertumbuhan ekonomi secara statistik menurunkan berapa poin. Jika dilihat data penurunan tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran era Jokowi dihubungkan dengan pertumbuhan rata-rata 5 persennya tadi, maka korelasinya melemah.

Berdasar aspek yang dibahas bagian ini, soalan pertumbuhan ekonomi, fundamental ekonomi kita tidak bisa dikatakan kuat. Lebih tepat jika dikatakan rapuh atau lemah. Pelemahan memang telah berlangsung sekitar 10 an tahun, dan selama era Presiden Jokowi, proses pelemahan fundamental ekonomi menjadi makin tak terbendung.

Bersambung

Rabu, 27 Maret 2019

FUNDAMENTAL EKONOMI YANG RAPUH (bagian 1)


Pemerintah saat ini mengklaim pembangunan ekonomi sudah berjalan dengan arah yang benar, dan bahkan telah memperlihatkan berbagai hasil yang sangat memuaskan. Berulangkali dikemukakan bahwa perekonomian nasional dalam kondisi yang baik, terutama karena kebijakan dan pengelolaan ekonomi yang sudah tepat. Kondisi perekonomian dinilai lebih baik dibandingkan era pemerintahan sebelumnya. Bahkan, termasuk salah satu yang terbaik jika dibandingkan banyak negara lain. Pembangunan ekonomi pun dikatakan telah dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia, termasuk yang kelompok ekonomi yang paling bawah.

Klaim pemerintah tersebut didukung penuh oleh banyak penjelasan pihak otoritas ekonomi lainnya, seperti Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Penjelasan yang sering dikemukakan otoritas ekonomi antara lain: Pertumbuhan ekonomi masih cukup tinggi; Pengangguran terus berkurang; Inflasi selalu terkendali dalam tingkat yang rendah; Kemiskinan turun signifikan dan terendah dalam sejarah; Cadangan devisa masih cukup besar dan mencukupi kebutuhan transaksi internasional; Defisit APBN makin terkendali; Paket kebijakan telah mendorong investasi dan makin meningkatkan iklim berusaha; Pembangunan infrastruktur telah berhasil dan akan makin medorong pertumbuhan ekonomi di masa depan.

Klaim tersebut jelas berlebihan, bahkan dapat dikatakan berkebalikan dengan fakta dan dinamika ekonomi yang sebenarnya terjadi selama era pemerintahan Jokowi. Kesimpulan yang berlawanan itu dapat diambil jika dilakukan asesmen yang lebih dingin, berdasar data dan indikator yang lebih detil dan menyeluruh, berhorison waktu yang lebih panjang, serta prakiraan akan tantangan eksternal yang segera dihadapi. Sangat mungkin untuk menyebut pembangunan ekonomi era Jokowi telah gagal. Setidaknya, indikator kegagalan lebih menonjol dibanding indikator keberhasilan.

Berbagai kritik sebenarnya sudah sering disampaikan oleh beberapa ekonom. Diantaranya adalah soal utang, defisit transaksi berjalan, kebijakan ekonomi yang saling bertentangan, meningkatnya ketidakpastian usaha, kerentanan kondisi pekerja meskipun tercatan bukan pengangguran, makin memburuknya kelompok terbawah atau yang sangat miksin, dan lain sebagainya. Namun yang lebih dominan di media adalah penjelasan pemerintah dan otoritas ekonomi.

Menjelang Pemilu legislatif dan Pilpres, perlu ada forum diskusi serius untuk melakukan asesmen menyeluruh atas kondisi ekonomi terkini dan tantangan beberapa tahun ke depan. Publik berhak mendapat gambaran yang lebih berimbang, tidak hanya yang berasal dari Pemerintah, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Melainkan juga dari yang pandangan yang berlawanan. Tentu diskusi yang berdasar analisis yang jernih dan data yang dapat dipertanggungjawabkan.

Tinjauan atas kondisi perekonomian nasional terkini dan tantangan ke depan, sebaiknya menyoroti hal dan aspek yang paling mendasar, yaitu fundamental ekonomi. Tema fundamental ekonomi ini mengemuka ke ruang publik sejak tahun lalu, ketika kurs rupiah mengalami depresiasi besar dalam waktu singkat. Pemerintah, Bank Indonesia dan OJK waktu itu segera menyampaikan tentang masih kuatnya fundamental ekonomi.

Presiden Joko Widodo, tanggal 30 April 2018, mengatakan melemahnya mata uang nasional seperti rupiah juga dirasakan negara lain. Dia mengatakan fundamental ekonomi makro Indonesia baik, sehingga pemerintah masih dapat mengendalikan inflasi sebesar 3,5 persen per tahun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan bahwa saat ini (17 Mei 2018) volatilitas di sektor keuangan global masih relatif tinggi. Meskipun demikian, dalam gejolak ekonomi yang terjadi itu, perekonomian Indonesia masih memiliki fundamental yang kuat. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan fundamental ekonomi Indonesia masih kuat di tengah fluktuasi kurs dolar AS, dan satu-satunya kelemahan hanya transaksi berjalannya defisit 3 persen (4 September 2018). Darmin menjelaskan bahwa faktor fundamental itu dinilai dari pertumbuhan ekonomi dan inflasi Indonesia.

Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan ( OJK) Wimboh Santoso juga mengatakan bahwa Indonesia memiliki fundamental ekonomi yang kuat (23 Juli 2018). Dikatakan bahwa tekanan pada pasar keuangan yang terjadi akhir-akhir ini hanya merupakan fenomena temporer sebagai akibat dari rebalancing portofolio dari global investor. Pihak Bank Indonesia pun sering menyuarakan opini serupa. Belum lama ini (30 Januari 2019), Gubernur BI, Perry Warjiyo merayu para investor dengan membanggakan kondisi monter Indonesia yang stabil di tengah guncangan eksternal dari ekonomi global. Terutama dengan adanya trade war atau perang dagang antara dua negara raksasa Amerika dengan China. Perry menegaskan, Indonesia merupakan ladang investasi yang menarik ditunjang kondisi makroekonomi yang stabil serta sinkronisasi kebijakan makroekonomi pemerintah. Disimpulkannya bahwa kondisi ekonomi Indonesia yang stabil adalah fondasi yang kuat untuk pertumbuhan ekonomi di masa depan.

Pandangan berbeda diberikan oleh beberapa ekonom. Salah satunya yang perlu dikutip adalah dari mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia dan mantan ketua BPK Anwar Nasution, yang mengatakan fundamental ekonomi di Indonesia masih sangat lemah. Sebab, fundamental ekonomi Indonesia dianggap belum mampu menahan gejolak dari luar. Dia bahkan mengatakan Pemerintah telah omong kosong dan bohong dengan mengatakan fundamental ekonomi Indonesia kuat. (8 September 2018). Anwar Nasution mengemukakan beberapa hal berikut sebagai argumennya: rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) masih rendah, sehingga terpaksa terus berutang; ekonomi Indonesia yang sangat rawan terhadap gejolak dari luar negeri, terutama terkait beban pembayaran utang dan harga barang yang banyak diimpor; dan lembaga keuangan (terutama bank) yang masih sangat lemah.

Sebenarnya, soal fundamental ekonomi ini telah diakui sejak awal pemerintahan sebagai faktor utama dalam arah pembangunan ekonomi. Penguatannya menjadi acuan atau pertimbangan paling penting dalam pengelolaan ekonomi, termasuk pengambilan keputusan tentang kebijakan. Setahun setelah pemerintahannya, Presiden Jokowi (Oktober 2015) menjelaskan tentang strategi untuk perubahan Indonesia menjadi lebih baik dan lebih sejahtera. Jokowi menjelaskan tentang tranformasi fundamental ekonomi yang bertumpu pada tiga aspek. Pertama, mengubah ekonomi berbasis konsumsi menjadi ekonomi berbasis produksi. Kedua, kebijakan subsidi BBM yang dialihkan untuk pembangunan infrastruktur dan juga subsidi yang lebih tepat sasaran untuk pengentasan kemiskinan. Ketiga, yaitu mendorong pembangunan yang lebih merata di luar Pulau Jawa. Seperti percepatan pembangunan infrastruktur yang di beberapa tempat seperti pembangunan jalan tol Trans Sumatera dan Papua.

Diskusi musti dimulai dari pengertian fundamental ekonomi. Apa saja yang dicakupnya, bagaimana mengukurnya, dan bagaimana penilaian atas fundamental ekonomi saat ini.

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, arti fundamental bersifat dasar (pokok) atau mendasar. Bisa dikatakan sebagai sesuatu yang mendasar (pokok atau prinsip) dalam suatu hal. Secara arti kata, fundamental ekonomi adalah segala hal yang menjadi dasar dan merupakan elemen penting dalam aktivitas ekonomi. Akan tetapi dari kutipan beberapa pernyataan di atas, pengertian fundamental ekonomi yang dipakai Pemerintah dan otoritas ekonomi lainnya, bisa dikatakan menyempit menjadi hanya fundamental ekonomi makro. Dan itupun dipersempit lagi menjadi lebih mengedepankan soal pertumbuhan ekonomi, inflasi, defisit anggaran, dan defisit anggaran berjalan. Pengertian yang secara implisit dikatakan Presiden Jokowi tahun 2015 justeru jarang dikemukakan lagi.

Rangkaian tulisan beikut ini memakai pengertian yang lebih komprehensif dan telaah atas bagian-bagiannya bisa menggambarkan seberapa kuat fundamental ekonomi Indonesia. Penilaian atas fundamental ekonomi sedikitnya menjawab tiga pertanyaan utama dalam fakta dan dinamika perekonomian Indonesia. Pertama, APA saja barang dan jasa yang diproduksi selama beberapa tahun terakhir? Apakah produksi barang industri manufaktur meningkat (menunjukan proses produksi yang makin tak bergantung alam); Apakah produktifitas pertanian meningkat, terutama dalah hal menjamin kecukupan pangan seluruh rakyat?; Apakah jasa-jasa yang tumbuh kembang telah menunjang industrialisasi?; Apakah yang diproduksi cukup variatif dan ada yang menjadi andalan atau ciri utama perekonomian? Apakah barang dan jasa yang diproduksi dapat diperdagangkan (ekspor) cukup besar porsinya, sehingga dapat mencukupi kebutuhan pembayaran luar negeri?

Kedua, BAGAIMANA cara memproduksi berbagai barang dan jasa tersebut? Apakah penggunaan tenaga kerja sudah cukup optimal?; bagaimana efisiensi penggunaan modal?; apakah teknologi produksi berkembang cukup baik? Seberapa besar ketergantungan proses produksi kepada pihak luar negeri?; Apakah bergantung pada sedikit atau banyak jenis input? Sejauh apa porsi peran pemerintah? Bagaimana komposisi antar produsen dalam pelaku ekonomi, porsi BUMN, swasta domestik, dan swasta asing?   

UNTUK SIAPA saja barang dan jasa dibagikan? Bagaimana distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat?; Apakah kemiskinan telah tertangani dengan baik?; apakah hasil produksi bisa diekspor secara menguntungkan?; Seberapa banyak surplus yang dibawa ke luar negeri?
Jika di atas tadi sudah dikutipkan beberapa penjelasan otoritas ekonomi yang mengklaim kuatnya fundamental ekonomi Indonesia. Pandangan yang berkebalikan dapat diberikan, yang menilai fundamental ekonomi kita amat rapuh atau perekonomian sangat rentan terhadap goncangan eksternal. Selain argumen dari Anwar Nasution di atas, cara mengartikan fundamental tadi akan memberi penilaian yang berbeda pula. Sebagai contoh, dalam hal apa, akan tampak struktur produksi (PDB) belum lah kokoh; produksi pangan makin tidak mencukupi; industri pengolahan tak tumbuh dengan baik, sehingga hasilnya tak memenuhi berbagai kebutuhan utama. Dalam hal bagaimana, dapat dikemukakan antara lain: Pengangguran memang sedikit turun, namun separuh penduduk yang bekerja dalam kondisi rentan, posisinya tak aman, dan imbalan yang diperoleh jauh dari memadai; Ketergantungan pada faktor produksi yang berasal dari luar negeri makin menguat; peran pemerintah makin terkendala oleh kondisi keuangannya yang selalu dalam kesulitan; Peran BUMN kurang jelas arahnya, dan tak jarang menghambat perkembangan korporasi domestic; Kekuatan oligarki ekonomi makin dominan. Dalam hal untuk siapa, berdasar data dan indikator yang lebih menyeluruh dan detil, soalan kemiskinan dan ketimpangan justeru memburuk.

Atas dasar pemikiran tersebut, rangkaian tulisan berikut  akan bertemakan “Fundamental Ekonomi yang Rapuh”. Adapun topik masing-masing tulisan nanti adalah: 1) Pertumbuhan Ekonomi dan kualitasnya; 2) Kondisi ketenagakerjaan Indonesia; 3) Ketahanan ekonomi atas goncangan eksternal; 4) Beban utang Pemerintah dan Utang Luar Negeri; 5) Iklim investasi dan kemudahan berusaha; 6) Kondisi ketahanan pangan dan petani kecil; 7) Masalah kemiskinan dan ketimpangan belum teratasi.

Bersambung ke bagian 2