Minggu, 26 Juli 2009

OJK dan Keuangan Bank Indonesia

OJK dan Keuangan Bank Indonesia
Oleh: Awalil Rizky

Kontroversi mengenai Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali mengemuka beberapa waktu lalu seiring dengan pembahasan rancangan undang-undangnya. Yang paling diperdebatkan adalah tentang dikeluarkannya wewenang pengaturan dan atau pengawasan bank dari tugas Bank Indonesia (BI).

Sesuai Pasal 7 UU Nomor 23/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3/2004, tujuan BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah. Untuk mencapai tujuannya, BI bertugas: Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan Mengatur dan mengawasi bank.
Tulisan ini tidak membahas mengenai OJK secara langsung, melainkan tentang keuangan BI. Mengeluarkan salah satu tugasnya akan memiliki implikasi keuangan BI, serta keuangan Pemerintah jika dianggarkan melalui APBN.
Secara legal formal, BI menjalankan tugas dengan tidak berdasar pertimbangan komersial. Namun sebagai konsekwensi dari kegiatannya, BI memperoleh berbagai penerimaan sekaligus membayar beberapa pengeluaran. Sesuai perundang-undangan, BI wajib membuat laporan keuangan atas hal itu, yang disampaikan kepada DPR, setelah diaudit oleh BPK.
Laporan Keuangan BI tahun 2008 lalu kembali memperoleh Pendapat “Wajar Tanpa Pengecualian” dari BPK. Predikat yang dialami secara berturut-turut dalam kurun waktu enam tahun. Sebagai perbandingan, Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) pada kurun yang sama justeru selalu dinyatakan disclaimer. Dari sisi ini, laporan keuangan BI jauh lebih baik daripada laporan Pemerintah (Departemen Keuangan).
Selama enam tahun terakhir, BI memeperoleh surplus sebanyak lima kali, yaitu: Rp1.479 miliar (2003), Rp675 miliar (2004), Rp16.159 miliar (2005), Rp31.009 miliar(2006), Rp17.249 miliar (2008). Dan sekali mengalami defisit sebesar Rp1.479 miliar pada tahun 2007.
Laporan Keuangan BI mencatat pos-pos penerimaan yang bersesuaian dengan tugasnya, yaitu: Pengelolaan Moneter, Pengelolaan Sistem Pembayaran, Pengawasan Perbankan, ditambah dengan pos lainnya. Ada pula pos penerimaan luar biasa sehubungan dengan utang piutang dengan Pemerintah, terutama terkait BLBI, yakni pada tahun 2003 dan 2006.

Diluar pos penerimaan luar biasa, porsi penerimaan pengelolaan moneter selalu amat dominan. Nilainya mencapai Rp 44,73 triliun atau 98,68 persen dari penerimaan penerimaan total pada tahun 2008. Penerimaan diperoleh dari pengelolaan devisa, kegiatan pasar uang, serta pemberian kredit dan pembiayaan. Porsi pengelolaan devisa selalu menjadi yang terbesar, mencapai Rp40,20 triliun, yang terdiri atas: bunga sektor valas Rp20,68 triliun; provisi sektor valas Rp1,86 triliun; dan penerimaan valas lainnya Rp19,52 triliun.

Penerimaan pengelolaan devisa mengalami peningkatan signifikan jika kurs rupiah semakin fluktuatif, baik menguat ataupun melemah. Dengan catatan, frekuensi dan nilai transaksi devisa berlangsung secara normal, apalagi jika meningkat. Secara awam, BI tampak berfungsi sebagai ”bandar” dalam transaksi valas. Salah satu indikasinya adalah nilai penerimaan ini yang cukup dramatis pada tahun 2005 dan 2008. Sebagaimana diketahui, kurs rupiah selama kedua tahun itu lebih berfluktuatif daripada tahun lainnya. Secara lebih khusus, dampaknya dicerminkan oleh penerimaan selisih kurs sebesar Rp14,75 triliun (2008) dan Rp23,59 triliun (2005).

Sementara itu, penerimaan dari pengelolaan sistem pembayaran hanya sebesar Rp168,97 miliar, berasal dari jasa penyelenggaraan kliring dan jasa pengelolaan rekening. Sedangkan penerimaan pengawasan perbankan hanya sebesar Rp180,54 miliar. Kedua kelompok penerimaan tersebut bahkan lebih kecil pada tahun-tahun sebelumnya.

Dalam melaksanakan tugasnya, BI membayar pengeluaran yang dicatat sebagai beban. Beban operasi pasar terbuka mencapai Rp20,84 triliun atau 74,20 persen dari total beban pada tahun 2008. Termasuk di dalamnya adalah beban diskonto SBI dan FASBI sebesar Rp19,93 triliun.

Sementara itu, pengelolaan devisa yang menghasilkan penerimaan terbesar hanya memberi beban yang amat kecil, sebesar Rp36,31 miliar. Sudah termasuk beban pelaksanaan operasional cadangan devisa sebesar Rp31,09 miliar.

Terkait dengan kontoversi OJK, beban untuk pengaturan dan pengawasan perbankan tahun 2008 tercatat sebesar Rp158,20 miliar, lebih kecil dari penerimaan yang sebesar Rp168,97 miliar. Hal ini adalah pertama kalinya selama beberapa tahun terakhir. Biasanya pengeluaran lebih besar daripada penerimaan. Kecenderungan defisit dalam pelaksanaan tugas ini perlu diperhitungkan, mengingat belum diperhitungkan pula beban SDM dan logistik.

Beban SDM Bank Indonesia tahun 2008 adalah Rp 3,23 triliun, termasuk gaji dan insentif bagi Dewan Gubernur, beserta pegawai sebanyak 6.091 orang. Sebagian cukup besarnya bertugas dalam pengaturan dan pengawasan perbankan. Dengan sendirinya ada pengeluaran terkait yang selama ini tercakup dalam beban untuk kantor pusat dan 41 kantor BI.

Aspek keuangan ini perlu dihitung jika OJK dipisahkan dari BI, apalagi bila ingin dianggarkan dalam APBN sebagai suatu lembaga atau bagian dari departemen. Sepintas, hal ini akan menguntungkan dari sudut pandang keuangan BI. Permasalahannya menjadi lebih kompleks jika penerimaan lainnya secara tidak langsung akan terpengaruh akibat berkurangnya ”kekuasaan” BI.

Penulis adalah Managing Director BRIGHT Indonesia.
Email awalilriset@gmail.com dan website www.brightindonesia.com

Senin, 13 Juli 2009

Misteri Utang Luar Negeri Pemerintah

Misteri Utang Luar Negeri Pemerintah
Oleh: Awalil Rizky

Sebagaimana dokumen resmi sebelumnya, publikasi Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Negara berjudul ”Perkembangan Utang Negara” edisi Juni 2009, menyebut tujuan umum pengelolaan utang dalam jangka panjang adalah meminimalkan biaya utang dengan tingkat risiko yang semakin terkendali. Kebijakan yang digariskan antara lain: Tidak ada agenda politik yang dipersyaratkan oleh pihak kreditor; Persyaratan lunak (jangka panjang, biaya relatif ringan); Tambahan neto pinjaman luar negeri dianggarkan negatif sejak 2004, artinya jumlah pembayaran kembali utang dianggarkan lebih besar dibanding dengan jumlah penarikan pinjaman luar negeri baru; dan Mengutamakan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) rupiah di pasar dalam negeri.

Salah satu yang perlu dicermati adalah penggunaan istilah pinjaman dengan utang luar negeri dari Pemerintah. Ada tumpang tindih definisi yang berakibat perbedaan data statistik secara signifikan. Dokumen yang disebut tadi merujuk kepada istilah pinjaman (loan) yang antara lain terdiri dari: pinjaman program, pinjaman proyek dan pinjaman komersial. Sedangkan istilah utang luar negeri menambahkannya lagi dengan Surat Berharga Negara (SBN) berdenominasi valuta asing (valas).

Data resmi dari Pemerintah menunjukkan bahwa selama kurun waktu 2004-2008, pinjaman memang sedikit turun, dari USD 68,59 miliar menjadi USD 66,69 miliar. Akan tetapi, utang naik dari USD 69,59 miliar menjadi USD 77,89 miliar.

Sayangnya, penggunaan istilah pinjaman dan utang tidak selalu konsisten, sehingga bisa mengaburkan opini publik. Sebagai contoh, dalam pidato Presiden SBY mengantarkan RAPBN 2009 dikatakan bahwa: “Defisit anggaran sebesar Rp 99,6 triliun (1,9 persen PDB) dalam RAPBN tahun 2009, direncanakan dibiayai dari sumber-sumber pembiayaan dalam negeri sekitar Rp 110,7 triliun, dan pembiayaan luar negeri neto minus Rp 11,1 triliun. Dengan demikian pembayaran cicilan pokok utang luar negeri yang kita lakukan, lebih besar dari pada jumlah utang luar negeri baru. Hal ini sesuai dengan tujuan untuk terus mengurangi porsi utang luar negeri dalam pembiayaan defisit kita.”

Angka yang disebut Presiden adalah data pinjaman luar negeri, tetapi beliau menggunakan istilah utang luar negeri. Ini berbeda dengan pengertian dalam dokumen yang disebut terdahulu.
APBN sendiri mencatat penarikan beserta pembayaran pinjaman luar negeri pada bagian pembiayaan, dengan item tersendiri. Penerbitan SBN valas dimasukkan dalam pembiayaan dalam negeri, pada pos surat utang negara (neto) bersama-sama dengan yang berdenominasi rupiah. Sedangkan pos belanja pembayaran bunga utang luar negeri tetap menggabungkan bunga pinjaman dengan bunga SBN valuta asing.

Secara yuridis, Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri (pasal1) menyatakan bahwa pinjaman luar negeri adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan, rupiah, maupun dalam bentuk barang dan/atau jasa yang diperoleh dari pemberi pinjaman luar negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu.

Dengan demikian, definisi ULN pemerintah memang bermacam-macam dan angkanya pun berbeda secara signifikan. Sebagai contoh, kita lihat beberapa definisi yang bisa dipakai. Pertama diartikan sebagai pinjaman luar negeri (loan) yang bersumber dari: multilateral, bilateral, komersial dan kredit ekspor. Jika diartikan demikian, maka nominalnya selama era Pemerintahan SBY memang sempat menurun (2004-2006), kemudian perlahan menaik kembali. Perkembangan ULN pemerintah versi ini tercatat sebesar USD 68,58 miliar (2004), USD 63,09 miliar (2005), USD 62,02 miliar (2006), USD 62,25 (2007), dan USD 66,69 miliar (2008).

Kedua, jika ULN Pemerintah diartikan sebagai utang dalam denominasi mata uang asing, maka SBN berdenominasi dolar Amerika harus dimasukkan dalam perhitungan. Dalam versi ini, kecenderungannya adalah terus menaik. Posisinya adalah : USD66,76 miliar (2005), USD67,52 miliar (2006), USD69,25 miliar (2007), dan USD77,89 miliar (2008).

Ketiga, meski tidak lazim dalam publikasi resmi, pengertian ULN bisa diperluas sebagai utang yang dananya berasal dari luar negeri. Maka SBN berdenimnasi rupiah yang dimiliki pihak asing (non residen) harus dimasukkan dalam perhitungan. Data sebelumnya adalah: Rp 10,74 triliun (2004), Rp 31,09 triliun (2005), Rp 54,92 triliun (2006), Rp 78,16 triliun (2007), dan Rp 87,61 triliun (2008). Untuk posisi akhir 2008, jika dikonversikan menurut kurs tengah BI, nilainya adalah USD 8 miliar, sehingga posisi ULN versi ini adalah USD 85,89 miliar.

Perlu diketahui pula bahwa sebagian besar SBN berdenominasi rupiah yang bisa diperdagangkan dimiliki oleh lembaga keuangan, seperti: bank, reksadana dan asuransi. Pada Desember 2008, SBN denominasi rupiah senilai Rp 525,69 triliun antara lain dimiliki oleh bank (49,22%), asuransi (10,62%), dan reksadana (10,62%). Berbagai lembaga tersebut kebanyakan memang tergolong penduduk (residen) secara hukum. Namun, proporsi kepemilikan asing atas saham-sahamnya terus membesar dan bahkan menjadi mayoritas seperti di banyak bank. Wajar jika pihak yang kritis menganggap sumber dananya pun banyak yang berasal dari luar negeri, dan pembayaran atas bunga juga dinikmati oleh mereka.

Dengan demikian, penetapan target ULN pemerintah membutuhkan ketegasan dan konsistensi penggunaan definisi, agar kondisinya mudah dinilai oleh publik. Kecuali memakai dalam arti loan, data perkembangan ULN pemerintah selama kurun 2004-2009 menunjukkan peningkatan yang cukup besar.

Penulis adalah Managing Director BRIGHT Indonesia.
website www.brightindonesia.com