Jumat, 29 Agustus 2008

Apakah Arti Rasio Utang Pemerintah Terhadap PDB Yang Menurun?

Apakah Arti Rasio Utang Pemerintah Terhadap PDB Yang Menurun?

Masih berkaitan dengan posting saya sebelum ini, Presiden SBY juga mengatakan antara lain: ”Kebijakan pembiayaan anggaran dalam tahun 2009 tidak hanya bertujuan untuk memperkuat tingkat kemandirian dan mengurangi ketergantungan sumber pembiayaan luar negeri, namun juga ditujukan untuk mendorong pengelolaan utang yang berhati-hati. Sumber pembiayaan anggaran dari dalam negeri, terutama berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara, termasuk Surat Berharga Syariah Negara. Hal ini selain akan memberikan komitmen pengembangan surat berharga berdasarkan prinsip syariah di Indonesia, juga akan menciptakan alternatif surat berharga negara yang lebih bervariasi.” Lebih lanjut dikatakannya, ” Dengan kebutuhan pembiayaan, baik yang berasal dari dalam negeri maupun pembiayaan luar negeri sebagaimana saya kemukakan tadi, maka rasio utang pemerintah terhadap PDB dalam tahun 2009 diperkirakan akan menurun dari sekitar 54 persen pada tahun 2004, menjadi sekitar 30 persen. Tingkat rasio utang ini, membuktikan tekad yang kita canangkan bahwa Indonesia harus bisa dibangun dengan semaksimal mungkin menggunakan sumber daya kita sendiri.”

Sebagaimana banyak diketahui, untuk lebih mengendalikan beban utang di masa mendatang, Pemerintah dan DPR telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang KeuanganNegara. Pemerintah juga telah mengeluarkan PP Nomor 23 Tahun tentang “Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah”. Undang-undang dan PP tersebut diantaranya mengatur bahwa besarnya defisit dari General Governments maksimal 3 persen dari PDB dan besarnya rasio utang dari General Governments terhadap PDB maksimal 60 persen.

Target agar angka rasio utang dari General Governments terhadap PDB tidak melebihi dari 60% tampaknya terlalu mudah dicapai. Wajar pula jika Pemerintah selalu berargumen bahwa meskipun jumlah nominal utang menunjukkan kecenderungan yang meningkat, namun rasio utang terhadap PDB menunjukkan kecenderungan menurun yang konsisten. Hal ini diklaim sebagai mencerminkan beban dan sekaligus kemampuan Pemerintah dalam mengelola kewajiban secara berkelanjutan.

Sebagai catatan, biasanya yang dijadikan standar adalah estimasi yang dilakukan Bank Dunia dan IMF. Bank Dunia menyimpulkan bahwa debt to GDP ratio semacam itu yang aman adalah sekitar 21 persen– 49 persen. Sedangkan IMF menyimpulkan bahwa batas yang dianggap aman adalah 26 persen – 58 persen. Berdasarkan kriteria tersebut, utang dalam dan luar negeri pemerintah Indonesia bisa dikatakan dalam batas aman.

Keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan rasio stok utang terhadap PDB ini harus diperiksa secara lebih kritis. Masih banyak detil yang harus dicermati dibalik penurunan rasio itu, selain apakah penurunan sebesar demikian cukup memadai bagi perekonomian Indonesia. Sebagai contoh, kita harus memperhitungkan adanya inflasi yang tinggi pada tahun 2005 yang otomatis menggelembungkan PDB menurut harga berlaku, sehingga bilangan penyebut menyumbang signifikan dalam penurunan rasio. Artinya pula, kecenderungan inflasi yang akan lebih tinggi pada tahun 2008 ini dibandingkan tahun sebelumnya justeru akan memperbaiki rasio dimaksud.

Pada uraian buku utang yang saya tulis bersama Nasyith pun telah menjelaskan berbagai teknik keuangan untuk “gali lobang tutup lobang”, dimana stok utang bisa dikendalikan namun biayanya meningkat. Sebagai contoh, pemerintah bisa melakukan buyback, debt switch, dan atau menerbitkan lebih dahulu SUN yang hasilnya dipakai membayar yang jatuh tempo. Begitupun ULN memang sedikit dikurangi namun diganti dengan SUN. Satu langkah atau gabungan dari semuanya, akan membuat stok nominal utang hanya sedikit berubah. Bahkan bisa menurun jika yang dianalisis adalah rasio stok utang dengan PDB, karena PDBnya (sebagai bilangan penyebut) meningkat. Namun bisa dipastikan biaya utangnya meningkat.

Sebagai contoh lagi, langkah agar pemegang SUN lama bersedia menukarkannya dengan yang baru pasti harus ditawarkan yield yang lebih baik. Pelunasan yang dipercepat memerlukan insentif keuntungan lebih baik dilihat dari sisi pemegang SUN. Singkatnya, kita harus memeriksa kembali apakah keberhasilan pengendalian stok utang dan rasionya terhadap PDB ini diimbangi dengan penurunan biaya utang. Atau yang terjadi justeru pembengkakan biaya utang. Penelitian saya menemukan bahwa terjadi peningkatan biaya utang secara signifikan untuk setiap satuan utangnya.

Bagi mereka yang belum akrab dengan perhitungan ekonomi secara teknis, bayangkan saja jika sebuah keluarga memiliki utang kemudian membayar cicilan dan bunganya dengan pinjaman baru yang berbunga (dan biaya administrasi) lebih besar dari yang dilunasi. Secara sederhana, itulah yang terjadi pada pengelolaan utang pemerintah.

Apakah Utang Luar Negeri Kita Menurun?

Apakah Utang Luar Negeri Kita Menurun?

“Defisit anggaran sebesar Rp 99,6 triliun (1,9 persen PDB) dalam RAPBN tahun 2009, direncanakan dibiayai dari sumber-sumber pembiayaan dalam negeri sekitar Rp 110,7 triliun, dan pembiayaan luar negeri neto minus Rp 11,1 triliun. Dengan demikian pembayaran cicilan pokok utang luar negeri yang kita lakukan, lebih besar dari pada jumlah utang luar negeri baru. Hal ini sesuai dengan tujuan untuk terus mengurangi porsi utang luar negeri dalam pembiayaan defisit kita.” Begitu yang dikatakan Presiden SBY pada pidato kenegaraan Agustus lalu. Ditegaskan pula olehnya bahwa ”Dengan demikian, suatu saat nanti kita dapat bangga menyampaikan pada generasi penerus, anak cucu kita, bahwa kita mewariskan Negara dengan kekayaan yang makin meningkat, kemakmuran yang merata, dan utang yang makin kecil atau bahkan tidak ada.”

Pernyataan bernada demikian bukan hal yang baru dikeluarkan Pemerintahan SBY, yang telah berulang kali mengatakan (termasuk dari petinggi Departemen keuangan) komitmen untuk terus menurunkan posisi (outstanding) utang luar negerinya, baik secara nominal maupun angka rasionya terhadap PDB.

Ada beberapa hal yang membutuhkan kejelasan dari pernyataan atau target semacam itu. Salah satunya adalah soal definisi utang luar negeri (ULN) pemerintah. Definisi ULN dipastikan telah menjadi beragam akibat perkembangan pasar keuangan internasional dan pasar keuangan domestik yang mengalami internasionalisasi. Untuk kasus ULN pemerintah Indonesia, dampak dari perkembangan ini sangat signifikan bagi arti datanya sejak tahun 2004.
ULN biasa diartikan (terutama oleh pemerintah) sebagai pinjaman yang bersumber dari: multilateral, bilateral, komersial dan kredit ekspor. Jika diartikan demikian, maka nominal ULN pemerintah memang berprospek menurun, setidaknya stagnan dalam tiga tahun terakhir. Rasionya terhadap PDB otomatis akan turun, mengingat kecenderungan PDB untuk terus meningkat. ULN pemerintah versi arti ini tercatat sebesar USD 68,58 miliar (2004), USD 63,09 miliar (2005), USD 62,02 miliar (2006), USD 62,25 (2007), dan USD 63,17 miliar (30 Juni 2008).
Menurut dokumen Bank Dunia (1992), loan adalah dokumen yang secara sah mengikat yang mewajibkan sejumlah dana tertentu tersedia untuk dibayarkan (di-disburse). Sedangkan Loan agreement adalah bukti yang sah atas suatu kesepakatan untuk meminjamkan apabila pra-kondisi tertentu telah dipenuhi. Dalam PP No.2/2006, Loan agreement adalah naskah perjanjian atau naskah lain yang disamakan yang memuat kesepakatan mengenai Pinjaman Luar Negeri antara Pemerintah (peminjam atau borrower) dengan Pemberi Pinjaman Luar Negeri (Lender).
PP No.2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri (pasal1) menyatakan bahwa pinjaman luar negeri adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan, rupiah, maupun dalam bentuk barang dan/atau jasa yang diperoleh dari pemberi pinjaman luar negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu.

Jika mengiktui PP No.2 Tahun 2006, kita bisa saja memasukkan SUN berdenominasi dolar sebagai ULN pemerintah Indonesia saat ini. Sebabnya adalah karena SUN tersebut seluruhnya masih dimiliki oleh pihak non penduduk. Perhitungan demikian akan membuat nominal ULN langsung melonjak. Angkanya kemungkinan besar terus bertambah di masa mendatang, mengingat kecenderungannya yang terus menaik sejak diterbitkan. Nilai penerbitan SUN berdenominasi dolar Amerika sejak 2004 telah mencapai USD 11,2 miliar pada 31 Juli 2008.

Jika ULN diartikan sebagai utang dalam denominasi mata uang asing, maka obligasi negara berdenominasi dolar Amerika harus dimasukkan dalam perhitungan. Nominalnya berprospek melonjak, dan tidak mustahil rasionya pun menaik. Dalam versi ini, telah terjadi kenaikan posisi ULN pemerintah selama dua tahun terakhir, USD 66,76 miliar (2005), USD 67,52 miliar (2006) dan USD 69,25 (2007). Bahkan, telah menjadi USD 74,37 miliar per 31 Juli 2008, karena terbitnya ON denominasi dolar dan pencairan ULN baru selama beberapa bulan terakhir.

Meskipun tidak lazim dalam publikasi resmi, pengertian ULN bisa saja kita perluas sebagai utang yang dananya berasal dari luar negeri. Maka SUN yang dimiliki pihak asing (non residen) sebesar Rp 106,12 triliun (sekitar USD 12 miliar) per 22 Agustus 2008 harus dimasukkan pula. Data sebelumnya dari SUN yang dimiliki asing adalah: Rp 10,74 triliun (2004), Rp 31,09 triliun (2005), Rp 54,92 triliun (2006), dan Rp 78,16 triliun (2007).

Sejauh ini, pengertian pemerintah yang kita pakai pun adalah pemerintah umum (general government). Pengertian yang lebih luas adalah sektor publik (public sector), yang antara lain juga memasukkan bank sentral ke dalamnya. Kita tahu, Bank Indonesia pun memiliki ULN, serta ada puluhan triliun rupiah dari SBI yang dimiliki oleh pihak asing. Selain bank sentral, kita bisa menambahkan BUMN ke dalam sektor publik.

Ada baiknya pula kita mengingat bahwa sebagian besar SUN yang bisa diperdagangkan dimiliki oleh lembaga keuangan, seperti: bank, reksadana dan asuransi. Berbagai lembaga tersebut memang tergolong penduduk (residen) secara hukum. Namun, proporsi kepemilikan asing atas saham-sahamnya terus membesar. Sebagai contoh, sebanyak 267,65 triliun atau sekitar 49,6 % dari sekitar 539,4 triliun SUN yang dapat diperdagangkan per 22 Agustus 2008 adalah dimiliki oleh bank. Padahal kepemilikan asing atas saham perbankan telah lebih dari 50 % pada awal tahun ini. Artinya, dana itu bersumber dari luar negeri.
Akhirnya, penetapan target ULN pemerintah memerlukan ketegasan mengenai apa yang dicakup. Perlu konsistensi penggunaan definisi, agar kondisinya mudah dinilai publik luas. Dan yang lebih penting lagi adalah pembicaraan mengenai beban semua utang pemerintah. Baik untuk saat ini maupun perhitungannya untuk masa mendatang. Kebanyakan dari biaya itu tetap saja dibayar kepada pihak ”luar negeri”.
Menurut penelitian saya, yang antara lain menggunakan cara berfikir di atas, kesimpulan bahwa terjadi penurunan ULN adalah tidak benar. Nominalnya terus membesar dengan cepat, sedangkan prosentasenya terhadap PDB memang sedikit mengalami penurunan, tetapi tidak mengindikasikan perbaikan keadaan secara berarti.

Angka anggaran pengentasan kemiskinan adalah pernyataan politik bukan pernyataan fiskal

Angka anggaran pengentasan kemiskinan adalah pernyataan politik bukan pernyataan fiskal

Anggaran pengentasan kemiskinan pada tahun 2009 mencapai Rp 66,2 triliun, suatu jumlah yang diklaim pidato kenegaraan Presiden SBY lalu sebagai peningkatan hingga 3 kali lipat dalam 4 tahun terakhir.
Sayangnya, penyebutan kegiatan pemerintah sebagai Program Pengentasan atau Penanganan Kemiskinan adalah bersifat klaim atau kebijakan politik. Pemerintah sendiri belum lama menyadari bahwa ada banyak aktivitasnya yang bisa dikategorisasikan sebagai program kemiskinan. Tatkala Kemenko Kesra (TKPK) mengemukakan adanya 55 program di berbagai departeman atau lembaga sekitar satu setengah tahun lalu, mereka belum pernah mempublikasikan (karena mungkin memang belum punya) data pasti mengenai rinciannya. Melalui berbagai hasil rapat koordinasi, rincian baru mulai dipublikasikan pada Desember tahun 2007 dan awal 2008.

Perlu dicatat bahwa publikasi itu pun adalah versi kemenko kesra (TKPK), dan lebih bersifat nama program dan departemen/lembaga yang mengelolanya. Tampaknya, tidak semua departemen/lembaga senang programnya yang sudah berjalan dikategorikan demikian, sehingga laporan rinci (termasuk juklak/juknis) selalu tersendat diberikan kepada TKPK. Indikasinya terlihat dari upaya menyatukan semuanya ke dalam PNPM-Mandiri belum berjalan mulus. Tahun 2007 baru ada 2 program, tahun 2008 ada 6 program (termasuk program baru), padahal rencananya ada 17 program yang akan diintegrasikan.

Pernyataan berbagai pejabat tentang anggaran yang dibelanjakan bagi Program Kemiskinan juga serupa dengan kesimpangsiuran mengenai soal jumlah dan rincian program. Khusus untuk tahun 2008, versi yang banyak beredar adalah Rp 80 triliun dan Rp 60 triliun. Sebelumnya, pada masa pembahasan APBN (Agustus-Oktober 2007) sempat mengemuka angka Rp 54 triliun. Perhatikan bahwa angka yang disebut biasanya bernada ”sekitar”, dan sampai saat ini belum ada publikasi mengenai rinciannya yang mendekati angka itu. Bisa dipastikan akan demikian pula dengan angka Rp 66,2 triliun di atas.

Mengapa demikian?

Sistem penganggaran dalam APBN kita telah diatur oleh beberapa Peraturan Perundangan (dibuat sebagai bagian dari LoI dengan IMF). APBN, saat ini, dinyatakan dalam format dan struktur yang disebut dengan I-Account. Pada format I-account, catatan penerimaan, pengeluaran dan pembiayaan anggaran diletakkan dalam satu kolom. Dalam format tersebut, pos-pos APBN dikelompokkan menjadi 2 bagian. Bagian atas (above the line) mencatat besarnya penerimaan dan pengeluaran negara, kelompok A dan B. Bagian bawah (below the line) mencatat besarnya pembiayaan anggaran, kelompok E dalam tabel yang sama. Item D berfungsi sebagai garis batas. Item C yang merupakan memorandum untuk hal posisi surplus anggaran jika tidak memperhitungkan pembayaraan bunga utang.

Untuk keperluan tulisan ini, yang akan dijelaskan lebih lanjut hanya bagian Belanja Negara (B). Belanja Negara terdiri dari Belanja pemerintah Pusat dan Belanja Daerah.

Belanja Pemerintah Pusat diklasifikasikan atau dirinci atas dasar tiga hal, dan ditampilkan dalam tabel yang berbeda. Klasifikasinya adalah: atas dasar jenis belanja (klasifikasi ekonomi), atas dasar organisasi, dan atas dasar fungsi. Penjumlahan dari masing-masing rincian atas dasar yang berbeda itu akan menunjukkan besaran yang sama, sebagai angka belanja pemerintah pusat. Kepentingannya adalah untuk pencermatan atas uang yang dibelanjakan pemerintah pusat dari beberapa sudut pandang, sehingga dapat dipergunakan untuk evaluasi secara terus menerus.

Klasifikasi pertama dan kedua berguna untuk prosedur perencanaan dan pelaksanaan anggaran, termasuk untuk kepentingan akuntabilitas. Sedangkan klasifikasi ketiga, atas dasar fungsi, adalah bersifat analisa, seperti untuk analisa makroekonomi.
Menurut jenis belanja, anggaran belanja pemerintah pusat terdiri dari 8 jenis, yaitu: (1) belanja pegawai, (2) belanja barang, (3) belanja modal, (4) pembayaran bunga utang, (5) subsidi, (6) belanja hibah, (7) bantuan sosial, dan (8) belanja lain-lain.

Belanja pemerintah pusat menurut organisasi adalah semua pengeluaran negara yang dialokasikan kepada kementerian/lembaga, sesuai dengan program-program yang akan dijalankan. Rincian Belanja Pemerintah Pusat menurut organisasi terdiri dari dua kelompok. Pertama, Bagian Anggaran Kementerian/Lembaga seperti MPR, DPR, BPK, MA, Departemen-Departemen, BPS, dan sebagainya. Rincian belanja negara menurut organisasi dipengaruhi oleh perkembangan susunan kementerian/lembaga, perkembangan jumlah bagian anggaran, serta perubahan nomenklatur atau pemisahan suatu unit organisasi dari organisasi induknya, atau penggabungan organisasi. Setelah beberapa kali dilakukan perubahan dan penyempurnaan, hingga tahun 2008, organisasi kementerian/lembaga, terdiri dari: (i) 6 lembaga tinggi negara, (ii) 20 departemen teknis, (iii) 3 kementerian koordinator, (iv) 10 kementerian negara, dan (v) 34 lembaga negara yang pembentukannya ditetapkan melalui Keputusan Presiden dan telah mempunyai kode bagian anggaran sendiri. Kedua, Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan yang terdiri dari: Cicilan bunga utang, sibsidi dan transfer lainnya, dan belanja lain-lain. Bagian kedua ini tidak secara langsung dipergunakan oleh kementerian/lembaga, pelaksanaannya diatur tersendiri.

Belanja pemerintah pusat menurut fungsi dibedakan dalam 11 fungsi, yaitu: (1) pelayanan umum, (2) pertahanan, (3) ketertiban dan keamanan, (4) ekonomi, (5) lingkungan hidup, (6) perumahan dan fasilitas umum, (7) kesehatan, (8) pariwisata dan budaya, (9) agama, (10) pendidikan, dan (11) perlindungan sosial.

Perlu diketahui, ada pengeluaran yang memiliki fungsi tersendiri, seperti pembayaran bunga utang dan subsidi. Dalam bentuk tabel yang lain, laporan pemerintah biasa pula mencantumkannya sebagai fungsi pelayanan umum, sehingga angka pos fungsi ini menjadi sangat besar.
Sementara itu, rincian belanja menurut fungsi bukanlah merupakan dasar pengalokasian anggaran. Pengalokasian anggaran didasarkan pada program-program yang diusulkan oleh kementerian negara/lembaga, yang dirinci menurut jenis belanja. Selanjutnya, program-program tersebut dikelompokkan sesuai dengan fungsi dan sub fungsinya. Dengan demikian, rincian belanja menurut fungsi adalah kompilasi dari anggaran program-program kementerian negara/lembaga, dan hanya digunakan sebagai alat analisis (tools of analysis).

Apa yang dapat disimpulkan terkait dengan anggaran program kemiskinan?
Semua pernyataan tentang hal itu sebenarnya adalah pernyataan politik bukan pernyataan fiskal (anggaran). Tergantung apa saja yang mau dimasukkan. Bahkan yang dimaksud dengan bantuan sosial (jenis belanja no 7) tidak sepenuhnya bisa diartikan untuk kemiskinan, karena bisa untuk bencana atau yang sejenisnya (dan bisa tidak jadi direalisasikan).

Sekali lagi diingatkan bahwa secara pendekatan anggaran (fiskal) hanya dikenal pengkategorian berdasar tiga hal (jenis, organisasi dan fungsi), yang tidak ada menyebut soal kemiskinan di dalamnya.

Sebagai contoh kasus adalah angka sekitar 80 triliun yang diklaim untuk tahun 2008. Biasanya yang menyatakannya adalah menkokesra (atau pejabat di bawahnya), bukan menteri keuangan. Ketika Kepala Badan Fiskal, Anggito omong, angkanya justeru 60 triliun saja. Pada waktu siaran pers RAPBN 2008, sub judul kemiskinan tidak diberi jumlah totalnya, hanya diberi beberapa contoh. Lukman Edy bahkan menyebut angka Rp 93 triliun untuk daerah tertinggal yang ditafsirkannya pula sebagai untuk pengentasan kemiskinan.

Dengan demikian, saya amat meragukan jika Presiden SBY mengetahui rincian dari angka Rp 66,2 triliun di atas. Jika dibuat rinciannya, maka bisa jadi akan lebih kecil atau lebih besar, tergantung pos belanja mana yang mau dimasukkan. Sekali lagi, angka tersebut adalah pernyataan politik, bukan pernyataan fiskal.

Kamis, 21 Agustus 2008

Apakah Pemerintahan SBY berhasil menurunkan tingkat kemiskinan secara berarti?

Apakah Pemerintahan SBY berhasil menurunkan tingkat kemiskinan secara berarti?

Salah satu bagian yang paling ditonjolkan dalam pidato kenegaraan Presiden SBY tanggal 15 Agustus 2008 lalu adalah mengenai klaim keberhasilan percepatan pembangunan ekonomi.
Keberhasilan itu telah memberikan dampak yang positif baik pada percepatan penurunan tingkat kemiskinan. Tingkat kemiskinan, mengalami penurunan dari 17,7 persen pada tahun 2006 menjadi 15,4 pesen pada Maret 2008. Dikatakan bahwa angka kemiskinan tahun 2008 itu adalah angka kemiskinan terendah, baik besaran maupun prosentasenya, selama 10 tahun terakhir. Ditambahkan bahwa tren penurunan angka kemiskinan juga terjadi, walaupun kita menggunakan kriteria angka kemiskinan dari Bank Dunia. Pernyataan terakhir seolah ingin menjawab kritik dari berbagai pihak yang banyak mengutip angka versi Bank Dunia.

Pernyataan Presiden SBY itu terlampau berlebihan. Kesan perbaikan menjadi dramatis dengan mengambil contoh tahun 2006 dan 2008. Harus diingat bahwa SBY dilantik pada 20 Oktober 2004, enam bulan kemudian, angka kemiskinan pada bulan Maret 2005 adalah 15,97 persen atau sebanyak 35,10 juta jiwa. Bandingkan angka 15,97 persen itu dengan 15,42 persen, serta 35,10 juta jiwa dengan 34,96 juta jiwa. Jumlah orang miskin hanya berkurang sekitar 100 ribu jiwa. Jelas merupakan penurunan yang tidak berarti sama sekali.

Sementara itu, laporan Bank Dunia (2007) menyebutkan bahwa hampir 42 persen dari seluruh rakyat Indonesia hidup di antara garis kemiskinan US$1 dan AS$2. Perbedaan antara orang miskin dan yang hampir miskin sangat kecil. Jika kita memakai garis kemiskinan BPS, mungkin saja benar angka yang dikutip pidato itu. Namun tidak diungkapkan bahwa sangat banyak orang yang tidak tergolong miskin, namun berada di sekitarannya, yang biasa disebut nyaris miskin. Dengan demikian, salah satu yang harus diwaspadai adalah adanya perpindahan posisi penduduk dari hampir/tidak miskin menjadi miskin. Sedikit guncangan ekonomi akan menyebabkan mereka berubah status. Laporan yang sama mengatakan: walaupun hasil survei tahun 2004 menunjukkan hanya 16,7 persen penduduk Indonesia yang tergolong miskin, lebih dari 59 persen dari mereka pernah jatuh miskin dalam periode satu tahun sebelum survei dilaksanakan; serta lebih dari 38 persen rumah tangga miskin pada tahun 2004 tidak miskin pada tahun 2003.

Ada tanda-tanda bahwa jumlah penduduk yang tergolong miskin sementara (transient poor), yaitu penduduk yang penghasilannya dekat dengan garis kemiskinan, cukup besar. Sedikit guncangan ekonomi akan menyebabkan mereka berubah status. Begitu pula sebaliknya, kebijakan instan bisa mengubah angka-angka, namun bersifat sangat sementara. Sebagai contoh, kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dalam kurun waktu tertentu segera memperbaiki keadaan. Jika pendataan (sensus dan survei) dilakukan pada saat itu, maka hasilnya tidaklah mencerminkan keadaan yang sebenarnya dalam kurun waktu yang lebih panjang. Jika integritas BPS tidak dipertanyakan pun, angka-angkanya mudah berubah hanya dalam waktu satu tahun, serta tidak sulit ”diperbaiki”.

Yang kita perlukan adalah perbaikan kondisi ekonomi yang lebih mendasar, suatu keadaan yang dicirikan oleh kemakmuran bagi rakyat kebanyakan.

Selasa, 19 Agustus 2008

BANK BERSUBSIDI YANG MEMBEBANI

BANK BERSUBSIDI YANG MEMBEBANI
(Bab I buku saya dan Nasyith Majidi)

Judul buku : Bank Bersubsidi Yang Membebani
Penulis : Awalil Rizky dan Nasyith Majidi
Penerbit : E Publishing, Jakarta, 2008


Sejak Soeharto berkuasa sampai dengan pertengahan tahun 1997, perkembangan per­ekonomi­an Indonesia secara keseluruhan terlihat mengesankan. Secara umum, indikator makroekonomi menunjukkan perkembangan angka dan kondisi mutakhir yang sangat baik. Tidak ada pertanda yang membuat khawatir bagi banyak pihak, terutama bagi pemerintah dan otoritas moneter. Indikator makroekonomi yang dimaksud antara lain adalah: pertumbuhan ekonomi, angka inflasi, nilai tukar rupiah, cadangan devisa dan neraca pembayaran.
Keadaan itu kemudian berubah secara drastis hanya dalam waktu setahun, mulai pertengahan tahun 1997 hingga tahun 1998. Perkembangan indikator makroekonomi berbalik arah, menjadi amat buruk. Nilai tukar rupiah merosot sangat tajam, pertumbuhan ekonomi menjadi negatif, inflasi sangat tinggi, neraca pembayaran mengalami defisit yang besar, serta cadangan devisa terkuras hampir habis. Semua pi­hak baru menjadi sadar bahwa telah terjadi krisis, krisis moneter se­kali­gus krisis ekonomi. Krisis yang terjadi memenuhi hampir semua kriteria atau ciri suatu krisis yang dikenal dalam wacana ekonomi. Peristiwa tersebut bisa dikatakan sebagai krisis nilai tukar, krisis perbankan, krisis moneter, ataupun krisis ekonomi. Selain cakupannya yang sangat luas yang melanda hampir semua sektor ekonomi, kejadian dan kondisi buruk berlangsung dalam kurun waktu berkepanjangan.

Setelah satu dekade berlalu, rangkaian peristiwa yang begitu dramatis tersebut tetap menyisakan suatu persoalan teoritis. Masih terdapat perbedaan pandangan me­ngenai penyebab utama dari krisis, terutama berkenaan dengan bobot dari masing-masing faktor yang diidentifikasi. Sebagai contoh, apa­­kah goncangan eksternal, khususnya efek penularan dari krisis regional, yang menjadi faktor penyebab terpenting. Ataukah, soal lain yang lebih bersifat internal, yakni rapuhnya fundamental ekonomi. Jika keduanya dikedepankan secara bersama, maka perdebatan mengarah pada seberapa proporsi masing-masingnya. Kontroversi lain adalah mengenai upaya penanganan krisis yang tidak tepat. Mulai dari soal keterlambatan, kesalahan tindakan, sampai dengan biaya yang terlampau besar.

Kesepakatan umum hanya kepada hal yang telah jelas dengan sendirinya, yaitu urutan dan rangkaian peristiwa yang disebut krisis. Padahal, urutan peristiwa tidak selalu berarti kausalitas atau hubungan sebab akibat. Sementara itu, dinamika berikutnya pun berlangsung secara susul menyusul atau terjadi secara bersamaan. Depresiasi kurs rupiah terhadap dolar AS secara amat tajam, memulai krisis moneter yang terjadi tak lama kemudian. Suku bunga menjadi tinggi dan laju inflasi semakin tak terkendali, diiringi dengan defisit neraca pembayaran yang semakin besar. Krisis moneter diikuti oleh krisis perbankan, hanya dalam hitungan bulan, oleh karena industri perbankan tidak mampu menanggung kondisi moneter dan keuangan yang sedemikian berat. Secara simultan, dan dalam waktu yang amat singkat, krisis tersebut membuat sektor riil terpukul hebat, sehingga secara keseluruhan men­ciptakan krisis ekonomi. Krisis ekonomi membawa kepada kri­sis politik, yang berujung pada jatuhnya rezim Soeharto.

Banyak ahli yang berpendapat bahwa krisis itu juga tidak terlepas dari ketidaksiapan infrastruktur sistem keuangan Indonesia dalam mengantisipasi tekanan-tekanan yang berasal dari eksternal atau pasar internasional. Antara lain diindikasikan oleh keterlambatan reaksi dan proaksi berbagai pihak, termasuk otoritas moneter. Belakangan, diakui bahwa belum ada prosedur resolusi dari krisis yang bersifat baku dan diterima semua pihak. Beberapa kebijakan yang diambil oleh pemerintah, terutama oleh otoritas moneter pada waktu itu, sebagiannya malah dinilai memperparah keadaan.

Sebagai contoh, pengetatan likuiditas yang dilakukan Pemerintah sebagai langkah untuk mengatasi depresiasi Rupiah, malah memberi pukulan lanjutan bagi perbankan dan sektor riil. Penutupan 16 bank pada tanggal 1 November 1997, yang dimaksudkan untuk mengembalikan kepercayaan terhadap bank, mengakibatkan keadaan yang sebaliknya. Kepercayaan masyarakat kepada bank-bank nasional menjadi semakin rendah. Kekhawatiran akan terjadinya pencabutan ijin usaha bank, padahal belum ada program penjaminan simpanan, menyebabkan kepanikan masyarakat atas keamanan dananya di perbankan. Masyarakat terdorong untuk melakukan penarikan simpanan dari perbankan secara besar-besaran, setidaknya memindah simpanan dari satu bank ke bank lain yang dianggap lebih meyakinkan.

Akibatnya, posisi likuiditas perbankan mendapat tekanan yang amat berat. Tekanan lain diberikan oleh fenomena inflasi. Berbagai isu tentang kelangkaan pasokan barang-barang kebutuhan pokok, menyebabkan ekspektasi masyarakat terhadap inflasi semakin tinggi, disertai peningkatan kegiatan spekulasi di pasar valuta asing. Bisa difahami jika beberapa bank yang sebelumnya tergolong sehat dan merupakan pemasok dana, selanjutnya juga terkena imbas, sehingga berubah posisi menjadi peminjam dana di pasar uang antar bank.

Akhirnya, hampir seluruh bank umum nasional menghadapi kesulitan likuiditas dalam jumlah besar. Sebagian besar bank terpaksa melanggar ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) dan mengalami saldo negatif atas rekening gironya di Bank Indonesia. Dana pinjaman antar bank, sebagai sarana bank mengatasi kesulitan likuiditas dalam jangka pendek, menawarkan bunga yang sangat tinggi (mencapai 50%). Sumber dana semacam itu pun makin sulit untuk diperoleh. Kesulitan likuiditas masih terus berlanjut dengan adanya berbagai tekanan susulan. Peningkatan eksposure rupiah dari utang dalam dolar Amerika semakin memberatkan bank, ditambah dengan meningkatnya kredit bermasalah atau nonperforming loan (NPL) akibat banyaknya debitur yang gagal bayar (default). Kondisi umum yang terwujud kemudian adalah banyaknya bank menjadi insolvent (nilai aktivanya lebih kecil daripada nilai pasivanya).

Bank Indonesia (BI) yang pada awalnya, sesuai prosedur standar, berusaha membantu mengatasi kesulitan likuiditas perbankan, menjadi kewalahan. Oleh karena jumlah bantuan dan prosedur bantuan kemudian menjadi sangat tidak biasa, BI meminta persetujuan pemerintah, bahkan berkonsultasi dengan DPR, untuk langkah-langkah berikutnya. Dalam konteks inilah, dikenal istilah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Besarnya BLBI yang dikucurkan kepada bank-bank, hanya dalam tempo beberapa bulan, mencapai hampir Rp 150 trilyun. Jumlah ini sangat besar, mengingat pada tahun 1997, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia adalah sebesar Rp 627,7 triliun, dan Penerimaan negara hanya Rp 112,3 triliun. Ternyata, BLBI sebesar itu ditambah dengan langkah-langkah lain, termasuk likuidasi beberapa bank, tetap tidak mampu menahan krisis yang terus berlanjut. Krisis ekonomi akhirnya memaksakan perubahan besar di bidang sosial dan politik, termasuk jatuhnya pemerintahan Soeharto.

Pemerintahan pasca Soeharto, terutama era Habibie, menjalankan program stabilisasi makroekonomi melalui kebijakan moneter dan fiskal. Program awal difokuskan untuk mengatasi permasalahan yang sangat mendesak pada saat krisis, yaitu: meredam tekanan laju inflasi dan gejolak nilai tukar. Mereka berupaya agar keadaan moneter menjadi stabil dengan pertanda suku bunga yang normal dan nilai tukar rupiah yang realistis, sehingga dapat membantu kebangkitan kembali dunia usaha. Secara bersamaan, pemerintah melakukan berbagai langkah konsolidasi di bidang fiskal melalui peningkatan disiplin anggaran dengan melakukan penghematan atas berbagai pengeluaran pemerintah. Pemerintah juga terpaksa melakukan penjadwalan dan penyesuaian terhadap beberapa proyek pembangunan.
Dalam keseluruhan langkah tersebut, upaya restrukturisasi dan penyehatan perbankan menjadi prioritas yang sangat penting. Pengeluaran biaya yang amat besar untuk itu juga dianggap wajar. Pertimbangan utamanya, stabilitas moneter menjadi prasyarat bagi pemulihan ekonomi, dan itu memerlukan stabilitas sistem keuangan. Stabilitas sistem keuangan mensyaratkan pembenahan sektor perbankan, termasuk BI sebagai bank sentral.

A. Stabilitas Sistem Keuangan
Istilah stabilitas moneter biasanya mengacu pada stabilitas harga dalam bentuk kestabilan nilai mata uang. Sedangkan pengertian stabilitas keuangan mengarah kepada kestabilan institusi keuangan itu sendiri, serta stabilitas pasar yang tergabung dalam sistem keuangan. Secara logis bisa dimengerti bahwa stabilitas moneter hanya dapat dicapai dengan sistem keuangan yang stabil.
Kestabilan institusi keuangan terutama menyangkut lembaga keuangan yang berpengaruh secara signifikan terhadap sistem keuangan secara keseluruhan. Dalam konteks ini, kelembagaan Bank Indonesia dan perbankan nasional merupakan institusi yang paling penting. Sementara itu, pengertian kestabilan pasar meliputi baik pasar modal maupun pasar uang. Pasar dimaksud dapat dikatakan stabil apabila para pelaku pasar masih percaya untuk melakukan transaksi pada tingkat harga yang merupakan refleksi dari fundamental ekonomi, serta fluktuasi atau volatilitas harga pasar yang tidak ekstrim dalam jangka pendek.

Sebagai bagian dari pembelajaran masa lalu dan kesiapan menghadapi atau mencegah krisis yang mungkin terjadi, Bank Indonesia (BI) mensosialisasikan istilah Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) secara intensif. Meskipun demikian, BI mengakui bahwa SSK sebenarnya belum memiliki definisi yang baku dan diterima secara internasional. Berbagai pengertian SSK yang ada lebih menekankan pada pengertian keadaan yang disebut tidak stabil, yakni pada saat telah membahayakan dan menghambat kegiatan ekonomi. Ketidakstabilan sistem keuangan dapat dipicu oleh berbagai macam penyebab dan gejolak. Seringkali berupa kombinasi antara kegagalan pasar, faktor struktural, serta faktor perilaku. Kegagalan pasar itu sendiri dapat bersumber dari eksternal (internasional) dan internal (domestik).

Ada beberapa definisi SSK yang biasa dikedepankan oleh pihak BI. Pertama, SSK adalah sistem keuangan yang mampu mengalokasikan sumber dana dan menyerap kejutan (shock) yang terjadi sehingga dapat mencegah gangguan terhadap kegiatan sektor riil dan sistem keuangan. Kedua, SSK adalah sistem keuangan yang kuat dan tahan terhadap berbagai gangguan ekonomi sehingga tetap mampu melakukan fungsi intermediasi, melaksanakan pembayaran dan menyebar risiko secara baik. Ketiga, SSK adalah suatu kondisi dimana mekanisme ekonomi dalam penetapan harga, alokasi dana dan pengelolaan risiko berfungsi secara baik dan mendukung pertumbuhan ekonomi.

B. Bank Indonesia yang semakin kuat
Krisis ekonomi menempatkan Bank Indonesia (BI) sebagai institusi sentral. Sebagian sorotan adalah mengenai peran BI sebagai aktor penyebab, atau setidaknya yang memperparah krisis. Sebagian lainnya, melihat BI sebagai korban dari krisis. BI pula yang kemudian diharapkan berperan sebagai pemain utama dalam upaya pemulihan dan pembangunan kembali perekonomian Indonesia.
Peran yang dibebankan dalam upaya pemulihan itu kepada BI adalah menjaga stabilitas moneter, sesuai kedudukannya sebagai otoritas moneter, serta bertanggung jawab atas stabilitas sistem keuangan, berkenaan dengan tugasnya menangani perbankan dan sistem pembayaran. Peran demikian seharusnya sudah dimainkan sejak awal atau sebelum krisis terjadi. Namun, pihak BI berkilah mengenai ketidakleluasaan geraknya akibat rezim pemerintahan yang otoriter, maupun oleh peraturan yang berlaku.
Akhirnya, sebagian peran itu memperoleh legitimasi baru menurut perundang-undangan, yang bermuara kepada beberapa perubahan penting. Salah satu yang mendasar adalah soal independensi BI. Para pengambil keputusan di era pasca Soeharto ternyata memilih menetapkan keindependenan BI sebagai bank sentral. Tampak ada keyakinan bahwa tingkat dan varian fluktuasi perekonomian akan menjadi lebih baik dengan independensi itu. Sebagai argumen pendukung, dikemukakan studi empiris yang melihat korelasi antara independensi dari Bank Sentral dengan kinerja ekonomi suatu negara. Ditunjukkan bahwa terdapat hubungan terbalik antara independensi dengan tingkat rata-rata maupun varians dari inflasi. Meskipun studi tersebut sebenarnya lebih menunjukkan hubungan korelasi dan bukan kausalitas antara independensi dengan kinerja inflasi.

Pada prinsipnya, independensi Bank Sentral dapat dilihat pada beberapa hal. Pertama, pada tujuan dan fungsi apa yang harus diemban oleh Bank Sentral, apakah tujuan tunggal seperti stabilitas rupiah atau ada yang lain seperti menciptakan kesempatan kerja dan pemerataan pembangunan. Kedua, pada mekanisme dan kebebasan menetapkan instrumen dan target moneter. Apakah ada kemungkinan pihak lain yang bisa menetapkan target moneter. Ketiga, pada proses penunjukkan dan syarat pergantian jajaran pimpinan Bank Sentral terutama Gubernur sebagai sosok paling penting, termasuk juga waktu penugasan masing-masing jajaran pimpinan yang tidak sama, sehingga menjamin kesinambungan (rotasi). Keempat, pada peraturan mengenai ada atau tidak kewajiban menyetor kembali surplus Bank Sentral, dan ada tidak kewajiban melakukan jaminan bagi surat berharga (utang) yang diterbitkan pemerintah.
UU No. 23/1999 ternyata telah memberikan Bank Indonesia (BI) suatu jaminan yang sangat kuat kepada keseluruhan aspek di atas. Independensi tersebut tercermin antara lain dari penentuan hanya satu tujuan BI, yaitu mencapai dan memelihara stabilitas rupiah. BI memiliki kebebasan menentukan sasaran dan instrumen moneter yang akan digunakan dalam pencapaian tujuannya.

Independensi juga dapat dilihat dalam proses pemilihan pimpinan BI melalui proses pencalonan dari pemerintah (Presiden) untuk Gubernur dan Deputi Senior yang harus mendapat persetujuan DPR, dan pencalonan oleh Gubernur diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR untuk Deputi Gubernur. Pergantian pimpinan juga mengharuskan adanya kontinuitas melalui pembatasan maksimum jumlah deputi gubernur yang bisa diganti yaitu 2 orang. Terdapat pula perlindungan terhadap jabatan pimpinan BI (tidak bisa diberhentikan) kecuali yang bersangkutan mengundurkan diri, terbukti melakukan tindak pidana kejahatan, atau berhalangan tetap.

Posisi BI yang semakin independen bukannya tanpa kritik. Sebagian pandangan mempertanyakan apakah dengan independensinya, BI sama sekali berdiri di luar pemerintah. Bahkan, ada pandangan yang menganggap BI telah menjadi negara dalam negara. Anggapan ini muncul antara lain karena BI bisa membuat peraturan yang mengikat semua warga negara Indonesia, serta memiliki pengaturan (termasuk sumber) keuangan tersendiri.
Banyak pihak yang menyoroti sisi keadilan dari peran dan fungsi BI dibandingkan dengan lembaga lainnya, terutama dengan pemerintah. Beban BI hanya satu saja, yaitu memelihara stabilitas rupiah. Sementara pemerintah harus mengemban fungsi lain yang sangat banyak dan berat, seperti: mencapai pertumbuhan ekonomi, penciptaan kesempatan kerja, menciptakan keadilan dan pemerataan, dan pengurangan kemiskinan. Rasa ketidakadilan dalam pembagian fungsi pengelolaan ekonomi diperkuat lagi oleh kondisi sehabis krisis, dimana hampir seluruh beban biaya atas kerusakan perbankan yang sangat mahal hingga mencapai Rp 1.000 triliun (termasuk beban bunga obligasi) harus ditanggung pemerintah melalui APBN. Padahal, kesalahan perbankan itu sendiri sebagian besarnya merupakan tanggungjawab BI. Bisa dipastikan, pihak BI ikut melakukan kesalahan dalam pengelolaan perbankan, meskipun dapat diperdebatkan mengenai tingkat kesalahannya.

Hal lain yang kadang memicu rasa ketidaksukaan atas BI adalah kesan lebih sejahteranya persoanalia BI dibanding abdi negara lainnya. Antara lain yang biasa dijadikan contoh: kondisi kompleks perkantoran BI yang sangat mewah, gaji pegawai yang relatif tinggi, serta fasilitas kepada pegawai dan jajaran pimpinan BI yang berlebihan dibanding jajaran pemerintah lainnya.
Ada persoalan lain yang lebih pelik mengenai hubungan BI dengan pemerintah. Secara teoritis sangat mungkin terjadi perbedaan ”kepentingan” antara pemerintah dan BI. Dalam eskalasi tertentu, masalah ini secara empiris mulai terjadi, dan berpotensi membesar di tahun-tahun mendatang. Pemeliharaan stabilitas rupiah sebagai tujuan yang hendak dicapai BI sering perlu dilakukan dengan pengetatan moneter. Hal ini, setidaknya dalam jangka pendek, bisa bertentangan dengan tujuan yang ingin dicapai pemerintah yaitu penciptaan kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi.
Pembahasan lebih rinci mengenai Bank Indonesia diberikan pada bab 2. Di sana akan dijelasikan mengenai hal-hal pokok yang tercantum dalam UU-BI No. 23/1999 serta perubahannya dalam UU-BI No. 3/2004. Dikemukakan pula secara singkat, beberapa persoalan kontroversial seperti: soal independensi, soal BLBI dan rekapitalisasi perbankan.

C. Restrukturisasi dan reformasi perbankan
Pada awal tahun 1998, ketika krisis perbankan sudah cukup terasa, pemerintah sebenarnya telah mengambil beberapa kebijakan untuk segera memulihkan kepercayaan terhadap perbankan. Pemerintah memberikan jaminan pembayaran atas kewajiban bank-bank umum kepada deposan dan kreditur dalam dan luar negeri (blanket guaranty), serta membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk melakukan langkah penyehatan bank-bank yang bermasalah. Namun, kedua kebijakan pemerintah tersebut ternyata tidaklah memadai. Krisis perbankan justeru meluas dan mengarah pada lumpuhnya sistem perbankan nasional.

Kesulitan likuiditas menyebabkan pelanggaran Giro Wajib Minimum (GWM) oleh hampir semua bank. Saldo negatif pada rekening giro di BI bahkan telah dialami oleh sebagian besar bank. Sebenarnya, sesuai peraturan perundang-undangan, BI dan pemerintah bisa mengenakan sanksi stop kliring kepada mereka. Akan tetapi, kebijakan pemerintah adalah melakukan penyelamatan, sesuai kesepakatan dengan IMF. Alasan utamanya, kebijakan menutup bank bukanlah opsi yang realistis dalam suasana krisis yang sudah menjalar ke banyak aspek (multidimensi). Diyakini, jika banyak bank ditutup secara masal, maka keadaan bisa menjadi lebih buruk lagi.

Situasi yang dihadapi bank-bank pada waktu itu dianggap BI sebagai illiquid (kesulitan likuiditas), bukannya insolvent (aktiva lebih kecil daripada pasiva). Apabila tidak diberikan bantuan kepada perbankan, maka akan terjadi rush (penarikan dana secara besar-besaran dalam waktu singkat). Dalam kondisi rush, bank yang sehat pun tidak akan mampu mengatasi kesulitan likuiditas tanpa bantuan Pemerintah.
Pertimbangan lainnya, dari pemerintah dan BI, adalah masalah sektor riil dan hubungan ekonomi dengan luar negeri. Di sektor riil, stop kliring itu akan memutus sebagian besar sistem pembayaran sehingga lalu lintas perdagangan akan terhenti. Sedangkan dalam konteks perdagangan luar negeri, pemerintah khawatir terjadi ketidakpercayaan bank-bank di luar negeri kepada bank-bank di dalam negeri, karena kepercayaan memang tampak mulai berkurang. Ada anggapan bahwa impor barang bisa terancam. Secara otomatis terjadi gangguan pula dengan ekspor, karena kebanyakan produknya masih membutuhkan bahan baku impor yang tinggi, serta bergantung pada mekanisme pembayaran luar negeri.

Akhirnya, pemerintah dan BI melakukan pilihan untuk tidak menutup bank, meskipun langkah itu membutuhkan biaya yang besar. Yang dibayangkan mereka adalah hal sebaliknya, kemustahilan perekonomian negara tanpa adanya bank. Oleh karenanya, dalam evaluasi sampai dengan saat ini, langkah tersebut diklaim cukup tepat oleh pemerintah dan BI. Kerap ditambahkan argumen bahwa tahap pemulihan seperti saat ini tidak akan dapat dicapai jika di masa krisis yang lalu, keruntuhan sistem perbankan dibiarkan, tanpa tindakan penyelamatan.
Dalam konteks yang demikian lah, kebijakan penyaluran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dijalankan. Perlu ditambahkan bahwa dari sisi yuridis, penyaluran BLBI itu sesungguhnya bukan merupakan kebijakan yang mendadak diciptakan. Kebijakan itu telah dilakukan jauh sebelum terjadinya krisis moneter dan memiliki landasan hukum yaitu UU No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral dan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998. Pasal 32 ayat (3) UU No. 13 tahun 1998 menyebutkan "Bank dapat pula memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat" sedangkan pasal 37 ayat (2) huruf b UU No. 7 tahun 1992 menegaskan "Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan likuiditas yang membahayakan kelangsungan usahanya, maka BI dapat mengambil tindakan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku."

Istilah BLBI itu sendiri memang baru dikenal sejak tanggal 15 Januari 1998 sebagaimana ditegaskan Pemerintah dalam Letter of Intent (LoI) kepada International Monetary Fund (IMF). Dalam surat yang ditandatangani oleh Menko Ekkuin itu, Pemerintah menyatakan pentingnya bantuan likuiditas (liquidity support) BI kepada perbankan. Dilihat dari sisi ini, BLBI merupakan program Pemerintah (bersama BI) yang diketahui dan direkomendasikan oleh IMF. Bahkan, kebijakan itu menjadi salah satu persyaratan (conditionality) yang ditetapkan oleh IMF untuk bantuannya kepada Indonesia. Dalam pengertian luas, liquidity support sebenarnya meliputi juga kredit subordinasi, kredit likuiditas darurat dan fasilitas diskonto I dan II. Namun, BLBI yang diberikan pada waktu itu hanya mencakup bantuan likuiditas kepada bank untuk menutup kekurangan likuiditas, terutama yang berupa: saldo debet, fasilitas diskonto dan SBPU khusus, serta dana talangan dalam rangka kewajiban pembayaran luar negeri.
Dengan pertimbangan yang serupa, Pemerintah pasca Soeharto melakukan hal yang hampir sama, yakni menjalankan kebijakan rekapitalisasi perbankan. Pemerintah merekapitalisasi bank-bank yang memenuhi persyaratan yang memiliki rata-rata rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) di bawah -25%. Langkah itu diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan kepada pemerintah, mempercepat pemulihan ekonomi, dan mengembalikan fungsi intermediasi perbankan.

Ada perbedaan penting dalam hal ”daya tawar” (bargaining) BI, tatkala kebijakan rekapitalisasi perbankan diambil dengan ketika penyaluran BLBI dijalankan terdahulu. Kini, BI memiliki status dan kedudukan baru berdasar UU No 23/99. Posisi BI menjadi lebih independen, sehingga dalam operasionalisasinya, pemerintah harus mengikuti juga berbagai pertimbangan dan keputusan dari pihak BI. Menurut sebagian pengamat, pihak BI bahkan cenderung berkedudukan lebih kuat. Sedangkan dalam kebijakan BLBI, posisi pemerintah lah yang lebih dominan.
Sementara itu, kebijakan rekapitalisasi perbankan sebenarnya merupakan bagian dari program yang lebih luas, yaitu program penyehatan perbankan dan program peningkatan ketahanan industri perbankan. Program penyehatan lembaga perbankan meliputi : penjaminan pemerintah bagi bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), rekapitalisasi perbankan, restrukturisasi kredit perbankan dan pemulihan fungsi intermediasi perbankan. Sementara itu, upaya meningkatkan ketahanan sistem perbankan difokuskan pada pengembangan infrastruktur perbankan, peningkatan mutu pengelolaan perbankan (good governance) serta penyempurnaan sistem pengaturan dan pengawasan bank.

Penyempurnaan ketentuan perbankan ditujukan untuk meningkatkan praktek-praktek perbankan yang berdasarkan prinsip kehati-hatian sesuai dengan standar internasional. Penyempurnaan tersebut meliputi fit and proper test, exit policy, Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), restrukturisasi kredit, penilaian aktiva produktif, kelembagaan bank umum, pendanaan jangka pendek, perdagangan portofolio obligasi dan bank syariah. Ketentuan exit policy merupakan penyempurnaan kebijakan dalam penanganan bank bermasalah yang lebih transparan dengan menetapkan kriteria bank yang dikategorikan dalam pengawasan khusus dan tindakan-tindakan korektif yang harus diselesaikan dalam periode tertentu dan kriteria bank untuk dialihkan menjadi Bank Dalam Penyehatan di bawah pengawasan BPPN.
Dalam rangka pemantapan pengawasan bank, Bank Indonesia telah menyempurnakan sistem pengawasan yang semula terfokus pada compliance based supervision diperluas menjadi pengawasan yang berbasis risiko (risk based supervision) dan berorientasi ke depan yang mengacu pada standar internasional. Dalam kaitan tersebut Bank Indonesia telah menempatkan tenaga pengawas dalam rangka On-site Supervisory Presence pada beberapa bank. Sementara itu, untuk lebih meningkatkan kemampuan tenaga pengawas bank serta penanganan tugas pengawasan khusus (Special Surveilance) telah dilakukan pelatihan-pelatihan dan persiapan untuk pelaksanaan consolidated supervision.

Sampai dengan akhir tahun 2000, berbagai kebijakan pokok yang telah ditempuh di atas menghasilkan berbagai kemajuan dalam kinerja perbankan nasional. Permodalan bank yang pada tahun 1999 masih negatif telah membaik hingga mencapai Rp 53,5 triliun pada Desember 2000, sehingga meningkatkan rata-rata CAR bank. Sementara itu, penghimpunan dana bank yang menunjukkan peningkatan sudah mulai diikuti pula dengan peningkatan penyaluran kredit. Pada waktu bersamaan, rasio kredit bermasalah atau NPL membaik hingga mencapai 18,8% secara gross atau 5,8% secara netto, yang disebabkan oleh pengalihan kredit bermasalah ke BPPN, restrukturisasi kredit dan penyaluran kredit baru. Net interest margin (NIM) yang negatif pada tahun 1999 telah membaik menjadi positif sebesar Rp 22,8 triliun sejalan dengan positive spread yang didukung juga dengan relatif stabilnya suku bunga dana. Perbaikan CAR, peningkatan penghimpunan dana dan penyaluran kredit, perbaikan NPL, dan NIM yang positif kemudian terus berlanjut pada tahun-tahun berikutnya.

Meskipun demikian, tantangan terbesar sampai saat ini adalah belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan. Dalam tahun-tahun awal era reformasi, hal ini antara lain disebabkan oleh masih tingginya faktor risiko dan ketidakpastian serta proses restrukturisasi kredit yang belum berjalan sepenuhnya. Dengan masih terbatasnya penyaluran kredit, ekses likuiditas yang dialami perbankan lebih banyak ditanamkan pada SBI, antar bank aktiva serta surat-surat berharga lainnya. Sedangkan dalam tiga tahun terakhir ini, keadaannya memang sudah lebih baik, namun perlu dikritisi apakah sudah cukup optimal upaya yang dilakukan perbankan. Masih pula perlu dikritisi mengenai kesinambungan perbaikan kinerja perbankan di masa mendatang.

D. Arsitektur Perbankan Indonesia
Pada 9 Januari 2004, siaran pers Bank Indonesia mengumumkan secara resmi implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Sebelumnya, selama sekitar setahun sejak BI melansir rencana tersebut, pembicaraan mengenai API berlangsung cukup intensif di lingkungan pelaku industri perbankan. Setelah mendapat tanggapan dari berbagai pihak, BI menyelesaikan penyusunan cetak biru API pada tahun 2003. BI memutuskan implementasinya secara bertahap, mulai tahun 2004 untuk jangka waktu lima sampai dengan sepuluh tahun kemudian.
BI menggunakan istilah arsitektur perbankan karena dianggap memberikan nuansa yang bersifat lebih komprehensif dan luas mengenai tatanan perbankan yang didinginkan sampai waktu yang akan datang. Ada banyak istilah lain yang memiliki pengertian hampir serupa dengan arsitektur perbankan, serta kerap kali dipergunakan dalam analisis oleh para ahli atau pengamat perbankan. Istilah itu antara lain adalah: blueprint perbankan, landscape perbankan, stratifikasi perbankan, dan pemetaan perbankan.
BI mengatakan bahwa API dirancang sebagai rekomendasi kebijakan (policy recommendation) bagi industri perbankan nasional dalam menghadapi segala perubahan yang terjadi di masa mendatang, sekaligus menjadi arah kebijakan (policy direction) yang harus ditempuh oleh perbankan dalam kurun waktu yang cukup panjang. Dengan kata lain, API merupakan suatu blueprint mengenai tatanan industri perbankan ke depan. Isi dokumennya menyangkut hampir semua aspek yang berhubungan dengan perbankan, seperti : kelembagaan, struktur, pengawasan, pengaturan dan lembaga penunjang lainnya.

Dengan API, BI mengharapkan kalangan industri perbankan nasional bersama-sama dengan stakeholders lainnya mengetahui bagaimana bentuk dan wujud perbankan Indonesia dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan (dari tahun 2004). Aspek yang digambarkan API mencakup sisi regulasi, pengawasan, struktur kelembagaan dan beberapa aspek penting lainnya. Pengetahuan tentang API akan membuat mereka semua menjadi lebih mudah melakukan perencanaan bagi kebutuhan masing-masing.
Perlu diakui bahwa pada dasarnya implementasi API di Indonesia amat dipengaruhi oleh wacana internasional dalam topik tersebut. Wacana dimaksud adalah tentang implementasi arsitektur keuangan global yang diprakarsai oleh Bank for International Settlements (BIS). BIS adalah organisasi internasional yang memprakarsai dan memfasilitasi kerjasama antara bank sentral berbagai negara ditambah dengan beberapa organisasi keuangan internasional. Wacana arsitektur keuangan global itu sendiri mulai berkembang sejak tahun 1998. Ada keinginan kuat agar kestabilan keuangan global bisa dipelihara secara berkesinambungan, yang antara lain dipicu oleh pelajaran berharga pada masa krisis di kawasan Asia Tenggara di masa lalu. Krisis perbankan di Asia Tenggara tersebut ternyata juga merepotkan negara-negara dan lembaga pemberi pinjaman (kreditur) pada masa itu. Oleh karenanya, BIS mempublikasikan secara gencar akan pentingnya perhatian serius terhadap kestabilan keuangan melalui program arsitektur keuangan global.

Meskipun demikian, perlunya banking landscape bagi perbankan Indonesia sebenarnya masih dapat diperdebatkan untung ruginya oleh semua pihak. Terutama oleh kalangan perbankan yang harus menyesuaikan diri dengan ketentuan yang sebagian besarnya bersifat mengikat secara hukum (memaksa). Salah satu argumen pokok bagi yang kurang setuju adalah berkenaan dengan dibatasinya ”kekuatan pasar” dalam menentukan struktur perbankan yang ideal dan dianggap efisien bagi perekonomian.
Sekitar tiga tahun kemudian sejak diumumkannya API sebagai blueprint perbankan nasional, BI mensosialisasikan rencana implementasi Basel II. Basel II adalah suatu panduan atau best practices, yang berisi pengaturan permodalan bagi bank-bank. Jika API lebih menekankan kepada bangunan perbankan nasional yang ingin diwujudkan, maka Basel II adalah satu bagian kerangka aturan (khususnya mengenai permodalan) dalam proses pembangunan tersebut.
Arti pentingnya pengaturan terhadap permodalan bagi suatu bank mudah difahami mengingat Bank merupakan suatu perusahaan yang menjalankan fungsi intermediasi atas dana yang diterima dari nasabah. Jika suatu bank mengalami kegagalan, dampak yang ditimbulkan akan dapat meluas mempengaruhi nasabah dan lembaga-lembaga yang menyimpan dananya atau menginvestasikan modalnya di bank. Jika bank itu berskala operasi yang cukup besar, akan berpotensi menciptakan dampak ikutan secara nasional (domestik), bahkan bisa mempengaruhi pasar internasional. Dengan kata lain, peraturan mengenai permodalan bank yang berfungsi sebagai penyangga terhadap kemungkinan terjadinya kerugian, sehingga kepercayaan nasabah terhadap aktivitas perbankan tetap dapat dipelihara.

Sebagaimana API, wacana Basel II juga dipromosikan oleh BIS. Urgensi soal permodalan bagi perbankan, membuat BIS memiliki komite khusus yang selalu memantau dan menganalisis perkembangannya di seluruh dunia secara terus menerus. Komite itu dikenal sebagai Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) atau Komite Basel, yang antara lain merumuskan dan mensosialisasikan berbagai panduan atau best practices perbankan, terutama yang dinilai harus dijalankan oleh bank sentral.

API dan Basel II pada umumnya diakui sebagai suatu konsep yang baik oleh banyak pihak, termasuk kalangan perbankan. Mereka bisa menerima tujuan konsep agar terwujud bangunan yang kuat, serta mekanisme perbankan yang menjamin stabilitas keuangan namun tetap memberi peluang tumbuh bagi setiap bank. Yang kemudian dipermasalahkan dari kedua konsep itu adalah detil aturan, tahap-tahap serta waktu pelaksanaannya.
Uraian lebih lanjut akan dikembangkan dalam Bab V, yang juga memuat ulasan singkat tentang rencana implementasi Bassel II di Indonesia. Kita pun akan melihat secara kritis, beberapa dampak logis dari implementasi API dan Bassel II. Dalam hal API adalah soal meningkatnya kepemilikan asing dalam perbankan di Indonesia. Dalam hal Bassel II adalah soal kehati-hatian (prudent) berlebih yang bisa menghambat fungsi intermediasi perbankan, terutama bagi penyaluran untuk usaha mikro dan kecil.

E. Statistik Perbankan: Beberapa fakta saat ini
Bagaimana keadaan perbankan setelah dilanda krisis, kemudian dibantu dan di restrukturisasi oleh pemerintah dan Bank Indonesia? Sebagian besarnya dapat diamati dan dinilai dari berbagai angka dalam statistik perbankan. Angka-angka mengenai jumlah bank dan perkantorannya; pangsa kepemilikan; aset dan permodalan; dana yang berhasil dihimpun dan Kredit yang disalurkan; kualitas kredir, khususnya yang bermasalah (NPL); soal profitabilitas, soal efisiensi dan lain sebagainya. Berikut ini diulas fakta-fakta utamanya saja.
Jumlah jaringan kantor Bank Umum khususnya sejak deregulasi perbankan yang tercantum dalam Paket Oktober tahun 1988 (Pakto 88) mengalami perkembangan yang pesat. Pasca Pakto 88, jumlah Bank Umum terus bertambah, didominasi oleh pendirian Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) Devisa dan BUSN Non Devisa, dari 111 bank dengan jumlah kantor sebanyak 1.957 kantor sampai mencapai puncaknya pada akhir tahun 1996, yaitu 239 bank dengan 7.314 kantor. Namun demikian, setelah krisis perbankan tahun 1997 jumlah Bank Umum terus mengalami penurunan yang disebabkan adanya likuidasi oleh Pemerintah, merger, dan self-liquidation.

Terdapat 130 bank menurut data dari BI pada akhir Desember 2007. Akan tetapi, jumlah kantor justeru terus meningkat menjadi 9.697 kantor, mengisyaratkan kemampuan yang lebih baik untuk melayani nasabah. Jumlah Bank Persero sebanyak 5 bank dengan 2765 kantor; BUSN Devisa sebanyak 35 bank dengan 4711 kantor; BUSN Non Devisa sebanyak 36 bank dengan 778 kantor; Bank Pembangunan Daerah (BPD) sebanyak 26 bank dengan 1205 kantor; Bank Campuran sebanyak 17 bank dengan 96 kantor; dan Bank Asing sebanyak 11 bank dengan 142 kantor. Tercatat bahwa kantor Bank Asing dan Bank Campuran yang paling pesat pertumbuhannya.

Kepercayaan masyarakat terhadap perbankan berhasil dipulihkan, jika dilihat dari pertumbuhan aset dan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang berhasil dihimpun. Aset Bank umum bertambah dengan pesat dalam beberapa tahun terakhir. Jumlah total aset, selama tahun 2002 sampai dengan tahun 2007, tumbuh rata-rata lebih dari 10% setiap tahun, sehingga total aset per bulan Desember 2007 adalah sebesar Rp1.986,5 triliun. DPK yang berhasil dihimpun juga terus meningkat, sekalipun laju pertumbuhannya mulai melambat, DPK pada bank umum per 31 Desember 2007 telah mencapai Rp1.510,8 triliun.
Di sisi lain, dana masyarakat yang dihimpun oleh perbankan yang berhasil disalurkan kembali dalam bentuk kredit juga cen­derung meningkat selama beberapa tahun. Angka Loan to Deposit Rasio (LDR), yang membandingkan antara kredit yang disalurkan dengan DPK yang dihimpun dan dinyatakan dalam prosentase, sempat membaik dalam beberapa tahun. Akan tetapi, selama tahun 2006, LDR kembali memburuk, dan berangsur membaik kembali pada tahun 2007. Meskipun membaik, angka LDR masih berfluktuasi di kisaran 65%, yang berarti fungsi intermediasi sektor perbankan suatu keadaan yang belum optimal. Masih sangat besar dana yang seharusnya dapat menjadi “darah segar” bagi sektor riil, jika berhasil disalurkan kepada kegiatan produktif. Padahal, BI rate atau tingkat bunga Surat berharga Bank Indonesia (SBI), yang cenderung diikuti oleh suku bunga pinjaman perbankan, terus mengalami penurunan.
Tekanan risiko kredit yang dihadapi bank membaik pada tahun 2007, setelah sempat meningkat selama tahun 2005 dan 2006. Beberapa tahun sebelumnya, risiko kredit berangsur menurun secara cukup signifikan. Hal ini ditunjukkan oleh naik turunnya rasio kredit bermasalah (NPL).
Profitabilitas perbankan relatif stagnan dalam tiga tahun terakhir, hanya sedikit mengalami perbaikan, setelah beberapa tahun sebelumnya terus meningkat. Penyebab utamanya adalah meningkatnya beban operasional, disamping peningkatan efisiensi yang sudah mulai lebih berat untuk dilaksanakan. Hal ini tercermin dari angka-angka Return on Asset (ROA) dan Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO). Rasio ROA dihitung dari laba tahun yang berjalan dibandingkan dengan total aset. Sedangkan BOPO Total beban operasional dibagi Total pendapatan operasional.

ROA sebesar 0,9% (tahun 2000) membaik sampai mencapai 3,5% (tahun 2004), kemudian menurun menjadi 2,56% (tahun 2005), serta menjadi 2,64% (2006), dan 2,78% (2007). Sedangkan BOPO sedikit menurun pada tahun 2006 dan 2007, setelah sebelumnya sempat meningkat pada tahun 2005. Tentang perkembangan ROA dan BOPO ini akan dibahas lebih detil pada bab 7.
Sementara itu, rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan juga relatif stabil selama beberapa tahun ini. Setelah peningkatan yang sangat tinggi pada tahun 2001, dan cukup tinggi pada tahun 2002, sedikit menurun pada tahun 2003, maka pada tahun-tahun berikutnya relatif stabil pada angka yang cukup aman. CAR per Nopember 2007 adalah 20,3%. Selain tergolong cukup tinggi, sebagian besarnya merupakan modal inti (Tier 1). Dengan demikian, dari segi permodalan, perbankan Indonesia tampak cukup solvable menghadapi risiko. Kondisi semacam ini, secara teoritis, sebenarnya mendukung untuk melakukan ekspansi kredit lebih besar.

Uraian dan data yang lebih lengkap mengenai perkembangan statistik perbankan diberikan pada bab 7 dan bab 8. Pada kedua bab itu, interpretasi beserta hal-hal yang berada ”dibalik angka” juga akan mencermati. Diantaranya adalah mengenai soal profitabilitas, efisiensi dan soal penyaluran kredit. Kita pun perlu membahas contoh yang bersifat mikro, mengenai kondisi kelompok bank atau bank secara individual.

F. Tentang Buku ini
Uraian buku sebagian besarnya bersifat deskriptif, menjelaskan agar detil permasalahan bisa lebih difahami, khususnya bagi pembaca yang belum akrab dengan seluk beluk perbankan. Deskripsi diberikan berkenaan dengan hal-hal yang bersifat ketentuan atau peraturan. Sumber data dan definisi yang utama adalah Undang-Undang yang berlaku, serta berbagai dokumen dan publikasi Bank Indonesia. Jika tidak disebut lain, maka berbagai definisi, ketentuan dan data dalam buku ini bersumber dari BI. Dengan demikian, sebagian uraian bersifat sangat teknis, karena memang dimaksudkan demikian. Bagi pembaca yang lebih menginginkan pemahaman umum saja terhadap ketentuan perbankan yang berlaku, bagian semacam itu dapat dilewatkan.
Pembahasan mengenai istilah atau angka-angka statistik bersifat analitis, namun disertai penjelasan sederhana. Istilah perbankan tertentu dipaparkan sedemikian rupa agar lebih mudah dimengerti oleh pembaca yang belum cukup akrab dengan istilah-istilah tersebut. Sedangkan angka-angka statistik di tampilkan secara lebih sederhana, namun dibahas secara agak mendalam dalam uraian verbal. Ada, memang, beberapa data statistik yang ditampilkan lebih kompleks, yang ditujukan bagi pembaca yang ingin lebih mendalam pengetahuannya. Bagian statistik yang semacam ini bisa dilewatkan saja bagi para pembaca yang lebih membutuhkan pemahaman umum.

Di setiap bab sebenarnya sudah diberikan pembahasan yang bersifat kritis, dengan porsi berbeda sesuai topiknya. Akan tetapi, tinjauan kritis yang menyeluruh atas perbankan Indonesia saat ini diberikan pada Bab VIII. Sebagiannya mengulangi dan memperdalam hal-hal yang sudah dibicarakan pada masing-masing bab. Tinjauan kritis dimaksud bisa berupa pencermatan hal-hal dibalik angka statistik dan membaca kombinasi angka. Dapat pula terhadap arah kebijakan, dengan argumentasi angka maupun penalaran teoritis atas kondisi-kondisi yang berpeluang besar untuk terjadi.

Pengertian kritis pada bab VIII diperluas lagi dengan mengemukakan pandangan lain yang terutama berbeda dari pemerintah dan otoritas moneter. Ada baiknya kita melihat argumen-argumen lain, termasuk yang berbeda secara radikal, dalam memandang permasalahan perbankan dewasa ini. Dengan demikian, kebijakan perbankan di masa akan datang mestinya mempertimbangkan banyak hal, tidak semata-mata dari perspektif perbankan. Apalagi jika hanya demi kepentingan sekelompok orang dalam ”bisnis bank”.
Buku ini pada dasarnya ditujukan kepada para pengambil kebijakan ekonomi Indonesia, terutama yang terkait dengan perbankan. Secara lebih umum, sebagai masukan dalam proses pengambilan kebijakan tersebut. Ini berarti mencakup siapa saja yang memiliki kepedulian. Setiap warga negara Indonesia memiliki hak untuk ikut menentukan arah pengelolaan negara ini. Apalagi bagi mereka yang bisa secara langsung mempengaruhi secara berarti, di lingukungan eksekutif maupun legislatif, di pusat dan di daerah. Masalah perbankan tidak bisa diserahkan begitu saja sepenuhnya kepada jajaran pengambil keputusan di Bank Indonesia. Setidaknya, ada proses kontrol yang baik disertai transparansi setiap argumentasi dasar atas kebijakan pokok yang diambil BI.

Buku ini memiliki pesan sederhana, pengelolaan perbankan seharusnya dikelola bukan demi keuntungan para rentenir (rent seeker), yang telah terlampau banyak mendapat subsidi. Melainkan dikelola untuk kepentingan bangsa Indonesia, yang berarti diarahkan bagi peningkatan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Utang Pemerintah Mencekik Rakyat

Utang Pemerintah Mencekik Rakyat
(Bab I buku saya dan Nasyith Majidi)

Judul buku : Utang Pemerintah Mencekik Rakyat
Penulis : Awalil Rizky dan Nasyith Majidi
Penerbit : E Publishing, Jakarta, 2008


Pemerintah Indonesia membayar utang pokok sebesar Rp 118 triliun, dan bunga utangnya sebesar Rp 79,5 triliun pada tahun 2007. Sementara itu, utang pemerintah Indonesia yang masih belum dibayar per 31 Desember 2007 adalah sekitar Rp 1.400 triliun atau setara USD 148,25 miliar. Sekitar 40 persennya tergolong utang luar negeri, dan 60 persen lainnya biasa disebut utang dalam negeri.

Apakah total pembayaran beban utang senilai Rp 197,5 triliun itu tergolong besar? Terlampau beratkah bagi APBN? Apakah kemudian berdampak buruk bagi perekonomian nasional secara keseluruhan? Apakah posisi (stok) utang pemerintah akan berkurang atau justeru sebaliknya? Jika cenderung bertambah, apa memang direncanakan untuk tidak pernah ”diselesaikan”?
Sebagian pihak akan langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan nada yang amat kritis. Jawabannya kurang lebih sebagai berikut : pembayaran beban utang pemerintah sudah terlampau besar dan memberatkan APBN; kondisi itu telah amat mempersempit ruang fiskal, sehingga ”peran langsung” pemerintah untuk menggairahkan perekonomian menjadi semakin kecil; pemerintah menjadi semakin tidak mampu memberi pelayanan umum yang memadai bagi rakyat kebanyakan; sementara itu, stok utang pemerintah hampir mustahil berkurang dengan kebijakan pengelolaan utang yang dijalankan saat ini.

Pemerintah sendiri memang memiliki jawaban atau penjelasan yang jelas berbeda dari pandangan pihak yang kritis itu. Pemerintah antara lain mengemukakan soal arti pentingnya pembayaran beban utang bagi kredibilitas pengelola keuangan negara (yang dalam hal ini dianggap mencerminkan perekonomian nasional) di mata dunia, atau lebih tepat disebut para pelaku pasar internasional. Beban itu diakui memang berat oleh pemerintah, namun masih bisa dikelola secara berhati-hati, dengan kesinambungan fiskal sebagai konsep kuncinya. Salah satu penalarannya, peningkatan beban utang akan diimbangi oleh naiknya pendapatan pemerintah, yang diharapkan lebih cepat. Jika bisa direalisasikan, nominal pembayaran beban utang memang naik, namun porsinya terhadap penerimaan pemerintah akan menurun. Argumen serupa (namun sedikit lebih teoritis) diberikan dalam kaitan antara stok utang pemerintah dengan pendapatan nasional. Dalam bahasa awam, pengeluaran yang meningkat tidak akan menjadi masalah jika pendapatan meningkat lebih cepat (dilihat dari sisi pemerintah saja maupun perekonomian nasional secara keseluruhan).

Ada berbagai penjelasan lain dari pihak pemerintah untuk menguatkan pandangan bahwa utangnya belum menjadi masalah besar saat ini dan di masa datang. Sebagian besar argumen sebenarnya bersifat ”tidak langsung” dan penuh dengan asumsi. Selain yang telah disinggung di atas, kerap dikemukan bahwa pemerintah (negara) justeru akan menjadi lebih efektif jika memainkan peran tidak langsung dalam perekonomian. Seolah akan ada blessing in disguise dari kesulitan anggaran pemerintah, yang bahkan akan membuat perekonomian menjadi lebih efisien dan tumbuh lebih cepat. Pemerintah di masa lalu, dengan pengeluaran yang besar serta terlampau jauh berperan dalam dinamika ekonomi, dinilai telah mendistorsi perekonomian.
Penjelasan pemerintah sering mendapat pembenaran para ekonom mainstreams, karena memang dibuat oleh sebagian dari mereka yang bekerja untuk pemerintah. Para ekonom dari beberapa universitas ternama (melalui lembaga studi atau penelitiannya) hanya memberi ”masukan” kepada pemerintah untuk mengatur arus beban itu agar optimal. Maksudnya agar beban itu merata dan meningkat secara terukur dari tahun ke tahun, dan dengan biaya seminimal yang dimungkinkan. Salah satu istilah teknisnya yang keren adalah optimal borrowing, yang biasanya disertai rekomendasi reprofiling utang pemerintah untuk memoderasi beban.
Masyarakat awam nampaknya akan lebih mudah memahami argumen dari pihak yang kritis terhadap soal ini. Oleh karenanya, utang pemerintah tidak bisa menjadi sekadar soal ekonomi, melainkan selalu menjadi tema politik yang utama. Isyu utang pemerintah dan bebannya bisa dikatakan bersifat laten, kerap muncul berdampingan dengan sebagian besar masalah besar di negara ini. Sebagai contoh, tatkala harga BBM akan dinaikkan, sebagian pihak langsung ”teringat” dengan soal utang. Demikian pula dengan pembicaraan mengenai anggaran untuk Program Kemiskinan, yang bahkan kurang banyak diketahui jika sebagian cukup besarnya dibiayai oleh utang luar negeri.


A. Berbagai Perspektif Atas Utang Pemerintah
Dalam percakapan sehari-hari kerap terdengar ungkapan bahwa berutang itu soal biasa, yang kemudian menjadi masalah adalah bagaimana membayarnya. Hal serupa seolah berlaku bagi pemerintah suatu negara yang berutang, dimana masalahnya akan lebih terasa dan menjadi perhatian semua pihak, ketika kewajiban membayar bebannya muncul pada pos anggaran. Permasalahan menjadi semakin serius, ketika pembayaran cicilan (pelunasan pokok) utang dan biaya bunganya mencapai tingkat yang melampaui surplus anggaran negara bersangkutan. Secara logika sederhana, beban utang seharusnya dibayar dari surplus anggaran, yaitu kelebihan penerimaan setelah dipergunakan untuk belanja terlebih dahulu.
Jika yang terjadi, belanja lebih besar daripada penerimaan, maka jumlah utang tidak akan pernah bisa berkurang. Stok utang tidak mungkin dapat dilunasi dalam artian menjadi nihil nilainya. Yang bisa dilakukan adalah gali lubang tutup lubang. Negara pengutang membayar utang kepada satu pihak kreditur dengan utang baru dari pihak lainnya. Seringkali pula, mereka membayar utang kepada kreditur yang sama dengan utang baru lagi, dengan persyaratan baru pula. Fenomena semacam inilah yang secara umum terjadi pada keuangan pemerintah Indonesia dalam beberapa dekade terakhir.

Kondisi utang pemerintah bahkan direncanakan kurang lebih tetap demikian di masa mendatang. Konsep resminya disebut sebagai kesinambungan fiskal, yang berarti transaksi utang hanya perlu dijaga agar pemerintah Indonesia masih bisa membayar pengeluarannya, sekalipun minimalis. Kadang diutarakan keinginan untuk sedikit menurunkan posisi utang (terutama utang luar negeri) atau setidaknya menahan lajunya agar stagnan. Komitmen semacam itu pada kenyataannya hanya berhasil untuk satu atau dua tahun tertentu, kemudian terjadi peningkatan kembali yang cukup signifikan.
Secara teoritis, kita dapat membandingkan pengelolaan utang pemerintah dengan manajemen utang sebuah perusahaan bisnis. Dalam kasus utang perusahaan, jumlah dan beban utang yang membesar memang dapat dibenarkan jika didukung oleh perhitungan ekonomis dari variabel-variabel lainnya. Diantaranya adalah: laba yang meningkat, aset yang tumbuh, likuiditas yang optimal, kualitas aktiva produktif yang baik, dan sebagainya. Bahkan, portofolio utang sering diperlukan dalam bisnis yang tumbuh sehat, karena pertimbangan non teknis seperti kredibilitas perusahaan. Sebagai contoh, perusahaan yang telah go public dan kerap menerbitkan surat utang (obligasi) namun mampu memenuhi kewajibannya dengan baik, maka akan memiliki keuntungan ganda. Baik dari sisi kemudahan sumber pendanaan pengembangan bisnis, maupun kepercayaan dari pihak lain (seperti suplier dan customer).

Tampaknya, pemerintah dan kebanyakan ekonom memandang soal utang pemerintah dengan perspektif yang menempatkan negara serupa pelaku bisnis. Utang pemerintah memang dilihat dalam konteks keseluruhan perekonomian negara, namun dengan cara pandang yang banyak dipengaruhi oleh ilmu manajemen keuangan saja. Stok dan beban utang diperbandingkan dengan variabel-variabel seperti : tingkat Produk Domestik Bruto dan laju pertumbuhannya, kondisi neraca pembayaran internasional dan cadangan devisa, perkembangan penerimaan dan pengeluaran pemerintah, dan sebagainya.
Kadang ada penjelasan yang menambahkan variabel lain seperti: tingkat pengangguran, inflasi, dan kondisi rakyat berpendapatan rendah atau miskin. Pandangannya mengarah kepada masih perlunya pemerintah berutang. Agar masih bisa berutang, maka utang lama perlu dikelola (harus dibayar) sesuai kesepakatannya. Jika tidak dilakukan secara demikian, maka semua variabel tadi dikatakan akan menjadi lebih buruk lagi.

Tentu saja, cara pandang semacam itu ditentang oleh pihak yang amat kritis yang menyarankan “penyelesaian” yang lebih radikal atas utang yang masih ada (outstanding). Sebagian pihak lain yang bersikap lebih moderat, namun juga tidak sepakat dengan cara pengelolaan utang oleh pemerintah, menganjurkan upaya negosiasi yang lebih serius terhadap para kreditur.
Secara umum, dari sudut pandang teori ekonomi, utang pemerintah memang tidak berarti baik atau buruk. Teori ekonomi, sebagaimana biasanya, hanya menjelaskan secara positivistik mengenai utang pemerintah. Sebagai contoh, dalam tinjauan yang bersifat makro, dibahas dampak utang pemerintah terhadap alokasi sumber daya perekonomian nasional. Sedangkan ulasan mikroekonomi biasa berfokus kepada kemampuan keuangan pemerintah dalam menangani beban utang.

Pada kenyataannya, utang pemerintah tidak hanya merupakan soal ekonomi (apalagi soal keuangan saja), melainkan berdimensi sosial politik yang kental. Dimensi politik ini menjadi semakin penting pada negara-negara dengan utang yang sebagian besarnya bersumber dari luar negeri. Pertimbangan akan persyaratan berutang dan pengelolaannya sering menyentuh aspek psikologis dan ideologis.
Terlepas dari luasnya dimensi permasalahan, maka persoalan sudah dimulai sejak diambil keputusan untuk berutang secara perhitungan ekonomi. Pertimbangan rasional ekonomi apa yang menjadi alasan berutang, serta perhitungan teknis yang bagaimana untuk menentukan besaran masing-masing jenis utang yang diambil. Misalnya, apakah untuk meningkatkan pendapatan di masa datang, yang berarti bersifat produktif. Ataukah untuk memenuhi kebutuhan darurat yang tidak bisa ditunda demi kelangsungan hidup negara atau sebagian rakyatnya. Apa saja yang menjadi alasan pemilihan beberapa karakteritik utang tertentu, seperti: soal jenis mata uang, pihak pemberi utang, lamanya pelunasan, tingkat bunga, dan lain sebagainya.
Persoalan berikutnya adalah menyangkut bagaimana dana utang tersebut dikelola. Setelah dana diperoleh, apakah penggunaan dan cara pengelolaannya sesuai dengan yang direncanakan dalam berbagai pertimbangan terdahulu. Masalah konsistensi dan kedisiplinan menurut perencanaan ini menjadi penting karena pencairan dana biasanya berlangsung beberapa tahap dan dengan senjang waktu yang cukup lama. Urgensi lain adalah untuk evaluasi keseluruhan proses utang itu sendiri, termasuk perencanaannya.

Dengan demikian, soal utang pemerintah harus diperiksa sejak dari perencanaan sampai dengan pengelolaannya. Bisa saja, keputusannya sudah salah sejak awal karena pertimbangan yang keliru dalam perhitungan ekonomi dari perencanaan utang. Yang kemudian paling banyak dicurigai adalah pengelolaan utang secara buruk, meskipun perencanaannya dapat diterima. Perencanaan utang pemerintah itu sendiri sedikitnya telah memuat alasan untuk berutang dan perhitungan kemampuan membayarnya.

B. Alasan Utang Pemerintah
Pemerintah di negara mana pun dewasa ini melakukan transaksi meminjam dana atau berutang. Penyebab utamanya adalah pengeluaran pemerintah yang cenderung terus meningkat. Peningkatan pengeluaran tidak selalu bisa diimbangi oleh penerimaan, sehingga defisit anggaran menjadi sesuatu yang lazim terjadi. Ada beberapa pilihan kebijakan untuk mengatasi defisit anggaran, seperti: mencetak uang, menjual aset kepada pihak swasta (privatisasi) dan berutang. Dengan demikian, pembiayaan defisit melalui utang merupakan salah satu pilihan wajar. Kondisi itu dialami oleh sebagian negara industri maju, serta oleh hampir seluruh negara miskin dan negara berkembang. Tentu saja ada perbedaan jumlah nominal, maupun porsi utang terhadap anggaran keseluruhan (ataupun pendapatan nasional) antar masing-masing negara.

Hampir semua negara memiliki utang yang dananya berasal dari luar dan dalam negeri. Artinya, ada kreditur asing dan kreditur domestik dilihat dari sisi negara pengutang (debitur). Porsinya berbeda antar negara. Utang pemerintah negara industri maju pada umumnya bersumber dari dalam negerinya sendiri. Pemerintah negara-negara miskin lebih mengandalkan sumber luar negeri. Sedangkan negara-negara sedang berkembang memiliki kombinasi keduanya.
Secara historis, kebanyakan utang pemerintah negara-negara miskin dan berkembang pada awalnya berasal dari luar negeri. Utang luar negeri pemerintah itu kemudian biasa diikuti oleh utang pelaku ekonomi non pemerintah atau pihak swastanya. Sedangkan dari sisi kreditur, yang sering memulai pemberian utang dalam jumlah besar adalah pemerintah negara industri maju dan lembaga keuangan internasional non komersial. Pihak kreditur swasta (meskipun telah secara lebih dini terlibat) cenderung memberi utang dalam skala yang mengikuti arah kedua jenis kreditur tadi.

Ada banyak alasan bagi transaksi utang dilihat dari sisi kedua pihak, yang berutang dan yang memberi utang. Secara logika sederhana, syarat yang harus terpenuhi bagi transaksi utang adalah ada pihak debitur yang membutuhkan dana dan pihak kreditur yang memiliki dana. Dari sisi debitur, penyebab utama kebutuhan itu adalah pengeluaran pemerintah yang cenderung meningkat dan kerap melebihi penerimaannya. Dari sisi kreditur, ada dana yang tersedia, dan sebagian besarnya memang dimaksudkan untuk dipinjamkan. Terlepas adanya opini mengenai tujuan filantropis, pelepasan dana itu jelas memiliki perhitungan ekonomi tersendiri (seperti optimalisasi profit).
Dalam wacana teori ekonomi sering dikemukakan lebih jauh alasan mengapa transaksi itu bisa dan perlu terjadi. Analisis dilakukan terhadap soal pengeluaran pemerintah yang cenderung meningkat di berbagai negara, sehingga difahami polanya. Sebagai contoh, ditemukan fakta bahwa pengeluaran pemerintah akan meningkat secara dramatis pada saat perang. Fokus analisis lain adalah terhadap asal usul dana dan lembaga kreditur. Sebagai contoh, ditemukan bahwa dana berlimpah dari lembaga keuangan internasional (komersial dan non komersial) pada pertengahan 1970-an sampai 80-an adalah dari hasil industri minyak, yang sering disebut petrodollar.

Salah satu yang mendapat perhatian khusus dalam teori ekonomi adalah keberadaan Utang luar negeri (ULN) negara-negara miskin dan negara-negara sedang berkembang (NSB). Sebagai catatan, hampir seluruh ULN dari NSB pada tahap awalnya (umumnya sekitar satu dekade) adalah utang pemerintah. Penjelasan teoritis yang tersedia menekankan pada faktor internal negara-negara debitur, mengenai alasan (pertimbangan) ekonomi perlunya ULN. Diantara yang paling sering dikemukakan adalah: adanya kendala keterbatasan Devisa, untuk meningkatkan persediaan tabungan domestik, dan kebutuhan akan bantuan teknis.
Penjelasan untuk alasan pertama dan kedua sebenarnya berhubungan sangat erat. Pada umumnya, pembahasan dimulai dengan anggapan bahwa negara yang berutang dianggap memiliki kesenjangan dalam dua variabel pokok perekonomiannya. Pertama, adanya kesenjangan antara persediaan dengan kebutuhan tabungan, yang disebut kesenjangan tabungan (savings gap). Kedua, adanya kesenjangan antara ketersediaan dengan kebutuhan akan devisa, yang disebut kesenjangan devisa (foreign-exchange gap). Kedua kesenjangan itu memerlukan tambahan sumber keuangan dari luar negeri, baik yang berupa bantuan maupun utang. Tentu saja, sumber yang tersedia paling banyak adalah berupa utang.

Sedangkan penjelasan mengenai alasan kedua, yaitu meningkatkan persediaan tabungan domestik, diberi penekanan pada sisi yang berbeda. Tekanan diberikan terkait dengan teori pertumbuhan ekonomi, yang memerlukan persediaan tabungan dalam jumlah tertentu yang terus bertambah dari waktu ke waktu. ULN dianggap dapat secara seketika meningkatkan persediaan tabungan domestik, sebagai hasil dari meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi. Jika alasan pertama di atas adalah pada sisi mencukupi, maka alasan kedua ini menekankan akibat berikutnya (yang segera terjadi) dari tertutupinya kesenjangan tersebut. Penalarannya, terjadi pertumbuhan ekonomi yang meningkatkan kemampuan menabung di dalam negeri. Pada akhirnya nanti, diharapkan kebutuhan terhadap bantuan dan utang luar negeri akan menurun dengan sendirinya, setelah sumber-sumber domestik semakin memadai.

Selanjutnya, ada pula penjelasan alasan tentang bantuan teknis yang biasa menyertai ULN. Alasannya dikaitkan dengan soal alih teknologi, termasuk manajemen moderen, yang diharapkan berlangsung antara pemberi utang dengan penerima utang. Para kreditur, baik negara maju maupun pihak swasta internasional, diasumsikan memiliki kemampuan teknologi yang diperlukan oleh pengutang. Sebagian alih teknologi juga dipersyaratkan dalam transaksi, antara lain untuk menjamin kemungkinan pembayaran utang di masa datang, melalui peningkatan kapasitas produksi negara debitur. Ada pandangan optimistik dalam wacana ini, yang melihat kebutuhan kedua belah pihak (kreditur dan debitur) agar terjadi alih teknologi.
Ketiga alasan tadi adalah mengenai perlunya negara miskin dan NSB berutang kepada pihak luar negeri. Masih diperlukan penjelasan mengenai berapa jumlah utang yang sebenarnya diperlukan oleh suatu negara. Teori ekonomi, khususnya ekonomi pembangunan, tertarik untuk menganalisa tentang jumlah utang luar negeri yang optimal.

Secara teoritis, jumlah utang itu harus ditentukan berdasarkan daya serap dari negara penerima pinjaman. Dalam praktiknya, pihak donor dan kreditur sendiri yang menentukan berapa jumlah serta dalam bentuk apa saja diberikan. Alasan filantropis mungkin hanya berlaku bagi sumbangan (hibah) atau sebagian utang dari negara dan lembaga internasional. Pada akhirnya, alasan terbesar tetap bersifat komersial. Mayoritas kreditur pasti menginginkan keuntungan dari transaksi utang piutangnya. Sebagai transaksi bisnis, berbagai jenis risiko selalu dihadapi. Sebagai contoh, perhitungan mengenai daya serap negara debitur kadang meleset, sehingga utang yang diberikan terlampau banyak.

Dalam kasus utang luar negeri Indonesia, hampir semua alasan teoritis yang disebut tadi dipakai sebagai pembenaran oleh pemerintah dan para ekonom. Mulai dari soal kendala keterbatasan devisa, peningkatan persediaan tabungan domestik, kebutuhan akan bantuan teknis, sampai kepada seberapa besar ULN yang diperlukan dan sektor apa saja yang diprioritaskan.
Seperti kebanyakan negara berkembang lain, pada tahap awal penarikan ULN, pemerintah menjadi pelaku utama. Pemerintah secara aktif melakukan perundingan dengan para kreditur, dan mengelola ULN tersebut secara langsung. Bersamaan dengan ULN itu memang ada pula sedikit bantuan yang bersifat hibah. Sejumlah ULN diklaim bersifat bantuan atau setengah bantuan, karena persyaratan pembayarannya dianggap ringan atau berbiaya murah. Pada tahap selanjutnya, pihak swasta dalam negeri turut menjadi pelaku penting dalam transaksi ULN. Uraian tentang argumen perlunya ULN, sekaligus dengan kontra argumen dari pihak yang tidak menyetujuinya akan dibahas lebih lanjut pada bab 2. Mengenai sejarah ULN dan utang pemerintah Indonesia akan dibahas lebih mendalam pada bab 3.

Sebagaimana telah disinggung, semua negara dewasa ini memiliki utang luar negeri. Hanya besaran dan komposisinya yang berbeda-beda. Di negara-negara berkembang, ULN pemerintah cenderung lebih banyak. Diantara utang swastanya terdapat pula ULN yang dijamin oleh pemerintah (publicly guaranted), sehingga dalam analisa, kadang diperlakukan sama dengan utang pemerintah. Dengan berkembangnya pasar keuangan (pasar uang dan pasar modal) suatu negara, biasanya pemerintah memanfaatkan pula utang yang bersumber dari dalam negeri.
Alasan utama adanya Utang dalam negeri (UDN) adalah pada kebutuhan untuk membiayai defisit anggaran. Defisit anggaran terjadi karena penerimaan pemerintah lebih kecil daripada pengeluarannya. Padahal, fungsi-fungsi pemerintahan harus dijalankan, yang memerlukan biaya. Selain itu, pemerintah kerap diharapkan memiliki peran langsung dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Peran ini bisa dilakukan melalui pengeluaran pemerintah seperti belanja modal atau investasi. Akhirnya, UDN dianggap memiliki alasan ekonomi yang wajar.
UDN pemerintah antara lain terdiri dari: penarikan utang langsung, biasanya dari lembaga keuangan domestik; serta yang diperoleh dari penerbitan obligasi atau surat utang. Pada saat ini, hampir seluruh UDN pemerintah Indonesia berupa Surat Utang Negara (SUN).
Posisi mutakhir dari UDN (SUN) pemerintah Indonesia justeru telah melebihi porsi ULNnya (sekitar 60 berbanding 40). Namun, ketika dikritisi lebih jauh definisi ULN dan UDN untuk kasus utang pemerintah Indonesia (pada bab 4), maka tetap saja sumber dana dari luar negeri yang lebih banyak.

Serupa dengan ULN, posisi UDN pemerintah Indonesia dapat diketahui per tanggal tertentu. Sedangkan angka-angka arus utang, penarikan dan pembayarannya, tercatat dalam realisasi anggaran pemerintah. Pemerintah Indonesia mencatat rencana transaksi utangnya dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sedangkan realisasinya antara lain terlihat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), yang dahulu berupa Pelaksanaan Anggaran Negara (PAN). Sesuai dengan undang-undang, saat ini pemerintah juga melaporkan posisi utangnya secara rutin, terutama dalam situs direktorat pengelolaan utang Departemen Keuangan RI.

Sebenarnya, sebagian arus uang terkait UDN pemerintah Indonesia tercatat pula dalam neraca pembayaran luar negeri. Ada sebagian dari SUN yang dinyatakan dalam nilai nominal mata uang (denominasi) rupiah, namun dimiliki oleh yang bukan penduduk (off shores). Pembelian SUN tersebut mengakibatkan arus masuk dalam neraca pembayaran internasional, yang tercatat dalam neraca modal. Selain itu, pemerintah juga menerbitkan SUN dengan denominasi dolar Amerika. Ketika diterbitkan, hampir seluruh SUN jenis ini dibeli oleh pihak yang bukan penduduk. Dalam perkembangannya, karena dapat diperdagangkan, sewaktu-waktu memang bisa dimiliki oleh penduduk Indonesia. SUN dengan denominasi US dolar kadang diperlakukan sebagai ULN dalam pencatatannya. Hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam bab 4.

C. Posisi Utang Luar Negeri Indonesia
Salah satu bentuk transaksi modal dalam hubungan ekonomi internasional dewasa ini yang nilainya amat besar adalah utang piutang internasional. Dalam transaksi itu, penduduk suatu negara mendapat utang atau pinjaman dari yang bukan penduduk. Penduduk yang berutang (debitur) di sini meliputi pemerintah dan swasta. Sedangkan pihak bukan penduduk yang meminjami (kreditur) pun beragam, seperti: pemerintah negara lain, perusahaan swasta negara lain, lembaga internasional (yang dianggap non komersial), dan lembaga keuangan komersial (bank maupun nonbank).

Transaksi utang piutang internasional suatu negara dicatat dalam neraca pembayaran internasionalnya, baik peminjaman maupun pembayarannya. Pencatatan bersifat arus (flow), besaran (nominal) dalam rentang waktu tertentu. Dapat diketahui dari neraca pembayaran, aliran modal berkenaan dengan Utang Luar Negeri (ULN) selama kurun waktu tertentu, seperti: satu triwulan, satu semester, dan satu tahun. Dari sisi utang, ada pembayaran cicilan dan penarikan utang baru. Dari sisi piutang, ada penerimaan cicilan utang, dan ada pemberian piutang baru.
Akumulasi transaksi utang piutang luar negeri, dari waktu ke waktu, membentuk posisi ULN suatu negara. Pada suatu waktu, misalnya tanggal 31 Desember 2007, dapat diketahui posisi utang dan posisi piutang negara tersebut. Dengan demikian, datanya bersifat persediaan atau stok (stock).

Dalam kasus negara seperti Indonesia, yang biasa menjadi fokus analisa adalah posisi ULN (external debt outstanding). Sekali lagi untuk diperhatikan, posisi ULN Indonesia adalah hasil bersih atau akumulasi dari arus ULN selama bertahun-tahun. Uraian berikut menggambarkan lebih lanjut maknanya dengan contoh angka-angka yang memang terjadi dalam kasus Indonesia.
Sejak tahun 1970 sampai era awal 90-an, Indonesia mulai menerima arus ULN yang cenderung makin meningkat tiap tahun. Laju peningkatannya kemudian menurun, nominalnya masih bertambah, tetapi dengan prosentase pertumbuhan yang lebih kecil dari tahun sebelumnya. Memang pernah juga terjadi dalam satu-dua tahun, pertumbuhan itu bersifat negatif, arus ULN yang diterima pada tahun yang bersangkutan lebih rendah daripada tahun sebelumnya.
Di lain sisi, sejak akhir 70-an, arus pembayaran ULN berupa cicilan pokok dan bunga cenderung terus meningkat sampai dengan saat ini. Penyebabnya adalah utang-utang terdahulu sudah harus mulai dibayar. Selama periode tahun 1970-2006, diperkirakan ULN yang telah ditarik sudah lebih dari USD 200 milyar. Pelunasan utang pokok, tidak termasuk pembayaran bunganya, telah mencapai USD 75 milyar. Perlu diketahui bahwa penggunaan mata uang dolar Amerika Serikat (USD) hanya suatu kebiasaan pencatatan. Sedangkan transaksi sejatinya menggunakan juga berbagai mata uang asing yang lain, sehingga memerlukan perhitungan konversinya bagi keperluan pencatatan.

Posisi ULN Indonesia pada awal tahun 1970 adalah sebesar USD 2,52 milyar, termasuk ULN Orde Lama sebesar USD 2,1 milyar yang telah dijadwal ulang melalui Paris Club tahun 1970, namun tidak memasukkan utang warisan pemerintah kolonial Belanda. Posisi ULN tersebut meningkat menjadi sebesar USD 20,9 milyar pada akhir tahun 1980 dan mencapai posisi tertinggi, USD 150,89 milyar pada akhir tahun 1999. Dalam kurun waktu tersebut ULN pemerintah meningkat dari USD 2,52 milyar pada awal tahun 1970, sebesar USD 6,6 milyar pada akhir tahun 1980, dan menjadi USD 75,87 milyar dollar pada akhir tahun 1999. Sedangkan ULN swasta, yang hampir tidak ada pada tahun 1970, menjadi USD 14,3 milyar dollar pada akhir tahun 1980, kemudian mencapai posisi tertinggi, USD 83,56 milyar dollar pada akhir tahun 1998.

Posisi ULN Indonesia, pemerintah dan swasta, pada 31 Maret 2008 adalah sebesar USD 145,47 miliar. Komposisinya adalah sebagai berikut: posisi ULN pemerintah USD 87,50 milyar; posisi ULN swasta USD 57,97 milyar (lihat tabel 1.1). Dalam ULN pemerintah itu sudah termasuk SUN dengan denominasi dolar. Perlu diketahui bahwa ULN Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dikategorikan sebagai swasta dalam tabel itu, mengikuti kebiasaan BI serta menurut perundang-undangan yang berlaku saat ini. Posisi ULN BUMN bukan bank per 31 Maret 2008 adalah USD 3,35 miliar, dan posisi ULN Bank Persero adalah USD 1,95 miliar.
Tabel 1.1 bisa dikatakan menggambarkan profil atau struktur ULN Indonesia dalam hal pemilik utang, yang membedakan antara ULN pemerintah dengan swasta. Terlihat bahwa porsi utang pemerintah adalah sekitar 60,15% dari total ULN. Porsi tersebut akan membesar (63,79%) jika kita memasukkan ULN BUMN, baik bank maupun non bank. Namun, pengertian sektor pemerintah dalam tabel tersebut adalah dalam arti pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Profil ULN juga dapat dilihat dari jangka waktu pelunasannya. Jangka pendek diartikan sebagai ULN yang masa pelunasannya sampai dengan satu tahun; sedangkan ULN jangka menengah dan panjang adalah yang masa pelunasannya lebih dari satu tahun. Berdasarkan jangka waktunya, posisi ULN jangka pendek relatif masih rendah, sebagian besar ULN Indonesia berjangka menengah dan panjang.

Posisi ULN jangka pendek hanya sekitar 6 % dari total ULN. Sebagian besar dari ULN jangka pendek tersebut merupakan ULN swasta. ULN jangka pendek swasta terbesar justeru dimiliki oleh swasta yang bukan lembaga keuangan, atau perusahaan di sektor riil. Hal itu memang terkait dengan kebutuhannya (seperti kredit supplier). Utang jangka pendek umumnya memiliki suku bunga tidak tetap dan bersifat komersial.

D. Profil Utang Pemerintah Indonesia
Kita sudah menyinggung bahwa utang luar negeri (ULN) Indonesia terdiri dari ULN pemerintah dan ULN swasta. Selain ULN, Pemerintah masih memiliki utang dalam negeri (UDN). Untuk lebih mengenali profil utang Pemerintah, kita perlu membedakan dahulu hirarki dari sektor pemerintah di Indonesia dalam konteks permasalahan utang. Hal ini perlu dilakukan karena dalam penggunaan sehari-hari (bahkan berita media) sering terjadi ketidakjelasan mengenai arti kata pemerintah.
Menurut Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Republik Indonesia (2007), sektor pemerintah (Public Sector) terdiri dari pemerintah umum (General Government) dan sektor pemerintah lainnya (Rest of the Public Sector). Pemerintah umum dibedakan antara pemerintah pusat (Central Government) dan pemerintah daerah (Local Government). Sektor pemerintah lainnya dibedakan antara yang merupakan sektor keuangan (Financial public sector) dengan yang bukan sektor keuangan (Non-financial public sector). Sedangkan yang sektor keuangan sendiri terdiri dari bank sentral dan sektor keuangan lainnya.

Kepentingan pembedaan ini berkenaan dengan data statistik yang tersedia untuk pengertian tertentu adalah lebih kontinu dan transparan. Di masa lalu, terdapat banyak data yang berbeda, dan sering tidal konsisten, meskipun dikeluarkan oleh instansi yang sama. Setidaknya dalam beberapa tahun terakhir ini, sesuai dengan amanat Undang-undang, data tersebut mulai lebih konsisten dan dapat dipertanggungjawabkan.
Salah satu data yang dimaksud adalah tentang utang pemerintah pusat (Central government debt). Yang tidak termasuk dalam data ini antara lain adalah utang yang dimiliki oleh bank Indonesia, pemerintah daerah, dan BUMN. Data-data utang pemerintah selain pemerintah pusat biasa disajikan tersendiri Selain ketersediaan data, pangsa utang pemerintah pusat adalah yang terbesar dari sektor publik, lebih dari 90 persen. Dampaknya terhadap APBN juga bersifat langsung, sehingga analisa terhadap data utang pemerintah pusat paling sering dilakukan, dan cukup representatif sebagai profil utang pemerintah keseluruhan.

Dalam beberapa tahun terakhir, ada lagi sedikit perubahan, dimana utang luar negeri pemerintah daerah memerlukan persetujuan yang lebih ketat dan bahkan dikendalikan oleh pemerintah pusat. Tentu saja berdampaknya pula pada pertanggungjawabannya. Berbagai publikasi data utang pemerintah pusat pun sering memasukkan ULN pemerintah daerah ke dalamnya, seperti yang disajikan dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2008. Dalam buku ini, jika tidak disebut lain yang dimaksud dengan utang pemerintah adalah pengertian semacam itu.
Posisi utang pemerintah per 29 Februari 2008 adalah sebesar USD 155,29 atau setara dengan sekitar 1.400 triliun rupiah (dikonversikan dengan kurs waktu itu). Utang tersebut berasal dari berbagai sumber, yang dapat juga diartikan dari berbagai pihak (kreditur). Ada yang dikelompokkan sebagai pinjaman luar negeri (41,43%), yang terdiri dari: Pinjaman Bilateral (21,90%), Pinjaman Multilateral (12,22%), Kredit ekspor (7,28%), Kredit komersial (0,03%) dan leasing (0,01%). Ada yang dikelompokkan sebagai pinjaman berbentuk Surat Berharga Negara (58,57%), yang terdiri dari Surat Utang Negara (SUN) berdenominasi valuta asing (sejauh ini baru dalam dolar Amerika) dan yang berdenominasi rupiah. Perinciannya dapat dilihat pada tabel 1.2 (di buku)
Namun perlu diketahui bahwa pengelompokkan utang pemerintah ini kadang tidak disajikan secara demikian, dimana SUN berdenominasi valuta asing dikategorikan sebagai pinjaman luar negeri. Begitu pula dengan kategori pinjaman bilateral, yang pada beberapa publikasi, sebagian jumlahnya masuk kategori pinjaman komersial bersama-sama dengan sebagian besar pinjaman berbentuk kredit ekspor dan leasing.

Profil utang pemerintah juga bisa dicermati atas dasar denominasi mata uangnya. Utang luar negeri dalam tabel 1.2 yang dinyatakan dalam dolar Amerika sebenarnya terdiri dari berbagai mata uang. Pemahaman akan profil ini diperlukan dalam memperhitungkan risiko nilai tukar bagi pembayaran cicilan dan bunga utang. Misalnya saja kita harus membayar beban utang dalam Yen Jepang, sementara devisa yang kita miliki kebetulan dolar Amerika, maka kurs Dolar Amerika dan Jepang akan mempengaruhi perhitungannya. Masalahnya menjadi lebih kompleks karena ada beberapa mata uang yang menjadi denominasi utang, namun demikian pula dengan perolehan devisa kita.

Penjelasan lebih lanjut tentang masing-masing jenis utang dalam tabel 1.2 dan profil terkait denominasi tersebut akan diberikan pada bab 4. Kita juga akan melihat beberapa perbedaan data utang pemerintah, karena adanya perbedaan definisi dalam beberapa hal. Akan dibahas pula perkembangan posisinya dalam beberapa tahun terakhir.

E. Beban Utang Pemerintah Indonesia
Masalah yang utama dari utang pemerintah saat ini dan di masa datang adalah beban pelunasan, berupa cicilan pokok beserta bunganya. Bunga seperti interest untuk pinjaman luar negeri dan kupon untuk Obligasi Negara, bukanlah satu-satunya biaya utang. Ada biaya-biaya lain yang terkait dengan pengadaan pinjaman luar negeri, diantaranya: commitment fee, management fee, dan biaya/premi asuransi. Sedangkan untuk UDN, dalam pengertian yang lebih spesifik, biaya utang yang sebenarnya bagi Pemerintah adalah imbal hasil (yield) SUN yang diperoleh investor. Dalam hal ini, imbal hasil SUN merupakan keuntungan bagi investor yang sudah memperhitungkan besarnya kupon dan harga pasar dari SUN. Pergerakan imbal hasil SUN berlawanan arah (berbanding terbalik) dengan harganya. Artinya, jika imbal hasil turun seiring dengan menurunnya ekspektasi inflasi dan suku bunga, maka harga pasar SUN akan naik, dan begitu juga sebaliknya.

Telah menjadi kebiasaan untuk memakai istilah beban utang setiap tahunnya dengan menjumlahkan antara pelunasan pokok dengan biaya utang. Untuk keperluan analisa, pengertian biaya utang memang disederhanakan sebagai bunga utang yang harus dibayar pada tahun itu. Bagi pemerintah pusat, beban utang langsung terlihat dalam APBN. Beban pembayaran bunga utang (ULN dan UDN) setiap tahunnya muncul sebagai pos pembayaran bunga utang dalam bagian belanja pemerintah pusat, sedangkan beban cicilan pokok masuk ke dalam bagian pembiayaan.

Angka cicilan pokok UDN “tersembunyi” dalam subpos pembiayaan melalui SUN neto. Dikatakan tersembunyi karena angka yang ditampilkan adalah hasil bersih penerbitan SUN baru dikurangi dengan pelunasan SUN. Kadang SUN yang dilunasi tidak hanya yang telah jatuh tempo, melainkan juga yang belum namun dibeli kembali oleh pemerintah (buyback). Dapat pula dilakukan penukaran secara langsung seri lama dengan seri SUN baru sesuai dengan yang ditawarkan (debtswitch).
Sementara itu, cicilan ULN tertera dalam denominasi rupiah, sesuai dengan kurs pada saat terjadi pembayaran. Angka kurs diasumsikan dalam APBN, dan dihitung secara sebenarnya dalam laporan realisasi (PAN dan LKPP).
Dalam APBN 2007, direncanakan total pembayaran utang pemerintah pusat adalah Rp 171,59 triliun. Terdiri dari: pelunasan pokok utang sebesar Rp 86,50 triliun (cicilan ULN Rp 54,83 triliun dan pelunasan UDN Rp 31,67 triliun) dan pembayaran bunga utang sebesar Rp 85,09 triliun (bunga ULN Rp 26,66 triliun dan bunga UDN Rp 58,42 triliun). Total pembayaran utang tersebut merupakan 23,73 % dari total Pendapatan negara yang direncanakan pada tahun tersebut. Namun, realisasinya (dari LKPP, masih bersifat sementara) tidak persis seperti itu. Pelunasan utang pokok menjadi lebih besar, namun pembayaran bunga justeru lebih kecil (lihat tabel 1.3). Ini bisa terjadi karena memang dimungkinkan oleh peraturan mengenai mekanisme keuangan negara, serta sebagian biaya bunga dibayar sesuai dengan tingkat yang sesungguhnya terjadi.

Salah satu yang paling “luwes” untuk berubah adalah rencana pelunasan pokok utang dalam negeri (SUN). APBN 2007 mencantumkan angka SUN neto sebesar Rp 40,61 triliun, artinya selisih dari yang diterbitkan (utang baru) dengan yang dilunasi. Teknisnya tidak bersifat terlalu mengikat (meskipun ada prosedur persetujuan DPR), karena biasanya SUN yang dilunasi lebih dari jumlah yang jatuh tempo tahun bersangkutan, diantaranya dengan membeli kembali (buyback) atau menukar (debtswitch) SUN tertentu. Yang ditekankan oleh APBN 2007 adalah adanya kebutuhan pembiayaan untuk menutup defisit melalui SUN sebesar neto itu. Dalam kenyataanya (termasuk adanya revisi APBN di tengah pelaksanaan tahun anggaran), pada tahun 2007 diterbitkan SUN senilai Rp 117,15 triliun dan yang dilunasi senilai Rp 60,06 triliun. Dengan demikian, SUN neto tahun 2007 adalah Rp 57,07 triliun (lebih besar dari yang direncanakan APBN).

Dalam APBN 2008, direncanakan total pembayaran utang pemerintah pusat adalah Rp198,14 triliun. Terdiri dari: pelunasan pokok utang sebesar Rp106,6 triliun (cicilan ULN Rp59,66 triliun dan pelunasan UDN Rp 47 triliun) dan pembayaran bunga utang sebesar Rp91,54 triliun (bunga ULN Rp28,74 triliun dan bunga UDN Rp62,80 triliun). Total pembayaran utang tersebut merupakan 26,02 % dari total Pendapatan negara yang direncanakan pada tahun tersebut. Namun, realisasinya masih akan kita tunggu.

Hanya saja, oleh karena RAPBN diajukan bulan Agustus, biasanya dengan data utang per bulan Juni, maka selama pembahasannya (sekitar tiga bulan) sering sudah ada perubahan. Selain itu, pihak DPR bisa saja menghendaki adanya perubahan, meskipun jarang bersifat mendasar untuk pos utang. Perubahan pun sangat mungkin terjadi di tengah pelaksanaan APBN, melalui mekanisme APBN Perubahan. Untuk tahun 2008, baru berjalan dua bulan, pemerintah sudah mengajukan RAPBN-P (ketika buku ini ditulis ditetapkan APBN-P). Khusus untuk pos utang, diajukan kenaikan yang cukup signifikan. Besar kemungkinan akan ada APBN-P II dalam tahun anggaran ini.
Sebenarnya untuk lebih mengendalikan beban utang di masa mendatang, Pemerintah dan DPR telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang KeuanganNegara. Pemerintah juga telah mengeluarkan PP Nomor 23 Tahun tentang “Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah”. Undang-undang dan PP tersebut diantaranya mengatur bahwa besarnya defisit dari General Governments maksimal 3 persen dari PDB dan besarnya rasio utang dari General Governments terhadap PDB maksimal 60 persen.

Target agar angka rasio utang dari General Governments terhadap PDB tidak melebihi dari 60%, tampaknya tidak sulit dicapai. Bahkan pada masa menjelang dan awal krisis saja, angka rasio ULN total (pemerintah dan swasta) terhadap PDB masih menunjukkan angka 48,5 % dan 60,3%. Wajar jika untuk tahun 2008 ini, pemerintah mematok angka 34% sebagai target rasio utang pemerintah atas PDB.
Sebagai catatan, kebanyakan ekonom menyarankan rasio yang aman untuk total ULN terhadap PDB adalah 25%. Berarti, jika hanya memperhitungkan ULN pemerintah, angkanya harus lebih kecil lagi. Ingat bahwa angka penyebutnya masih tetap PDB.
Untuk memahami kondisi beban utang yang berat saat ini, kita memang harus melihat perkembangan utang sejak pemerintahan Orde Baru. Pada masa itulah, Indonesia mulai memposisikan utang sebagai salah satu penopang utama pengelolaan ekonomi negara. Konsep yang dikatakan dipakai adalah kebijakan anggaran belanja berimbang. Prakteknya, pemerintah menempatkan utang luar negeri sebagai komponen penutup kekurangan.

Pada saat Indonesia mendapat rejeki berlimpah dari oil boom, ada peluang mengubah kondisi ini dalam kebijakan anggaran. Namun, utang luar negeri tetap saja menjadi komponen utama pemasukan di dalam angaran pemerintah. Tampaknya, para kreditur justeru makin antusias memberi pinjaman, melihat “kemampuan membayar” Indonesia dari hasil minyaknya. Dalam konteks ini, kemungkinan besar pandangan yang mengatakan bahwa ULN mengakibatkan tidak terjadinya pertumbuhan tabungan domestik yang berarti adalah benar. Sederhananya, dengan ULN yang berlimpah maka perekonomian Indonesia menjadi “manja”, dan tak berupaya keras untuk melakukan akumulasi kapital domestik bagi investasi.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa beban ULN saat ini sebagian besarnya adalah akibat keputusan pemerintahan Soeharto. Selama periode tahun 2001 – 2007 justeru pembayaran ULN lebih besar daripada penarikannya, meskipun masih belum terlampau besar, sehingga posisi ULN pemerintah sempat menurun. Saat ini, ada komitmen untuk mengurangi posisi ULN pemerintah. Upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan membayarnya secara disiplin, dan sedapat mungkin menekan penarikan ULN baru.

Dilihat sepintas, hal itu adalah langkah yang baik. Akan tetapi harus diingat bahwa pembayaran cicilan disertai bunganya saat ini dan beberapa tahun ke depan adalah beban yang cukup berat bagi APBN dan perekonomian Indonesia. Secara tidak langsung, rakyat banyak akan memikul beban berat. Penerimaan pajak, apalagi penerimaan SDA, mestinya adalah sarana untuk meningkatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hak mereka itu sebagiannya dirampas untuk membayar beban utang, yang tidak sepenuhnya mereka nikmati.
Sementara itu, posisi ULN pemerintah yang sempat mengalami penurunan, ternyata diimbangi dengan UDN yang mengalami peningkatan. Pemerintahan pasca Soeharto turut bertanggung jawab atas langkah ini, dengan anjuran atau rekomendasi dari IMF.
Peningkatan UDN hampir seluruhnya melalui mekanisme penerbitan SUN. Kebijakan ini memang secara serius dilakukan untuk mulai mengubah struktur utang pemerintah. Alasannya, UDN lebih bisa dikontrol dan tidak membuat perekonomian serentan jika posisi ULN-nya yang sangat besar.

Utang dalam negeri dianggap dapat diselesaikan oleh pemerintah tanpa harus bergantung pada uluran tangan atau kemurahan hati para kreditur internasional. UDN juga dianggap dijamin oleh sumber pendanaan berupa hasil penjualan aset-aset yang diserahkan oleh para konglomerat sebagai pengganti fasilitas penerbitan utang tersebut. Harap diingat sekitar 650 triliun SUN yang awal adalah berkaitan dengan program Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan program restrukturisasi perbankan. Persoalan utang dalam negeri juga diyakini akan dapat ditanggulangi oleh pemerintah dengan menunda pembayaran bunganya, atau dengan melakukan penataan ulang masa jatuh temponya (reprofiling).
Bagaimanapun, SUN baru terus diterbitkan beberapa tahun terakhir. Penjelasan resminya adalah untuk membiayai defisit anggaran pemerintah. Ironisnya, salah satu penyebab utama defisit itu adalah SUN yang diterbitkan terdahulu (ditambah dengan beban ULN pemerintah yang masih besar). Ephoria SUN dengan denomisasi dolar Amerika juga perlu diwaspadai, karena secara langsung akan bertentangan dengan tekad mengurangi ULN pemerintah. Dengan kata lain, seluruh SUN itu tetap membebani APBN di masa-masa mendatang.
Perhatikan bahwa ULN maupun UDN pemerintah akan berdampak pada pengelolaan keuangan pemerintah. Ada beberapa hal telah terjadi dan diprediksi masih berlangsung pada tahun-tahun mendatang. Salah satunya, APBN semakin sulit diharapkan menjadi stimulus fiskal bagi pertumbuhan ekonomi, karena sebagian cukup besarnya telah dihabiskan untuk membayar beban utang.

Aspek lain dari upaya pemerintah untuk mengubah profil utangnya, sehingga UDN lebih besar dari ULN tetap perlu dicermati. Sebagian SUN saat ini saja sudah ada yang dimiliki oleh bukan penduduk (off-shore). Begitu pula jika dilihat kepemilikan akan SUN saat ini kebanyakan adalah pada lembaga keuangan, khususnya bank, yang mulai diprivatisasi. Dalam prakteknya, privatisasi lebih mungkin berarti pembelian oleh pihak asing, sekalipun sebagiannya dilakukan oleh anak perusahaannya yang berbadan hukum Indonesia. Obligasi yang dahulu diberikan untuk “menolong” berarti akan menguntungkan bank-bank tersebut. Cermatilah bahwa akan ada transfer keuntungan di masa-masa yang akan datang.

Secara perhitungan, setelah memasukkan unsur risiko eksternal, UDN dianggap lebih tidak memberatkan bagi pemerintah dibandingkan ULN. Akan tetapi melihat beban yang masih tetap berat, serta kemungkinan transfer keuntungan yang terjadi, perubahan profil semacam itu tak akan berarti banyak. Ditambah lagi kecenderungan untuk meningkatkan obligasi dengan denominasi dolar, yang jelas beban bunganya cukup berat, membuat upaya pengurangan ULN secara total akan terhambat. Yang berubah adalah profil krediturnya, dari anggota CGI ke lembaga-lembaga keuangan internasional, bahkan dana pensiun dari suatu negara bagian Amerika. Keuntungan yang jelas barulah uang kas atau devisa yang masuk saat berutang. Pengalaman Orde Baru dapat terulang, gali lubang tutup lubang, dan generasi mendatang tetap akan menanggung akibatnya.

F. Tentang Buku Ini
Sebagian isi buku ini bersifat deskriptif, menjelaskan seluk beluk utang pemerintah. Pembaca diharapkan bisa mengetahui dan memahami beberapa aspek penting permasalahannya. Antara lain mengenai: seberapa besar utang pemerintah pusat saat ini, dalam bentuk dan jenis seperti apa, kepada siapa saja pemerintah berutang, bagaimana sejarah pembentukan utang itu, serta seberat apa beban yang harus ditanggung di masa depan.
Uraian deskriptif hampir seluruhnya berasal dari sumber resmi (pemerintah dan Bank Indonesia). Baik mengenai kebijakan pengelolaan utang yang dijalankan, maupun tentang angka-angka yang dilaporkan. Penalaran umum atas permasalahannya disajikan sesederhana mungkin. Contoh-contoh penalaran umum dimaksud antara lain adalah: posisi utang saat ini (tanggal yang disebutkan) adalah hasil akumulasi transaksi utang (penarikan, pembayaran dan penghapusan) sebelumnya; beban utang setiap tahunnya adalah pelunasan pokok ditambah bunga pada tahun tersebut, dengan tetap mengingat bahwa ada biaya lainnya; beban utang tersebut harus ditanggung oleh penerimaan negara, baik yang berasal dari pajak maupun yang bukan pajak; jika pelunasan pokok utang lebih kecil daripada penerimaan utang baru maka total utang pemerintah menjadi bertambah.

Selain uraian deskriptif, pembaca akan diajak melakukan analisis. Analisis dilakukan terhadap berbagai aspek, mulai dari argumen untuk berutang, pengelolaan utang, sampai kepada soal beban utang. Ada tinjauan terhadap argumen penting yang biasa dibahas dalam disiplin ilmu ekonomi pembangunan. Ada tinjauan singkat atas kasus-kasus beberapa negara. Ada penelusuran yang cukup detil mengenai sejarah utang pemerintah Indonesia, khususnya sejak masa Orde Baru. Dan yang lebih dikedepankan adalah analisa atas profil utang pemerintah pada saat buku ini ditulis. Analisa profil utang tersebut secara logis berlanjut kepada beban utang yang ditanggung sekarang dan di masa depan.

Urutan pembahasannya adalah sebagai berikut. Setelah tinjauan umum ini akan dibicarakan mengenai teori ekonomi utang pemerintah (bab 2). Yang terutama ingin dijelaskan adalah alasan (pembenaran) teoritis perlunya utang pemerintah, kemudian dihubungkan dengan fakta empiris yang terjadi. Diuraikan pula penilaian umum tentang biaya dan risiko utang pemerintah Indonesia, dan dilengkapi dengan perspektif teoritis penyelesaiannya secara teoritis.
Bab 3 menggambarkan sejarah singkat utang pemerintah Indonesia, dari era Orde Lama hingga kini. Dilanjutkan dengan deskripsi yang cukup detil tentang profil atau struktur utang pemerintah Indonesia saat ini (Bab 4). Pemahaman akan profil memudahkan kita menghitung beban utang yang harus ditanggung oleh pemerintah (pada akhirnya dibebankan kepada rakyat) Indonesia saat ini dan masa mendatang (bab 5).

Bab 6 menghubungkan antara kondisi yang dideskripsikan pada bab-bab sebelumnya dengan kebijakan pemerintah (khususnya pemerintahan SBY) dalam pengelolaan utang. Kesimpulan yang diambil buku pada akhirnya cukup sederhana, yaitu: dengan keberadaan utang sekarang dan arah kebijakan pengelolaan utang yang resmi dinyatakan maka utang pemerintah adalah beban berat bagi perekonomian Indonesia sampai kapan pun.
Secara ekonomi, kita bukan tidak mampu membayar beban utang tersebut. Indonesia masih memiliki sumber daya alam dan jumlah penduduk yang banyak. Masalahnya adalah beban terberat ditanggung oleh rakyat kebanyakan, yang bahkan tidak terlampau mengerti mengapa ada utang dan beban sebesar itu.
Penulis mengajukan hipotesa bahwa UTANG PEMERINTAH SUDAH MENCEKIK RAKYAT INDONESIA.