Apakah Utang Luar Negeri Kita Menurun?
“Defisit anggaran sebesar Rp 99,6 triliun (1,9 persen PDB) dalam RAPBN tahun 2009, direncanakan dibiayai dari sumber-sumber pembiayaan dalam negeri sekitar Rp 110,7 triliun, dan pembiayaan luar negeri neto minus Rp 11,1 triliun. Dengan demikian pembayaran cicilan pokok utang luar negeri yang kita lakukan, lebih besar dari pada jumlah utang luar negeri baru. Hal ini sesuai dengan tujuan untuk terus mengurangi porsi utang luar negeri dalam pembiayaan defisit kita.” Begitu yang dikatakan Presiden SBY pada pidato kenegaraan Agustus lalu. Ditegaskan pula olehnya bahwa ”Dengan demikian, suatu saat nanti kita dapat bangga menyampaikan pada generasi penerus, anak cucu kita, bahwa kita mewariskan Negara dengan kekayaan yang makin meningkat, kemakmuran yang merata, dan utang yang makin kecil atau bahkan tidak ada.”
Pernyataan bernada demikian bukan hal yang baru dikeluarkan Pemerintahan SBY, yang telah berulang kali mengatakan (termasuk dari petinggi Departemen keuangan) komitmen untuk terus menurunkan posisi (outstanding) utang luar negerinya, baik secara nominal maupun angka rasionya terhadap PDB.
Ada beberapa hal yang membutuhkan kejelasan dari pernyataan atau target semacam itu. Salah satunya adalah soal definisi utang luar negeri (ULN) pemerintah. Definisi ULN dipastikan telah menjadi beragam akibat perkembangan pasar keuangan internasional dan pasar keuangan domestik yang mengalami internasionalisasi. Untuk kasus ULN pemerintah Indonesia, dampak dari perkembangan ini sangat signifikan bagi arti datanya sejak tahun 2004.
“Defisit anggaran sebesar Rp 99,6 triliun (1,9 persen PDB) dalam RAPBN tahun 2009, direncanakan dibiayai dari sumber-sumber pembiayaan dalam negeri sekitar Rp 110,7 triliun, dan pembiayaan luar negeri neto minus Rp 11,1 triliun. Dengan demikian pembayaran cicilan pokok utang luar negeri yang kita lakukan, lebih besar dari pada jumlah utang luar negeri baru. Hal ini sesuai dengan tujuan untuk terus mengurangi porsi utang luar negeri dalam pembiayaan defisit kita.” Begitu yang dikatakan Presiden SBY pada pidato kenegaraan Agustus lalu. Ditegaskan pula olehnya bahwa ”Dengan demikian, suatu saat nanti kita dapat bangga menyampaikan pada generasi penerus, anak cucu kita, bahwa kita mewariskan Negara dengan kekayaan yang makin meningkat, kemakmuran yang merata, dan utang yang makin kecil atau bahkan tidak ada.”
Pernyataan bernada demikian bukan hal yang baru dikeluarkan Pemerintahan SBY, yang telah berulang kali mengatakan (termasuk dari petinggi Departemen keuangan) komitmen untuk terus menurunkan posisi (outstanding) utang luar negerinya, baik secara nominal maupun angka rasionya terhadap PDB.
Ada beberapa hal yang membutuhkan kejelasan dari pernyataan atau target semacam itu. Salah satunya adalah soal definisi utang luar negeri (ULN) pemerintah. Definisi ULN dipastikan telah menjadi beragam akibat perkembangan pasar keuangan internasional dan pasar keuangan domestik yang mengalami internasionalisasi. Untuk kasus ULN pemerintah Indonesia, dampak dari perkembangan ini sangat signifikan bagi arti datanya sejak tahun 2004.
ULN biasa diartikan (terutama oleh pemerintah) sebagai pinjaman yang bersumber dari: multilateral, bilateral, komersial dan kredit ekspor. Jika diartikan demikian, maka nominal ULN pemerintah memang berprospek menurun, setidaknya stagnan dalam tiga tahun terakhir. Rasionya terhadap PDB otomatis akan turun, mengingat kecenderungan PDB untuk terus meningkat. ULN pemerintah versi arti ini tercatat sebesar USD 68,58 miliar (2004), USD 63,09 miliar (2005), USD 62,02 miliar (2006), USD 62,25 (2007), dan USD 63,17 miliar (30 Juni 2008).
Menurut dokumen Bank Dunia (1992), loan adalah dokumen yang secara sah mengikat yang mewajibkan sejumlah dana tertentu tersedia untuk dibayarkan (di-disburse). Sedangkan Loan agreement adalah bukti yang sah atas suatu kesepakatan untuk meminjamkan apabila pra-kondisi tertentu telah dipenuhi. Dalam PP No.2/2006, Loan agreement adalah naskah perjanjian atau naskah lain yang disamakan yang memuat kesepakatan mengenai Pinjaman Luar Negeri antara Pemerintah (peminjam atau borrower) dengan Pemberi Pinjaman Luar Negeri (Lender).
PP No.2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri (pasal1) menyatakan bahwa pinjaman luar negeri adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan, rupiah, maupun dalam bentuk barang dan/atau jasa yang diperoleh dari pemberi pinjaman luar negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu.
Jika mengiktui PP No.2 Tahun 2006, kita bisa saja memasukkan SUN berdenominasi dolar sebagai ULN pemerintah Indonesia saat ini. Sebabnya adalah karena SUN tersebut seluruhnya masih dimiliki oleh pihak non penduduk. Perhitungan demikian akan membuat nominal ULN langsung melonjak. Angkanya kemungkinan besar terus bertambah di masa mendatang, mengingat kecenderungannya yang terus menaik sejak diterbitkan. Nilai penerbitan SUN berdenominasi dolar Amerika sejak 2004 telah mencapai USD 11,2 miliar pada 31 Juli 2008.
Jika ULN diartikan sebagai utang dalam denominasi mata uang asing, maka obligasi negara berdenominasi dolar Amerika harus dimasukkan dalam perhitungan. Nominalnya berprospek melonjak, dan tidak mustahil rasionya pun menaik. Dalam versi ini, telah terjadi kenaikan posisi ULN pemerintah selama dua tahun terakhir, USD 66,76 miliar (2005), USD 67,52 miliar (2006) dan USD 69,25 (2007). Bahkan, telah menjadi USD 74,37 miliar per 31 Juli 2008, karena terbitnya ON denominasi dolar dan pencairan ULN baru selama beberapa bulan terakhir.
Meskipun tidak lazim dalam publikasi resmi, pengertian ULN bisa saja kita perluas sebagai utang yang dananya berasal dari luar negeri. Maka SUN yang dimiliki pihak asing (non residen) sebesar Rp 106,12 triliun (sekitar USD 12 miliar) per 22 Agustus 2008 harus dimasukkan pula. Data sebelumnya dari SUN yang dimiliki asing adalah: Rp 10,74 triliun (2004), Rp 31,09 triliun (2005), Rp 54,92 triliun (2006), dan Rp 78,16 triliun (2007).
Sejauh ini, pengertian pemerintah yang kita pakai pun adalah pemerintah umum (general government). Pengertian yang lebih luas adalah sektor publik (public sector), yang antara lain juga memasukkan bank sentral ke dalamnya. Kita tahu, Bank Indonesia pun memiliki ULN, serta ada puluhan triliun rupiah dari SBI yang dimiliki oleh pihak asing. Selain bank sentral, kita bisa menambahkan BUMN ke dalam sektor publik.
Ada baiknya pula kita mengingat bahwa sebagian besar SUN yang bisa diperdagangkan dimiliki oleh lembaga keuangan, seperti: bank, reksadana dan asuransi. Berbagai lembaga tersebut memang tergolong penduduk (residen) secara hukum. Namun, proporsi kepemilikan asing atas saham-sahamnya terus membesar. Sebagai contoh, sebanyak 267,65 triliun atau sekitar 49,6 % dari sekitar 539,4 triliun SUN yang dapat diperdagangkan per 22 Agustus 2008 adalah dimiliki oleh bank. Padahal kepemilikan asing atas saham perbankan telah lebih dari 50 % pada awal tahun ini. Artinya, dana itu bersumber dari luar negeri.
Akhirnya, penetapan target ULN pemerintah memerlukan ketegasan mengenai apa yang dicakup. Perlu konsistensi penggunaan definisi, agar kondisinya mudah dinilai publik luas. Dan yang lebih penting lagi adalah pembicaraan mengenai beban semua utang pemerintah. Baik untuk saat ini maupun perhitungannya untuk masa mendatang. Kebanyakan dari biaya itu tetap saja dibayar kepada pihak ”luar negeri”.
Menurut penelitian saya, yang antara lain menggunakan cara berfikir di atas, kesimpulan bahwa terjadi penurunan ULN adalah tidak benar. Nominalnya terus membesar dengan cepat, sedangkan prosentasenya terhadap PDB memang sedikit mengalami penurunan, tetapi tidak mengindikasikan perbaikan keadaan secara berarti.