Jumat, 29 Agustus 2008

Apakah Arti Rasio Utang Pemerintah Terhadap PDB Yang Menurun?

Apakah Arti Rasio Utang Pemerintah Terhadap PDB Yang Menurun?

Masih berkaitan dengan posting saya sebelum ini, Presiden SBY juga mengatakan antara lain: ”Kebijakan pembiayaan anggaran dalam tahun 2009 tidak hanya bertujuan untuk memperkuat tingkat kemandirian dan mengurangi ketergantungan sumber pembiayaan luar negeri, namun juga ditujukan untuk mendorong pengelolaan utang yang berhati-hati. Sumber pembiayaan anggaran dari dalam negeri, terutama berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara, termasuk Surat Berharga Syariah Negara. Hal ini selain akan memberikan komitmen pengembangan surat berharga berdasarkan prinsip syariah di Indonesia, juga akan menciptakan alternatif surat berharga negara yang lebih bervariasi.” Lebih lanjut dikatakannya, ” Dengan kebutuhan pembiayaan, baik yang berasal dari dalam negeri maupun pembiayaan luar negeri sebagaimana saya kemukakan tadi, maka rasio utang pemerintah terhadap PDB dalam tahun 2009 diperkirakan akan menurun dari sekitar 54 persen pada tahun 2004, menjadi sekitar 30 persen. Tingkat rasio utang ini, membuktikan tekad yang kita canangkan bahwa Indonesia harus bisa dibangun dengan semaksimal mungkin menggunakan sumber daya kita sendiri.”

Sebagaimana banyak diketahui, untuk lebih mengendalikan beban utang di masa mendatang, Pemerintah dan DPR telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang KeuanganNegara. Pemerintah juga telah mengeluarkan PP Nomor 23 Tahun tentang “Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah”. Undang-undang dan PP tersebut diantaranya mengatur bahwa besarnya defisit dari General Governments maksimal 3 persen dari PDB dan besarnya rasio utang dari General Governments terhadap PDB maksimal 60 persen.

Target agar angka rasio utang dari General Governments terhadap PDB tidak melebihi dari 60% tampaknya terlalu mudah dicapai. Wajar pula jika Pemerintah selalu berargumen bahwa meskipun jumlah nominal utang menunjukkan kecenderungan yang meningkat, namun rasio utang terhadap PDB menunjukkan kecenderungan menurun yang konsisten. Hal ini diklaim sebagai mencerminkan beban dan sekaligus kemampuan Pemerintah dalam mengelola kewajiban secara berkelanjutan.

Sebagai catatan, biasanya yang dijadikan standar adalah estimasi yang dilakukan Bank Dunia dan IMF. Bank Dunia menyimpulkan bahwa debt to GDP ratio semacam itu yang aman adalah sekitar 21 persen– 49 persen. Sedangkan IMF menyimpulkan bahwa batas yang dianggap aman adalah 26 persen – 58 persen. Berdasarkan kriteria tersebut, utang dalam dan luar negeri pemerintah Indonesia bisa dikatakan dalam batas aman.

Keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan rasio stok utang terhadap PDB ini harus diperiksa secara lebih kritis. Masih banyak detil yang harus dicermati dibalik penurunan rasio itu, selain apakah penurunan sebesar demikian cukup memadai bagi perekonomian Indonesia. Sebagai contoh, kita harus memperhitungkan adanya inflasi yang tinggi pada tahun 2005 yang otomatis menggelembungkan PDB menurut harga berlaku, sehingga bilangan penyebut menyumbang signifikan dalam penurunan rasio. Artinya pula, kecenderungan inflasi yang akan lebih tinggi pada tahun 2008 ini dibandingkan tahun sebelumnya justeru akan memperbaiki rasio dimaksud.

Pada uraian buku utang yang saya tulis bersama Nasyith pun telah menjelaskan berbagai teknik keuangan untuk “gali lobang tutup lobang”, dimana stok utang bisa dikendalikan namun biayanya meningkat. Sebagai contoh, pemerintah bisa melakukan buyback, debt switch, dan atau menerbitkan lebih dahulu SUN yang hasilnya dipakai membayar yang jatuh tempo. Begitupun ULN memang sedikit dikurangi namun diganti dengan SUN. Satu langkah atau gabungan dari semuanya, akan membuat stok nominal utang hanya sedikit berubah. Bahkan bisa menurun jika yang dianalisis adalah rasio stok utang dengan PDB, karena PDBnya (sebagai bilangan penyebut) meningkat. Namun bisa dipastikan biaya utangnya meningkat.

Sebagai contoh lagi, langkah agar pemegang SUN lama bersedia menukarkannya dengan yang baru pasti harus ditawarkan yield yang lebih baik. Pelunasan yang dipercepat memerlukan insentif keuntungan lebih baik dilihat dari sisi pemegang SUN. Singkatnya, kita harus memeriksa kembali apakah keberhasilan pengendalian stok utang dan rasionya terhadap PDB ini diimbangi dengan penurunan biaya utang. Atau yang terjadi justeru pembengkakan biaya utang. Penelitian saya menemukan bahwa terjadi peningkatan biaya utang secara signifikan untuk setiap satuan utangnya.

Bagi mereka yang belum akrab dengan perhitungan ekonomi secara teknis, bayangkan saja jika sebuah keluarga memiliki utang kemudian membayar cicilan dan bunganya dengan pinjaman baru yang berbunga (dan biaya administrasi) lebih besar dari yang dilunasi. Secara sederhana, itulah yang terjadi pada pengelolaan utang pemerintah.