Apakah Pemerintahan SBY berhasil menurunkan tingkat kemiskinan secara berarti?
Salah satu bagian yang paling ditonjolkan dalam pidato kenegaraan Presiden SBY tanggal 15 Agustus 2008 lalu adalah mengenai klaim keberhasilan percepatan pembangunan ekonomi.
Berikut isi pidato lengkap presiden : http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=8090&Itemid=701
Keberhasilan itu telah memberikan dampak yang positif baik pada percepatan penurunan tingkat kemiskinan. Tingkat kemiskinan, mengalami penurunan dari 17,7 persen pada tahun 2006 menjadi 15,4 pesen pada Maret 2008. Dikatakan bahwa angka kemiskinan tahun 2008 itu adalah angka kemiskinan terendah, baik besaran maupun prosentasenya, selama 10 tahun terakhir. Ditambahkan bahwa tren penurunan angka kemiskinan juga terjadi, walaupun kita menggunakan kriteria angka kemiskinan dari Bank Dunia. Pernyataan terakhir seolah ingin menjawab kritik dari berbagai pihak yang banyak mengutip angka versi Bank Dunia.
Pernyataan Presiden SBY itu terlampau berlebihan. Kesan perbaikan menjadi dramatis dengan mengambil contoh tahun 2006 dan 2008. Harus diingat bahwa SBY dilantik pada 20 Oktober 2004, enam bulan kemudian, angka kemiskinan pada bulan Maret 2005 adalah 15,97 persen atau sebanyak 35,10 juta jiwa. Bandingkan angka 15,97 persen itu dengan 15,42 persen, serta 35,10 juta jiwa dengan 34,96 juta jiwa. Jumlah orang miskin hanya berkurang sekitar 100 ribu jiwa. Jelas merupakan penurunan yang tidak berarti sama sekali.
Sementara itu, laporan Bank Dunia (2007) menyebutkan bahwa hampir 42 persen dari seluruh rakyat Indonesia hidup di antara garis kemiskinan US$1 dan AS$2. Perbedaan antara orang miskin dan yang hampir miskin sangat kecil. Jika kita memakai garis kemiskinan BPS, mungkin saja benar angka yang dikutip pidato itu. Namun tidak diungkapkan bahwa sangat banyak orang yang tidak tergolong miskin, namun berada di sekitarannya, yang biasa disebut nyaris miskin. Dengan demikian, salah satu yang harus diwaspadai adalah adanya perpindahan posisi penduduk dari hampir/tidak miskin menjadi miskin. Sedikit guncangan ekonomi akan menyebabkan mereka berubah status. Laporan yang sama mengatakan: walaupun hasil survei tahun 2004 menunjukkan hanya 16,7 persen penduduk Indonesia yang tergolong miskin, lebih dari 59 persen dari mereka pernah jatuh miskin dalam periode satu tahun sebelum survei dilaksanakan; serta lebih dari 38 persen rumah tangga miskin pada tahun 2004 tidak miskin pada tahun 2003.
Ada tanda-tanda bahwa jumlah penduduk yang tergolong miskin sementara (transient poor), yaitu penduduk yang penghasilannya dekat dengan garis kemiskinan, cukup besar. Sedikit guncangan ekonomi akan menyebabkan mereka berubah status. Begitu pula sebaliknya, kebijakan instan bisa mengubah angka-angka, namun bersifat sangat sementara. Sebagai contoh, kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dalam kurun waktu tertentu segera memperbaiki keadaan. Jika pendataan (sensus dan survei) dilakukan pada saat itu, maka hasilnya tidaklah mencerminkan keadaan yang sebenarnya dalam kurun waktu yang lebih panjang. Jika integritas BPS tidak dipertanyakan pun, angka-angkanya mudah berubah hanya dalam waktu satu tahun, serta tidak sulit ”diperbaiki”.
Yang kita perlukan adalah perbaikan kondisi ekonomi yang lebih mendasar, suatu keadaan yang dicirikan oleh kemakmuran bagi rakyat kebanyakan.
Pernyataan Presiden SBY itu terlampau berlebihan. Kesan perbaikan menjadi dramatis dengan mengambil contoh tahun 2006 dan 2008. Harus diingat bahwa SBY dilantik pada 20 Oktober 2004, enam bulan kemudian, angka kemiskinan pada bulan Maret 2005 adalah 15,97 persen atau sebanyak 35,10 juta jiwa. Bandingkan angka 15,97 persen itu dengan 15,42 persen, serta 35,10 juta jiwa dengan 34,96 juta jiwa. Jumlah orang miskin hanya berkurang sekitar 100 ribu jiwa. Jelas merupakan penurunan yang tidak berarti sama sekali.
Sementara itu, laporan Bank Dunia (2007) menyebutkan bahwa hampir 42 persen dari seluruh rakyat Indonesia hidup di antara garis kemiskinan US$1 dan AS$2. Perbedaan antara orang miskin dan yang hampir miskin sangat kecil. Jika kita memakai garis kemiskinan BPS, mungkin saja benar angka yang dikutip pidato itu. Namun tidak diungkapkan bahwa sangat banyak orang yang tidak tergolong miskin, namun berada di sekitarannya, yang biasa disebut nyaris miskin. Dengan demikian, salah satu yang harus diwaspadai adalah adanya perpindahan posisi penduduk dari hampir/tidak miskin menjadi miskin. Sedikit guncangan ekonomi akan menyebabkan mereka berubah status. Laporan yang sama mengatakan: walaupun hasil survei tahun 2004 menunjukkan hanya 16,7 persen penduduk Indonesia yang tergolong miskin, lebih dari 59 persen dari mereka pernah jatuh miskin dalam periode satu tahun sebelum survei dilaksanakan; serta lebih dari 38 persen rumah tangga miskin pada tahun 2004 tidak miskin pada tahun 2003.
Ada tanda-tanda bahwa jumlah penduduk yang tergolong miskin sementara (transient poor), yaitu penduduk yang penghasilannya dekat dengan garis kemiskinan, cukup besar. Sedikit guncangan ekonomi akan menyebabkan mereka berubah status. Begitu pula sebaliknya, kebijakan instan bisa mengubah angka-angka, namun bersifat sangat sementara. Sebagai contoh, kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dalam kurun waktu tertentu segera memperbaiki keadaan. Jika pendataan (sensus dan survei) dilakukan pada saat itu, maka hasilnya tidaklah mencerminkan keadaan yang sebenarnya dalam kurun waktu yang lebih panjang. Jika integritas BPS tidak dipertanyakan pun, angka-angkanya mudah berubah hanya dalam waktu satu tahun, serta tidak sulit ”diperbaiki”.
Yang kita perlukan adalah perbaikan kondisi ekonomi yang lebih mendasar, suatu keadaan yang dicirikan oleh kemakmuran bagi rakyat kebanyakan.