Jumat, 29 Agustus 2008

Angka anggaran pengentasan kemiskinan adalah pernyataan politik bukan pernyataan fiskal

Angka anggaran pengentasan kemiskinan adalah pernyataan politik bukan pernyataan fiskal

Anggaran pengentasan kemiskinan pada tahun 2009 mencapai Rp 66,2 triliun, suatu jumlah yang diklaim pidato kenegaraan Presiden SBY lalu sebagai peningkatan hingga 3 kali lipat dalam 4 tahun terakhir.
Sayangnya, penyebutan kegiatan pemerintah sebagai Program Pengentasan atau Penanganan Kemiskinan adalah bersifat klaim atau kebijakan politik. Pemerintah sendiri belum lama menyadari bahwa ada banyak aktivitasnya yang bisa dikategorisasikan sebagai program kemiskinan. Tatkala Kemenko Kesra (TKPK) mengemukakan adanya 55 program di berbagai departeman atau lembaga sekitar satu setengah tahun lalu, mereka belum pernah mempublikasikan (karena mungkin memang belum punya) data pasti mengenai rinciannya. Melalui berbagai hasil rapat koordinasi, rincian baru mulai dipublikasikan pada Desember tahun 2007 dan awal 2008.

Perlu dicatat bahwa publikasi itu pun adalah versi kemenko kesra (TKPK), dan lebih bersifat nama program dan departemen/lembaga yang mengelolanya. Tampaknya, tidak semua departemen/lembaga senang programnya yang sudah berjalan dikategorikan demikian, sehingga laporan rinci (termasuk juklak/juknis) selalu tersendat diberikan kepada TKPK. Indikasinya terlihat dari upaya menyatukan semuanya ke dalam PNPM-Mandiri belum berjalan mulus. Tahun 2007 baru ada 2 program, tahun 2008 ada 6 program (termasuk program baru), padahal rencananya ada 17 program yang akan diintegrasikan.

Pernyataan berbagai pejabat tentang anggaran yang dibelanjakan bagi Program Kemiskinan juga serupa dengan kesimpangsiuran mengenai soal jumlah dan rincian program. Khusus untuk tahun 2008, versi yang banyak beredar adalah Rp 80 triliun dan Rp 60 triliun. Sebelumnya, pada masa pembahasan APBN (Agustus-Oktober 2007) sempat mengemuka angka Rp 54 triliun. Perhatikan bahwa angka yang disebut biasanya bernada ”sekitar”, dan sampai saat ini belum ada publikasi mengenai rinciannya yang mendekati angka itu. Bisa dipastikan akan demikian pula dengan angka Rp 66,2 triliun di atas.

Mengapa demikian?

Sistem penganggaran dalam APBN kita telah diatur oleh beberapa Peraturan Perundangan (dibuat sebagai bagian dari LoI dengan IMF). APBN, saat ini, dinyatakan dalam format dan struktur yang disebut dengan I-Account. Pada format I-account, catatan penerimaan, pengeluaran dan pembiayaan anggaran diletakkan dalam satu kolom. Dalam format tersebut, pos-pos APBN dikelompokkan menjadi 2 bagian. Bagian atas (above the line) mencatat besarnya penerimaan dan pengeluaran negara, kelompok A dan B. Bagian bawah (below the line) mencatat besarnya pembiayaan anggaran, kelompok E dalam tabel yang sama. Item D berfungsi sebagai garis batas. Item C yang merupakan memorandum untuk hal posisi surplus anggaran jika tidak memperhitungkan pembayaraan bunga utang.

Untuk keperluan tulisan ini, yang akan dijelaskan lebih lanjut hanya bagian Belanja Negara (B). Belanja Negara terdiri dari Belanja pemerintah Pusat dan Belanja Daerah.

Belanja Pemerintah Pusat diklasifikasikan atau dirinci atas dasar tiga hal, dan ditampilkan dalam tabel yang berbeda. Klasifikasinya adalah: atas dasar jenis belanja (klasifikasi ekonomi), atas dasar organisasi, dan atas dasar fungsi. Penjumlahan dari masing-masing rincian atas dasar yang berbeda itu akan menunjukkan besaran yang sama, sebagai angka belanja pemerintah pusat. Kepentingannya adalah untuk pencermatan atas uang yang dibelanjakan pemerintah pusat dari beberapa sudut pandang, sehingga dapat dipergunakan untuk evaluasi secara terus menerus.

Klasifikasi pertama dan kedua berguna untuk prosedur perencanaan dan pelaksanaan anggaran, termasuk untuk kepentingan akuntabilitas. Sedangkan klasifikasi ketiga, atas dasar fungsi, adalah bersifat analisa, seperti untuk analisa makroekonomi.
Menurut jenis belanja, anggaran belanja pemerintah pusat terdiri dari 8 jenis, yaitu: (1) belanja pegawai, (2) belanja barang, (3) belanja modal, (4) pembayaran bunga utang, (5) subsidi, (6) belanja hibah, (7) bantuan sosial, dan (8) belanja lain-lain.

Belanja pemerintah pusat menurut organisasi adalah semua pengeluaran negara yang dialokasikan kepada kementerian/lembaga, sesuai dengan program-program yang akan dijalankan. Rincian Belanja Pemerintah Pusat menurut organisasi terdiri dari dua kelompok. Pertama, Bagian Anggaran Kementerian/Lembaga seperti MPR, DPR, BPK, MA, Departemen-Departemen, BPS, dan sebagainya. Rincian belanja negara menurut organisasi dipengaruhi oleh perkembangan susunan kementerian/lembaga, perkembangan jumlah bagian anggaran, serta perubahan nomenklatur atau pemisahan suatu unit organisasi dari organisasi induknya, atau penggabungan organisasi. Setelah beberapa kali dilakukan perubahan dan penyempurnaan, hingga tahun 2008, organisasi kementerian/lembaga, terdiri dari: (i) 6 lembaga tinggi negara, (ii) 20 departemen teknis, (iii) 3 kementerian koordinator, (iv) 10 kementerian negara, dan (v) 34 lembaga negara yang pembentukannya ditetapkan melalui Keputusan Presiden dan telah mempunyai kode bagian anggaran sendiri. Kedua, Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan yang terdiri dari: Cicilan bunga utang, sibsidi dan transfer lainnya, dan belanja lain-lain. Bagian kedua ini tidak secara langsung dipergunakan oleh kementerian/lembaga, pelaksanaannya diatur tersendiri.

Belanja pemerintah pusat menurut fungsi dibedakan dalam 11 fungsi, yaitu: (1) pelayanan umum, (2) pertahanan, (3) ketertiban dan keamanan, (4) ekonomi, (5) lingkungan hidup, (6) perumahan dan fasilitas umum, (7) kesehatan, (8) pariwisata dan budaya, (9) agama, (10) pendidikan, dan (11) perlindungan sosial.

Perlu diketahui, ada pengeluaran yang memiliki fungsi tersendiri, seperti pembayaran bunga utang dan subsidi. Dalam bentuk tabel yang lain, laporan pemerintah biasa pula mencantumkannya sebagai fungsi pelayanan umum, sehingga angka pos fungsi ini menjadi sangat besar.
Sementara itu, rincian belanja menurut fungsi bukanlah merupakan dasar pengalokasian anggaran. Pengalokasian anggaran didasarkan pada program-program yang diusulkan oleh kementerian negara/lembaga, yang dirinci menurut jenis belanja. Selanjutnya, program-program tersebut dikelompokkan sesuai dengan fungsi dan sub fungsinya. Dengan demikian, rincian belanja menurut fungsi adalah kompilasi dari anggaran program-program kementerian negara/lembaga, dan hanya digunakan sebagai alat analisis (tools of analysis).

Apa yang dapat disimpulkan terkait dengan anggaran program kemiskinan?
Semua pernyataan tentang hal itu sebenarnya adalah pernyataan politik bukan pernyataan fiskal (anggaran). Tergantung apa saja yang mau dimasukkan. Bahkan yang dimaksud dengan bantuan sosial (jenis belanja no 7) tidak sepenuhnya bisa diartikan untuk kemiskinan, karena bisa untuk bencana atau yang sejenisnya (dan bisa tidak jadi direalisasikan).

Sekali lagi diingatkan bahwa secara pendekatan anggaran (fiskal) hanya dikenal pengkategorian berdasar tiga hal (jenis, organisasi dan fungsi), yang tidak ada menyebut soal kemiskinan di dalamnya.

Sebagai contoh kasus adalah angka sekitar 80 triliun yang diklaim untuk tahun 2008. Biasanya yang menyatakannya adalah menkokesra (atau pejabat di bawahnya), bukan menteri keuangan. Ketika Kepala Badan Fiskal, Anggito omong, angkanya justeru 60 triliun saja. Pada waktu siaran pers RAPBN 2008, sub judul kemiskinan tidak diberi jumlah totalnya, hanya diberi beberapa contoh. Lukman Edy bahkan menyebut angka Rp 93 triliun untuk daerah tertinggal yang ditafsirkannya pula sebagai untuk pengentasan kemiskinan.

Dengan demikian, saya amat meragukan jika Presiden SBY mengetahui rincian dari angka Rp 66,2 triliun di atas. Jika dibuat rinciannya, maka bisa jadi akan lebih kecil atau lebih besar, tergantung pos belanja mana yang mau dimasukkan. Sekali lagi, angka tersebut adalah pernyataan politik, bukan pernyataan fiskal.