Senin, 28 Desember 2009

Optimisme Berdasar Kondisi Eksternal Indonesia menjadi Argumen Utama Economic Outlook 2010

Optimisme Berdasar Kondisi Eksternal Indonesia menjadi Argumen Utama Economic Outlook 2010

Prakiraan kondisi perekonomian Indonesia di tahun mendatang dapat di simak di banyak media pada akhir tahun. Sebagian isi economic outlook tersebut berasal dari pemberitaan serta ulasan dari diskusi ilmiah, dan ada yang merupakan tulisan khusus untuk itu. Ada tulisan yang merupakan pandangan pribadi dari pakar atau pengamat ekonomi. Ada pula yang dipublikasikan sebagai pandangan lembaga atau organisasi.

Pada dasarnya, suatu economic outlook merupakan ramalan dari orang atau lembaga penulisnya. Pertanyaan utama yang ingin dijawab adalah apakah keadaan perekonomian secara umum menjadi lebih baik, lebih baik, atau sama saja dengan tahun berjalan. Kadang dibandingkan pula dengan tahun-tahun yang telah berlalu lebih lama. Sesuai persyaratan ilmiah, tulisan musti mengidentifikasi faktor-faktor yang diduga paling berpengaruh dalam dinamika ekonomi, serta variabel risiko yang utama sepanjang tahun depan. Akan ada pula berbagai rekomendasi, yang terutama adalah kepada pihak otoritas ekonomi. Sebagiannya juga memberi saran kepada para pelaku ekonomi, khususnya dunia usaha.

Penalaran economic oulook kebanyakan bersifat linear, yang jika disederhanakan adalah: mencermati kondisi terkini, sedikit melihat beberapa tahun ke belakang, menduga dan menganalisis beberapa variabel penting tahun depan, baru melakukan kesimpulan umum. Sifat linear dan positivistik diindikasikan oleh analisis yang mengedepankan utak atik beberapa indikator makroekonomi, serta kadang menguatkannya dengan indikator mikroekonomi terpilih.

Yang paling sering dibahas adalah pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) dengan indikator derivatifnya seperti investasi dan konsumsi. Indikator makro lain yang banyak disoroti adalah: inflasi, neraca pembayaran internasional, neraca perdagangan, kurs, dan pengangguran. Indikator mikro yang banyak suka dipilih antara lain: indikator perbankan, indeks saham, pasar industri otomotif, konsumsi semen, dan pertumbuhan kredit.

Yang menarik, variabel yang paling dominan dalam kebanyakan analisis pada dua tahun terakhir justeru terkait variabel eksternal dari perekonomian Indonesia. Diantaranya adalah : dinamika perdagangan dunia, harga komoditas tertentu di pasar internasional, kondisi perekonomian negara maju dan negara yang punya hubungan ekonomi penting dengan Indonesia, serta arus modal dan uang di pasar global.

Ada juga sedikit tambahan analisis mengenai risiko politik di dalam negeri. Biasanya dikaitkan dengan gangguan terhadap iklim investasi dan kepastian berusaha dalam bisnis. Ketidakstabilan politik, meski hanya berupa konflik antar elit politik dsn atau birokrasi, dianggap memiliki pengaruh signifikan terhadap perekonomian.
Pemerintah sendiri secara resmi, sebagai suatu entitas kelembagaan, memiliki pula suatu economic outlook, yang tercantum dalam Nota Keuangan sebagai pengantar Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). Setelah dibahas dan setujui DPR, yang bisa mengalami sedikit perubahan beberapa variabel diantaranya, maka diputuskan menjadi APBN.

Secara ringkas, prediksi tersebut diwakili oleh apa yang biasa disebut sebagai asumsi dasar ekonomi makro, dalam RAPBN dan APBN. APBN 2010 yang ditetapkan pada akhir Oktober 2009, mencantum asumsi makroekonomi sebagai berikut: pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5 %; tingkat inflasi sebesar 5,0 %; rata-rata kurs adalah Rp10.000/USD; Neraca Pembayaran Indonesia surplus, cadangan devisa bertambah; rata-rata suku bunga SBI 3 bulan sebesar 6,5 %; dan Rata-rata harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar USD 65 per barel dengan lifting sebanyak 0,965 juta barl per hari.

Nota Keuangan itu meyebut ada beberapa tantangan yang menghadang pada tahun 2010. Diantaranya berupa : program stimulus ekonomi yang belum optimal, ketatnya likuiditas global, dan meningkatnya harga minyak dan beberapa komoditi di pasar internasional. Diakui pula tantangan lain yang lebih bersifat domestik, yakni tingginya tingkat pengangguran dan angka kemiskinan, serta infrastruktur tak memadai.

Dengan asesmen yang demikian, Pemerintah menetapkan arah kebijakannya dalam mengelola perekonomian, yaitu: menjaga stabilitas ekonomi makro, meningkatkan pembangunan infrastruktur dan mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan. Secara lebih khusus, Pemerintah mengaku akan mengutamakan program jaminan sosial dan peningkatan kapasitas usaha skala mikro dan kecil serta koperasi serta program-program lainnya.

Sementara itu, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dan perbankan, terlihat lebih konservatif dalam memperkirakan perekonomian Indonesia tahun 2010. Belakangan, Bank Indonesia memang lebih sering mengeluarkan estimasi yang lebih realistis dan secara cepat membuat revisi, khususnya yang terkait dengan prakiraan pertumbuhan ekonomi. Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2010 berada di kisaran 5,0-5,5%, yang akan dimotori terutama oleh kegiatan ekspor dan investasi dari sisi permintaan. Namun diakui adanya downside risks terutama jika akselerasi perbaikan volume perdagangan dunia tidak secepat yang diperkirakan.

Di luar otoritas ekonomi, ada banyak economic outlook yang dikemukakan. Yang paling mudah diperbandingkan antar ramalan itu adalah mengenai prakiraan pertumbuhan ekonomi karena memang dijadikan sentral pembahasan masing-masing. Sebagai contoh, IMF mengemukakan angka 4,8 %, sedang kebanyakakan ekonom Indonesia menyebut angka di atas 5 %. Ada juga pendapat yang cukup menarik dari ekonom Faisal Basri yang mengatakan harus tumbuh 6 %. menurutnya, jika 5,5 % berarti tidak ada keinginan untuk kerja keras dari Pemerintah.

Bagaimanapun, ada kesamaan yang menonjol dalam semua economic outlook tersebut. Ada optimisme bahwa perekonomian Indonesia akan lebih baik, dan secara lebih khusus disebutkan angka pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Argumen utamanya pun sama, yakni karena adanya pemulihan perekonomian global, khususnya di negara-negara industri maju. Secara lebih teknis, amat kuat keyakinan pulihnya kondisi ekspor-impor di berbagai negara, yang berarti perdagangan dunia bisa mendongkrak ekspor Indonesia. Arus modal dan keuangan internasional pun diyakini akan lebih stabil, dan pada saat bersamaan, kondisi dan rating Indonesia yang terkait dengan itu cukup baik. Singkatnya, faktor-faktor eksternal diperkirakan akan amat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia 2010.

Dilihat dari sisi domestik, konsumsi sebagai motor pertumbuhan ekonomi diyakini masih akan meningkat cukup pesat. Ditambah dengan sudah adanya rencana investasi di bidang infrastruktur yang sedang dan mulai direalisasikan tahun 2010, baik dari pihak swasta maupun pemerintah. Meskipun mulai goyah selama beberapa minggu terakhir, sampai dengan sebulan lalu, stabilitas politik diyakini sebagai faktor positif. Majalah The Economist edisi September 2009 menyebutnya bersama dengan tekad anti korupsi sebagai variabel amat positif dari Indonesia.

Pencermatan atas kebanyakan economic outlook tersebut akan membawa kepada salah satu kesimpulan bahwa kondisi perekonomian Indonesia masih amat bergantung kepada dinamika ekonomi global. Rekomendasi yang diberikan pun terkait dengan optimalisasi transaksi internasional, baik dalam soal arus barang maupun arus modal. Ada kesan bahwa faktor domestik lebih sebagai “bumper” belaka. Pengaman, jika keadaan global sulit, maka ada faktor pengaman agar Indonesia tidak sampai hancur perekonomiannya. Untuk tumbuh dan menjadi sejahtera, faktor eksternal masih dianggap lebih penting. Ironisnya lagi, justeru kurang manageable alias agak di luar kendali otoritas ekonomi Indonesia.

Kamis, 17 Desember 2009

Angka Pengangguran Terbuka Kurang Menggambarkan Kondisi Ketenagakerjaan di Indonesia

Angka Pengangguran Terbuka Kurang Menggambarkan Kondisi Ketenagakerjaan di Indonesia

Pada tanggal 1 Desember 2009, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data ketenagakerjaan untuk kondisi Agustus 2009. Disebutkan antara lain : angkatan kerja sebanyak 113,83 juta orang, yang bekerja sebanyak 104,87 juta orang, pengangguran terbuka sebanyak 8,96 juta orang atau sekitar 7,87 %, serta setengah pengangguran sebanyak 31,57 juta orang atau sekitar 27,73 %.

Pengangguran Terbuka
Angka pengangguran terbuka mengalami penurunan yang cukup signifikan dibandingkan kondisi bulan februari 2009 yang sebesar 8,14 %, dan juga lebih rendah daripada kondisi setahun lalu, yakni 8,39 % pada Agustus 2008. Jika dilihat dari jumlah orang yang menganggur, maka terdapat penurunan sebanyak 430 ribu orang (dari 9,13 menjadi 8,96 juta orang) selama periode setahun.

Dengan demikian, selama periode Pemerintahan SBY yang pertama, tercipta lapangan kerja baru untuk sebanyak 11,15 juta orang (dari 93,72 juta menjadi 104,87 juta). Sementara angkatan kerja bertambah sebanyak 7,98 juta orang (dari 103,97 juta menjadi 111,95 juta). Jumlah pengangguran pada Agustus 2004 (dua bulan sebelum pelantikan Presiden) adalah sebanyak 10,25 juta orang atau sebesar 9,90%.
Artinya, laju penciptaan lapangan kerja hanya sedikit diatas laju pertumbuhan angkatan kerja. Prestasi itu masih jauh dari target yang ditetapkan sendiri pada awal periode pemerintahan, yang ingin menekan angka pengangguran menjadi 5,1 % pada tahun 2009.

Setengah Pengangguran
Pada Agustus 2009, ada 31,57 juta orang setengah pengangguran atau 27,73 %. Terdiri dari setengah penganggur terpaksa sebanyak 15,40 juta orang dan setengah penganggur sukarela sebanyak 16,17 juta orang.

Sebagai catatan, setengah pengangguran adalah bagian dari angkatan kerja yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu). Setengah pengangguran dibagi menjadi setengah penganggur terpaksa dan setengah penganggur sukarela. Setengah penganggur terpaksa adalah mereka yang bekerja dibawah jam kerja normal dan masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan lain. Setengah penganggur sukarela adalah mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal tetapi tidak mencari pekerjaan atau tidak bersedia menerima pekerjaan lain, misalnya tenaga ahli yang gajinya sangat besar.

Angka setengah pengangguran selama pemerintahan SBY periode pertama tampak mengalami perkembangan yang lebih buruk daripada kondisi pengangguran terbuka. Angka setengah pengangguran pada Agustus 2004 (dua bulan sebelum pelantikan Presiden) adalah sebanyak 27,95 juta orang atau sebesar 26,88 %. Artinya, selama periode itu, terjadi penambahan jumlah setengah pengangguran sebanyak 3,62 juta orang dan prosentasenya meningkat menjadi 27,73 % dari angkatan kerja.

Jika dicermati lebih jauh, maka jumlah setengah pengangguran yang terpaksa juga mengalami perkembangan yang tidak menggembirakan. Dari 13,42 juta orang pada Agustus 2004 menjadi 15,40 juta orang pada Agustus 2009. Mereka memang dianggap telah bekerja, namun sebenarnya masih mencari dan berharap akan pekerjaan lainnya yang lebih baik.

Status Pekerjaan
Dari 104,87 juta orang yang bekerja pada periode Agustus 2009, BPS juga mengelompokkan mereka menurut tujuh status pekerjaan utama. Berusaha sendiri sebanyak 21,05 juta orang (20,07%). Berusaha dibantu buruh tidak tetap 21,93 juta orang (20,91%). Berusaha dibantu buruh tetap sebanyak 3,03 juta orang (2,89%). Buruh/Karyawan 29,11 juta orang (27,76%). Pekerja bebas di pertanian sebanyak 5,88 juta orang (5,61%). Pekerja bebas di Non pertanian sebanyak 5,67 juta orang (5,41%). Pekerja keluarga/tidak dibayar sebanyak 18,19 juta orang (17,35%).

BPS juga mengumumkan keadaan ketenagakerjaan yang menggolongkan kegiatan bekerja menjadi formal dan informal, yang secara kasar didefinisikan berdasarkan status pekerjaan. Dari tujuh kategori status pekerjaan utama, pekerja formal mencakup kategori berusaha dengan dibantu buruh tetap dan kategori buruh/karyawan. Jika melihat status pekerjaan berdasarkan klasifikasi formal dan informal, maka pada Agustus 2008 sekitar 32,14 juta orang (30,65%) bekerja pada kegiatan formal dan 72,73 juta orang (69,35 %) bekerja pada kegiatan informal.

Sebagai catatan, BPS mendefinisikan Berusaha dibantu dengan buruh tetap adalah mereka yang bekerja sebagai orang yang berusaha atas risiko sendiri dan dalam usahanya mempekerjakan paling sedikit satu orang buruh tetap. Buruh tetap adalah buruh/karyawan yang bekerja pada orang lain atau instansi/kantor/perusahaan dengan menerima upah atau gaji secara tetap, baik ada kegiatan maupun tidak. Buruh/Karyawan/Pekerja dibayar adalah mereka yang bekerja pada orang lain atau instansi/kantor/perusahaan dengan menerima upah/gaji baik berupa uang maupun barang.

Jika melihat komposisi antara pekerja formal dan informal, maka tampak tidak adanya perbaikan yang berarti selama lima tahun terakhir, meski sempat ada sedikit perbaikan dalam dua tahun pertama. Jumlah pekerja formal pada Agustus 2004 adalah sebanyak 28,43 juta orang atau sebesar 30,33%, sedangkan pekerja informal adalah sebanyak 65,30 juta orang atau sebesar 69,67% dari mereka yang bekerja. Perkembangan perekonomian Indonesia terlihat kurang berhasil menciptakan lapangan kerja baru di sektor formal yang banyak diinginkan oleh para pencari kerja dan para pekerja informal (yang sebagian cukup besarnya berstatus setengah penganggur).

Lapangan Pekerjaan
Proses informalisasi ketenagakerjaan di Indonesia dilihat dari status pekerjaan tampaknya didukung pula oleh data penyebaran pekerja berdasar lapangan pekerjaan. Sebagai contoh, sektor industri pengolahan menyerap 11,07 juta pada Agustus 2004 dan 12,84 juta pada Agustus 2009. Jasa Kemasyarakatan, naik dari (Agustus 2004) menjadi 14,00 juta (Agustus 2009). Sekalipun tidak sepenuhnya bisa diartikan bahwa mereka yang bekerja di sektor industri pengolahan adalah formal, sedangkan yang di sektor jasa-jasa (masyarakat) adalah informal. Sekalipun tidak sepenuhnya bisa diartikan bahwa mereka yang bekerja di sektor industri pengolahan adalah formal, sedangkan yang di sektor jasa-jasa (masyarakat) adalah informal.

Selain menguatkan indikasi informalisasi pekerjaan, fakta ini pun membuat perkembangan industrialisasi di Indonesia mesti lebih diperhatikan karena tidak cukup berhasil menciptakan lapangan kerja. Hanya menciptakan 1,77 juta lapangan kerja selama lima tahun. Padahal, meski secara implisit, Pemerintah ingin mengalihkan sebagian tenaga kerja di sektor pertanian ke sektor industri seiring dengan tingkat pembangunan ekonomi yang semakin tinggi. Di sisi lain, justeru sektor pertanian masih saja menjadi tempat penampungan tenaga kerja, meningkat dari 40,61 juta (Agustus 2004) menjadi 41,61 juta (Agustus 2009). Penyerapan sektor pertanian biasanya secara relatif (pada tahun yang sama) akan lebih tinggi untuk data ketenagakerjaan bulan Februari, karena adanya panen raya di banyak daerah.

Selengkapnya, pada Agustus 2009, mereka yang bekerja tersebar menurut lapangan pekerjaan berikut: sektor pertanian sebanyak 41,61 juta orang (39,68%), sektor industri sebanyak 12,84 juta orang (12,24%), sektor konstruksi sebanyak 5,49 juta orang (5,24%), sektor perdagangan sebanyak 21,95 juta orang (20,09%), sektor Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi sebanyak 6,12 juta orang (5,84%), sektor Keuangan sebanyak 1,49 juta orang (1,42%), Jasa Kemasyarakatan sebanyak 14,00 juta orang (13,34%), Sektor lainnya sebanyak 1,39 juta orang (1,33%).

Kesimpulan sementara yang bisa diambil, angka pengangguran terbuka terlampau sederhana, sehingga tak cukup mampu menggambarkan kondisi ketenagakerjaan yang sebenarnya di Indonesia. Ukuran bekerja 1 jam terlampau minimalis, dan arti dibayar pun tak terkait dengan nominal yang pantas untuk bertahan hidup sebagai manusia. Data sektoral pekerjaan pun memerlukan pemilahan yang lebih jelas dan diketahui publik luas.

Senin, 14 Desember 2009

Otoritas Ekonomi merasa puas dengan Pertumbuhan Ekonomi 2009

Otoritas Ekonomi merasa puas dengan Pertumbuhan Ekonomi 2009

Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia secara kumulatif sampai dengan Triwulan III-2009 tumbuh sebesar 4,2 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2008 (c-to-c). Pertumbuhan ini jauh lebih rendah daripada setahun lalu, yang mencapai 6,3 persen.

Pihak otoritas ekonomi sendiri tampaknya cukup puas dengan pencapaian tersebut, dan dinyatakan sebagai masih sesuai dengan harapan. Setelah sempat terlampau percaya diri dalam menyongsong perekonomian mendatang pada pertengahan dan akhir tahun 2008, otoritas ekonomi kemudian menjadi lebih berhati-hati atas dampak berbagai perubahan dalam perekonomian dunia terhadap perekonomian domestik.

Pertumbuhan ekonomi domestik dalam asumsi RAPBN 2009 yang diajukan Agustus 2008 dipatok untuk mencapai 6,2 persen, yang kemudian direvis menjadi 6,0 persen dalam APBN yang ditetapkan bulan Nopember 2008. Perkiraan tersebut kemudian diturunkan secara cukup drastis menjadi 4,5 persen dalam Dokumen Stimulus yang ditetapkan Pemerintah bersama DPR beberapa bulan kemudian, yaitu pada 24 Februari 2009. Belakangan, angkanya disesuaikan menjadi 4,3 persen dalam RAPBN-P 2009 yang disampaikan awal Agustus 2009 lalu.

Bank Indonesia, sebagai otoritas moneter, sejak awal terlihat lebih konservatif dan cenderung lebih realistis dalam memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2009. Bank Indonesia meski sempat pula memproyeksikan angka 6 persen pada pertengahan tahun 2008, secara lebih cepat merevisinya dari waktu ke waktu. Pada awal tahun 2009, Bank Indonesia mengeluarkan prakiraan resmi di kisaran 4,0-5,0 persen. Pada pertengahan tahun, prakiraan diturunkan kembali menjadi 3,5-4,0 persen. Beberapa waktu kemudian, pada bulan Okrober, Bank Indonesia kembali menjadi lebih optimis dan mengeluarkan prediksi sebesar 4,0-4,5 persen. Pada awal Desember lalu, Bank Indonesia mempertajam prakiraannya menjadi 4,26 persen.

Dalam realisasinya, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2009 memang langsung merosot, hanya mencapai 4,04 persen jika dilihat secara tahunan (y-on-y). Perlambatan laju pertumbuhan itu sendiri telah dimulai pada triwulan IV-2008, yang meski tak drastis telah melemah menjadi 5,2 persen, setelah sebelumnya selalu berada di atas 6 persen. Perlambatan kemudian masih berlanjut pada triwulan II-2009, yang hanya tumbuh 4,0 persen. Sedikit di luar dugaan otoritas ekonomi, keadaan kemudian membaik secara lebih cepat, dimana pertumbuhan triwulan III-2009 beranjak naik sedikit mencapai 4,2 persen. Kecenderungan perbaikan diyakini akan masih terus berlangsung, bahkan untuk tahun-tahun mendatang.

Dengan demikian, prakiraan mutakhir Pemerintah (dan DPR) seperti yang tercantum dalam APBN-P 2009 adalah sebesar 4,3 persen. Sedangkan prakiraan Bank Indonesia adalah sebesar 4,23 persen.

BRIGHT Indonesia sendiri tidak pernah merevisi perkiraannya tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia 2009 sebesar 4,4 persen, yang dipublikasikan dalam Economic Outlook setahun lalu. Pada waktu itu telah diberi catatan pula bahwa angka tersebut adalah pencapaian tertinggi yang mungkin bisa dicapai, atau bisa sedikit di bawahnya.

Secara teknis, pertumbuhan triwulan IV-2009 bisa mencapai 4,7 persen secara tahunan (y-on-y), namun Bank Indonesia secara berhati-hati mematok angka 4,4 persen. Namun jika dilihat angka pertumbuhan secara triwulanan (q-to-q), triwulan IV dibanding triwulan III, maka pertumbuhannya akan tetap negatif. Hal ini lebih dikarenakan faktor musiman, sebagaimana yang diperlihatkan oleh data pertumbuhan pada triwulan IV dibanding triwulan III untuk masing-masing tahun, yang selama beberapa tahun terakhir tumbuh secara negatif di kisaran angka 2 persen (lihat grafik 2.1). Datanya antara lain adalah : minus 2,18 persen (2005), minus 1,96 persen (2006) dan minus 2,1 persen (2007), dan minus 3,6 persen (2008). Terlihat bahwa pertumbuhan pada tahun 2008 adalah yang terburuk, bahkan untuk data rentang waktu yang lebih lama (sejak tahun 2000).

BRIGHT Indonesia menduga angka pertumbuhan triwulan IV dibanding triwulan III tahun 2009 berada di kisaran minus 2,0 persen, sesuai dengan kecenderungan historis sebelumnya. Artinya pertumbuhan PDB Indonesia tahun 2009 akan sekitar 4,2-4,3 persen. Jika kondisi yang berkembang bisa lebih baik, maka pertumbuhan dapat mencapai 4,4 persen. Alasan utamanya, angka minus di kisaran 2 % selama beberapa tahun terakhir bisa dikatakan lebih karena faktor musim belaka. Jika tahun 2008, faktor krisis global berdampak buruk, maka diharapkan pemulihannya di penghujung tahun 2009 berakibat sebaliknya.

Selasa, 08 Desember 2009

Pemerintah Hanya Mementingkan Angka Kemiskinan

Berbagai dokumen resmi pemerintah terkait kemiskinan telah mengakui bahwa permasalahan kemiskinan harus dilihat dari aspek pemenuhan hak dasar, beban kependudukan, serta ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender. Dikatakan pula bahwa permasalahan kemiskinan perlu dilihat dari pendapat atau persepsi yang dikemukakan oleh masyarakat miskin itu sendiri, selain dengan data statistik dari banyak variabel. Kemiskinan di Indonesia pun kerap dikatakan sebagai bersifat multidimensi. Pengakuan yang demikian umumnya terdapat pada bagian awal dari masing-masing dokumen yang memuat dasar pemikiran, latar belakang masalah, serta tujuan-tujuan pokok kebijakan atau program.

Dokumen tersebut sudah menyebutkan kemiskinan di Indonesia mencakup antara lain hal-hal berikut: ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan, papan); tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih, dan transportasi); tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga); kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal; rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber daya alam; tidak dilibatkan dalam kegiatan sosial masyarakat; tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan; ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental; serta ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak-anak terlantar, wanita korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil).

Sayangnya, hampir semua program pemerintah masih mendasarkan diri pada pengertian kemiskinan konsumsi dalam kerangka kerja maupun target-target yang diupayakan untuk dicapai. Sebagian disebabkan soal teknis berupa ketidakberhasilan penjabaran konsep kemiskinan yang multidimensi yang sudah diakui tadi. Sebagiannya lagi karena dominasi konsep pembangunan dan pengelolaan ekonomi yang dijalankan, yang memang menempatkan soal kemiskinan sekadar bagian dari dampak buruk yang harus ditangani.
Pemerintah pada hakikatnya tetap saja memakai atau mengutamakan definisi dan hasil perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai acuan utama kebijakan. Pemerintahan SBY periode pertama pun mengklaim cukup berhasil menangani masalah kemiskinan. Buktinya, berdasar data BPS, jumlah penduduk miskin turun sebanyak 2,57 juta, dari 35,10 juta pada Maret 2005 menjadi 32,53 juta pada Maret tahun 2009. Secara relatif juga terjadi penurunan persentase penduduk miskin dari 15,97 persen menjadi 14,15 persen.

Perkembangan PDB per kapita, nominal PDB dibagi dengan jumlah penduduk, kerap dianggap mencerminkan tingkat pendapatan masyarakat dalam suatu negara. PDB per kapita Indonesia selalu mengalami pertumbuhan dengan persentase yang cukup tinggi, pada tahun 2008 naik 23,56 persen dibanding tahun 2007 (lihat tabel 8). Patut dicermati bahwa laju pertumbuhan PDB per kapita ini jauh lebih tinggi daripada kenaikan garis kemiskinan. Sebagai contoh, laju pertumbuhan PDB per kapita 2008 (terhadap 2007) dibandingkan dengan kenaikan garis kemiskinan Maret 2008-Maret 2009. Perbedaan diantara keduanya cukup signifikan, dan cenderung demikian setiap tahun.

Jika pertumbuhan PDB per kapita sedemikian tinggi dan jauh melampaui kenaikan garis kemiskinan, maka secara teoritis akan terjadi pengurangan jumlah penduduk secara amat signifikan. Peningkatan pendapatan rata-rata penduduk semestinya tercermin pula dalam kenaikan rata-rata pengeluarannya, sehingga mereka tidak tergolong penduduk miskin. Namun, data (dalam makalah lengkap) tidak mendukung penalaran semacam ini. Tidak terlihat adanya pola hubungan yang kuat.

Penjelasannya mungkin harus diteliti lebih jauh pada soal ketimpangan pendapatan antar penduduk. Sekalipun terjadi pemerataan pengeluaran diantara kaum miskin (turunnya indeks keparahan), namun tidak bisa dipastikan ketimpangan pendapatan dengan penduduk yang kaya.

Masih terkait dengan itu adalah hubungan antara penurunan jumlah penduduk miskin dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi adalah perubahan PDB riil suatu tahun terhadap tahun sebelumnya. PDB riil diartikan PDB yang telah dibersihkan dari komponen kenaikan harga-harga (inflasi). Berbagai wacana ilmiah mutakhir, termasuk penelitian kemiskinan oleh Bank Dunia, selalu merekomendasikan perlunya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di Indonesia agar masalah kemiskinan bisa teratasi.

Penjelasan dan penalaran ilmiah tentang hal tersebut memang sangat masuk akal. Akan tetapi untuk periode 2005-2009, pola hubungan pertumbuhan ekonomi dengan pengurangan jumlah penduduk miskin tampaknya juga tidak kuat. Kadang, pada saat pertumbuhan ekonomi tetap terjadi meskipun dalam laju yang moderat, jumlah penduduk miskin justeru bertambah. Dilain waktu, laju pertumbuhan ekonomi yang sedikit melambat seperti pada tahun lalu justeru mampu mengurangi lebih banyak penduduk miskin.

Penjelasannya mungkin harus diteliti pada sektor dan subsektor apa saja yang tumbuh lebih cepat dan seberapa kaitannya dengan pendapatan kaum miskin. Wajar pula jika banyak pihak menduga penurunan jumlah dan angka kemiskinan selama dua tahun terakhir lebih karena kebijakan populis program kemiskinan secara langsung daripada akibat pertumbuhan ekonomi. Selain itu, banyak disebut soal kontribusi besar dari relatif rendahnya kenaikan harga-harga, khususnya yang terkait langsung dengan garis kemiskinan.

Aspek kedalaman dan keparahan sebenarnya tidak terpisahkan dari aspek ketimpangan. Ketimpangan besar di Indonesia dicurigai terdapat pada keadaan antar individu dan antar daerah. Perhitungan angka indeks gini rasio, yang dianggap mencerminkan sebaran pendapatan antar penduduk, memang menunjukkan kecenderungan membaik, namun relatif stagnan dalam beberapa tahun terakhir. Penelitian lebih lanjut, termasuk dengan pendekatan pendapatan (bukan hanya pengeluaran), diperlukan agar kebijakan yang lebih efektif dapat direkomendasikan.

Seperti yang disebut di atas, perhatian utama pemerintah adalah menurunkan angka kemiskinan. Secara penalaran, bagaimana jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan menjadi semakin sedikit, setidaknya secara prosentase. Oleh karena garis kemiskinan diukur dari pengeluaran penduduk, maka tidak selalu berarti perlu peningkatan pendapatan secara signifikan dan sustainabel (berkelanjutan) untuk mencapainya.

Bisa pula ”disiasati” secara teknis, karena BPS hanya menghitung kemiskinan untuk kondisi bulan Maret setiap tahunnya (dipublikasikan pada bulan Juli). Bagaimana cara, agar pada bulan itu, harga-harga (khususnya yang menjadi paket komoditi garis kemiskinan) relatif rendah. Diupayakan pula agar pada waktu itu, penduduk miskin dan nyaris miskin memiliki ”daya beli”. Bukanlah suatu kebetulan jika pada waktu-waktu itu berbagai bantuan dan atau program Pemerintah sedang ”berjalan baik”.

Terlepas dari siasat untuk bulan Maret, maka secara umum strategi dasarnya adalah mengendalikan harga beberapa komoditas utama yang menyumbang besar pada garis kemiskinan, seperti beras. Pada saat bersamaan, daya beli masyarakat (miskin dan nyaris miskin) diupayakan untuk bisa sedikit meningkat atau minimal tidak merosot atas kelompok komoditas tadi.

Rangkaian kebijakan fiskal, moneter dan perbankan dipakai untuk menopangnya. Ada soal jumlah uang beredar, ketersediaan kredit mikro sampai jumlah tertentu, pengendalian harga komoditas tertentu, bantuan langsung tunai, dan lain sebagainya.
Kita tidak bisa berharap akan adanya kebijakan dan program yang dirancang untuk peningkatan pendapatan penduduk miskin secara berkesinambungan. Orientasi dasarnya bukan meningkatkan kesejahteraan, melainkan sekadar diusahakan agar berada di atas garis kemiskinan. Sehingga tidak mengherankan jika sebagian besar penduduk sebenarnya bergerombol di sekitar garis saja. Mereka dengan mudah untuk turun kelas, sekaligus bisa dinaikkan lagi jika perlu.

Konsep (termasuk definisi) tentang kemiskinan yang dipakai pemerintah yang demikian juga menentukan asumsi yang dipakai serta penalaran atas dampak positif dari program. Sebagai contoh, adalah mengenai ”logika bantuan tidak langsung” dari program semacam PPK, P2KP, dan PNPM Mandiri. Disebutkan bahwa tujuan PPK dicapai dengan meningkatkan kapasitas dan kelembagaan masyarakat dalam menyelenggarakan pembangunan desa atau antar desa; pengadaan sarana dan prasarana dasar perdesaan yang bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya masyarakat miskin, paling prioritas dan mendesak; serta kegiatan sosial dan ekonomi sesuai kebutuhan masyarakat. P2KP meyakini bahwa pendekatan yang lebih efektif untuk mewujudkan proses perubahan perilaku masyarakat adalah melalui pendekatan pemberdayaan atau proses pembelajaran (edukasi) masyarakat dan penguatan kapasitas untuk mengedepankan peran pemerintah daerah dalam mengapresiasi dan mendukung kemandirian masyarakatnya. Serupa pula dengan klaim bahwa PNPM-Mandiri adalah program nasional yang berisikan berbagai kebijakan pengharmonisasian pengelolaan program-program penanggulangan kemiskinan terutama yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat sendiri adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat baik secara individu maupun kelompok untuk produktif dan mandiri serta mampu meningkatkan kualitas hidupnya.

Sepintas tidak ada yang salah dari logika tidak langsung yang berbungkus kata sakti “pemberdayaan” tadi. Masalahnya yang terjadi kemudian, sebagian besar program lebih mungkin dinikmati lapisan masyarakat hampir miskin dan tidak miskin. Penilaian bahwa sarana dan prasarana tertentu akan memudahkan akses ke sumber produktif bias asumsi mengenai apa yang masih dimiliki kaum miskin saat ini. Apalagi soal dana bergulir, yang secara terang-terangan menganggap kaum miskin seluruhnya adalah para pedagang.

Logika semacam itu dipertahankan dan secara eksplisit dinyatakan oleh Gustav F. Papanek, ekonom ahli tentang Indonesia dan seorang konsultan Bank Dunia, yang didatangkan untuk “menghitung” prosepek PNPM Mandiri. Dikatakannya bahwa Manfaat-manfaat besar PNPM akibat kegiatan ekonomi yang lebih besar yang ditimbulkannya, bukan karena jumlah orang yang dapat langsung diberinya pekerjaan. Dampak pada peluang kerja: 24 juta orang mendapat pekerjaan. Berbagai manfaat PNPM adalah akibat dari meningkatnya kegiatan ekonomi, bukan akibat peluang kerja yang langsung terbuka. Dampaknya besar bagi orang miskin, dimana 16 juta orang miskin mendapat manfaat. Dijelaskan bahwa pada 2009, sekitar 60% dari manfaat PNPM bersifat tidak langsung: kegiatan ekonomi yang meningkat. Manfaat tidak langsung akibat: a. “Multiplier” pendapatan– pendapatan tambahan yang tercipta di desa karena orang yang bekerja di bawah PNPM menggunakan uangnya untuk membeli makanan, barang dan jasa yang lain. b. Dampak yang lebih besar berasal dari investasi dalam perbaikan infrastruktur, yang memungkinkan pengangkutan barang bernilai tinggi dengan biaya rendah. Proyek-proyek pedesaan diperkirakan akan menghasilkan rate of return, penghasilan tahunan sebagai persentase biaya investasi, sebesar 50%, yang akan terus dapat diperoleh dengan perawatan; ini sangat besar.

Ditambahkannya bahwa ada manfaat tidak langsung yang lain, yang tidak dapat diukur dari sisi peluang kerja yang terbuka dan penghasilan yang meningkat: a. PNPM dapat dijadikan mekanisme Jaring Pengaman Sosial atau Asuransi Sosial. b. PNPM membantu mencegah tingkat upah bagi semua, bahkan juga bagi orang yang tidak terlibat dalam kegiatan PNPM, turun ke tingkat yang rendah di luar musim sibuk.
Logika serupa dipakai pada semua program yang menawarkan dana bergulir atau kredit murah, yang berasumsi akan bisa dimanfaatkan oleh rumah tangga miskin untuk menjadi modal produktif. Sebagai contoh adalah Program PDMDKE dan P2KP yang diragukan banyak pihak sebagai telah membawa perubahan terhadap kehidupan penduduk miskin. Hampir tidak pernah ada laporan mengenai figur masyarakat atau penduduk miskin yang berhasil berkat bantuan kredit mikro dari P2KP.

Sementara itu, dari berbagai penelitian terungkap bahwa sebagian cukup besar orang miskin memiliki kondisi yang berbeda selama kurun waktu beberapa tahun sebelumnya. Ditemukan antara 30 sampai dengan 40 persen (dalam beberapa penelitian untuk kurun waktu berbeda) dari mereka, sebelumnya tidak berposisi sebagai orang miskin. Ada fakta, mereka mengalami proses pemiskinan dalam kurun waktu tertentu.

Sebagian pemiskinan bisa dijelaskan oleh faktor-faktor internal orang miskin, seperti: soal pendidikan, ketiadaan barang modal atau sarana produksi, dan soal etos kerja. Namun, sebagian besar fakta justeru lebih bisa dijelaskan oleh adanya kekuatan-kekuatan eksternal dari kaum miskin. Bahkan, analisis mendalam menghasilkan kesimpulan adanya pengaruh variabel eksternal yang sangat signifikan kepada faktor internal, setelah kurun waktu tertentu.

Variabel eksternal yang paling banyak mendapat sorotan adalah kebijakan pemerintah di bidang ekonomi. Diantaranya adalah kebijakan moneter, kebijakan perbankan, kebijakan fiskal dan kebijakan investasi. Segala kebijakan ekonomi secara eksplisit dikatakan lebih mendasarkan diri kepada mekanisme pasar. Kata kuncinya adalah upaya peningkatan investasi, yang dalam prakteknya terpaksa harus berpihak kepada penanaman modal besar (terutama modal asing) ataupun sektor korporasi. Selama ini harapan ditujukan kepada mereka agar membuka pekerjaan bagi seluruh rakyat, dan dengan produksi massalnya maka harga barang-barang akan menjadi murah.

Oleh karena yang kemudian terjadi adalah pengangguran masih sangat tinggi (karena yang dikembangkan adalah industri padat modal), dan harga-harga sebenarnya tetap tinggi (karena surplus ekonomi secara rakus lebih dinikmati oleh mereka sendiri). Dikembangkan kebijakan lain untuk sedikit ”memperbaiki”nya. Secara teknis, dengan berbagai program maka angka pengangguran terbuka (dengan definisi yang sangat longgar) bisa ditekan, dan inflasi pun tetap bisa dikendalikan. Dengan kebijakan demikian, kemiskinan tidak bisa dan memang tidak sungguh-sungguh akan dientaskan dari Indonesia.

Jakarta, 5 Desember 2009
Ringkasan Makalah untuk Pertemuan Akhir Tahun UPC, 5 Desember 2009 di Jakarta

Jurnalis Perlu lebih Mengerti tentang Indikator ekonomi

Jurnalis Perlu lebih Mengerti tentang Indikator ekonomi
Istilah dan angka ekonomi kerap mendominasi headline news media massa, media cetak maupun media elektronik di Indonesia saat ini. Masyarakat pun terbiasa disodori ulasan tentang kondisi perekonomian. Sebagai contoh, pada bulan Agustus hingga Oktober 2008 banyak diberitakan mengenai Pemerintah yang mentargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,2 persen pada tahun 2009. Ketika target dikemukakan, tidak banyak ulasan para ekonom yang membantah besarannya secara berarti, sehingga estimasi angka di kisaran 6 persen menjadi semacam konsensus. Sejauh yang dikutip media, kebanyakan opini lebih mengkritisi soal kualitas pertumbuhan ekonomi yang perlu diperbaiki.

Seiring dengan perkembangan perekonomian dunia yang memburuk secara cukup dramatis, mulai pertengahan Nopember 2008, angka konsensus itu banyak dipertanyakan. Banyak ekonom dan lembaga yang mengajukan angka baru dengan berbagai ulasannya. Pemerintah sendiri secara resmi bersama DPR telah menyepakati angka 6,0 persen dalam Undang-Undang APBN 2009 yang disahkan tanggal 10 nopember 2008. Akan tetapi, pada waktu yang hampir bersamaan, Menteri Keuangan sudah menyinggung angka 5 persen yang menurutnya lebih realistis. Kemudian, pada jumpa pers akhir tahun, Presiden menyatakan angka pertumbuhan ekonomi yang mungkin bisa dicapai pada tahun 2009 adalah 4,5 persen. Menurut Presiden dan Menteri Keuangan, untuk mencapai angka tersebut pun diperlukan kerja keras semua pihak. Gubernur Bank Indonesia bahkan telah menyebut angka kisaran 4,0%. Secara legal formal, Pemerintah mengajukan perubahan target pertumbuhan ekonomi versi APBN kepada DPR, yang lalu disepakati sebesar 4,5 persen pada tanggal 24 Februari 2009. Belakangan, angkanya disesuaikan menjadi 4,3 persen dalam RAPBN-P 2009 yang disampaikan awal Agustus 2009 lalu, dan disepakati DPR sebulan kemudian..

Bank Indonesia sebagai otoritas moneter sejak awal terlihat lebih konservatif dan cenderung realistis dalam memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2009. Bank Indonesia meski sempat pula memproyeksikan angka 6 persen pada pertengahan tahun 2008, secara lebih cepat merevisinya dari waktu ke waktu. Pada awal tahun 2009, Bank Indonesia mengeluarkan prakiraan resmi di kisaran 4,0-5,0 persen. Pada pertengahan tahun, prakiraan diturunkan kembali menjadi 3,5-4,0 persen. Belakangan, pada bulan Okrober, Bank Indonesia kembali menjadi lebih optimis dan mengeluarkan prediksi sebesar 4,0-4,5 persen.

Perubahan target pertumbuhan ekonomi oleh otoritas ekonomi Indonesia biasanya memang lebih lambat daripada proyeksi yang dilakukan oleh lembaga riset atau lembaga keuangan. Bank Dunia pada bulan Desember 2008 mengeluarkan angka proyeksi 4,4%, sama dengan prediksi BRIGHT Indonesia, suatu lembaga think tank ekonomi, setengah bulan sebelumnya. Sejak akhir Januari hingga Februari, para ekonom pun umumnya menyebut angka 5% sebagai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi yang mungkin dicapai.

Media cetak dan media elektronik pada umumnya memberitakan target dan perubahan target pertumbuhan ekonomi nasional oleh otoritas ekonomi, serta kerap mengemukakan prediksi pihak lainnya. Lazimnya, tema target dan estimasi semacam itu banyak diulas pada akhir tahun, bersesuaian dengan banyaknya acara ataupun pers release terkait. Khusus untuk tema angka pertumbuhan ekonomi 2009, pemberitaannya berlanjut dari akhir tahun 2008 hingga akhir Februari 2009, karena begitu cepat dan signifikannya perubahan prediksi oleh pihak yang sama.

Perlu dicatat, pemberitaan media tentang estimasi kerap lebih dominan dibanding dengan realisasinya. Ulasan tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2008 yang telah berlalu jauh lebih sedikit dibandingkan prediksi untuk tahun 2009. Demikian pula nantinya setahun kemudian, untuk estimasi pertumbuhan ekonomi 2010 dibandingkan yang telah terjadi pada tahun 2009.
Selain pertumbuhan ekonomi, ada banyak soal ekonomi yang secara rutin diberitakan media, terutama sekali yang mengandung aspek kuantitatif yang bisa diperbandingkan antar kurun waktu. Diantaranya adalah: nilai tukar rupiah, penyusunan dan pelaksanaan Anggaran pendapatan dan Belanja negara (APBN), utang pemerintah, subsidi, angka pengangguran, angka kemiskinan, BI-rate, kredit perbankan, inflasi, transaksi berjalan, ekspor-impor, cadangan devisa, dan indeks harga saham.

Sumber berita utamanya adalah pengumuman atau pernyataan otoritas ekonomi, yaitu Pemerintah dan Bank Indonesia. Menteri atau pejabat departemen di pemerintahan yang kerap mengeluarkan data atau pernyataan ekonomi adalah departemen keuangan dan departemen perindustrian dan perdagangan. Lembaga di pemerintahan yang paling banyak mempublikasikan data ekonomi secara periodik adalah Badan Pusat Statistik (BPS). Sedangkan Bank Indonesia yang memiliki status sebagai otoritas moneter dan otoritas perbankan menjadi sumber berita bagi data-data terkait.

Selain berisi pernyataan atau pengumuman pihak berwenang, berita media sering dilengkapi dengan komentar dari berbagai pihak. Komentar diminta oleh jurnalis dari para pengamat yang dianggap kompeten atau para praktisi bisnis dan keuangan yang terkait erat dengan topik bersangkutan. Ada yang sekadar menjadi bagian laporan pemberitaan dengan dikutip secukupnya. Ada yang justeru menjadi judul berita ataupun menjadi lead berita tersebut. Kadang ada pandangan yang disajikan sebagai tulisan tersendiri, berupa opini atau kolom di media cetak. Soal yang banyak ditulis media cetak, sering menarik bagi media elektronik untuk dijadikan talkshow, dengan jenis narasumber serupa.

Ragam berita dengan topik ekonomi yang lebih banyak adalah yang berkenaan dengan keadaan dunia usaha atau bisnis. Ulasannya pun dilengkapi dengan istilah dan angka ekonomi. Ada angka-angka yang bersumber dari publikasi rutin suatu lembaga, perhitungan suatu perusahaan, rekaan asosiasi atau kelompok usaha, dan ada dari hasil survey insidental. Telah lazim jika media cetak menampilkan banyak visualisasi dari angka-angka ekonomi berupa tabel, grafik dan diagram. Banyak koran nasional, seperti Kompas, Media Indonesia dan Tempo, yang menyediakan halaman tersendiri untuk informasi data bisnis yang bersifat kuantitatif. Beberapa koran memang mengklaim diri sebagai media khusus untuk masalah ekonomi dan bisnis, seperti: Bisnis Indonesia, Kontan, Neraca, dan Investor Daily. Sementara itu, berbagai stasiun televisi memiliki acara khusus bertopik ekonomi dan bisnis, serta dilengkapi dengan visualisasi grafis dan running text yang bersifat teknis ekonomis.

Informasi media-media tersebut mencakup istilah dan angka ekonomi sebagaimana telah disinggung di atas, yang sebagian besarnya nanti kita kenal sebagai indikator makroekonomi. Meliputi pula yang bersifat lebih khusus dan sangat teknis, yang nanti akan kita kenal sebagai indikator mikroekonomi. Ada info tentang nilai tukar rupiah terhadap berbagai mata uang asing. Ada info tentang harga saham secara umum, biasa disebut Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang dilengkapi dengan angka-angka lainnya untuk berbagai kelompok saham dan saham perusahaan tertentu secara individual. Ada info tentang suku bunga Surat Berharga Bank Indonesia (SBI) dan BI-rate, serta suku bunga perbankan untuk berbagai tenor dari beberapa Bank Umum. Ada info harga-harga komoditas penting. Sebagiannya disajikan untuk menggambarkan keadaan kurun waktu tertentu (time series), meskipun dengan liputan berjangka pendek.

Ada pula tema berita yang lebih khusus yang lebih tampak sebagai masalah sosial politik, namun sebenarnya sangat terkait dengan indikator ekonomi. Seperti: soal demonstrasi buruh menuntut kenaikan upah, soal ganti rugi pembebasan tanah, soal pungutan yang dikeluhkan pengusaha, dan lain sebagainya.
Bisa disimpulkan bahwa masyarakat luas mudah memperoleh informasi atau fakta ekonomi dan bisnis mutakhir. Info tersebut seringkali dilengkapi dengan berbagai penjelasan yang bergaya populer atau tidak bersifat teknis akademis. Penjelasan kadang dimuat berupa tulisan opini para ahli atau pengamat, namun lebih sering terlihat dalam ulasan berita para jurnalis. Tulisan para jurnalis itu sendiri pada umumnya merangkum berbagai komentar orang yang dianggap kompeten, seperti : para ahli, pejabat terkait, atau pelaku ekonomi dan bisnis. Sedangkan media televisi cenderung menampilkan perdebatan berupa talk show, yang bermaksud memperjelas permasalahannya.

Akan tetapi, ada fenomena lain yang justeru nuansanya berkebalikan dari fenomena pertama tadi. Tampak semakin banyak orang yang bingung dengan penggambaran atau ulasan para ahli ekonomi, terutama ekonom pemerintah, tentang keadaan ekonomi Indonesia. Indikasinya bisa dilihat dari berbagai komentar pembaca media cetak dalam surat pembaca, atau pada saat ini paling mudah dilihat dari tanggapan dalam media yang kebanyakan sudah menyediakan edisi online selain versi cetak ( juga ada beberapa media yang memang hanya mempublikasan edisi online). Bisa kita cermati pula pada telepon pemirsa media elektronik pada acara yang bersifat interaktif untuk topik terkait.

Dalam berbagai headline news yang dicontohkan tadi, masyarakat umum yang tidak terlatih dalam ilmu ekonomi sering dibingungkan oleh banyak hal, sekalipun terbiasa membaca dan mendengarnya. Sebagian dari penyebabnya adalah:
1. Ada banyak istilah ekonomi yang tak mudah dimengerti. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi, Pro­duk Domestik Bruto, transaksi berjalan, pasar, ca­dangan devisa, indeks harga saham gabungan dan sebagainya. Bahkan untuk istilah yang artinya sudah diketahui, belum tentu pengetahuan mereka cukup memadai mengenai seluk beluknya, sehingga sangat mungkin ada bias pengertian.
2. Ada penyajian angka yang sangat banyak macamnya karena sebagian besar istilah tadi memiliki aspek kuantitatif, dan dipublikasikan secara rutin. Jika dicermati, kadang ada angka yang berbeda untuk hal yang sama, sehingga bisa membuat bingung. Wajar jika banyak orang memiliki pertanyaan berikut : Bagaimana angka-angka tersebut didapat? Jika perlu dihitung, dengan cara apa di­lakukannya, dan dihitung oleh siapa? Seberapa jauh peng­hitungan dapat dipercaya atau kredibel, baik dari aspek keahlian (kompetensi) maupun aspek independensi atas kepentingan (interest)? Pasti terlintas fikiran dari masyarakat awam yang cukup kritis, apa arti sebenarnya dari angka-angka tersebut dalam menggambarkan perekonomian? Mereka yang lebih kri­tis, akan memberi pertanyaan lanjutan: adakah hubungan antar istilah dan antar angka?. Jika ada, bagaimana pola hubungannya?.
3. Tidak sesuainya makna sajian angka (indikator) ekonomi yang di­­katakan oleh ekonom dengan kondisi yang dirasakan oleh orang kebanyakan. Ada banyak pertanyaan mengenai mengapa ulasan ekonom tentang berbagai istilah dan angka ekonomi bernada positif, sementara mereka merasakan hidup dengan kesulitan ekonomi yang tidak berkesudahan.

Kebingungan masyarakat sering diperparah oleh komentar dan penjelasan dari para ahli di berbagai media. Sebagiannya karena ada perbedaan pendapat yang mendasar mengenai topik-topik ekonomi tertentu. Sebagiannya lagi karena memang ada kekeliruan (berkaitan dengan pengertian yang sebenarnya sudah baku dan umum diterima). Ada yang memang merupakan kesalahan dari ekonom, baik dalam pernyataan yang dikutip maupun tulisan mereka sendiri. Ada juga karena soal kemampuan jurnalis atau keterbatasan teknis media dalam pemuatan (kutipannya).

Ringkasan makalahku yang disampaikan dalam Workshop Jurnalisme kritis di Universitas Atmajaya, Jogjakarta, 28 Nopember 2009.

Rabu, 02 Desember 2009

PENJELASAN BANK INDONESIA KINI DAN LAPORAN KETIKA ITU

PENJELASAN BANK INDONESIA KINI DAN LAPORAN KETIKA ITU

Oleh karena argumen utama Bank Indonesia (dan Pemerintah) saat ini mengenai kasus Bank Century adalah mengenai adanya ancaman dampak sistemik terhadap perbankan, maka kita perlu mengutip sebagian apa yang dinyatakan oleh Bank Indonesia ketika itu.

Ada 10 poin Penjelasan Pjs.Gubernur Bank Indonesia Dalam Press Conference bersama Departemen Keuangan, BI, & LPS Mengenai Hasil Audit Investigasi BPK di Departemen Keuangan Tanggal 24 November 2009. Kita kutipkan poin 2 dan 4, berikut ini.

Poin 2. Bank Indonesia juga menyayangkan bahwa pertimbangan kondisi krisis global dan dampaknya pada perekonomian Indonesia yang melatarbelakangi penyelamatan Bank Century tidak tampak dalam laporan audit tersebut. Dalamnya ancaman dan ketidakpastian yang tinggi terkait dampak krisis keuangan global terhadap perekonomian nasional, telah menuntut Pemerintah untuk menempuh langkah hukum yang mendesak yaitu dengan menerbitkan Perpu sebagai dasar bagi pengambilan kebijakan sektor keuangan oleh Pemerintah dan Bank Indonesia.

Poin 4. Oleh karena itu, penyelamatan Bank Century harus dilihat dalam konteks penyelamatan sistem keuangan, perbankan dan perekonomian secara keseluruhan yang pada periode tersebut diambang krisis sebagai dampak daripada krisis perekonomian global yang saat itu tengah berlangsung. Kebijakan Bank Indonesia dalam penetapan Bank Century sebagai bank gagal yang berpotensi sistemik, merupakan bagian dari kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dalam upaya penanganan dampak krisis global, dengan maksud untuk menyelamatkan sistem keuangan, perbankan dan perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, penyelamatan Bank Century harus dilihat dalam konteks penyelamatan sistem keuangan, perbankan dan perekonomian secara keseluruhan yang pada periode tersebut diambang krisis sebagai dampak daripada krisis perekonomian global yang saat itu tengah berlangsung. Kebijakan Bank Indonesia dalam penetapan Bank Century sebagai bank gagal yang berpotensi sistemik, merupakan bagian dari kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dalam upaya penanganan dampak krisis global, dengan maksud untuk menyelamatkan sistem keuangan, perbankan dan perekonomian Indonesia.

Perlu diketahui, Bank Indonesia secara resmi dan secara periodik mengeluarkan dua macam laporan, yaitu : Tinjauan Kebijakan Moneter (TKM) dan Laporan Kebijakan Moneter (LKM). TKM dipublikasikan secara bulanan oleh Bank Indonesia setelah Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada setiap bulan Februari, Maret, Mei, Juni, Agustus, September, November, dan Desember. LKM secara triwulanan pada setiap bulan Januari, April, Juli dan Oktober. LKM lebih terinci daripada TKM. Seperti yang dinyatakan oleh Bank Indonesia sendiri, kedua laporan dimaksudkan sebagai media bagi Dewan Gubernur Bank Indonesia untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat luas mengenai evaluasi kondisi moneter terkini atas asesmen dan prakiraan perekonomian Indonesia serta respon kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia.

Bank Indonesia juga menyampaikan Laporan Perkembangan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Bank Indonesia kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah pada setiap triwulan merupakan pemenuhan amanat yang digariskan dalam Undang-Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2004. Diakui pula bahwa penyampaian laporan (biasa disebut laporan triwulanan) tersebut pada hakikatnya merupakan salah satu wujud dari akuntabilitas dan transparansi atas pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia.

Dalam TKM Nopember 2008, yang dikeluarkan setelah Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia tanggal 6 November 2008, pada halaman 14 antara lain menyatakan:

”Kinerja sektor perbankan masih tetap baik. Indikator-indikator utama seperti CAR, NPL dan PDN perbankan menunjukkan ketahanan dalam menghadapi gejolak pasar. Net Interest Income (NII) pada September 2008 tercatat stabil dari bulan sebelumnya sebesar Rp9,3 triliun. Sementara itu, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan-NPL) sama dengan bulan sebelumnya sebesar 3,9% (gross) dan 1,4% (net). Dari sisi modal, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio-CAR) meningkat dari bulan sebelumnya sebesar 16,5%. Sedangkan Return On Asset (ROA) relatif stabil dari bulan sebelumnya, masing-masing sebesar 2,6%. Di sisi lain, kondisi likuiditas perbankan yang mulai longgar telah memberi keleluasaan bagi perbankan dalam menjalankan usahanya. Pertumbuhan kredit masih relatif stabil mencapai 34,6% dengan risiko kredit yang tetap terjaga. Meskipun demikian, ke depan risiko kredit masih perlu diwaspadai.”

Dalam TKM Desember 2008, yang dikeluarkan setelah RDG-BI 4 Desember 2008, pada halaman 17 antara lain menyatakan:
”Kinerja sektor perbankan pada Oktober 2008 secara umum tetap mantap. Indikator-indikator utama seperti CAR, NPL dan NII perbankan menunjukkan ketahanan dalam menghadapi gejolak pasar. Posisi kredit masih mengalami peningkatan mencapai Rp1.343,5 triliun atau tumbuh sebesar 37,1%. Total aset juga mengalami peningkatan mencapai Rp2.235 triliun atau tumbuh sebesar 20% (yoy). Indikator lainnya turut menggambarkan perkembangan yang stabil. Rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan - NPL) pada Oktober 2008 tercatat sebesar 3,9% (gross) dan 1,6% (net). Net Interest Income (NII) meningkat signifikan menjadi Rp10,6 triliun dari Rp9,3 triliun pada bulan sebelumnya. Sementara itu, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio - CAR) dan Return On Asset (ROA) relatif stabil dari bulan sebelumnya sebesar 16% dan 2,7%.

Dalam LKM triwulan IV-2008, setelah RDG-BI pada awal Januari 2009, pada halaman 2-3, menyatakan antara lain:
”Di sisi perbankan, industri perbankan dalam negeri diprakirakan akan mengalami dampak dari krisis keuangan global dan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Namun secara umum, perbankan nasional masih tetap memiliki daya tahan yang cukup baik, yang tercermin dari indikator utama perbankan CAR dan NPL. Rasio kecukupan modal (CAR) masih tetap tinggi meskipun sedikit menurun menjadi 14,3%. Sedangkan NPL meskipun cenderung meningkat, diprakirakan masih berada di sekitar 5%.”

Dalam Laporan (kepada DPR) triwulanan keempat ditahun 2008, tertanggal 31 Januari 2009, pada halaman 2 menyatakan antara lain:
”Perkembangan perbankan selama triwulan IV-2008 relatif terjaga, meskipun sempat mengalami gejolak sebagai imbas krisis keuangan global. Hal ini tercermin pada profil risiko perbankan yang relatif terkendali dan dibarengi pertumbuhan kredit yang masih tinggi, serta Dana Pihak Ketiga (DPK) yang meningkat signifikan. Dari segi profitabilitas, usaha perbankan juga masih mendatangkan keuntungan. Dari segi likuiditas, tekanan likuiditas yang dihadapi perbankan pada triwulan sebelumnya mulai berkurang pada triwulan IV-2008. Hal ini sejalan dengan kenaikan DPK yang cukup signifikan serta meningkatnya likuiditas menyusul berbagai respon kebijakan yang telah diambil baik oleh Bank Indonesia maupun Pemerintah.”

Secara sederhana bisa disimpulkan bahwa suasana krisis atau akan adanya ANCAMAN DAMPAK (BURUK) SISTEMIK tidak terlihat dan tidak diisyaratkan secara jelas dalam berbagai laporan resmi Bank Indonesia ketika itu. Bahkan, jika kita membaca secara lengkap semua laporan itu (bukan hanya yang saya kutipkan), terasa ada nada optimis atas segala situasi yang berkembang. Apakah penjelasan kini bersifat Post Factum, bersifat penafsiran ulang atas kondisi yang terjadi di masa lalu.

Sabtu, 22 Agustus 2009

PILIHAN GARIS KEBIJAKAN MEWUJUDKAN KEADILAN EKONOMI

PILIHAN GARIS KEBIJAKAN MEWUJUDKAN KEADILAN EKONOMI
Oleh: Awalil Rizky


Pendekatan sederhana untuk mengukur keadilan ekonomi dalam suatu negara adalah dari tingkat pendapatan setiap orang/keluarga dan distribusi diantara mereka. Sayangnya, tidak tersedia data yang lengkap dan memadai di Indonesia. Meskipun ada data upah untuk beberapa industri manufaktur, ada data nilai tukar petani, ada upah minimum regional, dan lain-lain, namun belum akurat dan bersifat by name by addres. Direktorat jenderal Pajak masih berjuang agar semua penduduk dewasa memiliki NPWP, dan akan butuh waktu lebih lama lagi agar membayar pajak penghasilan bisa juga berarti membayar secara negatif (disubsidi). BPS menyebut angka kemiskinan dan jumlah keluarga tidak sejahtera, tetapi tidak bisa menunjukkan secara jelas siapa saja dan dimana mereka tinggal.

Data terkait untuk menggambarkan pendapatan yang paling banyak dipakai Pemerintah dan para ekonom adalah yang bersifat makro, yakni Produk Domestik Bruto (PDB). Definisi singkat dari PDB adalah nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam suatu perekonomian (negara) selama kurun waktu tertentu (satu tahun).

Barang dan jasa yang diproduksi di Indonesia sendiri terdiri dari jutaan jenis. Ada barang yang berasal dari produksi pertanian, industri pengolahan, dan dari penggalian. Bisa berasal dari lahan petani kecil, produksi rumah tangga, maupun dari produksi perkebunan besar dan industri yang bersifat korporasi. Macam jasa pun demikian, mulai dari jasa pedagang kecil sampai dengan jasa konsultan keuangan bagi korporasi. Praktis, perhitungannya hanya dimungkinkan melalui penyamaan satuan hitungnya, yaitu mata uang.

Secara teoritis, bisa ditelusuri kemana perginya seluruh barang dan jasa yang diproduksi, yang dalam pengertian sehari-hari adalah dibeli oleh siapa saja. Sebagai catatan, ada sebagian yang dianggap dibeli oleh produsennya sendiri. Dari sudut pandang pihak pembeli, nilai yang dibayarnya adalah pengeluaran, sehingga PDB bisa pula dilihat sebagai pengeluaran total dalam suatu perekonomian. Secara otomatis tercermin sisi lainnya, yakni sebagai penghasilan total dari setiap orang. Kedua sisi PDB tersebut memiliki jumlah yang sama, karena pengeluaran seseorang merupakan penerimaan bagi orang lainnya dalam suatu perekonomian. Tentu saja ada beberapa teknis penyesuaian hitungan terkait transaksi internasional.

Perhatikan bahwa penghitungan PDB bersifat arus (flow), yaitu kuantitas per kurun waktu. Ini berbeda dengan penghitungan yang bersifat persediaan (stock), yaitu kuantitas pada suatu waktu atau tanggal tertentu. Misalnya, kekayaan suatu negara yang secara teoritis bisa dihitung pada tanggal tertentu akan bersifat persediaan. Suatu negara mungkin saja memiliki kekayaan yang besar, akan tetapi memiliki penghasilan per tahun yang tergolong masih rendah. Sebagaimana yang dialami Indonesia dengan kekayaan sumber daya alam yang berlimpahnya. Selain itu, perhitungannya pun berbasis wilayah geografis, yaitu semua produksi di wilayah Indonesia, tidak menjadi soal siapa yang memproduksinya, meskipun pihak asing.

Biasa juga dianalisis angka PDB perkapita yang dihubungkan dengan jumlah penduduk, , yang dianggap mencerminkan pendapatan masyarakat secara rata-rata. Pada tahun 2008 angka PDB perkapita mencapai Rp21,7 juta, meningkat 23,3 persen dibandingkan Rp17,6 juta pada tahun 2007. PDB perkapita memang selalu meningkat pesat setiap tahunnya.

Sepintas, dengan PDB perkapita tahun 2008 sebesar itu maka rakyat Indonesia secara rata-rata tidaklah miskin. Angka agregatnya jauh melampaui garis kemiskinan, baik diukur dengan ukuran BPS (sekitar Rp 2,19 juta) maupun ukuran Bank Dunia (sekitar USD 720 per tahun). Permasalahannya, angka tersebut adalah angka agregat yang bersifat rata-rata, serta tidak mencerminkan distribusinya. BPS menyediakan data tersendiri berkaitan dengan penduduk miskin, penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, yang masih sekitar 35 juta jiwa atau seperenam penduduk Indonesia. Soal kemiskinan ini telah saya ulas pada postingan terdahulu.

Analisis soal pendapatan masyarakat dan angka kemiskinan secara logis akan membawa kita kepada sumber pendapatan tersebut, dimana sumber paling utama adalah pekerjaan. Data makroekonomi yang banyak dipakai adalah data pengangguran yang menunjukkan jumlah dan prosentase orang yang tidak memiliki pekerjaan.

Selama periode Pemerintahan SBY tercipta lapangan kerja baru sebanyak 8,83 juta orang (dari 93,72 juta menjadi 102,55 juta). Sementara angkatan kerja bertambah sebanyak 7,98 juta orang (dari 103,97 juta menjadi 111,95 juta). Dengan kata lain, lapangan kerja baru yang tersedia hanya sedikit diatas laju pertumbuhan angkatan kerja. Pada Agustus 2008, ada 31,09 juta orang setengah pengangguran atau 27,77 %. Terdiri dari setengah penganggur terpaksa sebanyak 14,92 juta orang dan setengah penganggur sukarela sebanyak 16,17 juta orang. Selama empat tahun pemerintahan, jumlah penganggur hanya berhasil dikurangi sebanyak 2,27 juta. Sementara itu, angka setengah pengangguran justeru mengalami perkembangan yang lebih buruk, bertambah sebanyak 3,14 juta orang.

Jika melihat komposisi antara pekerja formal dan informal, maka tampak tidak adanya perbaikan yang berarti, meski sempat ada sedikit perbaikan dalam dua tahun pertama (lihat tabel). Jumlah pekerja formal pada Agustus 2004 adalah sebanyak 28,43 juta orang atau sebesar 30,33%, sedangkan pekerja informal adalah sebanyak 65,30 juta orang atau sebesar 69,67% dari mereka yang bekerja. Dengan kata lain, pemerintahan SBY kurang berhasil menciptakan lapangan kerja baru di sektor formal yang banyak diinginkan oleh para pencari kerja dan para pekerja informal (yang sebagian cukup besarnya berstatus setengah penganggur).

Proses informalisasi ketenagakerjaan di Indonesia dilihat dari status pekerjaan tampaknya didukung pula oleh data penyebaran pekerja berdasar lapangan pekerjaan. Sekalipun tidak sepenuhnya bisa diartikan bahwa mereka yang bekerja di sektor industri pengolahan adalah formal, sedangkan yang di sektor jasa-jasa (masyarakat) adalan informal. Ditambah lagi dengan adanya kecenderungan meningkatnya jumlah pengangguran terdidik, yakni para penganggur yang memiliki latar belakang lulusan perguruan tinggi (Sarjana dan Diploma). Gejala ini pun memperkuat indikasi semakin kuatnya proses informalisasi ketenagakerjaan. Para penganggur terdidik yang meningkat bisa saja ditafsirkan karena mereka kurang bersedia menjadi pekerja informal.

Semua data makro di atas hanya sekadar sebagian argumen untuk kesimpulan di bawah nanti. Argumen teknis ekonomi lainnya antara lain adalah berkenaan dengan data distribusi jumlah uang beredar, distribusi simpanan masyarakat di perbankan, kepemilikan mobil, perkembangan pasar modal, nilai tukar petani, upah buruh di berbagai sektor, dan lain sebagainya.

Secara ringkas dapat dikatakan, selama era Pemerintahan SBY terjadi hal-hal berikut ini: Produksi barang dan jasa meningkat, pendapatan secara rata-rata masyarakat meningkat, mereka yang kaya tumbuh secara amat cepat, kebanyakan kaum menengah stagnan atau sedikit menurun, keadaan kaum termiskin secara umum membaik, mereka yang nyaris miskin dan miskin relatif bertahan tidak memburuk. Jika digambarkan lebih lanjut, minoritas kaum kaya menjadi lebih kaya, sedangkan mayoritas orang bergerombol di sekitar garis kemiskinan, yakni : miskin, nyaris miskin, dan nyaris sejahtera. Risiko yang perlu diwaspadai, mayoritas mereka semua rentan oleh goncangan ekonomi, sehingga mudah ”turun kelas”, dari nyaris sejahtera dan nyaris miskin menjadi miskin.

Struktur pendapatan yang demikian secara teoritis wajar jika Pasar bebas lebih dikedepankan. Terutama sekali ketika pasar keuangan didukung oleh kebijakan ekonomi yang bias moneter dari pemerintah. Harus diakui, Pemerintahan SBY mencoba menanggulangi kegagalan pasar (market failure) dalam hal distribusi pendapatan dan kondisi kaum termiskin dengan kebijakan fiskal dan kebijakan populis lainnya. Pada mulanya secara amat terbatas dan konservatif, kemudian dieskalasi selama satu tahun terakhir. Tatkala kebijakan redistribusi dicoba lebih ekspansif, maka terjadi tekanan atas keuangan pemerintah (yang terutama ditandai oleh bertambahnya utang secara signifikan). Ancaman depresiasi rupiah masih selalu menghantui perekonomian. Sementara itu, kebutuhan akan bantuan pihak asing (melalui investasi dan utang) menjadi semakin meningkat dan berlangsung secara terus menerus. Kodisinya tampak rawan dan berbahaya bagi bangsa dalam jangka panjang.

Pilihan lain yang mengemuka dalam kampanye Pilpres untuk kebijakan yang lebih populis berarti akan meningkatkan Peran pemerintah dalam perekonomian. Jika model kebijakannya serupa dengan masa lalu maka akibatnyapun mirip. Kecuali jika ada perubahan dalam kebijakan moneter dan devisa misalnya menjadi tidak bebas. Risikonya, dalam jangka pendek akan ada pukulan bagi perekonomian domestik. Seberapa lama bisa pulih, lalu kemudian membentuk struktur baru yang lebih berkeadilan, agak diragukan bisa dikerjakan selama lima tahun pemerintahan. Harus diperhitungkan rigiditas birokrasi untuk berubah (siapapun Presiden dan Menterinya), menguatnya peran legislatif, dan ”kekuatan” lembaga negara lainnya (seperti KPK, MK, Bank Indonesia, dsb) yang belum tentu sejalan.

Sementara itu, wacana kampanye Pilpres yang menekankan kepada semangat wirawasta adalah memperbanyak dan menguatkan mereka yang bisa memperbaiki dirinya sendiri secara ekonomi. Yang ditekankan adalah menambah orang sejahtera dan kaya, sehingga kemiskinan akan berkurang. Persaingan akan distimulan, yang berarti peran Pasar tetap penting, namun harus dibatasi alias tidak sepenuhnya bebas terhadap pihak asing. Jebakannya adalah pada kesulitan mengukur tingkat perlindungan terhadap asing, untuk waktu seberapa lama, dan siapa yang memutuskannya.

Dari pengalaman masa lalu Indonesia dan pengalaman negara berkembang lain, peran pasar dan peran pemerintah sama-sama diperlukan untuk menjamin keadilan ekonomi bagi masyarakat negara bersangkutan. Selalu bisa terjadi ”kegagalan pasar” dan ”kegagalan Pemerintah”. Jangan sampai pengalaman mutakhir tentang keburukan pasar bebas membuat kita mendekat kembali kepada suatu bentuk pemerintah yang serba tahu dan serba mengatur, yang pada gilirannya akan mengecewakan kita kembali. Jelas bahwa yang menjadi kaidah dasar adalah peran pemerintah yang semacam apa secara lebih detil dan pengembangan mekanisme pasar atas apa saja yang justeru didorong agar perekonomian bisa tumbuh pesat dan menjamin rasa keadilan bagi seluruh rakyat.

Di sisi lain, keadilan ekonomi yang diimpikan pastilah bukan pemerataan kemiskinan melainkan kesejahteraan yang semakin merata. Kuenya membesar, pembagiannya semakin membaik. Pasar secara empiris memiliki kecenderungan yang lebih baik dalam memperbesar kue, pemerintah cenderung lebih baik dalam membaginya. Kaum wiraswasta adalah unsur utama bagi penciptaan kue besar sebuah perekonomian, dan akan sangat ideal jika mereka memiliki rasa ingin berbagi yang dilandasi oleh nilai luhur tidak semata oleh tujuan ekonomis.

Tulisan ini adalah ringkasan makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh BEM Universitas Akhmad Dahlan Yogyakarta, padat anggal 28 juni 2009

Minggu, 16 Agustus 2009

TURUNNYA ANGKA KEMISKINAN 2009

PENURUNAN ANGKA KEMISKINAN SAJA TIDAK CUKUP
Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin turun sebanyak 2,57 juta, dari 35,10 juta pada Maret 2005 menjadi 32,53 juta pada Maret tahun 2009. Sedangkan angka kemiskinan, turun dari 15,97 persen menjadi 14,15 persen.

Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan (GK). Selain dibedakan atas dasar perdesaan dan perkotaan, dalam prakteknya, penghitungan GK dibedakan pula untuk masing-masing propinsi. GK nasional sebesar Rp.200.262 per kapita per bulan pada Maret 2009 adalah bersifat indikatif, bukan untuk menjadi ukuran praktis seseorang tergolong miskin atau tidak. Penentuannya adalah dengan angka GK pada provinsi dan wilayah perdesaan atau perkotaan di mana penduduk bersangkutan berdomisili.

Selama periode Maret 2008-Maret 2009, GK naik sebesar 9,65 persen. Kecenderungan GK untuk naik secara signifikan juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, Sebagaimana yang dikatakan BPS, salah satu penyebab utama dari perubahannya adalah kenaikan harga-harga (inflasi).

Perubahan GK setiap tahunnya terlihat lebih tinggi daripada angka inflasi umum. Mengingat perhitungan GK oleh BPS adalah berasal dari data SUSENAS, maka bisa dikatakan bahwa kenaikan harga-harga yang dialami (dikonsumsi) oleh penduduk miskin adalah lebih tinggi daripada yang dirasakan secara rata-rata oleh seluruh penduduk. Akan tetapi, perbedaan besaran antara keduanya belum memperlihatkan pola tertentu.

Perkembangan PDB per kapita, nominal PDB dibagi dengan jumlah penduduk, selalu mengalami pertumbuhan dengan persentase yang cukup tinggi. Hal ini kerap dianggap mencerminkan perbaikan tingkat pendapatan masyarakat dalam suatu negara. Jika pertumbuhan PDB per kapita cukup tinggi dan jauh melampaui kenaikan garis kemiskinan, maka bisa diharapkan jumlah penduduk miskin akan berkurang secara amat signifikan. Peningkatan pendapatan rata-rata penduduk semestinya tercermin pula dalam kenaikan rata-rata pengeluarannya, sehingga mereka tidak tergolong penduduk miskin. Namun, data tahun 2005-2009 tidak mendukung sepenuhnya atas penalaran semacam ini.

Penjelasannya mungkin harus diteliti lebih jauh pada soal ketimpangan pendapatan antar penduduk. Sekalipun terjadi pemerataan pengeluaran diantara kaum miskin (turunnya indeks keparahan), namun tidak bisa dipastikan ketimpangan pendapatan dengan penduduk yang kaya.

Berbagai wacana ilmiah mutakhir, termasuk penelitian kemiskinan oleh Bank Dunia, selalu merekomendasikan perlunya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di Indonesia agar masalah kemiskinan bisa teratasi. Akan tetapi untuk periode 2005-2009, pola hubungan pertumbuhan ekonomi dengan pengurangan jumlah penduduk miskin tampaknya juga tidak kuat.
Bagaimanapun, jumlah penduduk miskin dan angka kemiskinan berhasil diturunkan selama era Pemerintahan SBY-JK. Kelompok penduduk termiskin secara umum mengalami perbaikan, diindikasikan oleh semakin mendekatnya mereka dengan garis kemiskinan. Sejalan dengan itu, ketimpangan antar penduduk miskin juga berkurang atau membaik. Selain karena relatif terkendalinya inflasi, diperkirakan berbagai kebijakan anti kemiskinan memang memperlihatkan hasil yang cukup memadai.

Permasalahan yang masih menonjol adalah masih rentannya mereka yang tergolong tidak miskin untuk kembali jatuh miskin, jika ada goncangan ekonomi dan atau melemahnya kemampuan Pemerintah untuk menjalankan kebijakan populis anti kemiskinan semisal BLT dan PNPM. Begitu pula dengan mereka yang masih miskin bisa dengan mudah menjadi lebih miskin atau semakin menjauh dari garis kemiskinan. Artinya, perlu diupayakan perbaikan secara lebih signifikan terhadap soal kedalaman dan keparahan kemiskinan.

Aspek kedalaman dan keparahan itu sendiri tidak terpisahkan dari aspek ketimpangan. Ketimpangan besar di Indonesia dicurigai terdapat pada keadaan antar individu dan antar daerah. Perhitungan angka indeks gini rasio, yang dianggap mencerminkan sebaran pendapatan antar penduduk, memang menunjukkan kecenderungan membaik, namun relatif stagnan dalam beberapa tahun terakhir. Penelitian lebih lanjut, termasuk dengan pendekatan pendapatan (bukan hanya pengeluaran), diperlukan agar kebijakan yang lebih efektif dapat direkomendasikan.

Sedangkan ketimpangan antar daerah, terutama antar provinsi dan kabupaten, masih memperlihatkan persoalan yang perlu ditangani secara lebih serius. Sebagai contoh, pada periode Maret 2008-2009, ketika jumlah penduduk dan persentase penduduk miskin secara nasional menurun. Ada tiga provinsi yang justeru mengalami kenaikan, yaitu: Gorontalo, Papua dan Papua Barat. Selain itu, beberapa propinsi memiliki angka (persentase) kemiskinan yang jauh di atas rata-rata nasional yang sebesar 14,15%. Selain ketiga propinsi tadi, adalah : Nangroe Aceh Darusalam, Maluku, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Lampung. Kedelapan propinsi itu memiliki angka kemiskinan yang lebih dari 20 persen. Bahkan, Papua mencapai 37,53 persen dan Papua Barat mencapai 35,71 persen. Sementara itu, hanya terdapat 3,62 persen penduduk miskin di DKI Jakarta.

Ketimpangan juga tidak cukup dilihat dari angka-angka, yang sekadar mencerminkan ketimpangan absolut. Masih ada soal ketimpangan relatif yang lebih bersifat psikologis, namun tidak kalah pentingnya karena amat berpengaruh dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Sebagai contoh, analisa ketimpangan yang memperhitungkan faktor sosial dan psikologis, maka perkotaan mungkin akan dinilai lebih buruk. Berdasar data, angka kemiskinan di perkotaan cenderung lebih baik daripada di pedesaan, dan ketimpangan absolut di sebagian kota membaik secara signifikan. Namun, kaum miskin kota melihat secara langsung kehidupan penduduk kaya. Keadaan kekurangannya lebih terasa karena melihat gaya hidup sebagian penduduk lainnya yang justeru amat berlebihan.

Selain mempertahankan dan memperbaiki kebijakan kemiskinan yang ada, fokus kebijakan berikut mustinya adalah meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi. Yang perlu segera didorong adalah sektor-sektor yang terkait langsung dengan kebanyakan pendudukan miskin dan nyaris miskin, semisal pertanian rakyat dan industri kecil. Pada akhirnya, kemampuan berproduksi dan memperoleh pendapatan secara berkesinambungan akan lebih bisa diandalkan daripada program Pemerintah yang bersifat charity semata.

Minggu, 26 Juli 2009

OJK dan Keuangan Bank Indonesia

OJK dan Keuangan Bank Indonesia
Oleh: Awalil Rizky

Kontroversi mengenai Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali mengemuka beberapa waktu lalu seiring dengan pembahasan rancangan undang-undangnya. Yang paling diperdebatkan adalah tentang dikeluarkannya wewenang pengaturan dan atau pengawasan bank dari tugas Bank Indonesia (BI).

Sesuai Pasal 7 UU Nomor 23/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3/2004, tujuan BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah. Untuk mencapai tujuannya, BI bertugas: Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan Mengatur dan mengawasi bank.
Tulisan ini tidak membahas mengenai OJK secara langsung, melainkan tentang keuangan BI. Mengeluarkan salah satu tugasnya akan memiliki implikasi keuangan BI, serta keuangan Pemerintah jika dianggarkan melalui APBN.
Secara legal formal, BI menjalankan tugas dengan tidak berdasar pertimbangan komersial. Namun sebagai konsekwensi dari kegiatannya, BI memperoleh berbagai penerimaan sekaligus membayar beberapa pengeluaran. Sesuai perundang-undangan, BI wajib membuat laporan keuangan atas hal itu, yang disampaikan kepada DPR, setelah diaudit oleh BPK.
Laporan Keuangan BI tahun 2008 lalu kembali memperoleh Pendapat “Wajar Tanpa Pengecualian” dari BPK. Predikat yang dialami secara berturut-turut dalam kurun waktu enam tahun. Sebagai perbandingan, Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) pada kurun yang sama justeru selalu dinyatakan disclaimer. Dari sisi ini, laporan keuangan BI jauh lebih baik daripada laporan Pemerintah (Departemen Keuangan).
Selama enam tahun terakhir, BI memeperoleh surplus sebanyak lima kali, yaitu: Rp1.479 miliar (2003), Rp675 miliar (2004), Rp16.159 miliar (2005), Rp31.009 miliar(2006), Rp17.249 miliar (2008). Dan sekali mengalami defisit sebesar Rp1.479 miliar pada tahun 2007.
Laporan Keuangan BI mencatat pos-pos penerimaan yang bersesuaian dengan tugasnya, yaitu: Pengelolaan Moneter, Pengelolaan Sistem Pembayaran, Pengawasan Perbankan, ditambah dengan pos lainnya. Ada pula pos penerimaan luar biasa sehubungan dengan utang piutang dengan Pemerintah, terutama terkait BLBI, yakni pada tahun 2003 dan 2006.

Diluar pos penerimaan luar biasa, porsi penerimaan pengelolaan moneter selalu amat dominan. Nilainya mencapai Rp 44,73 triliun atau 98,68 persen dari penerimaan penerimaan total pada tahun 2008. Penerimaan diperoleh dari pengelolaan devisa, kegiatan pasar uang, serta pemberian kredit dan pembiayaan. Porsi pengelolaan devisa selalu menjadi yang terbesar, mencapai Rp40,20 triliun, yang terdiri atas: bunga sektor valas Rp20,68 triliun; provisi sektor valas Rp1,86 triliun; dan penerimaan valas lainnya Rp19,52 triliun.

Penerimaan pengelolaan devisa mengalami peningkatan signifikan jika kurs rupiah semakin fluktuatif, baik menguat ataupun melemah. Dengan catatan, frekuensi dan nilai transaksi devisa berlangsung secara normal, apalagi jika meningkat. Secara awam, BI tampak berfungsi sebagai ”bandar” dalam transaksi valas. Salah satu indikasinya adalah nilai penerimaan ini yang cukup dramatis pada tahun 2005 dan 2008. Sebagaimana diketahui, kurs rupiah selama kedua tahun itu lebih berfluktuatif daripada tahun lainnya. Secara lebih khusus, dampaknya dicerminkan oleh penerimaan selisih kurs sebesar Rp14,75 triliun (2008) dan Rp23,59 triliun (2005).

Sementara itu, penerimaan dari pengelolaan sistem pembayaran hanya sebesar Rp168,97 miliar, berasal dari jasa penyelenggaraan kliring dan jasa pengelolaan rekening. Sedangkan penerimaan pengawasan perbankan hanya sebesar Rp180,54 miliar. Kedua kelompok penerimaan tersebut bahkan lebih kecil pada tahun-tahun sebelumnya.

Dalam melaksanakan tugasnya, BI membayar pengeluaran yang dicatat sebagai beban. Beban operasi pasar terbuka mencapai Rp20,84 triliun atau 74,20 persen dari total beban pada tahun 2008. Termasuk di dalamnya adalah beban diskonto SBI dan FASBI sebesar Rp19,93 triliun.

Sementara itu, pengelolaan devisa yang menghasilkan penerimaan terbesar hanya memberi beban yang amat kecil, sebesar Rp36,31 miliar. Sudah termasuk beban pelaksanaan operasional cadangan devisa sebesar Rp31,09 miliar.

Terkait dengan kontoversi OJK, beban untuk pengaturan dan pengawasan perbankan tahun 2008 tercatat sebesar Rp158,20 miliar, lebih kecil dari penerimaan yang sebesar Rp168,97 miliar. Hal ini adalah pertama kalinya selama beberapa tahun terakhir. Biasanya pengeluaran lebih besar daripada penerimaan. Kecenderungan defisit dalam pelaksanaan tugas ini perlu diperhitungkan, mengingat belum diperhitungkan pula beban SDM dan logistik.

Beban SDM Bank Indonesia tahun 2008 adalah Rp 3,23 triliun, termasuk gaji dan insentif bagi Dewan Gubernur, beserta pegawai sebanyak 6.091 orang. Sebagian cukup besarnya bertugas dalam pengaturan dan pengawasan perbankan. Dengan sendirinya ada pengeluaran terkait yang selama ini tercakup dalam beban untuk kantor pusat dan 41 kantor BI.

Aspek keuangan ini perlu dihitung jika OJK dipisahkan dari BI, apalagi bila ingin dianggarkan dalam APBN sebagai suatu lembaga atau bagian dari departemen. Sepintas, hal ini akan menguntungkan dari sudut pandang keuangan BI. Permasalahannya menjadi lebih kompleks jika penerimaan lainnya secara tidak langsung akan terpengaruh akibat berkurangnya ”kekuasaan” BI.

Penulis adalah Managing Director BRIGHT Indonesia.
Email awalilriset@gmail.com dan website www.brightindonesia.com

Senin, 13 Juli 2009

Misteri Utang Luar Negeri Pemerintah

Misteri Utang Luar Negeri Pemerintah
Oleh: Awalil Rizky

Sebagaimana dokumen resmi sebelumnya, publikasi Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Negara berjudul ”Perkembangan Utang Negara” edisi Juni 2009, menyebut tujuan umum pengelolaan utang dalam jangka panjang adalah meminimalkan biaya utang dengan tingkat risiko yang semakin terkendali. Kebijakan yang digariskan antara lain: Tidak ada agenda politik yang dipersyaratkan oleh pihak kreditor; Persyaratan lunak (jangka panjang, biaya relatif ringan); Tambahan neto pinjaman luar negeri dianggarkan negatif sejak 2004, artinya jumlah pembayaran kembali utang dianggarkan lebih besar dibanding dengan jumlah penarikan pinjaman luar negeri baru; dan Mengutamakan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) rupiah di pasar dalam negeri.

Salah satu yang perlu dicermati adalah penggunaan istilah pinjaman dengan utang luar negeri dari Pemerintah. Ada tumpang tindih definisi yang berakibat perbedaan data statistik secara signifikan. Dokumen yang disebut tadi merujuk kepada istilah pinjaman (loan) yang antara lain terdiri dari: pinjaman program, pinjaman proyek dan pinjaman komersial. Sedangkan istilah utang luar negeri menambahkannya lagi dengan Surat Berharga Negara (SBN) berdenominasi valuta asing (valas).

Data resmi dari Pemerintah menunjukkan bahwa selama kurun waktu 2004-2008, pinjaman memang sedikit turun, dari USD 68,59 miliar menjadi USD 66,69 miliar. Akan tetapi, utang naik dari USD 69,59 miliar menjadi USD 77,89 miliar.

Sayangnya, penggunaan istilah pinjaman dan utang tidak selalu konsisten, sehingga bisa mengaburkan opini publik. Sebagai contoh, dalam pidato Presiden SBY mengantarkan RAPBN 2009 dikatakan bahwa: “Defisit anggaran sebesar Rp 99,6 triliun (1,9 persen PDB) dalam RAPBN tahun 2009, direncanakan dibiayai dari sumber-sumber pembiayaan dalam negeri sekitar Rp 110,7 triliun, dan pembiayaan luar negeri neto minus Rp 11,1 triliun. Dengan demikian pembayaran cicilan pokok utang luar negeri yang kita lakukan, lebih besar dari pada jumlah utang luar negeri baru. Hal ini sesuai dengan tujuan untuk terus mengurangi porsi utang luar negeri dalam pembiayaan defisit kita.”

Angka yang disebut Presiden adalah data pinjaman luar negeri, tetapi beliau menggunakan istilah utang luar negeri. Ini berbeda dengan pengertian dalam dokumen yang disebut terdahulu.
APBN sendiri mencatat penarikan beserta pembayaran pinjaman luar negeri pada bagian pembiayaan, dengan item tersendiri. Penerbitan SBN valas dimasukkan dalam pembiayaan dalam negeri, pada pos surat utang negara (neto) bersama-sama dengan yang berdenominasi rupiah. Sedangkan pos belanja pembayaran bunga utang luar negeri tetap menggabungkan bunga pinjaman dengan bunga SBN valuta asing.

Secara yuridis, Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri (pasal1) menyatakan bahwa pinjaman luar negeri adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan, rupiah, maupun dalam bentuk barang dan/atau jasa yang diperoleh dari pemberi pinjaman luar negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu.

Dengan demikian, definisi ULN pemerintah memang bermacam-macam dan angkanya pun berbeda secara signifikan. Sebagai contoh, kita lihat beberapa definisi yang bisa dipakai. Pertama diartikan sebagai pinjaman luar negeri (loan) yang bersumber dari: multilateral, bilateral, komersial dan kredit ekspor. Jika diartikan demikian, maka nominalnya selama era Pemerintahan SBY memang sempat menurun (2004-2006), kemudian perlahan menaik kembali. Perkembangan ULN pemerintah versi ini tercatat sebesar USD 68,58 miliar (2004), USD 63,09 miliar (2005), USD 62,02 miliar (2006), USD 62,25 (2007), dan USD 66,69 miliar (2008).

Kedua, jika ULN Pemerintah diartikan sebagai utang dalam denominasi mata uang asing, maka SBN berdenominasi dolar Amerika harus dimasukkan dalam perhitungan. Dalam versi ini, kecenderungannya adalah terus menaik. Posisinya adalah : USD66,76 miliar (2005), USD67,52 miliar (2006), USD69,25 miliar (2007), dan USD77,89 miliar (2008).

Ketiga, meski tidak lazim dalam publikasi resmi, pengertian ULN bisa diperluas sebagai utang yang dananya berasal dari luar negeri. Maka SBN berdenimnasi rupiah yang dimiliki pihak asing (non residen) harus dimasukkan dalam perhitungan. Data sebelumnya adalah: Rp 10,74 triliun (2004), Rp 31,09 triliun (2005), Rp 54,92 triliun (2006), Rp 78,16 triliun (2007), dan Rp 87,61 triliun (2008). Untuk posisi akhir 2008, jika dikonversikan menurut kurs tengah BI, nilainya adalah USD 8 miliar, sehingga posisi ULN versi ini adalah USD 85,89 miliar.

Perlu diketahui pula bahwa sebagian besar SBN berdenominasi rupiah yang bisa diperdagangkan dimiliki oleh lembaga keuangan, seperti: bank, reksadana dan asuransi. Pada Desember 2008, SBN denominasi rupiah senilai Rp 525,69 triliun antara lain dimiliki oleh bank (49,22%), asuransi (10,62%), dan reksadana (10,62%). Berbagai lembaga tersebut kebanyakan memang tergolong penduduk (residen) secara hukum. Namun, proporsi kepemilikan asing atas saham-sahamnya terus membesar dan bahkan menjadi mayoritas seperti di banyak bank. Wajar jika pihak yang kritis menganggap sumber dananya pun banyak yang berasal dari luar negeri, dan pembayaran atas bunga juga dinikmati oleh mereka.

Dengan demikian, penetapan target ULN pemerintah membutuhkan ketegasan dan konsistensi penggunaan definisi, agar kondisinya mudah dinilai oleh publik. Kecuali memakai dalam arti loan, data perkembangan ULN pemerintah selama kurun 2004-2009 menunjukkan peningkatan yang cukup besar.

Penulis adalah Managing Director BRIGHT Indonesia.
website www.brightindonesia.com

Jumat, 26 Juni 2009

Rasio Utang Turun, Biaya Utang Naik
Oleh: Awalil Rizky

Menanggapi kritik atas kondisi utang pemerintah, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengetengahkan perkembangan rasionya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang terus menurun. Dari 61 persen pada tahun 2003 menjadi 33 persen pada tahun 2008, dan ditargetkan turun menjadi 32 persen pada tahun ini.

Logika sederhana yang tampaknya ingin dikatakan adalah tidak perlu khawatir dengan posisi dan beban utang yang meningkat karena pendapatan nasional kita justeru meningkat lebih pesat. Dalam publikasi resmi berjudul Perkembangan Utang Negara dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Negara edisi 1 Juni 2009 (halaman 21) bahkan diklaim bahwa tambahan utang 2004-2008 menciptakan tambahan PDB yang relatif lebih besar dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Tulisan ini belum bermaksud membantah klaim yang tergesa-gesa tersebut. Hanya perlu diingatkan bahwa sejauh ini tidak ada studi empiris yang mendukung pernyataan demikian. Jangankan untuk kurun waktu bersangkutan, bahkan peran utang pemerintah dalam peningkatan PDB untuk berbagai periode pun masih diperdebatkan (debatable).

Khusus untuk soal rasio utang yang menurun pun ada yang perlu dicermati berkenaan dengan dipakainya nilai PDB sebagai angka penyebut. Definisi singkat dari PDB adalah nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam suatu perekonomian (negara) selama kurun waktu tertentu (satu tahun). Secara teoritis, bisa ditelusuri kemana perginya seluruh barang dan jasa yang diproduksi, yang dalam pengertian sehari-hari adalah dibeli oleh siapa saja, termasuk dianggap dibeli oleh produsennya sendiri. Artinya, PDB bisa dilihat sebagai pengeluaran total dalam suatu perekonomian. Dapat pula dianggap sebagai penghasilan total dari setiap orang. Kedua sisi PDB tersebut memiliki jumlah yang sama, karena pengeluaran seseorang merupakan penerimaan bagi orang lainnya dalam suatu perekonomian. Tentu saja ada beberapa teknis penyesuaian hitungan terkait transaksi internasional.

Nominal PDB yang dijadikan sebagai nilai penyebut dalam rasio secara teknis adalah nilai pasar dari barang dan jasa atau menurut harga berlaku saat itu. Rasio 33 persen adalah posisi utang sebesar Rp 1.637 triliun pada tanggal 31 Desember 2008 diprosentasikan dari PDB menurut harga berlaku selama satu tahun 2008 yang sebesar Rp 4.954 triliun. Sedangkan rasio 61 persen untuk tahun 2003 berasal dari posisi utang Rp 1.300 triliun dan PDB Rp 2.036 triliun.
Mudah difahami, peningkatan PDB menurut harga berlaku bisa disebabkan oleh bertambahnya produksi, namun ada unsur kenaikan harga-harga di dalamnya. Meski memang terjadi peningkatan produksi, sumbangan inflasi terhitung besar. Perlu diingat bahwa pada tahun 2005 inflasi IHK adalah 17,11% dan tahun 2008 adalah 11,10%. Dengan demikian, prestasi penurunan rasio utang harus dieliminasi juga oleh faktor ini.

Hal lain yang sebenarnya lebih penting untuk dicermati adalah biaya utang. Apakah biayanya menaik atau menurun selama era pemerintahan ini. Agar lebih adil, kita memakai tahun 2004 sebagai titik mula karena mulai bekerja pada akhir tahun itu. Oleh karena hanya ingin melihat kecenderungannya, kita bisa menganggap pembayaran bunga utang sebagai biaya.

Kita dapat membuat rasio pembayaran bunga dengan posisi atau nilai utang pada tahun bersangkutan. Pembayaran bunga utang pemerintah setiap tahunnya tercatat sebagai berikut: Rp 62,49 triliun (2004), Rp 65,12 triliun (2005), Rp 79,08 triliun (2006), Rp 79,81 triliun (2007), dan Rp 95,47 triliun (2008). Sedangkan posisi utang pada akhir tahun masing-masing adalah Rp 1.300 triliun (2004), Rp 1.313 triliun (2005), Rp 1.302 triliun (2006), Rp 1.389 triliun (2007), dan Rp 1.637 triliun (2008). Dengan demikian, rasionya meningkat dari 4,81 persen pada tahun 2004 menjadi 5,83 persen pada tahun 2008.

Naiknya rasio pembayaran bunga atas stok utang tersebut menunjukkan biaya ekonomis berutang dari Pemerintah semakin meningkat. Setiap rupiah dari utang menjadi lebih mahal selama era pemerintahan ini. Wajar jika ada pihak yang curiga bahwa pengelolaan utang memang bersifat gali lubang tutup lubang.

Bisa jadi rasio bunga atas stok utang itu masih tampak lebih bagus dari yang sebenarnya. Sebagaimana juga dengan rasio utang atas PDB, nilai yang dipakai adalah angka persediaan (stock) utang per tanggal 31 Desember. Penggunaan teknik keuangan menjadi dimungkinkan untuk memperkecil stock pada tanggal tersebut, namun beberapa waktu kemudian langsung membesar lagi.

Perlu diingat pula, perhitungan PDB adalah berbasis wilayah geografis, yaitu semua produksi di wilayah Indonesia, tidak menjadi soal siapa yang memproduksinya, meskipun pihak asing. Jelas kurang mencerminkan pendapatan riil rakyat Indonesia. Pendapatan pemerintah sendiri memang tidak begitu terpengaruh oleh konsep ini dan masih berpotensi meningkat. Namun isyu ketergantungan kepada pelaku asing menjadi relevan dipertimbangkan.

Dengan demikian, rasio utang pemerintah terhadap PDB sebenarnya tidak cukup bemakna untuk menjadi ukuran baik buruknya kondisi utang. Ibu Sri Mulyani tidak perlu pula bingung mengapa rating agency internasional tetap saja menilai Indonesia lebih rendah daripada negara yang rasio utangnya 217% seperti Jepang, karena memang tidak begitu relevan.

Penulis adalah Managing Director BRIGHT Indonesia.
Email brightindo@gmail.com dan website www.brightindonesia.com
Tulisan ini dimuat Harian Neraca 26 Juni 2009

Mitos Rasio utang Yang Menurun

Mitos Rasio Utang Pemerintah Yang Menurun
Oleh: Awalil Rizky

Banyak pihak khawatir atas kondisi utang pemerintah Indonesia saat ini. Terlepas dari aspek politisnya, argumen utama yang dikemukakan adalah peningkatan nominal utang dalam beberapa tahun terakhir, sehingga posisi akhir Mei 2009 telah mencapai Rp 1700 triliun. Jika stok utang meningkat maka pembayaran cicilan pokok dan bunga utang pun diperkirakan akan terus bertambah di masa datang.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menanggapi dengan mengetengahkan perkembangan rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang terus menurun secara konsisten. Rasionya pada tahun 2003 adalah 61 persen, menjadi 33 persen pada tahun 2008, dan tahun ini ditargetkan turun menjadi 32 persen (Kompas, 15 Juni 2009).
Bisa dikatakan, sebagian pihak melihat posisi utang yang terus meningkat berbahaya bagi keuangan pemerintah dan pada giliran berikutnya membebani perekonomian nasional. Pihak lainnya tidak khawatir karena pendapatan nasional, yang dicerminkan oleh PDB, meningkat secara lebih pesat.

Soal nominal utang sudah banyak dibahas media, kita perlu mengulas sedikit tentang PDB. Definisi singkat dari PDB adalah nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam suatu perekonomian (negara) selama kurun waktu tertentu (satu tahun). PDB biasa dihitung pula secara triwulanan.

Barang dan jasa yang diproduksi di Indonesia sendiri terdiri dari jutaan jenis. Ada barang yang berasal dari produksi pertanian, industri pengolahan, dan dari penggalian. Bisa berasal dari lahan petani kecil, produksi rumah tangga, maupun dari produksi perkebunan besar dan industri yang bersifat korporasi. Macam jasa pun demikian, mulai dari jasa pedagang kecil sampai dengan jasa konsultan keuangan bagi korporasi. Praktis, perhitungannya hanya dimungkinkan melalui penyamaan satuan hitungnya, yaitu mata uang.

Secara teoritis, bisa ditelusuri kemana perginya seluruh barang dan jasa yang diproduksi, yang dalam pengertian sehari-hari adalah dibeli oleh siapa saja. Sebagai catatan, ada sebagian yang dianggap dibeli oleh produsennya sendiri. Dari sudut pandang pihak pembeli, nilai yang dibayarnya adalah pengeluaran, sehingga PDB bisa pula dilihat sebagai pengeluaran total dalam suatu perekonomian. Secara otomatis tercermin sisi lainnya, yakni sebagai penghasilan total dari setiap orang. Kedua sisi PDB tersebut memiliki jumlah yang sama, karena pengeluaran seseorang merupakan penerimaan bagi orang lainnya dalam suatu perekonomian. Tentu saja ada beberapa teknis penyesuaian hitungan terkait transaksi internasional.

Perhatikan bahwa penghitungan PDB bersifat arus (flow), yaitu kuantitas per kurun waktu. Ini berbeda dengan penghitungan yang bersifat persediaan (stock), yaitu kuantitas pada suatu waktu atau tanggal tertentu. Misalnya, kekayaan suatu negara yang secara teoritis bisa dihitung pada tanggal tertentu akan bersifat persediaan. Suatu negara mungkin saja memiliki kekayaan yang besar, akan tetapi memiliki penghasilan per tahun yang tergolong masih rendah. Sebagaimana yang dialami Indonesia dengan kekayaan sumber daya alam yang berlimpahnya.

Perhitungan PDB berbasis wilayah geografis, yaitu semua produksi di wilayah Indonesia, tidak menjadi soal siapa yang memproduksinya, meskipun pihak asing. Ada konsep lain jika dipertimbangkan soal tersebut, yaitu Produk Nasional Bruto (PNB). PNB mengeluarkan dari angka PDB apa yang disebut faktor pendapatan neto terhadap luar negeri, yakni pendapatan atas faktor produksi warga negara Indonesia yang dihasilkan di luar negeri dikurangi pendapatan atas faktor produksi warga negara asing yang dihasilkan di Indonesia. Bisa ditebak bahwa PNB selalu lebih kecil dari PDB Indonesia, meskipun selisihnya tidak terlampau besar.

Sayangnya, konsep PNB juga ”menyembunyikan” sesuatu terkait dengan pengertian penduduk sebagai orang atau badan dengan persyaratan tertentu. Produksi barang dan jasa dari suatu badan usaha di Indonesia yang saham mayoritasnya dimiliki oleh asing tetap bisa dimasukkan dalam PNB.

Kembali kepada soal rasio utang, nominal PDB yang dijadikan sebagai nilai penyebut adalah nilai pasar dari barang dan jasa, yang biasa disebut PDB menurut harga berlaku. Arti rasio 33 persen adalah posisi utang sebesar Rp 1.637 triliun pada tanggal 31 Desember 2008 diprosentasikan dari PDB menurut harga berlaku selama satu tahun 2008 yang sebesar Rp 4.954 triliun.

Perlu diketahui, dalam keperluan perhitungan pertumbuhan ekonomi maka yang dipakai adalah PDB menurut harga tahun dasar tertentu. Angka sebesar Rp 4.954 triliun itu dibersihkan dahulu faktor kenaikan harganya, baru dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang diproses serupa. Alatnya adalah indeks harga yang disebut PDB deflator, yang sedikit berbeda dengan angka Indeks Harga Konsumen (IHK). IHK dihitung berdasar harga yang dibayar oleh konsumen akhir untuk semua barang yang dibeli, sedangkan PDB deflator berdasar harga untuk semua barang yang diproduksi. Namun besaran dan kecenderungannya di Indonesia sering tidak berbeda jauh.

Mudah difahami, peningkatan PDB menurut harga berlaku bisa disebabkan oleh bertambahnya produksi, namun ada unsur kenaikan harga-harga di dalamnya. Meski memang terjadi peningkatan produksi, sumbangan inflasi terhitung besar. Perlu diingat bahwa pada tahun 2005 inflasi IHK adalah 17,11% dan tahun 2008 adalah 11,10%.

Persoalan teknis lain adalah besaran persediaan (stock) utang per tanggal 31 Desember 2008 dibandingkan dengan besaran arus (flow) produksi selama satu tahun. Penggunaan teknik keuangan menjadi dimungkinkan untuk memperkecil stock pada tanggal tersebut, namun beberapa bulan berikutnya langsung membesar lagi.

Di atas sudah pula diingatkan, konsep PDB yang berdasar wilayah geografis, ataupun konsep PNB, bersifat kurang mencerminkan pendapatan riil rakyat Indonesia. Pendapatan pemerintah sendiri memang tidak begitu terpengaruh oleh konsep ini dan masih berpotensi meningkat. Namun isyu ketergantungan kepada pelaku asing menjadi relevan dipertimbangkan.

Dengan demikian, rasio utang pemerintah terhadap PDB sebenarnya tidak cukup bemakna untuk menjadi ukuran baik buruknya kondisi utang. Ibu Sri Mulyani tidak perlu pula bingung mengapa rating agency internasional tetap saja menilai Indonesia lebih rendah daripada negara yang rasio utangnya 217% seperti Jepang, karena memang tidak relevan.

Penulis adalah Managing Director BRIGHT Indonesia.
Email brightindo@gmail.com dan website http://www.brightindonesia.com/