Jumat, 26 Juni 2009

Rasio Utang Turun, Biaya Utang Naik
Oleh: Awalil Rizky

Menanggapi kritik atas kondisi utang pemerintah, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengetengahkan perkembangan rasionya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang terus menurun. Dari 61 persen pada tahun 2003 menjadi 33 persen pada tahun 2008, dan ditargetkan turun menjadi 32 persen pada tahun ini.

Logika sederhana yang tampaknya ingin dikatakan adalah tidak perlu khawatir dengan posisi dan beban utang yang meningkat karena pendapatan nasional kita justeru meningkat lebih pesat. Dalam publikasi resmi berjudul Perkembangan Utang Negara dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Negara edisi 1 Juni 2009 (halaman 21) bahkan diklaim bahwa tambahan utang 2004-2008 menciptakan tambahan PDB yang relatif lebih besar dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Tulisan ini belum bermaksud membantah klaim yang tergesa-gesa tersebut. Hanya perlu diingatkan bahwa sejauh ini tidak ada studi empiris yang mendukung pernyataan demikian. Jangankan untuk kurun waktu bersangkutan, bahkan peran utang pemerintah dalam peningkatan PDB untuk berbagai periode pun masih diperdebatkan (debatable).

Khusus untuk soal rasio utang yang menurun pun ada yang perlu dicermati berkenaan dengan dipakainya nilai PDB sebagai angka penyebut. Definisi singkat dari PDB adalah nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam suatu perekonomian (negara) selama kurun waktu tertentu (satu tahun). Secara teoritis, bisa ditelusuri kemana perginya seluruh barang dan jasa yang diproduksi, yang dalam pengertian sehari-hari adalah dibeli oleh siapa saja, termasuk dianggap dibeli oleh produsennya sendiri. Artinya, PDB bisa dilihat sebagai pengeluaran total dalam suatu perekonomian. Dapat pula dianggap sebagai penghasilan total dari setiap orang. Kedua sisi PDB tersebut memiliki jumlah yang sama, karena pengeluaran seseorang merupakan penerimaan bagi orang lainnya dalam suatu perekonomian. Tentu saja ada beberapa teknis penyesuaian hitungan terkait transaksi internasional.

Nominal PDB yang dijadikan sebagai nilai penyebut dalam rasio secara teknis adalah nilai pasar dari barang dan jasa atau menurut harga berlaku saat itu. Rasio 33 persen adalah posisi utang sebesar Rp 1.637 triliun pada tanggal 31 Desember 2008 diprosentasikan dari PDB menurut harga berlaku selama satu tahun 2008 yang sebesar Rp 4.954 triliun. Sedangkan rasio 61 persen untuk tahun 2003 berasal dari posisi utang Rp 1.300 triliun dan PDB Rp 2.036 triliun.
Mudah difahami, peningkatan PDB menurut harga berlaku bisa disebabkan oleh bertambahnya produksi, namun ada unsur kenaikan harga-harga di dalamnya. Meski memang terjadi peningkatan produksi, sumbangan inflasi terhitung besar. Perlu diingat bahwa pada tahun 2005 inflasi IHK adalah 17,11% dan tahun 2008 adalah 11,10%. Dengan demikian, prestasi penurunan rasio utang harus dieliminasi juga oleh faktor ini.

Hal lain yang sebenarnya lebih penting untuk dicermati adalah biaya utang. Apakah biayanya menaik atau menurun selama era pemerintahan ini. Agar lebih adil, kita memakai tahun 2004 sebagai titik mula karena mulai bekerja pada akhir tahun itu. Oleh karena hanya ingin melihat kecenderungannya, kita bisa menganggap pembayaran bunga utang sebagai biaya.

Kita dapat membuat rasio pembayaran bunga dengan posisi atau nilai utang pada tahun bersangkutan. Pembayaran bunga utang pemerintah setiap tahunnya tercatat sebagai berikut: Rp 62,49 triliun (2004), Rp 65,12 triliun (2005), Rp 79,08 triliun (2006), Rp 79,81 triliun (2007), dan Rp 95,47 triliun (2008). Sedangkan posisi utang pada akhir tahun masing-masing adalah Rp 1.300 triliun (2004), Rp 1.313 triliun (2005), Rp 1.302 triliun (2006), Rp 1.389 triliun (2007), dan Rp 1.637 triliun (2008). Dengan demikian, rasionya meningkat dari 4,81 persen pada tahun 2004 menjadi 5,83 persen pada tahun 2008.

Naiknya rasio pembayaran bunga atas stok utang tersebut menunjukkan biaya ekonomis berutang dari Pemerintah semakin meningkat. Setiap rupiah dari utang menjadi lebih mahal selama era pemerintahan ini. Wajar jika ada pihak yang curiga bahwa pengelolaan utang memang bersifat gali lubang tutup lubang.

Bisa jadi rasio bunga atas stok utang itu masih tampak lebih bagus dari yang sebenarnya. Sebagaimana juga dengan rasio utang atas PDB, nilai yang dipakai adalah angka persediaan (stock) utang per tanggal 31 Desember. Penggunaan teknik keuangan menjadi dimungkinkan untuk memperkecil stock pada tanggal tersebut, namun beberapa waktu kemudian langsung membesar lagi.

Perlu diingat pula, perhitungan PDB adalah berbasis wilayah geografis, yaitu semua produksi di wilayah Indonesia, tidak menjadi soal siapa yang memproduksinya, meskipun pihak asing. Jelas kurang mencerminkan pendapatan riil rakyat Indonesia. Pendapatan pemerintah sendiri memang tidak begitu terpengaruh oleh konsep ini dan masih berpotensi meningkat. Namun isyu ketergantungan kepada pelaku asing menjadi relevan dipertimbangkan.

Dengan demikian, rasio utang pemerintah terhadap PDB sebenarnya tidak cukup bemakna untuk menjadi ukuran baik buruknya kondisi utang. Ibu Sri Mulyani tidak perlu pula bingung mengapa rating agency internasional tetap saja menilai Indonesia lebih rendah daripada negara yang rasio utangnya 217% seperti Jepang, karena memang tidak begitu relevan.

Penulis adalah Managing Director BRIGHT Indonesia.
Email brightindo@gmail.com dan website www.brightindonesia.com
Tulisan ini dimuat Harian Neraca 26 Juni 2009