Minggu, 03 Januari 2021

UTANG PEMERINTAH INDONESIA (bagian lima)

Posisi utang Pemerintah mencapai Rp5.877,71 triliun pada akhir Oktober 2020, meningkat sangat signifikan dari posisi akhir tahun 2019 yang sebesar Rp4.786 triliun. Dan berdasar perhitungan atas pos pembiayaan utang pada Perpres No.72/2020, maka masih akan meningkat lagi hingga akhir tahun. Posisinya diprakirakan di kisaran Rp6.100 triliun. Dengan asumsi, kurs rupiah pada akhir tahun masih terjaga pada tingkat setara akhir Oktober.

APBN 2021 merencanakan tambahan utang sebagai konsekwensi dari pengelolaan APBN sebesar pos pembiayaan utang, yaitu Rp1.177,40 triliun. Jika sesuai rencana, dan kurs pada akhir tahun 2021 setara dengan akhir tahun 2020, maka posisi utang akan di kisaran Rp7.277 triliun. 

Untuk posisi tahun-tahun selanjutnya hingga tahun 2024, belum dinyatakan proyeksi tentang pembiayaan utang yang eksplisit. Meski demikian, posisi utang sedikit mendapat gambaran berdasar target rasio utang atas PDB dalam Nota Keuangan APBN 2021. 

Sayangnya berbeda dengan Nota Keuangan pada tahun-tahun sebelumnya, tidak disebutkan secara definitif berapa rasionya pada tahun 2021. Hanya disebutkan bahwa rasio akan dijaga dalam batas aman. Adapun yang dinyatakan secara eksplisit hanya berupa kisaran, yaitu rasio utang hingga akhir 2024 sebesar range 38-43%. 

Bisa dimengerti bahwa hal tersebut terutama disebabkan kondisi yang masih ditandai banyak ketidakpastian, dan program pemulihan ekonomi belum bisa dipastikan seberapa cepat memperbaiki kondisi fiskal pemerintah.

Untuk perhitungan rasio utang atas PDB, selain bergantung seberapa besar posisi utang, maka bergantung pula dengan perkembangan PDBnya. Di atas disebutkan prakiraan posisi utang sebesar Rp6.100 pada akhir 2020, dan meningkat menjadi Rp7.277 triliun pada akhir 2021. Sedangkan PDB nya masih belum dapat dipastikan, dan memiliki rentang kemungkinan yang cukup besar, meski realisasi tahun 2020 hanya tinggal satu triwulan. 

Pemerintah dalam Nota Keuangan dan APBN 2021 serta beberapa paparannya menyebut rasio utang atas PDB akan sebesar 38% pada akhir tahun 2020. Sedangkan untuk tahun-tahun selanjutnya hingga tahun 2024 hanya disebut kisaran 38-43%.

Sementara itu, proyeksi World Economic Outlook (WEO) edisi Juni 2020 dari IMF tentang rasio utang pemerintah Indonesia pada tahun 2020 adalah sebesar 37,7%. WEO memproyeksikan akan meningkat menjadi 40,3% pada tahun 2021.

Kita dapat memakai rerata pertumbuhan PDB 2010-2019 yang sebesar 9,75% untuk memprakirakan nilai nominal PDB pada tahun 2021 hingga tahun 2024. Besaran PDB tahun 2020 tidak diperhitungkan dalam rerata, karena bisa dianggap sebagai pengecualian untuk kondisi khusus. Realisasi PDB tahun 2020 atas dasar harga berlaku (nominal) itu sendiri baru berjalan tiga triwulan. Selama tiga triwulan, nilainya hanya sebesar Rp 11.505,12 triliun.

APBN 2020 versi Perpres No.72/2020 sebenarnya memiliki asumsi tentang nilai PDB nominal. Dapat dihitung dari postur APBN yang merencanakan defisit sebesar Rp1.039,22 triliun, yang disebut sebagai 6,34% atas PDB. Artinya PDB nominal atau atas dasar harga berlaku tahun 2020 diasumsikan sebesar Rp16.391,44 triliun. 

Asumsi nilai PDB demikian nyaris mustahil akan dicapai. Dibutuhkan capaian sebesar Rp4.886,32 triliun pada triwulan IV agar asumsi tersebut terpenuhi. Sebagai perbandingan, nilai PDB triwulan IV tahun 2019 hanya sebesar Rp4.018,84 triliun. Padahal, nilai PDB selama 3 triwulan tahun 2019 justru lebih besar dari tahun 2020, mencapai Rp11.629,27 triliun.

Seandainya memang telah terjadi pemulihan ekonomi yang sangat signifikan pada triwulan IV 2020, maka PDB triwulan ini bisa mencapai Rp4.250 triliun. Artinya PDB nominal tahun 2020 hanya akan sebesar Rp15.755 triliun. Penulis memprakirakan akan lebih rendah lagi, yakni sekitar Rp15.725 triliun. 

Berdasar rerata dan prakiraan PDB tahun 2020, maka kisaran nilai PDB nominal pada tahun-tahun mendatang: Rp17.258,19 triliun (2021), Rp18.940,86 triliun (2022), Rp20.787,59 triliun (2023), Rp22.814,39 triliun (2024).

Dapat diambil titik tengah dari rasio utang atas PDB yang ditargetkan oleh Pemerintah yang di kisaran 38%-43%, yakni sebesar 40,5%. Maka posisi utang berturut-turut akan sebesar: Rp6.989,57 triliun (2021), Rp7.671,05 triliun (2022), Rp8.418,98 triliun (2023), Rp9.239,83 triliun (2024).

Akan tetapi, rasio utang pada tahun 2021 saja telah sulit untuk bisa dijaga sebesar 40,5%. Dari prakiraan berdasar postur APBN 2021, posisi utang telah mencapai Rp7.327 triliun. Lebih tinggi dari proyeksi berdasar titik tengah rasio di atas, yang hanya Rp6.989,57 triliun.  Rasionya atas PDB pun akan menjadi sebesar 42,46%. Artinya, batas rentang terburuk dari target saja hampir terjadi pada tahun 2021. 

Pada tahun 2020 pun rasionya kemungkinan akan melebihi prakiraan pemerintah yang 38%. Prakiraan posisi utang sebesar Rp6.100 triliun dibandingkan PDB sebesar Rp15.725 triliun adalah sebesar 38,79%. 

Penulis berpandangan berdasar kinerja APBN tahun 2020 dan prakiraan berdasar APBN tahun 2021, maka posisi utang kemungkinan akan melampaui Rp10.000 triliun pada tahun 2024. Rasionya pun akan sulit dijaga dalam rentang yang ditargetkan oleh Pemerintah. Dikaitkan dengan proyeksi PDB nominal, maka rasio utang dapat mencapai 45% atas PDB pada akhir tahun 2024. 

Beberapa faktor memberi kontribusi atas kecenderungan ini. Posisi utang yang akan meningkat signifikan karena kebutuhan pembiayaan utang, yang didorong oleh kebijakan Pemerintah yang masih ingin APBN bersifat ekspansif. Ditambah faktor kurs yang cukup rawan di masa mendatang. Sedangkan peningkatan nilai nominal PDB akan terkendala oleh pertumbuhan ekonomi yang jika kembali ke lintasannya, hanya di kisaran 5%. 

Tentu ada pengecualian, yakni perekonomian dilanda inflasi tinggi yang akan meningkatkan nilai PDB nominal. Bagaimanapun, otoritas ekonomi dipastikan akan sangat serius mencegah hal ini, karena inflasi tinggi akan menimbulkan banyak soalan lain yang lebih kompleks dan memberatkan.

UTANG PEMERINTAH INDONESIA (bagian empat)

Masalah utama utang pemerintah bukan berapa atau posisi utangnya, melainkan bagaimana membayarnya. Pembayaran yang kadang disebut beban utang mencakup pelunasan pokok utang atau pembayaran cicilan pokok, serta pembayaran bunga utang. Pembayaran cicilan pokok utang dilakukan pada utang yang berbentuk pinjaman. Sedangkan untuk jenis SBN, pelunasan dilakukan sesuai waktu jatuh tempo dan nilai yang tercantum pada serinya.

Kadang Pemerintah melakukan pelunasan SBN lebih cepat dari waktunya, yang dikenal dengan istilah pembelian kembali (buyback). Biasanya dilakukan untuk memperbaiki struktur utang, seperti rata-rata waktu jatuh tempo. Sumber pendanaan untuk hal ini adalah dengan menerbitkan SBN seri baru.

Pelunasan pokok utang tidak dicatat pada Belanja Negara dalam postur APBN, melainkan pada pos pembiayaan. Dalam hal pinjaman, postur APBN mencantumkan secara jelas berapa yang dibayar dan berapa pinjaman baru yang diterima. Selisih keduanya merupakan nilai pinjaman neto pada tahun bersangkutan. Dalam hal SBN, yang kini dicantumkan adalah nilai secara neto. Untuk penerbitan bruto setahun, biasanya hanya bisa dipastikan dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, serta informasi khusus terkait.

Pemerintah membayar pelunasan utang sebesar Rp562,40 triliun pada tahun 2019. Sejak tahun 2016, nilainya cenderung meningkat. Pada tahun-tahun sebelumnya berfluktuasi. Bahkan, sempat sedikit turun pada tahun 2013 dan 2015. Pada tahun 2020 direncanakan berdasar waktu jatuh temponya, pelunasan utang dapat diturunkan. Diprakirakan kembali meningkat mulai tahun 2021, karena sebagian dari penarikan utang baru pada tahun 2020 merupakan utang berjangka pendek.

Sementara itu, pembayaran bunga utang diperlakukan sebagai belanja dalam postur APBN. Pengertian pembayaran bunga utang dalam belanja APBN mencakup semua biaya, tidak hanya bunga yang rutin dibayar. Misalnya, termasuk fee dan biaya administrasi. Sedangkan dalam hal SBN, perhitungan atas yield pada penerbitan perdana juga diperlakukan sebagai pembayaran bunga.

Pembayaran bunga utang mencapai Rp275,54 triliun pada tahun 2019. Nilainya cenderung meningkat tiap tahun. Rerata kenaikannya pada era tahun 2015-2019 mencapai 15,70% per tahun. Lebih tinggi dibanding dengan rerata kenaikan pada era-era sebelumnya. Akibat pandemi covid-19, pembayaran bunga direncanakan akan sebesar Rp338,78 triliun pada tahun 2020. Mengalami kenaikan sebesar 22,96% dibanding tahun 2019. 

Total pelunasan utang pokok dan pembayaran bunga utang bisa disebut sebagai pembayaran beban utang, yang mencapai Rp 837,92 triliun pada tahun 2019. Pembayaran beban utang cenderung meningkat dari tahun ke tahun, dengan laju yang fluktuasi. Sempat sedikit turun pada tahun 2015. Diprakirakan akan sedikit turun pada tahun 2020, yang meski pembayaran bunga meningkat, pelunasan utang pokok mengalami penurunan signifikan.

Grafik 7. Pelunasan Utang dan Pembayaran Bunga Utang


Pembayaran beban utang dapat dibandingkan dengan pendapatan negara, antara lain sebagai gambaran umum tentang berat atau ringannya beban tersebut. Nilai pembayaran beban utang sebesar Rp837,92 triliun tadi sebesar 42,74% dari Pendapatan Negara tahun 2019 yang sebesar Rp1960,63 triliun. Bisa dikatakan cukup memberatkan bagi pengelolaan APBN. 

Porsi atau rasio pembayaran beban utang atas pendapatan memang cenderung meningkat selama beberapa tahun terakhir. Meski pembayaran beban utang akan menurun pada tahun 2020, namun pendapatan pun menurun sangat signifikan. Rasionya masih akan meningkat, hingga bisa mencapai 44,93%.


UTANG PEMERINTAH INDONESIA (bagian tiga)

 Posisi utang pemerintah dapat digambarkan dalam beberapa aspek atau komponen. Dilihat dari bentuknya, ada yang berupa pinjaman (loan) dan ada yang berbentuk Surat Berharga Negara (SBN). Dari denominasi atau jenis mata uangnya, berupa rupiah dan berupa mata uang asing (valuta asing). Sedangkan dari asal sumber atau pihak krediturnya, dapat dikelompokkan sebagai utang luar negeri dan utang dalam negeri.

Pinjaman terdiri dari pinjaman luar negeri dan pinjaman dalam negeri. Pinjaman luar negeri dikelompokkan menjadi Pinjaman Bilateral, Pinjaman Multilateral, Pinjaman komersial, dan kredit suppliers. Denominasi pinjaman luar negeri berupa berbagai mata uang asing, dengan dominasi dolar Amerika. Sedangkan pinjaman dalam negeri pada umumnya berasal dari Bank BUMN.

SBN merupakan surat utang atau utang Pemerintah pada pihak yang memegang atau memilikinya. Secara teknis, syarat dan ketentuan SBN ditentukan oleh Pemerintah sendiri. Namun syarat dan ketentuan yang ditetapkan amat berpengaruh pada serapan pasar. 

SBN terdiri dari berbagai seri yang memiliki jatuh tempo pada tanggal tertentu, sehingga pelunasannya tidak bersifat cicilan. Dalam beberapa kasus, bisa dipercepat pelunasannya (buyback), yang dibiayai dengan penerbitan SBN baru. Sedangkan untuk pinjaman karena bisa dicicil sesuai dengan perjanjian utangnya. 

Utang dalam bentuk SBN memiliki porsi lebih besar dibandingkan yang dalam bentuk pinjaman. Pada akhir 2019 porsinya mencapai 84% dengan nilai sebesar Rp4.014,8 triliun. Sedangkan utang dalam bentuk pinjaman hanya 16% atau sebesar Rp771,8 triliun. 

Porsi utang dalam bentuk SBN meningkat lebih cepat hingga akhir November 2020, mencapai 86,03% atau sebesar Rp5.085,04 triliun. Sedangkan pinjaman nilainya juga ikut meningkat menjadi Rp814,05 triliun, namun porsinya turun menjadi 13,97%. 

Grafik 4. SBN dan Pinjaman


Berdasar denominasi mata uang, porsi utang pemerintah dalam Rupiah lebih besar dibanding dalam valuta asing (valas). Utang dalam bentuk valas terdiri dari banyak mata uang namun hal tersebut bukan berarti berutang paling banyak pada negara dengan mata uang tersebut. Sebagian negara atau pihak asing memilih mata dolar Amerika sebagai denominasi. Sehingga porsinya menjadi yang terbesar. Hal ini tidak berarti pemerintah berutang banyak pada Amerika ataupun organisasi internasional yang berpusat di negara tersebut. 

Pada akhir tahun 2019, porsi denominasi rupiah mencapai 62,08% dan denominasi valas sebesar 37,98% dari total utang. Porsi denominasi rupiah pada akhir November meningkat menjadi 76,65%, seiring dengan peningkatan posisinya yang lebih cepat dari denominasi valas. Porsi SBN valas turun menjadi 23,46%.

Grafik 5. Utang Berdenominasi Rupiah dan Valuta Asing

Hanya saja perlu diingat bahwa utang berdenominasi rupiah tidak selalu berarti krediturnya adalah pihak domestik atau penduduk (residen). Bisa saja berasal dari kreditor asing namun pemberian pinjamannya dalam bentuk rupiah, misalkan SBN yang dibeli oleh pihak asing maka dicatat dalam utang kepada non residen. Begitu juga utang dalam bentuk valas bukan berarti seluruhnya kepada pihak asing. Sebagian dari SBN valas, meski masih berporsi kecil, dimiliki oleh penduduk. 

Pada pengelompokan asal kreditur, utang kepada residen berarti utang kepada penduduk, perusahaan atau Lembaga Indonesia. Sedangkan kepada nonresiden adalah kepada pihak asing, yang dicatat oleh Bank Indonesia sebagai utang luar negeri Pemerintah. Tidak masalah apa pun jenis denominasinya.

Posisi utang kepada residen sebesar Rp2003,63 triliun (41,86%) dan kepada nonresiden sebesar Rp2782,87 triliun (58,14%) pada akhir tahun 2019. Porsi kepada residen meningkat menjadi Rp2.942,52 triliun (50,06%) pada akhir Oktober 2020. Hal ini seiring dengan peningkatan kepemilikan SBN oleh Bank Indonesia yang naik pesat, bahkan berlipat. 

Sementara itu, pihak asing justeru sedikit menurun nilai kepemilikannya, dan secara porsi turun sangat signifikan. Posisi utang kepada nonresiden pada akhir Oktober 2020 tercatat Rp2.935,47 triliun (49,94 %). Porsinya justeru sedikit di bawah utang kepada residen. Hal ini terutama sekali karena penurunan kepemilikan SBN oleh asing. 

Grafik 6. Utang Kepada Residen dan NonResiden



















UTANG PEMERINTAH INDONESIA (bagian dua)

APBN 2020 semula merencanakan defisit sebesar Rp307,23 triliun kemudian direvisi Perpres No.54/2020 menjadi Rp852,94 triliun, dan direvisi lagi melalui Perpres No.72/2020 menjadi Rp1.039,22 triliun. Defisit APBN akan ditutupi atau dibiayai oleh utang baru.

Akan tetapi tambahan utang juga diperlukan untuk membiayai pengeluaran lain selain belanja. Jenis pengeluaran yang belum diperhitungkan dalam angka defisit pada postur APBN. Contoh pengeluaran dimaksud antara lain investasi kepada BUMN, investasi kepada BLU, pemberian pinjaman kepada BUMN atau Pemda, dan kewajiban penjaminan. Pengeluaran ini tidak dicatat dalam pos Belanja di bagian atas, karena bersifat menimbulkan hak di kemudian hari. 

Tambahan utang karena kedua hal tersebut mempengaruhi besaran pos pembiayaan utang dalam postur APBN. Pembiayaan utang merupakan istilah baru yang dicantumkan secara resmi dalam postur APBN beberapa tahun terakhir.

Pos pembiayaan utang masuk pada kelompok pembiayaan anggaran. Kelompok pembiayaan diletakkan di bagian bawah neraca APBN, sering disebut below the line. Kelompok Pendapatan dan Belanja tampak di bagian atas.

APBN 2020 semula merencanakan pembiayaan utang sebesar Rp351,85 triliun. Direvisi malalui Perpres No.54/2020 menjadi Rp852,94 triliun, dan direvisi lagi melalui Perpres No.72/2020 menjadi Rp1.220,5 triliun. 

Pada APBN 2021, Pembiayaan utang direncanakan sebesar Rp1.177,40 triliun. Jika realisasi sesuai dengan rencananya, maka utang pemerintah akan bertambah sebesar itu akibat pelaksanaan APBN. Nilainya melebihi target defisit yang hanya Rp1.006,40 triliun, karena ada pengeluaran yang termasuk dalam pos pembiayaan. 

Defisit dan pembiayaan utang APBN cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Akan tetapi, laju kenaikannya berfluktuasi. Bahkan, sempat sedikit menurun pada tahun 2018. Kembali meningkat pada tahun 2019. Dan akibat pandemi covid-19, peningkatannya menjadi amat signifikan pada tahun 2020. Meski sedikit akan diturunkan pada APBN 2021, namun terbilang masih jauh lebih besar disbanding tahun-tahun sebelumnya. 

Gambar 2. Defisit dan Pembiayaan Utang, 2005-2021


Perlu dicermati, dalam pos pembiayaan utang tercakup data penerimaan dari utang baru dan data pembayaran pokok atas utang lama. Sebagian dinyatakan secara jelas, berupa pelunasan dan penarikan utang baru. Sebagian lainnya hanya disebut secara neto.

Yang bersifat penerimaan diperoleh dari pencairan pinjaman baru dan hasil penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Sedangkan yang bersifat pengeluaran berupa pembayaran cicilan pokok pinjaman serta pelunasan SBN jatuh tempo dan SBN yang dilunasi sebelum waktunya (buyback). Kadang ada pula beberapa penghapusan atau restrukturirasi dari pinjaman.

Pembiayaan utang memang merupakan rencana tambahan utang berdasar pengelolaan APBN pada tahun yang bersangkutan. Akan tetapi, ada faktor lain yang dapat menambah ataupun mengurangi posisi utang pemerintah. Faktor dimaksud adalah perubahan kurs mata uang. Cukup banyak dari utang pemerintah berdenominasi valuta asing atau diperhitungkan mata uang selain rupiah. Porsi terbesarnya berupa dolar Amerika.

Sebagai contoh, pada tahun 2019 tambahan utang hanya sebesar Rp320,29 triliun, padahal nilai pembiayaan utangnya sebesar Rp437,54 triliun. Lebih sedikitnya tambahan posisi utang karena kurs rupiah pada akhir tahun 2019 menguat dibanding akhir tahun 2018. Terutama atas dolar Amerika.

Contoh sebaliknya, terjadi pada tahun 2015, tambahan utang lebih besar dibandingkan dengan pembiayaan utang. Pembiayaan utang hanya sebesar Rp380 triliun, namun posisi utang bertambah sebesar Rp556,35. Penyebabnya, kurs rupiah pada akhir tahun 2015 yang lebih lemah dari akhir tahun 2014. 

Sejauh perkembangan terkini dari kurs, pada tahun 2020 diprakirakan tambahan utang akan sedikit melebihi pembiayaan utang, karena kurs hanya sedikit melemah dibanding pada akhir tahun 2019. Sedangkan posisi tahun 2021 masih bergantung pada perkembangan kurs rupiah nantinya.

Grafik 3 Pembiayaan Utang dan Tambahan Utang, 2005-2021



Perlu dicermati bahwa Faktor kurs dimaksud bukan lah rata-rata kurs sepanjang tahun, sebagaimana yang dinyatakan dalam asumsi makro ekonomi APBN. Melainkan, penguatan atau pelemahan kurs rupiah antara dua tanggal posisi utang dinyatakan. Pada contoh tahun 2019, terjadi pengutan kurs rupiah atas dolar Amerika pada 31 Desember 2019 (Rp13.901) dibanding dengan kurs pada 31 Desember 2018 (Rp14.981). Padahal, rata-rata kurs selama tahun 2019 adalah sebesar Rp14.146. 

Cukup besarnya pengaruh kurs dikarenakan sebagian utang Pemerintah merupakan utang dalam mata uang asing. Porsinya berfluktuasi di kisaran 38-40 persen dari total utang. Sekitar 90 persennya berdenominasi dolar Amerika. Padahal, posisi utang dinyatakan dalam rupiah.

Pemerintah dan Bank Indonesia memang berupaya mempertahankan tingkat kurs yang stabil, bahkan cenderung setara antara tahun 2020 dengan 2021. Perpres 72/2020 yang sekaligus merupakan outlook mematok kurs di kisaran Rp14.400-14.800 per dolar Amerika. Sedangkan APBN 2021 menetapkan asumsi Rp14.600.

Kurs pada akhir tahun 2020 sempat ditargetkan oleh Bank Indonesia di kisaran Rp15.000. Jika target tercapai, kurs persis Rp15.000, maka dapat dihitung posisi utang akhir tahun 2020. Secara teknis, faktor ini hanya berpengaruh atas nilai utang terdahulu, karena utang yang diperoleh pada tahun 2020 telah masuk dalam perhitungan APBN. Jika kurs akhir tahun 2020 sebesar Rp15.000, maka rupiah melemah 7,91% dibanding akhir tahun 2019. Utang pun bertambah karena faktor ini sebesar Rp196 triliun.

Dengan perhitungan demikian, maka posisi utang pemerintah akhir 2020 akan bertambah dari pembiayaan utang dalam APBN 2020 menurut Perpres nomer 72 (Rp1.220,46 triliun) dan dari pelemahan kurs (RP196 triliun). Menjadi sebesar Rp6.203 triliun pada akhir tahun 2020, dari Rp4.786,59 triliun pada akhir 2019. 

Pada akhir November, kurs rupiah ternyata menguat hingga mendekati Rp14.000. Posisi utang Pemerintah pada akhir November “hanya” Rp5.910,64 triliun. Jika kurs dapat dipertahankan, maka pelemahan rupiah hanya sekitar 1%. Posisi utang pada akhir 2020 akan menjadi sekitar Rp6.069 triliun.




UTANG PEMERINTAH INDONESIA (bagian satu)

Posisi (outstanding) utang pemerintah biasa disampaikan kepada publik untuk kondisi pada akhir bulan dan akhir tahun. Terutama melalui publikasi bulanan APBN Kita dari Kementerian Keuangan, serta dokumen tahunan berupa Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).

Dalam bahasa sehari-hari posisi utang adalah sisa utang hingga tanggal yang dinyatakan. Bersifat akumulasi dari transaksi utang pada waktu sebelumnya. Telah memperhitungkan utang pokok yang dilunasi, termasuk yang berupa cicilan, serta utang baru yang diterima. Sebagai data, bersifat stock atau kondisi pada waktu atau tanggal tertentu.  

Posisi utang Pemerintah memang tiap tahun selama ini cenderung meningkat. Posisi utang pemerintah pada akhir tahun 2019 telah mencapai Rp4.786 triliun. Posisi utang Pemerintah telah mencapai Rp5.910,64 triliun pada akhir November 2020. Merupakan nominal utang yang tertinggi dalam sejarah Indonesia. 

Berdasar perhitungan atas pos pembiayaan utang pada Perpres No.72/2020, maka masih akan bertambah lagi hingga akhir tahun. Posisinya diprakirakan di kisaran Rp6.100 triliun. Dengan asumsi, kurs rupiah pada akhir tahun masih terjaga pada tingkat setara akhir November. Jika kurs menguat, maka posisinya akan sedikit di bawah itu.

Meningkatnya posisi utang pemerintah disebabkan oleh meingkatnya kebutuhan pembiayaan untuk menangani masalah Kesehatan, mitigasi dampak dan pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19. Belanja dan pengeluaran pemerintah terpaksa bertambah lebih banyak dari rencana sebelumnya. Padahal, pendapatan justru akan menurun.  

Pengalaman buruk saat dampak krisis 1997/1998 yang terjadi lonjakan utang pemerintah patut diwaspadai. Utang Pemerintah secara nominal masih terus melaju kencang hingga tahun 2000. Setelahnya pun bisa dikatakan tidak benar-benar turun, melainkan hanya melandai   atau stagnan selama beberapa tahun. Kemudian secara perlahan menaik kembali, dan naik hampir selalu naik signfikan sejak tahun 2012. 

Secara rerata, kenaikan posisi utang pada periode 2011-2020 mencapai 14,03% tiap tahun. Jauh lebih tinggi dibanding periode 2001-2010 yang hanya sebesar 3,30%. Jika dilihat secara era pemerintahan, maka rerata kenaikan era pemerintahan SBY I sebesar 4,38% per tahun. Namun, pada era keduanya rerata laju kenaikan melesat menjadi 10,51% per tahun. Sedangkan pada era pemerintahan Jokowi I, rerata kenaikannya menjadi lebih tinggi, yakni mencapai 13,0% per tahun. 

Laju kenaikan utang sempat sedikit menurun pada akhir pemerintahan Jokowi I, hanya 7,17% pada tahun 2019. Dampak pandemi, membuat posisi utang diprakirakan akan meningkat drastis pada akhir tahun 2020 dibanding akhir tahun 2019, mencapai 28,49%. 

Pada era pemerintahan SBY I, posisi utang tahun 2004 sebesar Rp1299,5 triliun menjadi Rp1590,66 triliun pada akhir tahun 2009, atau naik sebesar 22,41%. Era SBY II, meningkat sebesar 64,01%, menjadi Rp2608,78 triliun pada akhir 2014. Sedangkan era Jokowi I, kenaikan mencapai 83,48%, menjadi Rp4.786,5 triliun pada akhir 2019.

Berdasar postur dan asumsi APBN 2021, kenaikan posisi utang direncanakan lebih landai dari tahun 2020. Namun masih terbilang lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Jika sesuai rencana APBN, maka posisi utang akan bertambah sebesar pembiayaan utang, atau mencapai Rp7.327 triliun pada akhir tahun 2021. Artinya bertambah sebesar 19,14%.  

Gambar 1. Posisi Utang Pemerintah , 1996-2020 





Sabtu, 29 Februari 2020

MENGURAI DEFISIT TRANSAKSI BERJALAN INDONESIA (bagian tujuh dari tujuh tulisan)


"Saya sudah sampaikan ke Pak Airlangga dan seluruh kementerian di bawahnya untuk segera menurunkan defisit neraca transaksi berjalan kita, juga defisit neraca dagang. Kami akan konsen ke situ," kata Jokowi pada 6 November 2019. Setahun sebelumnya (24 Oktober 2018), Jokowi telah mengatakan bahwa masalah yang sudah bertahun-tahun tidak bisa diselesaikan adalah defisit neraca perdagangan dan defisit transaksi berjalan. Bahkan pada 5 September 2018, Jokowi memerintahkan menterinya untuk segera bergerak menyelesaikannya dalam waktu satu tahun.

Kenyataannya kemudian justru tercipta rekor defisit pada tahun 2018 sebesar USD31,06 miliar. Dan hanya sedikit turun pada tahun 2019 menjadi sebesar USD30,42 miliar. Defisit pun telah dialami selama 8 tahun berturut-turut.

Soalan ini terasa makin krusial mengingat selama tahun 1998-2011 selalu mengalami surplus. Sedangkan kurun tahun 1981-1997 selalu mengalami defisit, dengan nilai yang berfluktuasi. Nilainya cenderung meningkat jelang krisis 1997.

Meski telah menjadi wacana publik yang cukup luas, istilah Transaksi Berjalan belum sepenuhnya dimengerti. Diskusi terlampau fokus pada salah satu bagian saja dari persoalannya, yaitu ekspor dan impor barang. Atau pada neraca perdagangan versi BPS yang telah memasukkan sebagian jasa terkait pencatatan nilai impor.

Uraian terdahulu memperlihatkan bahwa Transaksi Berjalan sebenarnya terdiri dari empat bagian atau neraca. Yaitu: Barang, Jasa-jasa, Pendapatan Primer, dan Pendapatan Sekunder. Analisa harusnya mencermati masing-masing kondisinya. Bahkan perlu kajian atas berbagai detil yang penting, agar diperoleh rekomendasi kebijakan ekonomi yang tepat. Tak cukup hanya berperspektif jangka pendek, melainkan juga memperhitungkan dampak jangka menengah dan panjang. 

Pada bagian tulisan ini perlu ditekankan kembali bagian yang penting namun sering kurang mendapat perhatian dalam diskusi, yaitu tentang Pendapatan Primer.

Upaya pengendalian defisit Pendapatan Primer akan berbenturan dengan kebijakan otoritas ekonomi yang mengharapkan masuknya modal asing secara besar-besaran. Peningkatan masuknya modal asing bahkan sering dibanggakan sebagai indikasi kredibelnya perekonomian nasional. Padahal harus diingat bahwa pihak asing mau berinvestasi atau memberi utang karena berharap akan adanya hasil kembalian berupa keuntungan dan pembayaran bunga.

Arus masuk dan keluar dari investasi itu sendiri tercatat dalam Transaksi Finansial. Bukan dalam Transaksi Berjalan. Transaksi Finansial mencatat perubahan kepemilikan aset dan kewajiban finansial luar negeri Indonesia. Catatan disebut aset berarti arus keluar dan masuk modal finansial milik penduduk Indonesia. Disebut kewajiban untuk catatan tentang milik asing yang masuk dan keluar wilayah Indonesia.

Transaksi Finansial Indonesia cenderung membukukan arus masuk bersih, dengan nilai berfluktuasi. Arus masuk bersih pada tahun 2019 meningkat signifikan dari tahun sebelumnya, hingga mencapai USD36,34 miliar. Arus keluar modal finansial milik penduduk Indonesia sebesar USD 14,47 miliar. Sedangkan arus masuk milik asing sebesar USD50,81 miliar.

Dengan demikian, perlu diingat pula bahwa kecenderungan nilai bersih arus masuk selama ini tidak hanya ditentukan oleh masuk dan keluarnya modal finansial asing. Melainkan juga oleh perilaku penduduk Indonesia dalam berinvestasi ke luar negeri.


Transaksi finansial tersebut terdiri dari investasi langsung, investasi portofolio, dan investasi lainnya. Pada tahun 2019: investasi langsung surplus sebesar USD20,05 miliar, Investasi portofolio surplus sebesar USD21,55 miliar, dan investasi lainnya defisit sebesar USD5,44 miliar.



Sebagaimana diketahui, Investor portofolio cenderung lebih bersifat spekulatif dibanding investasi langsung, karena tidak memiliki pengaruh yang cukup dalam perusahaan tempatnya berinvestasi. Transaksi investasi portofolio adalah atas surat berharga, baik di pasar perdana atau pun di pasar sekunder. Transaksi terjadi di pasar finansial terorganisasi, melalui bursa atau pun di luar bursa.

Investor portofolio terutama menimbang keamanan investasi, kemungkinan apresiasi nilainya, dan imbal hasil yang diperoleh. Jika kondisi atau keadaan berubah, investor portofolio dapat dengan mudah menggeser investasi mereka ke wilayah lain.

Pada tahun 2019, investasi portofolio mengalami surplus sebesar USD21,55 miliar. Investasi Portofolio yang bersifat aset sebesar USD441,18 juta, dan yang bersifat kewajiban sebesar USD21,11 miliar. Kecenderungannya memang selalu mengalami surplus selama belasan tahun terakhir.

Akan tetapi perlu dimengerti bahwa penduduk Indonesia pun melakukan investasi ke luar negeri, dicatat sebagai investasi portofolio aset, dengan nilai yang berfluktuatif. Kadang bernilai cukup besar pada tahun tertentu, seperti tahun 2018 yang mencapai USD5,17 miliar.

Dilihat dari aspek fundamental, dinamika investasi portofolio amat memengaruhi keseluruhan Neraca Pembayaran Indonesia sekitar sepuluh tahun terakhir. Pengaruhnya makin menentukan beberapa tahun ke depan. Bagian neraca lainnya tampak lebih stabil, tidak mudah membaik atau memburuk dalam jangka pendek. Ditambah kemudahan teknis dari jenis transaksi ini berbalik arah atau sekurangnya melambat.

Arus masuk tersebut memperbaiki neraca pembayaran dan menambah cadangan devisa pada tahun bersangkutan. Namun, kompensasinya akan berupa pembayaran pada bagian neraca Pendapatan Primer pada waktu berikutnya. Berarti pula makin menekan Transaksi Berjalan.

Kita dapat pula mencermati arus masuk investasi asing portofolio secara neto tiap tahunnya. Ketika masuk sebagai investasi portofolio, sifatnya menambah devisa. Namun, pembayaran imbal jasanya kemudian akan mengurangi. Tentu saja, pembayaran tersebut merupakan konsekwensi dari akumulasi investasi sebelumnya. Arus masuk secara neto dari keduanya kadang amat kecil dan dapat negatif pada tahun tertentu.


Catatan tentang akumulasi dari investasi portofolio sebagai bagian dari Transaksi Finansial dapat dicermati dari laporan Bank Indonesia tentang Posisi Investasi Internasional Indonesia (PIII). Salah satu bagian yang dilaporkan PIII adalag mengenai posisi kewajiban investasi portofolio.

Posisi investasi portofolio dari sisi kewajiban dalam PIII untuk kondisi akhir September 2019 adalah sebesar USD288,09 miliar. Posisinya terus meningkat dengan pesat, telah mencapai lebih dari 8 kali lipat jika dibandingkan dengan tahun 2005, atau hanya dalam kurun waktu 13 tahun.



Posisi itu dapat pula dibaca sebagai “modal finansial” yang cukup likuid untuk keluar dalam waktu singkat. Meski nyaris mustahil akan mendadak balik ke luar negeri sebesar jumlah itu, tetapi tetap harus dilihat sebagai resiko potensial. Untuk mengguncang atau memperburuk kondisi jika telah mulai ada guncangan terhadap perekonomian, cukup 10 hingga 20 persen saja yang keluar mendadak dalam kurun satu minggu hingga satu bulan, diperkirakan dapat menjadi sebab terjadinya krisis ekonomi, kecuali jika otoritas moneter dengan sigap melakukan langkah antisipatif yang memadai.

Tentu saja harus diakui bahwa bisa pula yang terjadi adalah sebaliknya, posisi demikian diharapkan menjadi jaminan bagi datangnya arus masuk baru, karena dinilai kredibel dan layak investasi. Penentunya antara lain daya tarik dan bukti hasil dari modal finansial yang telah berada di Indonesia masih relatif lebih menguntungkan dibanding investasi yang sama di kawasan.

Kembali kepada topik utama tentang Transaksi Berjalan. Bank Indonesia menilai kondisi terkini yang selalu defisit masih aman dan terkendali. Yang dipakai sebagai ukuran adalah rasio defisit transaksi berjalan atas Produk Domestik Bruto (PDB). Besaran yang disebut aman adalah defisit 3 persen dari PDB. Sedangkan kestabilan cenderung diartikan tingkat defisit yang bertahan di kisaran 2,5 hingga 3 persen.

Jumat, 28 Februari 2020

MENGURAI DEFISIT TRANSAKSI BERJALAN INDONESIA (bagian enam dari tujuh tulisan)


Selain Jasa-Jasa yang terdiri dari 12 kelompok dan Pendapatan Primer yang telah dijelaskan di atas, masih ada satu neraca terkait jasa lagi yang disebut dengan neraca Pendapatan Sekunder (Secondary Income). Dahulu sempat disebut sebagai Transfer Berjalan.

Pendapatan Sekunder meliputi semua transfer (masuk dan ke luar Indonesia) yang tidak termasuk dalam transfer modal. Transfer yang masuk dicatat sebagai penerimaan (inflow), dan yang keluar dicatat sebagai pembayaran (outflow).

Pada tahun 2019, penerimaan mencapai USD12,68 miliar, dan pembayaran sebesar USD5,05 miliar. Pendapatan Sekunder mengalami surplus sebesar USD7,63 miliar. Neraca ini memang selalu mengalami surplus, dengan nilai berfluktuasi. Selama 2 tahun terakhir mengalami kenaikan surplus yang signifikan.


Pendapatan Primer terutama diklasifikasikan menurut sektor institusional yang menerima atau memberi transfer, yaitu sektor pemerintah (general government) dan sektor lainnya (other sectors).

Sektor pemerintah mencatat antara lain bantuan yang diterima Pemerintah Indonesia atau yang diberikannya kepada pihak luar negeri. Dalam bentuk yang tak tergolong barang modal. Contohnya antara lain: untuk penanggulangan bencana alam, bantuan perlengkapan persenjataan, penerimaan pajak, denda, serta bantuan tunai untuk keperluan belanja pemerintah.

Bagian neraca ini surplus sebesar USD352 juta pada tahun 2019. Seluruhnya merupakan penerimaan, dan tak tercatat adanya pembayaran. Nilainya memang relatif kecil tiap tahunnya jika dilihat dari nilai keseluruhan neraca pendapatan sekunder.

Sektor lainnya terdiri dari transfer personal dan transfer lainnya. Transfer personal dikenal juga sebagai remitansi tenaga kerja (workers’ remittances). Yaitu transfer dari pekerja migran kepada keluarga di negara asal. Pengertian migran dalam pencatatan ini adalah seseorang yang datang ke suatu wilayah ekonomi dan tinggal ataupun bermaksud untuk tinggal selama satu tahun atau lebih.

Transfer Personal pada tahun 2019 mencatat penerimaan sebesar USD11,44 miliar dan pembayaran sebesar USD3,36 miliar. Mengalami surplus sebesar USD8,08 miliar. Neraca ini memang selalu surplus, yang nilainya meningkat pesat selama 2 tahun terakhir, setelah sempat menurun selama dua tahun sebelumnya (2016 dan 2017).



Transfer personal yang terutama merupakan remitansi tenaga kerja memperlihatkan bahwa pekerja migran Indonesia atau dikenal juga sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terus memberi sumbangan bagi masuknya devisa. Nilainya perlahan meningkat selama periode 2005-2015. Sempat merosot pada tahun 2015 dan 2016. Kemudian meningkat kembali secara signifikan 2 tahun ini, hingga mencapai rekor sebesar USD11,44 miliar pada tahun 2019.

Dapat diartikan bahwa TKI telah secara nyata menjadi salah satu “penyelamat” penting kondisi Transaksi Berjalan. Jumlah TKI tercatat sebanyak 3,74 juta orang pada akhir tahun 2019. Sebenarnya jumlah ini cenderung turun atau stagnan. Pada tahun-tahun sebelumnya, jumlah TKI lebih dari 4 juta orang, dan bahkan mencapai 4,7 juta orang pada tahun 2006. Kebijakan moratorium, kebijakan negara penempatan, serta kebijakan yang lebih ketat dalam pengiriman TKI membuat jumlahnya makin turun.


Bagaimanapun, nilai remitansinya cenderung meningkat seperti disajikan di atas. Remitansi terbesar berasal dari mereka yang bekerja di kawasan Timur Tengah dan Asia pasifik. Jika dilihat secara negara, urutan remitansi terbesar pada tahun 2019 adalah: Arab Saudi (USD3,80 miliar), Malaysia (USD3,25 miliar), Hongkong (USD1,23 miliar), Taiwan (USD1,57 miliar), Singapore (USD354,68 juta). Porsi kelima negara ini mencapai 89,31 persen dari total remitansi.


Berdasar jumlah TKI yang ditempatkan, urutan terbesarnya pada tahun 2019 adalah sebagai berikut: Malaysia (1.882,91 ribu orang), Arab Saudi (960,53 ribu orang), Taiwan (328,17 orang), Hongkong (249,88 ribu orang), dan Singapore (103,32 ribu orang).

Transfer lainnya (other transfers) dari sektor lainnya pada neraca Pendapatan Primer antara lain mencakup premi neto dan klaim asuransi non-life, sumbangan untuk organisasi sosial atau keagamaan, pembayaran iuran keanggotaan, atau bantuan bencana alam, dan pembayaran pajak pendapatan. Mengalami defisit sebesar USD798 juta pada tahun 2019. Selalu mengalami defisit dengan nilai berfluktuasi, namun relative tidak terlampau besar jika dilihat nilai neraca keseluruhan.

Bersambung ke bagian tujuh.