Rabu, 22 Mei 2019

RASIO UTANG YANG SELALU TIDAK SESUAI RENCANA


Pemerintah selalu menjelaskan bahwa kondisi utang pemerintah masih aman terkendali. Argumen berulang adalah rasio utang atas PDB yang masih di kisaran 30%, dan masih jauh dari batas yang dibolehkan undang-undang sebesar 60%.

Terlepas dari cukup beralasannya soal besaran rasio tersebut, perlu dicermati bagaimana atau berapa sebenarnya rencana rasio utang Pemerintah. Apakah rasio yang diklaim rendah dan aman itu sesuai dengan rencana pemerintah sendiri. Perlu ditelusuri tentang berapa target utang berdasar perencanaan jangka menengah serta rencana tahunan yang disusun oleh pemerintah sendiri. Termasuk target menurut APBN, yang merupakan kesepakatan Pemerintah dengan DPR. Berikut disampaikan beberapa rencana dan realisasi tentang rasio utang.



Pertama, rasio utang ternyata jauh melebihi yang direncanakan atau ditargetkan oleh Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019, yang ditetapkan melalui Perpres No.2/2015 tanggal 8 Januari 2015. “Terjaganya rasio utang pemerintah dibawah 30 persen PDB dan terus menurun yang diperkirakan menjadi 20,0 persen PDB pada tahun 2019… (Buku I RPJMN halaman 6-183). Dirinci target rasio tiap pada Buku I halaman 4-16 dan Buku II halaman 3-63 sebagai berikut: 26,7% (2015), 23,3% (2016), 22,3% (2017), 21,1% (2018), dan 19,3% (2019). Realisasinya kemudian meleset jauh, yaitu: 27,43% (2015), 28,33% (2016), 28,98% (2017), dan 29,98 (2018).


Kedua, target dalam RPJMN sebenarnya meneruskan target yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara dalam Kepmen No113/KMK.08/2014 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara tahun 2014-2017. Meski diputuskan di akhir masa jabatan Menkeu era SBY, tetapi tidak dilakukan perubahan karena dianggap bersesuaian dengan RPJMN. Target dalam KMK untuk tahun 2017 adalah 22%, sedang realisasinya 28,98%.

                    Gambar disalin dari Kepmern No113/KMK.08/2014   

Ketiga, Sri Mulyani menetapkan Kepmen No884/KMK.08/2017 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Jangka Menengah tahun 2018-2021 pada 27 Nopember 2017. Target rasio utang pada tahun 2018 dalam kepmen itu sebesar 29,3%. Realisasinya sebesar 29,98%.
                      Gambar disalin dari Kepmen No884/KMK.08/2017 

Keempat, rasio utang pemerintah berdasar target APBN 2018 adalah 29,07%. Sedangkan target APBN 2019 adalah 28,8-29,92%. Disebutkan pula dalam Nota Keuangannya bahwa pada tahun 2022, rasio utang diperkirakan sebesar 26,25-27,87 persen terhadap PDB.

                       Gambar disalin dari KEM-PPKF tahun 2019

Dengan demikian, rasio utang pemerintah atas PDB belakangan ini selalu melampaui target yang direncanakan sebelumnya. Utang naik lebih besar dibanding prakiraan, atau pada saat bersamaan nilai PDB tidak sebesar yang diharapkan. Bahkan untuk target atau rencana yang bersifat tahuanan.
Jika mengira bahwa selisih antara target APBN 2018 (29,07%) dengan realisasinya 29,98% itu amat kecil, karena kurang dari 1%, maka perlu diketahui tentang nilai PDB nya. PDB harga berlaku tahun 2018 adalah sebesar Rp14.735,85 triliun.Tambahan utang meleset (lebih besar dari rencana) sebesar 0,91% berarti sebesar Rp134 triliun. Rencana setahun sebelumnya meleset sedemikian besar. Sedangkan dari rencana 4 tahun sebelumnya (RPJMN dan KMK rencana strategis utang) meleset 8,88% atau Rp1.309 trilun.

Wajar jika perlu dipertanyakan apakah utang telah direncanakan dengan baik? Bukan selalu mengedepan amannya rasio di kisaran 30% saja. Harusnya dijelaskan mengapa selalu meleset dari rencana atau target.

Senin, 13 Mei 2019

Bab I PENDAHULUAN dari Buku "APBN YANG TIDAK MANDIRI"


Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah menjadi topik diskusi yang bersifat publik. Media massa sering memberitakan pernyataan pejabat dan memuat tulisan tentang APBN. APBN makin meningkat intensitasnya sebagai wacana diskusi publik pada saat pengajuan Rancangan APBN (RAPBN) oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pembahasannya dalam rapat DPR, dan setelah penetapan resmi APBN oleh DPR.

Hingga kini, wacana APBN masih didominasi oleh keterangan atau penjelasan dari pihak Pemerintah. Hanya sedikit berita atau tulisan dari pihak lain yang memberi opini pembanding. Dan lebih sedikit lagi yang secara kritis menilai kinerja APBN. Bahkan, pandangan fraksi dan perorangan anggota DPR hanya sesekali diberitakan oleh media massa.

Tentu saja, pandangan Pemerintah bernuansa sangat positif dan optimistis. Penjelasannya bersifat klaim atas keberhasilan realisasi atau kinerja APBN. Pemerintah juga selalu menyampaikan bahwa APBN telah disusun dan direncanakan dengan sangat baik, serta telah menimbang semua aspek dinamika ekonomi serta kondisi hidup seluruh rakyat Indonesia.

Pemerintahan era sebelum Presiden jokowi juga tercatat mengklaim hal serupa, bahwa APBN telah disusun dan dikelola secara baik. Akan tetapi, era Jokowi tampak lebih sering memberi keterangan kepada publik tentang hal ini. Penjelasan bahkan dikemas dalam beberapa bentuk, seperti: dokumen yang bersifat narasi lengkap, paparan populer dengan diagram dan grafik menarik, serta poster advertorial. Istilah dan frasa tertentu makin sering mengemuka ke ruang publik, seperti: APBN yang sehat, APBN yang mandiri, APBN yang adil, APBN yang kredibel, APBN yang realistis, dan APBN yang berkelanjutan.

1.1   Alasan Mempelajari APBN
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2019 disahkan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia pada tanggal 31 Oktober 2018. Dua hari kemudian, Pemerintah (Kementerian Keuangan) menyampaikan Keterangan Pers APBN 2019 sebanyak lima halaman mengenai beberapa hal pokok dan besaran angkanya.

Pemerintah mengatakan bahwa APBN 2019 bertujuan untuk mendukung investasi dan daya saing Indonesia dengan fokus pada pembangunan sumber daya manusia. Dijelaskan bahwa tema besarnya adalah "Sehat, Adil, dan Mandiri". Sehat artinya APBN memiliki defisit yang semakin rendah dan keseimbangan primer menuju positif. Adil karena APBN digunakan sebagai instrumen kebijakan meraih keadilan, menurunkan tingkat kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, dan mengatasi disparitas antarkelompok pendapatan dan antarwilayah. Dari sisi kemandirian, APBN 2019 dapat dilihat dari penerimaan perpajakan yang tumbuh signifikan sehingga memberikan kontribusi dominan terhadap pendapatan negara serta mengurangi kebutuhan pembiayaan yang bersumber dari utang. Dengan APBN yang Sehat, Adil dan Mandiri diharapkan kebijakan fiskal akan mampu merespon dinamika volatilitas global, menjawab tantangan dan mendukung pencapaian target-target pembangunan secara optimal.

Tema “Sehat, Adil, dan Mandiri” tersebut telah pernah dijelaskan oleh Menteri Keuangan kepada publik 2,5 bulan sebelumnya. Menkeu memberi keterangan pers, setelah Presiden menyampaikan Nota Keuangan dan Rancangan APBN 2019 untuk dibahas DPR pada tanggal 16 Agustus 2018. Nota Keuangan adalah semacam dokumen pengantar, yang berisi penjelasan cukup panjang lebar tentang angka-angka APBN. Nota Keuangan juga menyampaikan asesmen atas kondisi perekonomian, serta penilaian atas kinerja APBN pada tahun-tahun sebelumnya.

Sesuai namanya, APBN berisi angka-angka anggaran, tentang pendapatan dan tentang belanja negara. Sebagai contoh, APBN 2019 memuat target Pendapatan Negara sebesar Rp2.165,11 triliun, dan rencana Belanja Negara sebesar Rp2.461,11 triliun. Angka-angka pendapatan dan belanja dirinci lagi dalam dokumen APBN 2019. Rincian disajikan dalam berbagai jenis dan aspek. Oleh karena rencana belanja lebih besar dibanding target pendapatan tadi, maka dicantumkan angka selisihnya atau yang disebut defisit sebesar Rp296 triliun. Bagaimana rencana untuk menutupi atau mengatasi defisit menimbulkan angka yang disebut sebagai Pembiayaan Anggaran. Pembiayaan Anggaran itu sendiri memiliki rincian lagi, kerena menyangkut hak dan kewajiban akibat defisit tahun-tahun sebelumnya, serta pengeluaran lain yang tidak digolongkan sebagai belanja.

Keterangan sebagai “Sehat, Adil, dan Mandiri” merupakan pendapat atau pandangan pemerintah. Bisa dikatakan sebagai klaim. Pihak DPR nampaknya tidak begitu keberatan dengan klaim tersebut, karena tak ada berita mengenai perdebatan serius tentang klaim tersebut. Ditambah fakta bahwa hanya sedikit perubahan angka yang terjadi dari Rancangan APBN (RAPBN) menjadi APBN, terutama tentang postur dan asumsi perhitungan atau asumsi makroekonomi.

Sebagian ahli ekonomi tidak sepenuhnya sependapat dengan klaim Pemerintah tersebut. Ada pula tokoh politik, yang meski partainya ikut pembahasan, menyuarakan pandangan berlawanan. Diantaranya, ada yang mempertanyakan tentang utang pemerintah yang bertambah sangat besar dan pembayaran bunganya telah membebani belanja negara. Ada yang menilai rencana atau target dari pendapatan negara sebagai tidak realistis, sesuatu yang akan sulit untuk dicapai. Ada yang menyoroti beberapa jenis belanja yang meningkat melampaui kenaikan jenis belanja lain, seperti belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja subsidi dan belanja lain-lain. Mereka mengembangkan narasi kritik yang dikaitkan dengan tahun politik atau masa pemilihan umum Presiden.

Kita sebagai warga negara yang telah dewasa, apalagi yang cukup terdidik, sebenarnya berhak dan bisa berupaya memahami argumen klaim Pemerintah, serta mengerti pendapat yang krtis. Setelah memiliki cukup pengetahuan umum, mampu menalar tiap argumen, maka kita dapat memiliki pandangan sendiri. Bagaimanapun, secara langsung atau tidak langsung, APBN mempengaruhi hidup seluruh warga negara. Konstitusi secara tegas mengatakan APBN diselenggarakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.      

APBN memiliki beberapa istilah khusus dan mencakup angka-angka yang sepintas amat banyak. Meski sebagiannya perlu proses bertahap, sebenarnya bukan sesuatu yang sulit dipelajari dan difahami orang dewasa dengan latar belakang pendidikan menengah ke atas. Apalagi jika kebutuhan utamanya hanya untuk mengerti topik yang diperdebatkan, seperti soal tema tadi. Bahkan, sebagian narasi memiliki kemiripan dengan tema dalam kehidupan sehari-hari, seperti pendapatan, belanja, dan utang. Tentu diperlukan sedikit kesabaran untuk mencermati angka-angka yang kadang ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik.

Secara teknis, ada beberapa hal yang perlu diketahui, dipelajari dan sedikit dicermati untuk memahami APBN. Diantaranya adalah pengertian istilah, yang terutama dipelajari dengan merujuk kepada regulasi atau perundang-undangan. Beberapa angka atau besaran yang sering ditampilkan dalam bentuk tabel, membutuhkan sedikit pencermatan. Proses penyusunan atau penganggaran yang melibatkan berbagai pihak dalam pemerintahan dan DPR, termasuk kisaran waktu persiapan dan pembahasannya. Kita juga perlu mengetahui perbandingan beberapa besaran pokok dengan waktu-waktu sebelumnya.

Sebagai tambahan catatan, anggaran negara menjadi tema publik yang amat penting dalam dinamika sosial politik negara-negara yang telah maju dan berkembang perekonomiannya. Terlebih pada masa pemilihan umum di negara tersebut. Janji kampanye tiap calon umumnya bermuatan aspek penting dari anggaran negara. Hal itu mulai tampak pula pada pemilu Presiden lalu di Indonesia, baik dalam debat paslon maupu antar tim pendukung. Secara perlahan, tema perbincangan publik di Indonesia makin bermuatan soalan anggaran negara.

1.2 APBN dan Keuangan Negara
Menurut UUD 1945 dan berbagai undang-undang terkait saat ini, Anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) adalah bagian dari apa yang disebut sebagai keuangan negara. Dapat dikatakan sebagai bagian yang paling penting. Disebutkan bahwa APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.  

Keuangan Negara itu sendiri diartikan sebagai semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Pengertian keuangan negara yang demikian dapat dilihat dalam beberapa aspek, seperti: obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dilihat dari aspek obyek, keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Contoh teknisnya antara lain adalah: penerimaan negara, pengeluaran negara, penerimaan daerah, pengeluaran Daerah, utang piutang negara, penngedaran uang, dan lain sebagainya.

Dilihat dari aspek subyek, keuangan negara meliputi para pihak yang memiliki dan atau menguasai seluruh obyek tadi. Seperti Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah, dan badan lainnya.

Dilihat dari aspek proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas oleh berbagai pihak yang berwenang. Sejak dari perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, pelaporan, hingga pertanggunggjawaban.

Dan diluat dari aspek tujuan, keuangan negara membicarakan obyek, subyek dan proses sebagaimana penjelasan di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Termasuk soalan hukum dan regulasi yang mengaturnya.

Secara keseluruhan, konstitusi dan undang-undang memerintahkan agar pengelolaan keuangan negara diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab. Perintah yang secara tegas mengarah pada keharusan melaksanakan dan mewujudkan tata kelola yang baik (good governance).

Undang-undang tentang Keuangan Negara menjabarkan pokok perintah tersebut ke dalam asas-asas umum. Ada asas -asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas. Serta ada asas-asas yang lebih baru dikenal sebagai penerapan kaidah-kaidah yang baik (best practices) dalam pengelolaan keuangan negara di Indonesia. Asas-asas yang relatif baru tersebut,antara lain: akuntabilitas berorientasi pada hasil, profesionalitas, proporsionalitas, keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, serta pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.

Secara konseptual atau pembahasan dalam berbagai buku ajar, bidang pengelolaan keuangan negara memang terbilang sangat luas. Pembahasan antara lain dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Dalam konteks ini, APBN merupakan sub bidang pengelolaan fiskal.

Dengan demikian, APBN adalah bagian dari keuangan negara, yang bisa dikatakan paling penting, dan tiap tahun ditetapkan oleh undang-undang. Rancangan Undang-Undang tentang APBN diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. Bahkan diatur, apabila DPR tidak menyetujui rancangan APBN yang diusulkan oleh Presiden, maka Pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu.

Sebagai suatu rencana yang ditetapkan bersama oleh Pemerintah dan DPR, APBN melalui proses yang panjang dan mengalami beberapa kali perubahan besaran nilainya. Ada beberapa versi angka pada masing-masing tahap pembahasan. Sebagian hasil tahap pembahasan tertentu memiliki sebutan resmi, yang sebagiannya dipublikasikan secara terbuka. Sebelum diajukan sebagai Rancangan APBN (RAPBN) yang diajukan oleh Pemerintah untuk dibahas DPR, telah ada beberapa rancangan lain. Salah satunya yang penting adalah Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF). KEM-PPKF juga dikomunikasikan kepada DPR, yang disampaikan oleh Menteri Keuangan. RAPBN dapat dikatakan sebagai rancangan final versi Pemerintah, disampaikan langsung oleh Presiden kepada DPR. Hasil final pembahasan DPR, dan sering mengalami sedikit perubahan, ditetapkan dan disebut APBN. Biasanya ada perubahan di pertengahan tahun yang disebut sebagai APBN Perubahan (APBNP), yang harus ditetapkan pula sebagai Undang-Undang, dan memiliki konsep RAPBNP. Pelaksanaan atas APBN tak sepenuhnya sesuai target yang ditetapkan, sehingga menimbulkan versi yang disebut sebagai realisasi APBN pada suatu tahun.

Realisasi APBN bersama beberapa aspek lain dari keuangan negara yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, dimasukkan dalam suatu dokumen yang disebut Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). LKPP disampaikan kepada DPR, setelah sebelumnya diaudit dan diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 

Oleh karena semua istilah, item dan urutan penyajiannya hampir sama, maka perbedaan berbagai versi ini kadang dikutip secara kurang tepat oleh media. Bahkan, suatu tulisan ilmiah kadang memakai angka yang tak sesuai atau kurang tepat sebagai perbandingan antar tahun.

1.3   Postur APBN
APBN pada dasarnya terdiri atas tiga bagian pokok, yaitu: anggaran Pendapatan Negara, anggaran Belanja Negara, dan Pembiayaan Anggaran. Pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Belanja negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.

Ada dua istilah lain yang perlu dimengerti dalam APBN, yaitu penerimaan negara dan pengeluaran negara. Penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara. Pengertiannya lebih luas dibanding pendapatan. Definisi di tas menyebutlan bahwa pendapatan negara adalah penerimaan negara yang tidak perlu dibayar kembali. Namun ada penerimaan negara yang perlu dibayar kembali pada waktu mendatang, contohnya penerimaan yang berasal dari utang. Penerimaan dari utang dalam APBN dikelompokkan sebagai pos pembiayaan.

Begitu pula dengan pengertian pengeluaran negara sebagai uang yang keluar dari kas negara, lebih luas daripada istilah belanja negara. Ada pengeluaran yang tidak dimasukkan pada pos belanja, melainkan pada pos pembiayaan. Contohnya adalah pelunasan atau pembayaran cicilan utang, dan penyertaan modal (investasi) pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Layanan Umum (BLU).

Sebagaimana disebut terdahulu, APBN 2019 memuat target Pendapatan Negara sebesar Rp2.165,11 triliun, dan rencana Belanja Negara sebesar Rp2.461,11 triliun. Selisih keduanya disebut defisit anggaran sebesar Rp296 triliun. Bagaimana rencana untuk menutupi atau mengatasi defisit itu disebut sebagai Pembiayaan Anggaran, yang berart besarannya sama dengan defisit. Akan tetapi, pos pembiayaan ini dalam perkembangan terkini bersifat unik, karena tak sekadar mencerminkan bagaimana mengatasi defisit. Item Pembiayaan menjadi semacam neraca dengan rincian catatan mengenai penerimaan yang tak masuk pendapatan, dan pengeluaran yang tak termasuk belanja. Akan dijelaskan dalam bab tersendiri nantinya.

Pemerintah sering menggunakan istilah postur APBN. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), postur memiliki arti “bentuk tubuh” atau “perawakan”. Kementerian Keuangan dalam buku referensinya mengatakan bahwa secara harfiah, Postur APBN dapat didefinisikan sebagai “bentuk rencana keuangan pemerintah yang disusun berdasarkan kaidah-kaidah yang berlaku untuk mencapai tujuan bernegara”. Dalam praktik penyajian, Pemerintah biasa menggunakan istilah postur ringkas, yang menambahkan dua bagian lagi dari yang telah disebut di atas, yaitu tentang Keseimbangan Primer dan tentang Defisit Anggaran. Postur ringkas APBN 2019 akan dibahas dalam bab tiga. Kemudian diperbandingkan dengan postur tahun-tahun sebelumnya.

1.4 Peran dan Fungsi APBN
Dari uraian di atas, APBN sebenarnya mencerminkan peran negara yang dijalankan oleh Pemerintah Pusat, yang secara teoritis termasuk dalam kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal adalah salah satu jenis kebijakan dalam teori ekonomi makro.

Undang-undang menjelaskan bahwa dasar kebijakan fiskal adalah tiga fungsi utama pemerintah, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi. Dikatakan pula dalam berbagai dokumen resmi bahwa APBN harus didesain sesuai dengan fungsi tersebut, dalam upaya mendukung penciptaan akselerasi pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas.

Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. Dalam fungsi ini, intervensi Pemerintah dinilai dapat mengubah penggunaan sumber daya. Misalnya, pengenaan pajak atas obyek dan subyek pajak tertentu dan pemberian subsidi atas kelompok orang tertentu, atau berdasar penggunaan barang tertentu.

Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Fungsi ini antara lain memberi rambu bagi pengeluaran atau belanja pemerintah agar menjadi perwujudan peran pemerintah dalam melindungi rakyat, terutama kelompok ekonomi yang terbawah. Dilihat dari sisi lain, fungsi distribusi dapat mengubah porsi siapa saja yang akan menikmati barang-barang yang diproduksi oleh perekonomian.

Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental ekonomi. Pemerintah dianggap memiliki tugas disertai kemampuan mempengaruhi kondisi perekonomian secara signifikan dan bersifat cukup segera. 

Dalam praktiknya, ketiga fungsi tersebut berhubungan sangat erat dan sering tak terpisahkan. Secara bersamaan, peran penting kebijakan fiskal melalui ketiga fungsi itu antara lain adalah menanggulangi masalaah kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Berperan pula dalam menyeimbangkan pertumbuhan pendapatan antarsektor ekonomi, antardaerah, atau antargolongan pendapatan. Secara lebih teknis, peran kebijakan fiskal tampak dalam menanggulangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana alam, wabah penyakit, dan konflik sosial.

Kebijakan fiskal lebih luas cakupannya dari sekadar Pengelolaan APBN. Selain ketiga fungsi tadi, pengelolaan APBN memiliki beberapa fungsi lain, seperti: fungsi otorisasi, fungsi perencanaan, dan fungsi pengawasan.  

Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan. Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

1.5 Tentang Buku Ini
Buku ini pada dasarnya bermaksud memberi penilaian atau asesmen atas kinerja APBN selama era pemerintahan Presiden Jokowi, dan terutama memakai contoh APBN tahun 2019. Judul “APBN yang Tidak Mandiri” telah mencerminkan hasil asesmen keseluruhan yang amat jauh berbeda dengan klaim atau pandangan Pemerintah. Bahkan, judul yang lebih lengkap sebenarnya adalah: “APBN yang Belum Sehat, yang Tidak Mandiri, yang Kurang Adil, dan yang Rawan Kesinambungannya.”

Buku ini memiliki misi tambahan selain menyampaikan asesmen penulis, yaitu bertujuan memahamkan pembaca umum (publik) tentang seluk beluk APBN secara mudah, sehingga mampu melakukan analisis sendiri nantinya. Buku ini berharap agar para pembaca dapat ikut aktif mempengaruhi penyusunan dan pengelolaan APBN, antara lain melalui kritik atas berbagai aspeknya.

Secara lebih teknis, setelah membaca buku ini, pembaca diharapkan mengetahui dan memahami secara cukup baik mengenai berbagai hal terkait APBN. Diantaranya adalah: istilah pokok, postur ringkas dan perkembangannya, rincian dan perkembangan Pendapatan Negara, rincian dan perkembangan Belanja Negara, rincian dan perkembangan Pembiayaan Anggaran, soalan posisi utang pemerintah dan beban pembayarannya, proses penganggaran, masalah utama realisasi APBN dan pengawasan APBN, dan tantangan APBN ke depan.

Cara pembahasan dalam buku ini pada dasarnya adalah seperti perkuliahan di kelas, termasuk memakai gaya bercerita. Penjelasan dilakukan tahap demi tahap, dari sesuatu yang dianggap lebih mudah menuju yang lebih butuh perhatian dan kecermatan. Pembahasan pada tahap tertentu dari tiap aspek akan banyak menggunakan tabel, diagram dan grafik. Sebagian pembahasan akan berulang atau menyajikan data yang sama, dengan maksud lebih memahamkan. Oleh karenanya, tidak dapat dihindari kesan agak “menggurui” atau menganggap pembaca belum memiliki pengetahuan yang cukup. Bagi pembaca yang telah memiliki pengetahuan lebih banyak, dapat melewati atau cukup melihat sepintas bagian tertentu dari buku ini. Pendapat penulis terutama disampaikan pada bagian akhir dari tiap bab bahasan.

Buku ini terdiri dari sebelas bab. Bab pertama adalah pendahuluan. Hal yang dibahas antara lain adalah: alasan mempelajari APBN, pengertian APBN dan keuangan Negara, pengertian Postur APBN, peran dan fungsi APBN, serta tentang apa buku ini.

Bab kedua tentang klaim pemerintah atas kinerja APBN. Secara lebih khusus, tentang postur APBN tahun 2019 beserta beberapa rinciannya. Dari klaim tersebut ditentukan apa saja yang perlu diperiksa melalui pembahasan pada bab-bab berikutnya.

Bab ketiga tentang postur APBN. Dijelaskan antara lain hal-hal berikut: pengertian postur, postur ringkas APBN 2019, dan perkembangan postur ringkas APBN 2014 – 2019. Pada bagian akhir, disajikan asesmen penulis atas postur APBN 2019.

Bab keempat adalah tentang Pendapatan Negara. Diuraikan mengenai pendapatan negara dalam APBN 2019 dan perkembangannya selama kurun tahun 2004 hingga tahun 2019. Perkembangan dari beberapa pos pendapatan dijelaskan secara lebih detail, seperti: penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak (PNPB). Pada bagian akhir diberikan analisis umum atas Pendapatan Negara dalam APBN 2019, terutama terkait dengan klaim sebagai mandiri oleh pemerintah.

Bab kelima tentang Belanja Negara. Dijelaskan mengenai pengertian, macam dan jenis belanja secara umum. Diperlihatkan tentang perkembangan Belanja Negara sejak tahun 2004 hingga tahun 2019. Beberapa macam belanja disajikan lebih detil beserta perkembangannya, seperti: Belanja Pemerintah Pusat, Perkembangan Transfer ke daerah, dan perkembangan Dana desa. Disinggung pula tentang apa yang dimaksud dengan anggaran kesehatan, anggaran pendidikan, anggaran kemiskinan, dan anggaran infrastruktur. Bab ini diakhir dengan analisis umum penulis atas Belanja Negara, terutama mengenai klaim sebagai adil oleh pemerintah.

Bab keenam tentang Defisit Anggaran dan Keseimbangan Primer. Dijelaskan mengenai arti istilah Defisit Anggaran dan Keseimbangan Primer, disertai besaran angkanya untuk APBN 2019. Setelah membahas perkembangan selama beberapa tahun, diberikan analisis umum penulis mengenai klaim pemerintah tentang sehatnya APBN 2019.

Bab ketujuh tentang Pembiayaan Anggaran. Dijelaskan tentang pengertian dan besaran angkanya, serta perkembangan selama beberapa tahun. Rincian beberapa pos pembiayaan dibahas secara lebih detail, seperti: pembiayaan utang, penyertaan modal kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan kepada Badan Layanan Umum (BLU).

Bab kedelapan tentang perkembangan utang pemerintah, terutama sebagai akibat dari perkembangan pembiayaan utang. Dijelaskan tentang perkembangan posisi utang, beserta beban pembayaran cicilan dan pembayaran bunga. Profil dari utang pemerintah akan digambarkan secara cukup rinci, didukung data perkembangan selama beberapa tahun. Bab ini ditutup dengan pandangan penulis tentang utang pemerintah.

Bab kesembilan tentang asumsi makroekonomi. Diberikan penjelasan singkat tentang pengertian dan perannya dalam penyusunan APBN. Disajikan perkembangan selama beberapa tahun, dan dibandingkan antara asumsi dengan realisasinya. Bab ditutup dengan contoh analisis asumsi makroekonomi APBN 2019, terkait dengan penilaian realistis atau tidaknya.

Bab kesepuluh tentang siklus APBN. Berbeda dengan bab-bab sebelumnya yang lebih pada menjelaskan tentang angka-angka, bab ini membahas tentang bisnis prosesnya. Diantaranya tentang proses penganggaran, proses pelaksanaan, proses pelaporan, dan proses pengawasan. Akan disinggung tentang bagaimana hubungan beberapa lembaga negara dengan pemerintah dalam pengelolaan APBN. Bab ini ditutup dengan pandangan penulis mengenai salah satu proses dalam siklus APBN.

Bab kesebelas merupakan penutup. Selain berisi kesimpulan umum dari hal-hal yang telah diuraikan, dijelaskan tentang tantangan ke depan. Bab ini lebih merupakan pandangan penulis tentang apa saja yang tengah dihadapi, dan yang mendesak untuk direspon secara baik oleh semua pihak yang terkait langsung dengan pengelolaan APBN. Diantaranya mencakup bisnis proses, serta beberapa besaran APBN yang dianggap memerlukan perubahan mendasar. Salah satu yang krusial, namun juga mungkin kontroversial adalah tantangan perubahan regulasi, sebagai bagian dari menjawab tantangan ke depan.

Minggu, 05 Mei 2019

BAB sebelas (PENUTUP) buku "FUNDAMENTAL EKONOMI YANG RAPUH"


Kesimpulan Umum

Tinjauan atas kondisi perekonomian nasional terkini dan prakiraan (outlook) kondisi ke depan dalam publikasi otoritas ekonomi pada umumnya mencakup kurun waktu yang pendek. Analisa dan asesmen hanya atas kondisi terkini, atau paling jauh membandingkan dengan kondisi satu hingga tiga tahun sebelumnya. Prakiraan hanya untuk satu tahun ke depan saja. Indikator yang dianalisa terutama adalah indikator ekonomi makro, indikator moneter, indikator perbankan, ditambah dengan beberapa indikator pasar dari komoditas yang dianggap penting.
Indikator ekonomi makro biasanya dijelaskan secara sederhana berdasar data yang tersedia, hampir tidak pernah digali secara lebih dalam tentang hal lain yang mungkin terindikasi. Analisis disagregasi dari indikator makro tersebut amat minimal dilakukan. Selain itu, hubungan dinamis antar indikator kurang diperhatikan. Akibat dari ketiga fenomena tersebut, tinjauan ekonomi tampak kurang mampu menggambarkan kondisi umum perekonomian, dan kadang berkebalikan.
Tinjauan kurang memeriksa ulang indikator makro dalam sudut pandang fundamental ekonomi, atau aspek yang mendasar dari perekonomian. Tema fundamental ekonomi ini sempat mengemuka ke ruang publik sekitar satu tahun lalu, ketika kurs rupiah mengalami pelemahan signifikan dalam waktu relatif singkat. Pemerintah, Bank Indonesia dan OJK waktu itu segera menyampaikan tentang masih kuatnya fundamental ekonomi. Akan tetapi, pengertian dan narasi tentang fundamental ekonomi tetap saja serupa dengan dokumen resmi yang secara rutin dipublikasi.
Menarik pula ketika tinjauan ekonomi dalam laporan resmi otoritas ekonomi selalu dimulai dengan penjelasan tentang kondisi perekonomian global, terutama kondisi dan kebijakan ekonomi negara-negara maju, termasuk Tiongkok. Ada pengakuan tersirat dari penalaran laporan yang demikian, yaitu faktor eksternal sangat berpengaruh atau bahkan paling menentukan kondisi perekonomian nasional yang dianalisis dan diprakirakan setahun ke depan. Dapat pula dimaknai bahwa ketahanan eksternal sebagai variabel penting dalam menganalisis ekonomi Indonesia.
Contoh dari tinjauan ekonomi dan outlook ekonomi yang resmi dari Pemerintah adalah yang tertulis dalam dokumen Nota Keuangan yang menjadi pengantar atas RAPBN pada bulan Agustus dan sedikit direvisi ketika APBN telah ditetapkan pada akhir Oktober. Dan contoh tinjauan ekonomi dan outlook ekonomi yang resmi dari Bank Indonesia adalah Laporan Perekonomian Indonesia tahunan, yang biasanya dipublikasikan pada akhir Maret tahun setelahnya.
Nota Keuangan APBN 2019 memulai tinjauan ekonomi dan outlook ekonomi dengan menguraikan tentang proyeksi ekonomi global tahun 2019, dan secara khusus mengenai volume perdagangan dunia dan harga komoditas dunia. Sebagaimana biasanya tiap tahun, dijelaskan pula tentang Asumsi Dasar Ekonomi Makro APBN Tahun 2019. Asumsi Dasar itu meliputi: 1. Pertumbuhan Ekonomi; 2. Inflasi; 3. Suku Bunga SPN 3 Bulan; 4. Nilai Tukar Rupiah; 5. Harga Minyak Mentah Indonesia; 6. Lifting Minyak dan Gas Bumi.
Dalam paragraf awal tinjauan antara lain disebutkan: “Beberapa tantangan dari sisi eksternal yang akan dihadapi merupakan keniscayaan dari perkembangan perekonomian global yang saat ini sedang menuju pada keseimbangan baru. Dinamika perekonomian global tersebut berimbas pada kinerja perekonomian domestik baik itu melalui jalur sektor keuangan maupun perdagangan internasional. Tantangan perekonomian global ke depan masih akan bersumber dari dampak beberapa hal berikut: (i) kebijakan proteksionisme dan perpajakan Amerika Serikat; (ii) keberlanjutan normalisasi kebijakan moneter di negara maju yang berpotensi menimbulkan dinamika likuiditas pada sektor keuangan global; dan (iii) situasi geopolitik yang sewaktu-waktu dapat berisiko tinggi.” (Buku II Nota Keuangan dan APBN 2019, halaman II.1-2)
Laporan perekonomian Indonesia 2018 terdiri dari sepuluh bab. Bab satu berjudul “Perekonomian Global” antara lain menjelaskan tentang perekonomian global yang melambat, kenaikan Federal Funds Rate, ketidakpastian pasar keuangan global, serta respon kebijakan global yang beragam. Bab 2 hingga bab 4 adalah asesmen tentang indikator makroekonomi, yaitu: pertumbuhan ekonomi, neraca pembayaran Indonesia, inflasi dan nilai tukar. Bab 5 hingga bab 9 adalah penjelasan tentang respon kebijakan Bank Indonesia atas kondisi dan dinamika yang digambarkan dalam bab-bab sebelumnya. Bab 10 sebagai penutup merupakan outlook dan garis besar arah kebijakan yang akan diambil.
Pada tinjauan umum di awal laporan, antara lain dikatakan: “Perekonomian Indonesia 2018 menghadapi tantangan yang tidak ringan dipicu ketidakpastian global yang meningkat. Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, ketidakpastian global memberikan tantangan bagi pengelolaan ekonomi di sektor eksternal, baik dari jalur perdagangan maupun jalur finansial. Dari jalur perdagangan, kinerja ekspor menurun akibat pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat dan harga komoditas yang turun. Tantangan dari jalur perdagangan makin kuat karena pada saat bersamaan permintaan impor untuk proyek infrastruktur domestik cukup besar, sehingga meningkatkan kompleksitas dalam mengelola defisit transaksi berjalan pada level yang sehat. Dari jalur finansial, tantangan berkaitan dengan menurunnya aliran masuk modal asing ke negara berkembang, termasuk Indonesia, karena dipicu kenaikan suku bunga kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) dan ketidakpastian pasar keuangan global. Tantangan dari global ini kemudian menurunkan kinerja neraca pembayaran Indonesia (NPI) terutama pada triwulan II dan III 2018, serta meningkatkan tekanan pada nilai tukar Rupiah.” (halaman xxiii).
Bab 10 atau penutup laporan, antara lain mengatakan: “Prospek perekonomian Indonesia 2019 akan lebih baik, meskipun perekonomian global yang belum kondusif perlu terus mendapat perhatian. Momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia berlanjut dalam kisaran 5,0%–5,4%, ditopang permintaan domestik yang kuat. Ketahanan eksternal juga makin kuat didukung defisit transaksi berjalan (TB) yang turun menjadi sekitar 2,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB), serta aliran masuk modal asing yang kembali meningkat. Stabilitas harga juga terkendali di mana inflasi diprakirakan dalam kisaran sasaran 3,5±1%. Stabilitas sistem keuangan juga terjaga dan ditopang intermediasi yang membaik dengan kredit pada 2019 diprakirakan tumbuh sebesar 10%–12%.” (halaman 158)
Beberapa hal di atas ditambah dengan uraian dalam buku ini menguatkan kebutuhan akan analisis atau tinjauan ekonomi yang menyoroti hal dan aspek yang paling mendasar, yaitu fundamental ekonomi. Pengertian dan aspek yang disebut fundamental ekonomi tidak dapat mengikuti apa yang biasa disebut dalam pernyataan pejabat otoritas ekonomi. Sebagaimana yang telah dikutip pada bab satu, penjelasan mereka pada dasarnya sama saja dengan berbagai dokumen resmi yang disebut tadi dicontohkan. Arti fundamental ekonomi direduksi, hanya diartikan sebagai kondisi umum berdasar indikator makroekonomi, dan bahkan hanya merujuk kepada sebagian indikator.
Arti fundamental menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bersifat dasar (pokok) atau mendasar. Bisa dikatakan sebagai sesuatu yang mendasar (pokok atau prinsip) dalam suatu hal. Secara arti kata, fundamental ekonomi adalah segala hal yang menjadi dasar dan merupakan elemen penting dalam aktivitas ekonomi.

BUKU INI telah menjelaskan bahwa pengertian fundamental ekonomi mencakup segala jawaban atas tiga hal mendasar, yakni tentang apa, bagaimana dan untuk siapa barang dan jasa diproduksi oleh suatu perkonomian. Jawaban atau penjelasan atas tiga hal tersebut didasari oleh data-data dalam kurun waktu cukup panjang, satu dekade atau lebih. Perlunya data demikian karena kondisi terkini perekonomian adalah hasil dari dinamika selama tahun-tahun sebelumnya.
Belum semua pertanyaan penting dalam ketiga hal itu dijawab oleh buku ini, melainkan hanya sebagian yang dianggap paling penting dan bersifat mendasar. Ringkasan penjelasan pokok dari masing-masing bab yang paling berkaitan dengan fundamental ekonomi, disajikan kembali di bawah ini.
Bab dua menjelaskan beberapa hal penting tentang apa saja barang dan jasa yang telah diproduksi dalam perekonomian Indonesia. Produksi barang industri manufaktur memang meningkat, namun lajunya melambat selama satu dekade terakhir. Akibatnya, porsi industri pengolahan menurun dalam struktur produksi (PDB) hingga di bawah 20%. Proses itu gagal mengompensasi penurunan porsi dari sektor pertanian, yang telah lebih dahulu tumbuh lebih lambat dari pertumbuhan ekonomi. Hal semacam ini dikenal dengan gejala deindustrialisasi. Dalam kurun 1970-2000 terjadi industrialisasi yang cukup cepat, melambat pada kurun 2000-2010, dan berbalik arah setelah itu.
Dalam perekonomian yang sedang berkembang biasanya terjadi industrialisasi, yang pada tahap tertentu memang akan stagnan dalam artian porsi industri tak bertambah lagi di kisaran 30-40%. Bahkan dalam perekonomian yang sudah maju dan berkembang, porsi industri mulai menurun kembali, antara lain karena perkembangan “jasa modern” yang lebih cepat. Deindustrialisasi yang demikian terjadi setelah pendapatan per kapita masyarakatnya sangat tinggi, dan teknologi produksi industri pengolahan pun mencapai tahap lanjut.
Bab tiga membahas soal ketahanan pangan sebagai bagian penting dari fundamental ekonomi, tampak bahwa produksi tanaman pangan kurang cepat dan kurang beragam, dan impornya cenderung meningkat. Komoditas pangan yang lain, seperti daging dan susu, juga kurang tersedia memadai. Tumpuan ketersediaan daging hanya dari ayam buras pedaging dan buras petelur, yang produksinya memiliki komponen impor. Kecukupan pangan sejauh ini masih terpenuhi, namun lebih karena impor, sehingga masih rawan jika dilihat dari perspektif fundamental ekonomi.
Bab empat membahas salah satu aspek dari bagaimana cara barang dan jasa diproduksi, yaitu aspek faktor tenaga kerja. Penggunaan tenaga kerja masih cukup amat jauh dari optimal. Meskipun angka pengangguran perlahan menurun menjadi di kisaran 5%, namun jika ditambah dengan mereka yang bekerja tidak penuh masih amat besar, mencapai 33%. Angka pengangguran tersebut juga masih jauh dibawah era 1990an yang di kisaran 2-3%. Dijelaskan pula bahwa mayoritas pekerja masih dalam kondisi yang rentan dan berproduktivitas rendah.
Bab lima hingga bab sembilan akan lebih banyak membahas tentang aspek bagaimana, namun dengan pencermatan atas indikasi lain selain faktor tenaga kerja. Bab lima menjelaskan bagaimana investasi di Indonesia butuh penanaman modal asing yang makin besar. Ditambah dengan kebutuhan utang luar negeri pihak pemerintah dan pihak swata yang juga meningkat menciptakan ketergantungan terhadap transaksi internasional. Pada saat bersamaan, investasi dan utang luar negeri belum menunjukkan hasil yang menciptakan devisa secara berkesinambungan untuk membayar kembali kepada pihak luar negeri. Pembayaran masih mengandalkan dari arus investasi dan utang baru, ditunjukkan oleh defisit transaksi berjalan yang terus berlangsung. Kondisi demikian dapat diartikan lemahnya daya tahan ekonomi Indonesia terhadap gejolak ekonomi dan keuangan global. Bahkan segera terdampak hanya oleh meningkatnya ketidakpastian ekonomi global, atau sekadar perubahan kebijakan The Fed.   
Bab enam menguraikan tentang kondisi keuangan Pemerintah yang makin mengalami kesulitan, sehingga ruang fiskal untuk melakukan kebijakan pro ataupun antisiklikal menjadi terbatas. Peran pemerintah melalui anggaran menjadi berkurang efektivitasnya, dan bahkan jika tidak hati-hati akan membahayakan kesinambungan fiskalnya. Laju pendapatan nyaris tak bisa mengimbangi laju belanja dan laju pengeluaran pembiayaan. Posisi utang tampak masih aman jika dilihat dari rasionya atas PDB, namun cenderung terus meningkat. Dan yang lebih mengkhawatirkan sebenarnya adalah beban pembayaran bunga utang yang bertambah besar, disertai tingkat bunga yang meninggi.
Bab tujuh menguraikan tentang kondisi investasi, dan kondisi umum para pelaku usaha. Secara umum dinilai bahwa iklim investasi di Indonesia tidak bisa dikatakan buruk atau tidak sehat, namun juga belum dapat dikatakan baik. Investasi cenderung meningkat, namun tidak diikuti oleh peningkatan laju pertumbuhan ekonomi, yang bertahan di kisaran 5%, dan pada era pemerintahan sebelumnya pun rata-rata hanya 5,73% per tahun. Salah satu masalahnya adalah tingginya Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia, yang mencerminkan tingkat efisiensi yang masih rendah. Terjadi sedikit penurunan dalam tiga tahun terakhir, namun rasionya masih sebesar 6,3, lebih tinggi dari hampir semua negara ASEAN. Umumnya diakui bahwa ICOR yang ideal adalah mendekati atau di kisaran 3%.
Kebijakan investasi tampak belum mempertimbangkan hal-hal yang bersifat jangka panjang dan fundamental. Daya saing Indonesia memang sedikit membaik, namun lebih karena tingginya return dan kedisiplinan Indonesia dalam membayar utang dan kewajiban lainnya, serta stabilitas politik yang cukup baik. Beberapa hal yang mendasar belum cukup memadai ditangani, seperti: soal ketenagakerjaan, kepastian usaha, porsi peran BUMN, daftar negatif investasi, serta kebijakan atas usaha mikro dan usaha kecil.
Bab delapan menggambarkan kondisi yang disebut dengan stabilitas sistem keuangan. Pencermatan perkembangan beberapa indikator industri keuangan, terutama perbankan selama beberapa tahun terakhir, memang tampak ada perbaikan kebijakan yang signifikan dan lebih menjamin stabilitas. Akan tetapi karena faktor eksternal yang dihadapi oleh perekonomian nasional seperti yang dijelaskan pada bab lima, maka stabilitas tersebut belum cukup memadai. Dapat dinilai hanya tidak memperlemah fundamental. Ditambah faktor kesulitannya industri keuangan dalam mendorong perekonomian, yang ditandai oleh belum optimalnya fungsi intermediasi yang diperankan.
Bab sembilan yang membahas kondisi ketahanan energi pada dasarnya mencermati aspek bagaimana barang dan jasa diproduksi. Dalam hal ini tidak sepenuhnya fundamental ekonomi dapat dikatakan rapuh. Akan tetapi lebih pada uraian tentang potensi besar yang belum dimanfaatkan secara optimal. Salah satu kendala dalam optimalisasi itu adalah perkembangan teknologi yang belum cukup baik.
Bab sepuluh membicarakan aspek fundamental berkenaan dengan untuk siapa barang dan jasa diproduksi. Penjelasan fokus kepada soalan kemiskinan dan distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat. Suatu perekonomian yang berfundamental kuat dapat dipastikan memiliki ciri telah mampu mengatasi masalah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Selama satu dekade ini, jumlah penduduk miskin dan angka kemiskinannya telah cukup rendah, dan cenderung turun tiap tahun. Ketimpangan ekonomi memang tidak ekstrem dan tidak cenderung meningkat, namun juga tidak membaik secara berarti. Porsi yang diperoleh oleh kelompok terbawah memang tidak menjadi lebih kecil, namun relatif tidak bertambah. Uraian bab ini memperlihatkan bahwa masalah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi masih bersifat laten, dan dapat memburuk sewaktu-waktu.
Aspek untuk siapa barang dan jasa diproduksi sebenarnya mencakup pula apakah hasil produksi bisa diekspor secara menguntungkan, dan seberapa banyak surplus ekonomi yang dibawa ke luar negeri. Hal ini tidak dibahas lagi dalam bab 8, namun sempat disinggung pada bab 2 dan bab 5. Dalam hal ekspor, perekonomian Indonesia belum menunjukkan kinerja yang baik dan berdasar struktur yang kuat. Sedangkan dalam hal surplus ekonomi yang dibawa ke luar negeri, tercermin antara lain pada defisit neraca pendapatan primer yang meningkat.
Dari keseluruhan penjelasan tersebut, fundamental ekonomi Indonesia tidak bisa dikatakan kuat, justru tampak rapuh. Fundamental ekonomi yang rapuh dapat pula diartikan kondisi yang rentan terhadap gejolak ekonomi internasional. Bahkan, kebijakan The Fed saja sudah bisa berdampak besar. Begitu pula kebijakan perdagangan luar negeri Amerika dan negara-negara sekutunya. Kerentanan juga terasa jika dikaitkan dengan hubungan ekonomi dengan Tiongkok. Tiongkok menjadi mitra dagang utama Indonesia, baik dilihat dari sisi ekspor maupun impor. Hubungan dalam investasi pun makin meningkat.
Kelemahan fundamental ekonomi itu kadang tertutupi oleh kondisi perekonomian yang tampak cukup baik dilihat dari beberapa indikator makroekonomi. Akan tetapi kondisi yang lebih mendasar atau fundamental tersamarkan. Buku ini menunjukkan pencermatan yang lebih mendalam dan faktor yang lebih menyeluruh, serta dalam rentang waktu yang lebih panjang.
Meskipun penulis menilai fundamental ekonomi Indonesia saat ini rapuh, bukan berarti situasinya telah amat buruk dan tak berpengharapan untuk segera diperbaiki. Tiap bab tulisan sejatinya memberi gambaran pula akan apa yang dapat dan harusnya dibenahi, terutama melalui kebijakan otoritas ekonomi yang tepat.
Tulisan memang sengaja bernuansa “kritik keras” karena klaim yang juga berlebihan dari otoritas ekonomi. Untuk menghindari kesan putus asa, maka sebagian kritik dapat diartikan rekomendasi. Jika dinilai terjadi indstrialisasi prematur, berarti perlu dibenahi dengan merevitalisasi industri. Masalah pengangguran serta mayoritas pekerja berkondisi rentan dengan produktivitas rendah, berarti diperbaiki secara terencana dan terfokus. Faktor tenaga kerja dapat dimaknai bukan semata sebagai masalah mengurangi pengangguran, melainkan bagaimana mengoptimalkan faktor produksi yang tersedia sangat besar itu. Sederhananya, hampir semua kritik atau penilaian tentang jeleknya sesuatu di buku ini masih berpeluang besar dibenahi.  
Cara melihat persoalan fundamental dengan nuansa yang tidak “sepesimis” uraian sebelumnya diberikan pada bab sembilan. Bab ini tidak terkait langsung pada satu aspek tentang apa, bagaimana dan untuk siapa barang dan jasa diproduksi. Sepintas memang dekat pada aspek bagaimana, namun tinjauannya lebih pada salah satu potensi dan peluang besar bagi perbaikan fundamental ekonomi. Dibahas mengenai potensi sumber daya alam yang masih tersedia, perkembangan produksi dan konsumsi energi, serta selintas tentang perkembangan teknologi di Indonesia. Tantangan masih berat dalam pengelolaannya, namun peluang menjawabnya makin terbuka lebar. Jawaban atas tantangan dalam bidang tersebut akan sekaligus memperkuat fundamental ekonomi Indonesia.   
Kesimpulan terakhir dan terpenting dari buku ini, meski menilai perekonomian Indonesia rawan atas krisis atau gejolak global karena berfundamental rapuh, potensi dan asa perbaikan masih besar. Kerja keras semua anak bangsa, dipandu oleh kebijakan otoritas ekonomi yang tepat dan konsisten akan dapat memperkuat fundamental ekonomi dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan. Pada giliran berikutnya, dinamika ekonomi dengan fundamental yang kuat akan mampu mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rekomendasi Umum

Buku ini memberi rekomendasi secara umum tentang beberapa hal yang mendesak untuk segera dilakukan. Terutama oleh otoritas ekonomi, para pengambil kebijakan dan penanggung jawab pelaksanaan kebijakan. Di antaranya adalah hal-hal berikut:
1.   Otoritas ekonomi (Pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas jasa Keuangan) sebaiknya fokus untuk memperkuat fundamental ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Terutama fokus memperbaiki aspek produksi dalam perspektif jangka menengah dan panjang.
2.   Dalam jangka pendek, satu dua tahun ke depan, ancaman guncangan eksternal atau bahkan krisis ekonomi masih cukup besar, sehingga tetap perlu kehati-hatian dari otoritas ekonomi.
3.   Penguatan fundamental memerlukan bauran kebijakan (mix policy) dalam pengertian yang lebih luas dan menyeluruh dibanding yang disebut dalam laporan resmi saat ini.
4.   Sektor pertanian perlu mendapat prioritas utama untuk dibangun, diberi dukungan dan bantuan. Terutama subsektor tanaman pangan, subsektor perkebunan, dan subsektor peternakan.
5.   Pembangunan industri perlu direncanakan ulang dan diperkuat kebijakannya dalam kerangka industrialisasi yang berbasis keunggulan nasional dan lokalistik. Antara lain penguatan industri pengolahan hasil pertanian. Ada kebutuhan road map industrialisasi yang jelas dan dijadikan acuan secara konsisten.
6.   Kebijakan sektor riil harus lebih konsisten dan terarah, sehingga mampu memberi panduan bagi dunia usaha, serta lebih memberi kepastian dalam jangka panjang.
7.   Kebijakan fiskal perlu diubah paradigmatiknya, dari yang terlalu berorientasi “akuntansi” menjadi kepada outcome dan impact bagi ekonomi nasional. Kebijakan fiskal musti berperspektif jangka menengah dan panjang, memperhitungkan kesinambungan fiskal dalam arti sejatinya. Anggaran berbasis kinerja yang telah lama diakui, diterapkan secara lebih konsisten di semua proses penganggaran.
8.   Harmonisasi kebijakan fiskal, moneter dan perbankan masih sangat mendesak diperbaiki dan ditingkatkan. Dibutuhkan koordinasi yang lebih rutin dari sekadar pertemuan bulanan atau triwulan. Tidak hanya pada jajaran paling atas, namun mencakup jajaran tingkat strategis dan teknis.
9.   Kekayaan sumber daya, mineral, dan energi Indonesia masih cukup memberi harapan bagi penguatan fundamental ekonomi Indonesia. Perlu perbaikan kebijakan dan pengelolaannya agar lebih terarah dan berperspektif jangka panjang.
10. Perkembangan teknologi, termasuk teknologi informasi, masih memerlukan perhatian yang lebih serius. Perbaikan signifikan dalam hal ini menjadi salah satu syarat perbaikan fundamental ekonomi Indonesia.

Kamis, 02 Mei 2019

Bab Satu PENDAHULUAN


PEMERINTAH MENGKLAIM pembangunan ekonomi sudah berjalan dengan arah yang benar, dan telah memperlihatkan hasil yang sangat memuaskan. Berulang kali disampaikan bahwa perekonomian nasional dalam kondisi yang baik, terutama karena kebijakan dan pengelolaan ekonomi yang sudah tepat. Kondisi perekonomian juga dinilai lebih baik dibandingkan era pemerintahan sebelumnya. Bahkan, diklaim sebagai salah satu yang terbaik dibandingkan dengan banyak negara lain. Lebih dari itu semua, pembangunan ekonomi dikatakan telah dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia, termasuk kelompok ekonomi yang paling bawah.
Klaim pemerintah tersebut didukung penuh oleh berbagai penjelasan pihak otoritas ekonomi yang lain, seperti Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Penjelasan yang sering dikemukakan otoritas ekonomi antara lain tentang: pertumbuhan ekonomi masih cukup tinggi; pengangguran terus berkurang; inflasi selalu terkendali dalam tingkatan yang rendah; angka kemiskinan turun signifikan dan terendah dalam sejarah; cadangan devisa masih cukup besar dan mampu mencukupi pelbagai kebutuhan transaksi internasional; defisit APBN dapat ditekan atau makin terkendali; berbagai paket kebijakan ekonomi telah mendorong investasi dan makin meningkatkan iklim berusaha; pembangunan infrastruktur telah berhasil dan akan makin medorong pertumbuhan ekonomi di masa depan.
Klaim tersebut tampak berlebihan. Bahkan dapat dikatakan berkebalikan dengan banyak fakta dan dinamika ekonomi yang sebenarnya terjadi selama era pemerintahan Jokowi.
Kesimpulan berlawanan tersebut dapat diambil jika dilakukan asesmen yang lebih dingin, berdasar pencermatan data dan indikator yang lebih detail dan menyeluruh, menimbang kurun waktu yang lebih panjang, serta prakiraan akan tantangan eksternal yang tengah dan segera dihadapi. Sangat mungkin untuk menilai pembangunan ekonomi era Jokowi sebagai gagal atau kurang berhasil. Setidaknya, indikator kegagalan lebih menonjol dibanding indikator keberhasilan.
Kritik keras sudah cukup sering disampaikan oleh beberapa ekonom tentang banyak soalan penting perekonomian dan arah kebijakan ekonomi. Diantaranya adalah: soal utang, defisit transaksi berjalan, kebijakan ekonomi yang saling bertentangan, meningkatnya ketidakpastian usaha, kerentanan kondisi banyak pekerja, memburuknya kelompok terbawah atau yang sangat miskin, dan lain sebagainya. Namun yang lebih dominan di media masa adalah penjelasan dari pemerintah, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.
Menjelang era pemerintahan baru, terlepas dari siapa pun yang terpilih menjadi Presiden, perlu ada diskusi lebih serius. Diskusi yang melakukan asesmen menyeluruh atas kondisi ekonomi terkini dan tantangan beberapa tahun ke depan. Publik berhak mendapat gambaran yang lebih berimbang, tidak hanya pandangan yang berasal dari otoritas ekonomi. Melainkan juga dari pihak lain yang berbeda pendapat, bahkan penilaiannya berlawanan. Tentu diskusi musti menghadirkan analisis yang jernih, berdasar data yang dapat dipertanggungjawabkan, serta penalaran yang ilmiah.

Pengertian Fundamental Ekonomi
Diskusi atau tinjauan dimaksud tadi atas kondisi perekonomian nasional terkini dan tantangan ke depan sebaiknya lebih menyoroti aspek yang paling mendasar, yaitu tentang fundamental ekonomi. Buku ini bermaksud memulai diskusi dengan topik tersebut.
Tema fundamental ekonomi ini sebenarnya sempat mengemuka ke ruang publik sejak tahun lalu, ketika kurs rupiah mengalami depresiasi besar dalam waktu singkat. Pemerintah, Bank Indonesia, dan OJK waktu itu segera menyampaikan tentang masih kuatnya fundamental ekonomi.  
Presiden Joko Widodo (30 April 2018) mengatakan melemahnya mata uang nasional seperti rupiah juga dirasakan negara lain. Dia mengatakan fundamental ekonomi makro Indonesia baik, sehingga pemerintah masih dapat mengendalikan inflasi sebesar 3,5 persen per tahun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati(17 Mei 2018)  menyebutkan bahwa saat ini volatilitas di sektor keuangan global masih relatif tinggi. Meskipun demikian, dalam gejolak ekonomi yang terjadi itu, perekonomian Indonesia masih memiliki fundamental yang kuat.
Menko Bidang Perekonomian Darmin Nasution (4 September 2018) juga mengatakan fundamental ekonomi Indonesia masih kuat di tengah fluktuasi kurs dolar AS, dan satu-satunya kelemahan hanya transaksi berjalannya defisit 3 persen. Darmin menjelaskan bahwa faktor fundamental itu dinilai dari pertumbuhan ekonomi dan inflasi Indonesia.
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso (23 Juli 2018) mengatakan bahwa Indonesia memiliki fundamental ekonomi yang kuat. Dikatakannya bahwa tekanan pada pasar keuangan yang terjadi akhir-akhir ini hanya merupakan fenomena temporer sebagai akibat dari rebalancing portofolio dari investor global.
Pihak Bank Indonesia menyuarakan opini serupa. Gubernur BI, Perry Warjiyo (30 Januari 2019) merayu para investor dengan membanggakan kondisi moneter Indonesia yang stabil di tengah guncangan eksternal dari ekonomi global. Terutama dengan adanya trade war atau perang dagang antara dua negara raksasa Amerika dengan Cina. Perry menegaskan, Indonesia merupakan ladang investasi yang menarik ditunjang kondisi makroekonomi yang stabil serta sinkronisasi kebijakan makroekonomi pemerintah. Disimpulkannya bahwa kondisi ekonomi Indonesia yang stabil adalah fondasi yang kuat untuk pertumbuhan ekonomi di masa depan.
Pandangan berbeda diberikan oleh beberapa ekonom. Salah satunya dari mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia dan mantan ketua BPK Anwar Nasution (8 September 2018), yang mengatakan fundamental ekonomi di Indonesia masih sangat lemah. Sebab, fundamental ekonomi Indonesia dianggap belum mampu menahan gejolak dari luar. Dia bahkan mengatakan Pemerintah telah omong kosong dan bohong dengan mengatakan fundamental ekonomi Indonesia kuat. Anwar mengemukakan beberapa hal berikut sebagai argumennya: rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) masih rendah, sehingga terpaksa terus berutang; ekonomi Indonesia yang sangat rawan terhadap gejolak dari luar negeri, terutama terkait beban pembayaran utang dan harga barang yang banyak diimpor; dan lembaga keuangan (terutama bank) yang masih sangat lemah.
Sebenarnya, soal fundamental ekonomi ini telah diakui sejak awal pemerintahan sebagai faktor utama dalam arah pembangunan ekonomi. Penguatannya menjadi acuan atau pertimbangan paling penting dalam pengelolaan ekonomi, termasuk pengambilan keputusan tentang kebijakan. Setahun setelah pemerintahannya, Presiden Jokowi (Oktober 2015) menjelaskan tentang strategi untuk perubahan Indonesia menjadi lebih baik dan lebih sejahtera. Jokowi menjelaskan tentang transformasi fundamental ekonomi yang bertumpu pada tiga aspek. Pertama, mengubah ekonomi berbasis konsumsi menjadi ekonomi berbasis produksi. Kedua, kebijakan subsidi BBM yang dialihkan untuk pembangunan infrastruktur dan juga subsidi yang lebih tepat sasaran untuk pengentasan kemiskinan. Ketiga, mendorong pembangunan yang lebih merata di luar Pulau Jawa. Seperti percepatan pembangunan infrastruktur tol Trans Sumatera dan Papua.
Buku ini menyarankan diskusi tentang fundamental ekonomi sebaiknya dimulai dari apa pengertian dan aspek utamanya.  Selanjutnya tentang apa saja yang dicakup oleh istilah itu, serta bagaimana mengukur atau menilai kekuatan fundamental ekonomi saat ini.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti fundamental adalah bersifat dasar (pokok) atau mendasar. Bisa dikatakan sebagai sesuatu yang mendasar (pokok atau prinsip) dalam suatu hal. Secara arti kata, fundamental ekonomi adalah segala hal yang menjadi dasar dan merupakan elemen penting dalam aktivitas ekonomi.
Dari kutipan beberapa pernyataan di atas, dan dokumen laporan resmi otoritas ekonomi, pengertian fundamental ekonomi yang dipakai Pemerintah dan otoritas ekonomi yang lain, telah menyempit. Diartikan sebagai hanya fundamental makroekonomi. Makroekonomi dipersempit lagi menjadi lebih mengedepankan soal pertumbuhan ekonomi, inflasi, defisit anggaran, dan defisit anggaran berjalan. Disagregasi dari indikator makroekonomi kurang mendapat perhatian dalam analisis atau asesmen. Pengertian yang lebih luas, yang sebenarnya secara implisit dikatakan Presiden Jokowi tahun 2015 justru jarang dikemukakan lagi.
Buku ini memakai pengertian yang lebih komprehensif dan telaah atas bagian-bagiannya bisa menggambarkan seberapa kuat fundamental ekonomi Indonesia. Buku ini berpandangan bahwa penilaian atas fundamental ekonomi sedikitnya merupakan jawaban atas tiga pertanyaan utama dalam fakta dan dinamika perekonomian Indonesia.
Pertama, APA saja barang dan jasa yang diproduksi selama beberapa tahun terakhir? Apakah produksi barang industri manufaktur meningkat, yang menunjukan proses produksi yang makin tak bergantung alam dan memiliki nilai tambah yang lebih besar? Apakah produktivitas pertanian meningkat, terutama dalah hal menjamin kecukupan pangan seluruh rakyat? Apakah jasa-jasa yang tumbuh kembang telah menunjang industrialisasi? Apakah yang diproduksi cukup variatif dan telah ada yang menjadi andalan atau ciri utama perekonomian? Apakah diantara barang dan jasa yang diproduksi dapat diperdagangkan (ekspor) dalam porsi yang cukup untuk menghasilkan devisa bagi pembiayaan kebutuhan transaksi internasional?
Kedua, BAGAIMANA cara memproduksi berbagai barang dan jasa tersebut? Apakah penggunaan tenaga kerja sudah cukup optimal? Bagaimana efisiensi penggunaan modal? Apakah teknologi produksi berkembang cukup baik? Seberapa besar ketergantungan proses produksi kepada pihak luar negeri? Apakah bergantung pada sedikit atau banyak jenis input? Sejauh apa porsi peran pemerintah? Bagaimana komposisi antar produsen dalam pelaku ekonomi, porsi BUMN, swasta domestik, dan swasta asing?
Ketiga, UNTUK SIAPA saja barang dan jasa yang telah diproduksi itu dibagikan? Bagaimana distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat? Apakah kemiskinan telah tertangani dengan baik?  Apakah hasil produksi bisa diekspor secara menguntungkan? Seberapa banyak surplus ekonomi yang terpaksa harus dibayarkan ke luar negeri?
Dengan demikian, pengertian fundamental ekonomi menurut buku ini adalah hal-hal yang mendasar dalam suatu perkonomian, yang memberi gambaran jawaban atas apa, bagaimana dan untuk siapa barang dan jasa diproduksi. Termasuk hal penting dalam pengertian adalah kurun waktu yang digambarkan harus cukup panjang, sekurangnya kondisi selama lima tahun terakhir.
Pemakaian ketiga frasa (apa, bagaimana, dan untuk siapa) dalam buku ini terinspirasi dari uraian dalam bagian awal buku pengantar ekonomi yang terkenal, yang ditulis oleh Paul Samuelson, seorang pemenang hadial Nobel Ekonomi. Meski terinspirasi dan terbilang mengadopsi, penggunaan frasa itu   dalam buku ini relatif berbeda. Samuelson memakainya untuk menjelaskan tentang sistem ekonomi, dan buku ini tentang fundamental ekonomi.
Di bagian terdahulu tadi sudah dikutipkan beberapa perkataan pejabat dari otoritas ekonomi yang mengklaim tentang kuatnya fundamental ekonomi Indonesia. Kutipan dari laporan resmi lembaganya akan diberikan pada bab penutup, yang secara substansi memang serupa dengan pernyataan tersebut. Pandangan yang berkebalikan dapat diberikan, yang menilai fundamental ekonomi kita amat rapuh atau perekonomian sangat rentan terhadap goncangan eksternal. Selain argumen dari Anwar Nasution di atas, cara mengartikan fundamental yang lebih tepat dapat memberi hasil penilaian yang berbeda pula.
Sebagai contoh, yang penjelasannya akan diberikan dalam buku ini, dalam hal APA, akan tampak struktur produksi (PDB) belumlah kokoh; produksi pangan makin tidak mencukupi; industri pengolahan tak tumbuh dengan baik, sehingga hasilnya tak memenuhi kebutuhan domestik, serta kurang dapat menjadi andalan sebagai produk ekspor.
Dalam hal BAGAIMANA, dapat dikemukakan antara lain: pengangguran memang sedikit turun, namun separuh penduduk yang bekerja dalam kondisi rentan, posisinya tak aman, dan imbalan yang diperoleh jauh dari memadai; ketergantungan pada faktor produksi yang berasal dari luar negeri makin menguat; peran pemerintah makin terkendala oleh kondisi keuangannya yang selalu dalam kesulitan; peran BUMN kurang jelas arahnya, dan tak jarang menghambat perkembangan korporasi domestik; kekuatan oligarki ekonomi makin dominan.
Dalam hal UNTUK SIAPA, berdasar data dan indikator yang lebih menyeluruh dan detail, soalan kemiskinan dan ketimpangan justru terindikasi memburuk. Terutama memburuknya kemiskinan dan ketimpangan di wilayah perdesaan selama beberapa tahun terakhir.
 
Tentang Buku Ini
Buku ini pada dasarnya merupakan asesmen atas fundamental ekonomi Indonesia. Belum semua aspek dapat dibahas secara tuntas, namun dianggap telah cukup memadai untuk memberi penilaian umum. Penilaiannya telah dicerminkan oleh judul buku, “Fundamental Ekonomi yang Rapuh”.
Bab satu adalah pendahuluan ini, yang telah menjelaskan latar pemikiran mengapa topik ini dipilih. Disajikan kutipan pandangan otoritas ekonomi yang mencerminkan klaim mereka tentang kondisi ekonomi serta apa bagaimana mereka mengartikan fundamental ekonomi. Dilanjutkan dengan pengertian menurut fundamental ekonomi menurut buku ini.
Bab dua berjudul perkembangan struktur produksi. Bab ini menjelaskan beberapa hal yang dianggap penting tentang apa saja barang dan jasa yang telah diproduksi dalam perekonomian Indonesia selama satu atau dua dekade terakhir. Analisis umum tentang pertumbuhan sektoral dan distribusi produksi sektoral dalam Produk Domestik Bruto (PDB). Secara lebih khusus dicermati produksi barang industri pengolahan yang mencerminkan tingkat industrialisasi.
Bab tiga berjudul kondisi ketahanan pangan. Bab ini membahas soal seberapa kuat ketahanan pangan Indonesia sebagai bagian penting dari fundamental ekonomi. Dicermati tentang produksi tanaman pangan dan komoditas pangan yang lain, seperti daging dan susu. Ditambahkan informasi tentang produksi tanaman perkebunan yang dapat dianggap bagian dari ketahanan pangan.
Bab empat berjudul kondisi ketenagakerjaan. Bab ini membahas salah satu aspek dari bagaimana cara barang dan jasa diproduksi, yaitu aspek faktor tenaga kerja. Dicermati bagaimana penggunaan tenaga kerja dalam perekonomian, seperti masalah pengangguran, produktivitas dan tingkat kerentanan pekerja.   
Bab lima berjudul ketahanan eksternal. Bab ini menjelaskan bagaimana kondisi transaksi internasional Indonesia. Dicermati perkembangan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), dan terutama tentang kondisi terkini dan perkembangan transaksi berjalan selama beberapa tahun. Perkembangan NPI, trasaksi berjalan dan bagian detailnya dapat menggambarkan tentang daya tahan ekonomi Indonesia terhadap peningkatan ketidakpastian, bahkan krisis di tingkat global. Secara lebih khusus diperiksa tingkat ketergantungan kita terhadap arus masuk finansial asing, terutama yang berbentuk investasi portofolio.
Bab enam berjudul kondisi keuangan Pemerintah. Bab ini mencermati beberapa aspek penting dari keuangan pemerintah, terutama perkembangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan perkembangan utang pemerintah selama satu dekade terakhir. Kondisi keuangan Pemerintah merupakan salah satu aspek penting dalam fundamental ekonomi, karena peran kebijakan fiskal yang telah dan masih sangat penting dalam dinamika ekonomi.
Bab tujuh berjudul iklim investasi dan berusaha. Bab ini menjelaskan bagaimana peran faktor modal dalam fundamental ekonomi. Dicermati tentang perkembangan investasi di Indonesia. Tidak hanya soal investasi asing, melainkan juga kondisi umum usaha berskala mikro dan usaha berskala kecil. 
Bab delapan berjudul stabilitas sistem keuangan. Bab ini menjelaskan arti stabilitas sistem keuangan menurut pihak Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dicermati perkembangan beberapa indikator industri keuangan, terutama perbankan selama beberapa tahun terakhir. Dilakukan asesmen umum atas beberapa kinerja perbankan, sehingga dapat dinilai apakah cukup mengindikasikan stabilitas yang dimaksud BI dan OJK. Dan yang lebih penting apakah telah mencerminkan kuatnya fundamental ekonomi jika dilihat dari aspek ini.
Bab sembilan berjudul kondisi ketahanan energi. Bab ini pada dasarnya termasuk dalam pencermatan atas aspek bagaimana barang dan jasa diproduksi. Akan tetapi tinjauannya lebih pada salah satu potensi dan peluang besar bagi perbaikan fundamental ekonomi. Dibahas mengenai potensi sumber daya alam yang masih tersedia, perkembangan produksi dan konsumsi energi, serta sekilas tentang perkembangan teknologi di Indonesia.
Bab sepuluh berjudul kondisi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Bab ini membicarakan aspek fundamental berkenaan dengan untuk siapa barang dan jasa diproduksi. Penjelasan fokus kepada soalan kemiskinan dan distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat dan antar wilayah. Bisa dipastikan bahwa suatu perekonomian yang berfundamental kuat memiliki ciri telah mampu mengatasi masalah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Oleh karenanya, aspek ini akan dilihat lebih teliti.
Bab sebelas merupakan penutup. Bab ini menyimpulkan pembahasan secara keseluruhan, serta memberi rekomendasi tentang apa yang dapat segera dilakukan untuk memperkuat fundamental ekonomi Indonesia.
Beberapa bab memiliki tambahan apendiks, yang merupakan penjelasan teknis tentang indikator ekonomi yang banyak dipakai dalam pembahasan. Apendiks bab dua tentang data Produksi Domestik Bruto (PDB). Apendiks bab empat tentang data ketenagakerjaan. Apendiks bab lima tentang data Neraca Pembayaran Indonesia. Apendiks bab enam tentang data APBN dan data utang pemerintah. Apendiks bab sepuluh tentan data kemiskinan dan ketimpangan ekonomi.
Bagian apendiks dapat dilewati oleh para pembaca yang telah cukup mengerti tentang indikator tersebut. Perlu diketahui bahwa bahan penjelasan terutama dari lembaga resmi yang mengeluarkan indikator tersebut. Akan tetapi tidak bisa dihindari, pilihan hal yang diuraikan mengandung pandangan penulis tentang sebagian “cara membaca” tentang yang tersirat atau berada dibalik angka-angka tersaji.
Secara umum, uraian buku ini mungkin terkesan sangat kritis dan seolah hanya menyoroti kegagalan otoritas ekonomi, yang berujung pada kesimpulan tentang rapuhnya fundamental ekonomi Indonesia. Pandangan tersebut jelas berkebalikan dari pandangan otoritas ekonomi, yang mengklaim kuatnya fundamental ekonomi. Para pembaca dipersilakan untuk melakukan penilaian sendiri setelah membaca buku dan membandingkan alasan masing-masing pandangan. Pandangan buku disajikan dengan nuansa kritis terutama karena klaim dan penjelasan otoritas juga hampir tidak mengakui satupun aspek yang lemah dari fundamental ekonomi.
Cara pandang dan apa-apa yang diuraikan dalam buku ini mungkin dapat menimbulkan sikap pesimis atas masa depan ekonomi Indonesia. Tentu tidak demikian maksud tujuan penulisan buku. Yang diharapkan adalah tumbuhnya diskusi di ruang publik tentang fundamental ekonomi secara lebih berimbang. Tidak hanya penjelasan otoritas ekonomi yang mendominasi wacana, sehingga terkesan bersifat propaganda atau unjuk kemahiran taktis bagian humas.
Bagaimanapun, fundamental ekonomi akan diuji oleh dinamika ekonomi dan terutama oleh berbagai gejolak ekonomi dan keuangan global, yang makin sering terjadi. Sebaiknya tidak perlu menunggu guncangan yang berdampak buruk, melainkan mulai memeriksa fundamental ekonomi secara lebih jujur, teliti dan mencakup keseluruhan aspek pentingnya. Buku ini menawarkan wacana diskusi untuk pemeriksaan yang demikian. Disadari bahwa tentu tidak semua yang disampaikan dalam buku sudah tepat, dan ada hal penting lainnya yang belum dianalisis. Buku ini mengajak diskusi semua pihak, dengan asa perbaikan kebijakan ekonomi bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Dan pada akhirnya akan bisa membantu terwujudnya  keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.