Kesimpulan Umum
Tinjauan atas
kondisi perekonomian nasional terkini dan prakiraan (outlook) kondisi ke depan dalam publikasi otoritas ekonomi pada
umumnya mencakup kurun waktu yang pendek. Analisa dan asesmen hanya atas
kondisi terkini, atau paling jauh membandingkan dengan kondisi satu hingga tiga
tahun sebelumnya. Prakiraan hanya untuk satu tahun ke depan saja. Indikator
yang dianalisa terutama adalah indikator ekonomi makro, indikator moneter,
indikator perbankan, ditambah dengan beberapa indikator pasar dari komoditas
yang dianggap penting.
Indikator
ekonomi makro biasanya dijelaskan secara sederhana berdasar data yang tersedia,
hampir tidak pernah digali secara lebih dalam tentang hal lain yang mungkin
terindikasi. Analisis disagregasi dari indikator makro tersebut amat minimal
dilakukan. Selain itu, hubungan dinamis antar indikator kurang diperhatikan. Akibat dari ketiga
fenomena tersebut, tinjauan ekonomi tampak kurang mampu menggambarkan kondisi
umum perekonomian, dan kadang berkebalikan.
Tinjauan kurang
memeriksa ulang indikator makro dalam sudut pandang fundamental ekonomi, atau
aspek yang mendasar dari perekonomian. Tema fundamental ekonomi ini sempat
mengemuka ke ruang publik sekitar satu tahun lalu, ketika kurs rupiah mengalami
pelemahan signifikan dalam waktu relatif singkat. Pemerintah, Bank Indonesia
dan OJK waktu itu segera menyampaikan tentang masih kuatnya fundamental
ekonomi. Akan tetapi, pengertian dan narasi tentang fundamental ekonomi tetap
saja serupa dengan dokumen resmi yang secara rutin dipublikasi.
Menarik pula
ketika tinjauan ekonomi dalam laporan resmi otoritas ekonomi selalu dimulai
dengan penjelasan tentang kondisi perekonomian global, terutama kondisi dan
kebijakan ekonomi negara-negara maju, termasuk Tiongkok. Ada pengakuan tersirat
dari penalaran laporan yang demikian, yaitu faktor eksternal sangat berpengaruh
atau bahkan paling menentukan kondisi perekonomian nasional yang dianalisis dan
diprakirakan setahun ke depan. Dapat pula dimaknai bahwa ketahanan eksternal sebagai
variabel penting dalam menganalisis ekonomi Indonesia.
Contoh dari
tinjauan ekonomi dan outlook ekonomi
yang resmi dari Pemerintah adalah yang tertulis dalam dokumen Nota Keuangan
yang menjadi pengantar atas RAPBN pada bulan Agustus dan sedikit direvisi
ketika APBN telah ditetapkan pada akhir Oktober. Dan contoh tinjauan ekonomi
dan outlook ekonomi yang resmi dari
Bank Indonesia adalah Laporan Perekonomian Indonesia tahunan, yang biasanya
dipublikasikan pada akhir Maret tahun setelahnya.
Nota Keuangan
APBN 2019 memulai tinjauan ekonomi dan outlook
ekonomi dengan menguraikan tentang proyeksi ekonomi global tahun 2019, dan
secara khusus mengenai volume perdagangan dunia dan harga komoditas dunia.
Sebagaimana biasanya tiap tahun, dijelaskan pula tentang Asumsi Dasar Ekonomi
Makro APBN Tahun 2019. Asumsi Dasar itu meliputi: 1. Pertumbuhan Ekonomi; 2.
Inflasi; 3. Suku Bunga SPN 3 Bulan; 4. Nilai Tukar Rupiah; 5. Harga Minyak
Mentah Indonesia; 6. Lifting Minyak
dan Gas Bumi.
Dalam paragraf
awal tinjauan antara lain disebutkan: “Beberapa tantangan dari sisi eksternal
yang akan dihadapi merupakan keniscayaan dari perkembangan perekonomian global
yang saat ini sedang menuju pada keseimbangan baru. Dinamika perekonomian
global tersebut berimbas pada kinerja perekonomian domestik baik itu melalui
jalur sektor keuangan maupun perdagangan internasional. Tantangan perekonomian
global ke depan masih akan bersumber dari dampak beberapa hal berikut: (i)
kebijakan proteksionisme dan perpajakan Amerika Serikat; (ii) keberlanjutan
normalisasi kebijakan moneter di negara maju yang berpotensi menimbulkan
dinamika likuiditas pada sektor keuangan global; dan (iii) situasi geopolitik
yang sewaktu-waktu dapat berisiko tinggi.” (Buku II Nota Keuangan dan APBN
2019, halaman II.1-2)
Laporan
perekonomian Indonesia 2018 terdiri dari sepuluh bab. Bab satu berjudul
“Perekonomian Global” antara lain menjelaskan tentang perekonomian global yang
melambat, kenaikan Federal Funds Rate,
ketidakpastian pasar keuangan global, serta respon kebijakan global yang
beragam. Bab 2 hingga bab 4 adalah asesmen tentang indikator makroekonomi,
yaitu: pertumbuhan ekonomi, neraca pembayaran Indonesia, inflasi dan nilai
tukar. Bab 5 hingga bab 9 adalah penjelasan tentang respon kebijakan Bank
Indonesia atas kondisi dan dinamika yang digambarkan dalam bab-bab sebelumnya.
Bab 10 sebagai penutup merupakan outlook
dan garis besar arah kebijakan yang akan diambil.
Pada tinjauan
umum di awal laporan, antara lain dikatakan: “Perekonomian Indonesia 2018
menghadapi tantangan yang tidak ringan dipicu ketidakpastian global yang
meningkat. Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, ketidakpastian global
memberikan tantangan bagi pengelolaan ekonomi di sektor eksternal, baik dari
jalur perdagangan maupun jalur finansial. Dari jalur perdagangan, kinerja
ekspor menurun akibat pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat dan harga
komoditas yang turun. Tantangan dari jalur perdagangan makin kuat karena pada
saat bersamaan permintaan impor untuk proyek infrastruktur domestik cukup
besar, sehingga meningkatkan kompleksitas dalam mengelola defisit transaksi
berjalan pada level yang sehat. Dari jalur finansial, tantangan berkaitan
dengan menurunnya aliran masuk modal asing ke negara berkembang, termasuk Indonesia,
karena dipicu kenaikan suku bunga kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) dan
ketidakpastian pasar keuangan global. Tantangan dari global ini kemudian
menurunkan kinerja neraca pembayaran Indonesia (NPI) terutama pada triwulan II
dan III 2018, serta meningkatkan tekanan pada nilai tukar Rupiah.” (halaman
xxiii).
Bab 10 atau
penutup laporan, antara lain mengatakan: “Prospek perekonomian Indonesia 2019
akan lebih baik, meskipun perekonomian global yang belum kondusif perlu terus
mendapat perhatian. Momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia berlanjut dalam
kisaran 5,0%–5,4%, ditopang permintaan domestik yang kuat. Ketahanan eksternal
juga makin kuat didukung defisit transaksi berjalan (TB) yang turun menjadi
sekitar 2,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB), serta aliran masuk modal asing
yang kembali meningkat. Stabilitas harga juga terkendali di mana inflasi
diprakirakan dalam kisaran sasaran 3,5±1%. Stabilitas sistem keuangan juga
terjaga dan ditopang intermediasi yang membaik dengan kredit pada 2019 diprakirakan
tumbuh sebesar 10%–12%.” (halaman 158)
Beberapa hal di
atas ditambah dengan uraian dalam buku ini menguatkan kebutuhan akan analisis
atau tinjauan ekonomi yang menyoroti hal dan aspek yang paling mendasar, yaitu
fundamental ekonomi. Pengertian dan aspek yang disebut fundamental ekonomi
tidak dapat mengikuti apa yang biasa disebut dalam pernyataan pejabat otoritas
ekonomi. Sebagaimana yang telah dikutip pada bab satu, penjelasan mereka pada
dasarnya sama saja dengan berbagai dokumen resmi yang disebut tadi dicontohkan.
Arti fundamental ekonomi direduksi, hanya diartikan sebagai kondisi umum
berdasar indikator makroekonomi, dan bahkan hanya merujuk kepada sebagian
indikator.
Arti
fundamental menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bersifat dasar (pokok)
atau mendasar. Bisa dikatakan sebagai sesuatu yang mendasar (pokok atau
prinsip) dalam suatu hal. Secara arti kata, fundamental ekonomi adalah segala
hal yang menjadi dasar dan merupakan elemen penting dalam aktivitas ekonomi.
BUKU INI telah
menjelaskan bahwa pengertian fundamental ekonomi mencakup segala jawaban atas
tiga hal mendasar, yakni tentang apa, bagaimana dan untuk siapa barang dan jasa
diproduksi oleh suatu perkonomian. Jawaban atau penjelasan atas tiga hal
tersebut didasari oleh data-data dalam kurun waktu cukup panjang, satu dekade
atau lebih. Perlunya data demikian karena kondisi terkini perekonomian adalah
hasil dari dinamika selama tahun-tahun sebelumnya.
Belum semua
pertanyaan penting dalam ketiga hal itu dijawab oleh buku ini, melainkan hanya
sebagian yang dianggap paling penting dan bersifat mendasar. Ringkasan
penjelasan pokok dari masing-masing bab yang paling berkaitan dengan
fundamental ekonomi, disajikan kembali di bawah ini.
Bab dua
menjelaskan beberapa hal penting tentang apa saja barang dan jasa yang telah
diproduksi dalam perekonomian Indonesia. Produksi barang industri manufaktur
memang meningkat, namun lajunya melambat selama satu dekade terakhir.
Akibatnya, porsi industri pengolahan menurun dalam struktur produksi (PDB) hingga
di bawah 20%. Proses itu gagal mengompensasi penurunan porsi dari sektor
pertanian, yang telah lebih dahulu tumbuh lebih lambat dari pertumbuhan
ekonomi. Hal semacam ini dikenal dengan gejala deindustrialisasi. Dalam kurun
1970-2000 terjadi industrialisasi yang cukup cepat, melambat pada kurun
2000-2010, dan berbalik arah setelah itu.
Dalam
perekonomian yang sedang berkembang biasanya terjadi industrialisasi, yang pada
tahap tertentu memang akan stagnan dalam artian porsi industri tak bertambah
lagi di kisaran 30-40%. Bahkan dalam perekonomian yang sudah maju dan
berkembang, porsi industri mulai menurun kembali, antara lain karena
perkembangan “jasa modern” yang lebih cepat. Deindustrialisasi yang demikian
terjadi setelah pendapatan per kapita masyarakatnya sangat tinggi, dan
teknologi produksi industri pengolahan pun mencapai tahap lanjut.
Bab tiga
membahas soal ketahanan pangan sebagai bagian penting dari fundamental ekonomi,
tampak bahwa produksi tanaman pangan kurang cepat dan kurang beragam, dan impornya
cenderung meningkat. Komoditas pangan yang lain, seperti daging dan susu, juga
kurang tersedia memadai. Tumpuan
ketersediaan daging hanya dari ayam buras pedaging dan buras petelur, yang
produksinya memiliki komponen impor. Kecukupan pangan sejauh ini masih
terpenuhi, namun lebih karena impor, sehingga masih rawan jika dilihat dari
perspektif fundamental ekonomi.
Bab empat
membahas salah satu aspek dari bagaimana cara barang dan jasa diproduksi, yaitu
aspek faktor tenaga kerja. Penggunaan tenaga kerja masih cukup amat jauh dari
optimal. Meskipun angka pengangguran perlahan menurun menjadi di kisaran 5%,
namun jika ditambah dengan mereka yang bekerja tidak penuh masih amat besar,
mencapai 33%. Angka pengangguran tersebut juga masih jauh dibawah era 1990an
yang di kisaran 2-3%. Dijelaskan pula bahwa mayoritas pekerja masih dalam
kondisi yang rentan dan berproduktivitas rendah.
Bab lima hingga
bab sembilan akan lebih banyak membahas tentang aspek bagaimana, namun dengan
pencermatan atas indikasi lain selain faktor tenaga kerja. Bab lima menjelaskan
bagaimana investasi di Indonesia butuh penanaman modal asing yang makin besar.
Ditambah dengan kebutuhan utang luar negeri pihak pemerintah dan pihak swata
yang juga meningkat menciptakan ketergantungan terhadap transaksi
internasional. Pada saat bersamaan, investasi dan utang luar negeri belum
menunjukkan hasil yang menciptakan devisa secara berkesinambungan untuk
membayar kembali kepada pihak luar negeri. Pembayaran masih mengandalkan dari
arus investasi dan utang baru, ditunjukkan oleh defisit transaksi berjalan yang
terus berlangsung. Kondisi demikian dapat diartikan lemahnya daya tahan ekonomi
Indonesia terhadap gejolak ekonomi dan keuangan global. Bahkan segera terdampak
hanya oleh meningkatnya ketidakpastian ekonomi global, atau sekadar perubahan
kebijakan The Fed.
Bab enam
menguraikan tentang kondisi keuangan Pemerintah yang makin mengalami kesulitan,
sehingga ruang fiskal untuk melakukan kebijakan pro ataupun antisiklikal
menjadi terbatas. Peran pemerintah melalui anggaran menjadi berkurang
efektivitasnya, dan bahkan jika tidak hati-hati akan membahayakan kesinambungan
fiskalnya. Laju pendapatan nyaris tak bisa mengimbangi laju belanja dan laju
pengeluaran pembiayaan. Posisi utang tampak masih aman jika dilihat dari
rasionya atas PDB, namun cenderung terus meningkat. Dan yang lebih
mengkhawatirkan sebenarnya adalah beban pembayaran bunga utang yang bertambah
besar, disertai tingkat bunga yang meninggi.
Bab tujuh
menguraikan tentang kondisi investasi, dan kondisi umum para pelaku usaha.
Secara umum dinilai bahwa iklim investasi di Indonesia tidak bisa dikatakan
buruk atau tidak sehat, namun juga belum dapat dikatakan baik. Investasi
cenderung meningkat, namun tidak diikuti oleh peningkatan laju pertumbuhan
ekonomi, yang bertahan di kisaran 5%, dan pada era pemerintahan sebelumnya pun
rata-rata hanya 5,73% per tahun. Salah satu masalahnya adalah tingginya Incremental Capital Output Ratio (ICOR)
Indonesia, yang mencerminkan tingkat efisiensi yang masih rendah. Terjadi
sedikit penurunan dalam tiga tahun terakhir, namun rasionya masih sebesar 6,3,
lebih tinggi dari hampir semua negara ASEAN. Umumnya diakui bahwa ICOR yang
ideal adalah mendekati atau di kisaran 3%.
Kebijakan
investasi tampak belum mempertimbangkan hal-hal yang bersifat jangka panjang
dan fundamental. Daya saing Indonesia memang sedikit membaik, namun lebih
karena tingginya return dan
kedisiplinan Indonesia dalam membayar utang dan kewajiban lainnya, serta
stabilitas politik yang cukup baik. Beberapa hal yang mendasar belum cukup
memadai ditangani, seperti: soal ketenagakerjaan, kepastian usaha, porsi peran
BUMN, daftar negatif investasi, serta kebijakan atas usaha mikro dan usaha
kecil.
Bab delapan
menggambarkan kondisi yang disebut dengan stabilitas sistem keuangan.
Pencermatan perkembangan beberapa indikator industri keuangan, terutama
perbankan selama beberapa tahun terakhir, memang tampak ada perbaikan kebijakan
yang signifikan dan lebih menjamin stabilitas. Akan tetapi karena faktor
eksternal yang dihadapi oleh perekonomian nasional seperti yang dijelaskan pada
bab lima, maka stabilitas tersebut belum cukup memadai. Dapat dinilai hanya
tidak memperlemah fundamental. Ditambah faktor kesulitannya industri keuangan
dalam mendorong perekonomian, yang ditandai oleh belum optimalnya fungsi
intermediasi yang diperankan.
Bab sembilan
yang membahas kondisi ketahanan energi pada dasarnya mencermati aspek bagaimana
barang dan jasa diproduksi. Dalam hal ini tidak sepenuhnya fundamental ekonomi
dapat dikatakan rapuh. Akan tetapi lebih pada uraian tentang potensi besar yang
belum dimanfaatkan secara optimal. Salah satu kendala dalam optimalisasi itu
adalah perkembangan teknologi yang belum cukup baik.
Bab sepuluh
membicarakan aspek fundamental berkenaan dengan untuk siapa barang dan jasa
diproduksi. Penjelasan fokus kepada soalan kemiskinan dan distribusi pendapatan
antar kelompok masyarakat. Suatu perekonomian yang berfundamental kuat dapat
dipastikan memiliki ciri telah mampu mengatasi masalah kemiskinan dan
ketimpangan ekonomi. Selama satu dekade ini, jumlah penduduk miskin dan angka
kemiskinannya telah cukup rendah, dan cenderung turun tiap tahun. Ketimpangan
ekonomi memang tidak ekstrem dan tidak cenderung meningkat, namun juga tidak
membaik secara berarti. Porsi yang diperoleh oleh kelompok terbawah memang
tidak menjadi lebih kecil, namun relatif tidak bertambah. Uraian bab ini
memperlihatkan bahwa masalah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi masih bersifat
laten, dan dapat memburuk sewaktu-waktu.
Aspek untuk
siapa barang dan jasa diproduksi sebenarnya mencakup pula apakah hasil produksi
bisa diekspor secara menguntungkan, dan seberapa banyak surplus ekonomi yang
dibawa ke luar negeri. Hal ini tidak dibahas lagi dalam bab 8, namun sempat
disinggung pada bab 2 dan bab 5. Dalam hal ekspor, perekonomian Indonesia belum
menunjukkan kinerja yang baik dan berdasar struktur yang kuat. Sedangkan dalam
hal surplus ekonomi yang dibawa ke luar negeri, tercermin antara lain pada
defisit neraca pendapatan primer yang meningkat.
Dari
keseluruhan penjelasan tersebut, fundamental ekonomi Indonesia tidak bisa
dikatakan kuat, justru tampak rapuh. Fundamental ekonomi yang rapuh dapat pula
diartikan kondisi yang rentan terhadap gejolak ekonomi internasional. Bahkan,
kebijakan The Fed saja sudah bisa
berdampak besar. Begitu pula kebijakan perdagangan luar negeri Amerika dan
negara-negara sekutunya. Kerentanan juga terasa jika dikaitkan dengan hubungan
ekonomi dengan Tiongkok. Tiongkok menjadi mitra dagang utama Indonesia, baik
dilihat dari sisi ekspor maupun impor. Hubungan dalam investasi pun makin
meningkat.
Kelemahan
fundamental ekonomi itu kadang tertutupi oleh kondisi perekonomian yang tampak
cukup baik dilihat dari beberapa indikator makroekonomi. Akan tetapi kondisi
yang lebih mendasar atau fundamental tersamarkan. Buku ini menunjukkan
pencermatan yang lebih mendalam dan faktor yang lebih menyeluruh, serta dalam
rentang waktu yang lebih panjang.
Meskipun
penulis menilai fundamental ekonomi Indonesia saat ini rapuh, bukan berarti
situasinya telah amat buruk dan tak berpengharapan untuk segera diperbaiki.
Tiap bab tulisan sejatinya memberi gambaran pula akan apa yang dapat dan
harusnya dibenahi, terutama melalui kebijakan otoritas ekonomi yang tepat.
Tulisan memang
sengaja bernuansa “kritik keras” karena klaim yang juga berlebihan dari
otoritas ekonomi. Untuk menghindari kesan putus asa, maka sebagian kritik dapat
diartikan rekomendasi. Jika dinilai terjadi indstrialisasi prematur, berarti
perlu dibenahi dengan merevitalisasi industri. Masalah pengangguran serta
mayoritas pekerja berkondisi rentan dengan produktivitas rendah, berarti
diperbaiki secara terencana dan terfokus. Faktor tenaga kerja dapat dimaknai
bukan semata sebagai masalah mengurangi pengangguran, melainkan bagaimana
mengoptimalkan faktor produksi yang tersedia sangat besar itu. Sederhananya,
hampir semua kritik atau penilaian tentang jeleknya sesuatu di buku ini masih
berpeluang besar dibenahi.
Cara melihat
persoalan fundamental dengan nuansa yang tidak “sepesimis” uraian sebelumnya
diberikan pada bab sembilan. Bab ini tidak terkait langsung pada satu aspek
tentang apa, bagaimana dan untuk siapa barang dan jasa diproduksi. Sepintas
memang dekat pada aspek bagaimana, namun tinjauannya lebih pada salah satu
potensi dan peluang besar bagi perbaikan fundamental ekonomi. Dibahas mengenai
potensi sumber daya alam yang masih tersedia, perkembangan produksi dan
konsumsi energi, serta selintas tentang perkembangan teknologi di Indonesia.
Tantangan masih berat dalam pengelolaannya, namun peluang menjawabnya makin
terbuka lebar. Jawaban atas tantangan dalam bidang tersebut akan sekaligus
memperkuat fundamental ekonomi Indonesia.
Kesimpulan
terakhir dan terpenting dari buku ini, meski menilai perekonomian Indonesia
rawan atas krisis atau gejolak global karena berfundamental rapuh, potensi dan
asa perbaikan masih besar. Kerja keras semua anak bangsa, dipandu oleh
kebijakan otoritas ekonomi yang tepat dan konsisten akan dapat memperkuat
fundamental ekonomi dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan. Pada giliran
berikutnya, dinamika ekonomi dengan fundamental yang kuat akan mampu mewujudkan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rekomendasi Umum
Buku ini
memberi rekomendasi secara umum tentang beberapa hal yang mendesak untuk segera
dilakukan. Terutama oleh otoritas ekonomi, para pengambil kebijakan dan
penanggung jawab pelaksanaan kebijakan. Di antaranya adalah hal-hal berikut:
1. Otoritas ekonomi (Pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas jasa
Keuangan) sebaiknya fokus untuk memperkuat fundamental ekonomi Indonesia dalam
beberapa tahun ke depan. Terutama fokus memperbaiki aspek produksi dalam
perspektif jangka menengah dan panjang.
2. Dalam jangka pendek, satu dua tahun ke depan, ancaman guncangan
eksternal atau bahkan krisis ekonomi masih cukup besar, sehingga tetap perlu
kehati-hatian dari otoritas ekonomi.
3. Penguatan fundamental memerlukan bauran kebijakan (mix policy) dalam pengertian yang lebih
luas dan menyeluruh dibanding yang disebut dalam laporan resmi saat ini.
4. Sektor pertanian perlu mendapat prioritas utama untuk dibangun,
diberi dukungan dan bantuan. Terutama subsektor tanaman pangan, subsektor
perkebunan, dan subsektor peternakan.
5. Pembangunan industri perlu direncanakan ulang dan diperkuat kebijakannya
dalam kerangka industrialisasi yang berbasis keunggulan nasional dan
lokalistik. Antara lain penguatan industri pengolahan hasil pertanian. Ada
kebutuhan road map industrialisasi
yang jelas dan dijadikan acuan secara konsisten.
6. Kebijakan sektor riil harus lebih konsisten dan terarah, sehingga
mampu memberi panduan bagi dunia usaha, serta lebih memberi kepastian dalam
jangka panjang.
7. Kebijakan fiskal perlu diubah paradigmatiknya, dari yang terlalu
berorientasi “akuntansi” menjadi kepada outcome
dan impact bagi ekonomi nasional.
Kebijakan fiskal musti berperspektif
jangka menengah dan panjang, memperhitungkan kesinambungan fiskal dalam arti
sejatinya. Anggaran berbasis kinerja yang telah lama diakui, diterapkan secara
lebih konsisten di semua proses penganggaran.
8. Harmonisasi kebijakan fiskal, moneter dan perbankan masih sangat
mendesak diperbaiki dan ditingkatkan. Dibutuhkan koordinasi yang lebih rutin
dari sekadar pertemuan bulanan atau triwulan. Tidak hanya pada jajaran paling
atas, namun mencakup jajaran tingkat strategis dan teknis.
9. Kekayaan sumber daya, mineral, dan energi Indonesia masih cukup
memberi harapan bagi penguatan fundamental ekonomi Indonesia. Perlu perbaikan
kebijakan dan pengelolaannya agar lebih terarah dan berperspektif jangka
panjang.
10. Perkembangan teknologi, termasuk teknologi informasi, masih
memerlukan perhatian yang lebih serius. Perbaikan signifikan dalam hal ini
menjadi salah satu syarat perbaikan fundamental ekonomi Indonesia.