Minggu, 05 Mei 2019

BAB sebelas (PENUTUP) buku "FUNDAMENTAL EKONOMI YANG RAPUH"


Kesimpulan Umum

Tinjauan atas kondisi perekonomian nasional terkini dan prakiraan (outlook) kondisi ke depan dalam publikasi otoritas ekonomi pada umumnya mencakup kurun waktu yang pendek. Analisa dan asesmen hanya atas kondisi terkini, atau paling jauh membandingkan dengan kondisi satu hingga tiga tahun sebelumnya. Prakiraan hanya untuk satu tahun ke depan saja. Indikator yang dianalisa terutama adalah indikator ekonomi makro, indikator moneter, indikator perbankan, ditambah dengan beberapa indikator pasar dari komoditas yang dianggap penting.
Indikator ekonomi makro biasanya dijelaskan secara sederhana berdasar data yang tersedia, hampir tidak pernah digali secara lebih dalam tentang hal lain yang mungkin terindikasi. Analisis disagregasi dari indikator makro tersebut amat minimal dilakukan. Selain itu, hubungan dinamis antar indikator kurang diperhatikan. Akibat dari ketiga fenomena tersebut, tinjauan ekonomi tampak kurang mampu menggambarkan kondisi umum perekonomian, dan kadang berkebalikan.
Tinjauan kurang memeriksa ulang indikator makro dalam sudut pandang fundamental ekonomi, atau aspek yang mendasar dari perekonomian. Tema fundamental ekonomi ini sempat mengemuka ke ruang publik sekitar satu tahun lalu, ketika kurs rupiah mengalami pelemahan signifikan dalam waktu relatif singkat. Pemerintah, Bank Indonesia dan OJK waktu itu segera menyampaikan tentang masih kuatnya fundamental ekonomi. Akan tetapi, pengertian dan narasi tentang fundamental ekonomi tetap saja serupa dengan dokumen resmi yang secara rutin dipublikasi.
Menarik pula ketika tinjauan ekonomi dalam laporan resmi otoritas ekonomi selalu dimulai dengan penjelasan tentang kondisi perekonomian global, terutama kondisi dan kebijakan ekonomi negara-negara maju, termasuk Tiongkok. Ada pengakuan tersirat dari penalaran laporan yang demikian, yaitu faktor eksternal sangat berpengaruh atau bahkan paling menentukan kondisi perekonomian nasional yang dianalisis dan diprakirakan setahun ke depan. Dapat pula dimaknai bahwa ketahanan eksternal sebagai variabel penting dalam menganalisis ekonomi Indonesia.
Contoh dari tinjauan ekonomi dan outlook ekonomi yang resmi dari Pemerintah adalah yang tertulis dalam dokumen Nota Keuangan yang menjadi pengantar atas RAPBN pada bulan Agustus dan sedikit direvisi ketika APBN telah ditetapkan pada akhir Oktober. Dan contoh tinjauan ekonomi dan outlook ekonomi yang resmi dari Bank Indonesia adalah Laporan Perekonomian Indonesia tahunan, yang biasanya dipublikasikan pada akhir Maret tahun setelahnya.
Nota Keuangan APBN 2019 memulai tinjauan ekonomi dan outlook ekonomi dengan menguraikan tentang proyeksi ekonomi global tahun 2019, dan secara khusus mengenai volume perdagangan dunia dan harga komoditas dunia. Sebagaimana biasanya tiap tahun, dijelaskan pula tentang Asumsi Dasar Ekonomi Makro APBN Tahun 2019. Asumsi Dasar itu meliputi: 1. Pertumbuhan Ekonomi; 2. Inflasi; 3. Suku Bunga SPN 3 Bulan; 4. Nilai Tukar Rupiah; 5. Harga Minyak Mentah Indonesia; 6. Lifting Minyak dan Gas Bumi.
Dalam paragraf awal tinjauan antara lain disebutkan: “Beberapa tantangan dari sisi eksternal yang akan dihadapi merupakan keniscayaan dari perkembangan perekonomian global yang saat ini sedang menuju pada keseimbangan baru. Dinamika perekonomian global tersebut berimbas pada kinerja perekonomian domestik baik itu melalui jalur sektor keuangan maupun perdagangan internasional. Tantangan perekonomian global ke depan masih akan bersumber dari dampak beberapa hal berikut: (i) kebijakan proteksionisme dan perpajakan Amerika Serikat; (ii) keberlanjutan normalisasi kebijakan moneter di negara maju yang berpotensi menimbulkan dinamika likuiditas pada sektor keuangan global; dan (iii) situasi geopolitik yang sewaktu-waktu dapat berisiko tinggi.” (Buku II Nota Keuangan dan APBN 2019, halaman II.1-2)
Laporan perekonomian Indonesia 2018 terdiri dari sepuluh bab. Bab satu berjudul “Perekonomian Global” antara lain menjelaskan tentang perekonomian global yang melambat, kenaikan Federal Funds Rate, ketidakpastian pasar keuangan global, serta respon kebijakan global yang beragam. Bab 2 hingga bab 4 adalah asesmen tentang indikator makroekonomi, yaitu: pertumbuhan ekonomi, neraca pembayaran Indonesia, inflasi dan nilai tukar. Bab 5 hingga bab 9 adalah penjelasan tentang respon kebijakan Bank Indonesia atas kondisi dan dinamika yang digambarkan dalam bab-bab sebelumnya. Bab 10 sebagai penutup merupakan outlook dan garis besar arah kebijakan yang akan diambil.
Pada tinjauan umum di awal laporan, antara lain dikatakan: “Perekonomian Indonesia 2018 menghadapi tantangan yang tidak ringan dipicu ketidakpastian global yang meningkat. Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, ketidakpastian global memberikan tantangan bagi pengelolaan ekonomi di sektor eksternal, baik dari jalur perdagangan maupun jalur finansial. Dari jalur perdagangan, kinerja ekspor menurun akibat pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat dan harga komoditas yang turun. Tantangan dari jalur perdagangan makin kuat karena pada saat bersamaan permintaan impor untuk proyek infrastruktur domestik cukup besar, sehingga meningkatkan kompleksitas dalam mengelola defisit transaksi berjalan pada level yang sehat. Dari jalur finansial, tantangan berkaitan dengan menurunnya aliran masuk modal asing ke negara berkembang, termasuk Indonesia, karena dipicu kenaikan suku bunga kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) dan ketidakpastian pasar keuangan global. Tantangan dari global ini kemudian menurunkan kinerja neraca pembayaran Indonesia (NPI) terutama pada triwulan II dan III 2018, serta meningkatkan tekanan pada nilai tukar Rupiah.” (halaman xxiii).
Bab 10 atau penutup laporan, antara lain mengatakan: “Prospek perekonomian Indonesia 2019 akan lebih baik, meskipun perekonomian global yang belum kondusif perlu terus mendapat perhatian. Momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia berlanjut dalam kisaran 5,0%–5,4%, ditopang permintaan domestik yang kuat. Ketahanan eksternal juga makin kuat didukung defisit transaksi berjalan (TB) yang turun menjadi sekitar 2,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB), serta aliran masuk modal asing yang kembali meningkat. Stabilitas harga juga terkendali di mana inflasi diprakirakan dalam kisaran sasaran 3,5±1%. Stabilitas sistem keuangan juga terjaga dan ditopang intermediasi yang membaik dengan kredit pada 2019 diprakirakan tumbuh sebesar 10%–12%.” (halaman 158)
Beberapa hal di atas ditambah dengan uraian dalam buku ini menguatkan kebutuhan akan analisis atau tinjauan ekonomi yang menyoroti hal dan aspek yang paling mendasar, yaitu fundamental ekonomi. Pengertian dan aspek yang disebut fundamental ekonomi tidak dapat mengikuti apa yang biasa disebut dalam pernyataan pejabat otoritas ekonomi. Sebagaimana yang telah dikutip pada bab satu, penjelasan mereka pada dasarnya sama saja dengan berbagai dokumen resmi yang disebut tadi dicontohkan. Arti fundamental ekonomi direduksi, hanya diartikan sebagai kondisi umum berdasar indikator makroekonomi, dan bahkan hanya merujuk kepada sebagian indikator.
Arti fundamental menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bersifat dasar (pokok) atau mendasar. Bisa dikatakan sebagai sesuatu yang mendasar (pokok atau prinsip) dalam suatu hal. Secara arti kata, fundamental ekonomi adalah segala hal yang menjadi dasar dan merupakan elemen penting dalam aktivitas ekonomi.

BUKU INI telah menjelaskan bahwa pengertian fundamental ekonomi mencakup segala jawaban atas tiga hal mendasar, yakni tentang apa, bagaimana dan untuk siapa barang dan jasa diproduksi oleh suatu perkonomian. Jawaban atau penjelasan atas tiga hal tersebut didasari oleh data-data dalam kurun waktu cukup panjang, satu dekade atau lebih. Perlunya data demikian karena kondisi terkini perekonomian adalah hasil dari dinamika selama tahun-tahun sebelumnya.
Belum semua pertanyaan penting dalam ketiga hal itu dijawab oleh buku ini, melainkan hanya sebagian yang dianggap paling penting dan bersifat mendasar. Ringkasan penjelasan pokok dari masing-masing bab yang paling berkaitan dengan fundamental ekonomi, disajikan kembali di bawah ini.
Bab dua menjelaskan beberapa hal penting tentang apa saja barang dan jasa yang telah diproduksi dalam perekonomian Indonesia. Produksi barang industri manufaktur memang meningkat, namun lajunya melambat selama satu dekade terakhir. Akibatnya, porsi industri pengolahan menurun dalam struktur produksi (PDB) hingga di bawah 20%. Proses itu gagal mengompensasi penurunan porsi dari sektor pertanian, yang telah lebih dahulu tumbuh lebih lambat dari pertumbuhan ekonomi. Hal semacam ini dikenal dengan gejala deindustrialisasi. Dalam kurun 1970-2000 terjadi industrialisasi yang cukup cepat, melambat pada kurun 2000-2010, dan berbalik arah setelah itu.
Dalam perekonomian yang sedang berkembang biasanya terjadi industrialisasi, yang pada tahap tertentu memang akan stagnan dalam artian porsi industri tak bertambah lagi di kisaran 30-40%. Bahkan dalam perekonomian yang sudah maju dan berkembang, porsi industri mulai menurun kembali, antara lain karena perkembangan “jasa modern” yang lebih cepat. Deindustrialisasi yang demikian terjadi setelah pendapatan per kapita masyarakatnya sangat tinggi, dan teknologi produksi industri pengolahan pun mencapai tahap lanjut.
Bab tiga membahas soal ketahanan pangan sebagai bagian penting dari fundamental ekonomi, tampak bahwa produksi tanaman pangan kurang cepat dan kurang beragam, dan impornya cenderung meningkat. Komoditas pangan yang lain, seperti daging dan susu, juga kurang tersedia memadai. Tumpuan ketersediaan daging hanya dari ayam buras pedaging dan buras petelur, yang produksinya memiliki komponen impor. Kecukupan pangan sejauh ini masih terpenuhi, namun lebih karena impor, sehingga masih rawan jika dilihat dari perspektif fundamental ekonomi.
Bab empat membahas salah satu aspek dari bagaimana cara barang dan jasa diproduksi, yaitu aspek faktor tenaga kerja. Penggunaan tenaga kerja masih cukup amat jauh dari optimal. Meskipun angka pengangguran perlahan menurun menjadi di kisaran 5%, namun jika ditambah dengan mereka yang bekerja tidak penuh masih amat besar, mencapai 33%. Angka pengangguran tersebut juga masih jauh dibawah era 1990an yang di kisaran 2-3%. Dijelaskan pula bahwa mayoritas pekerja masih dalam kondisi yang rentan dan berproduktivitas rendah.
Bab lima hingga bab sembilan akan lebih banyak membahas tentang aspek bagaimana, namun dengan pencermatan atas indikasi lain selain faktor tenaga kerja. Bab lima menjelaskan bagaimana investasi di Indonesia butuh penanaman modal asing yang makin besar. Ditambah dengan kebutuhan utang luar negeri pihak pemerintah dan pihak swata yang juga meningkat menciptakan ketergantungan terhadap transaksi internasional. Pada saat bersamaan, investasi dan utang luar negeri belum menunjukkan hasil yang menciptakan devisa secara berkesinambungan untuk membayar kembali kepada pihak luar negeri. Pembayaran masih mengandalkan dari arus investasi dan utang baru, ditunjukkan oleh defisit transaksi berjalan yang terus berlangsung. Kondisi demikian dapat diartikan lemahnya daya tahan ekonomi Indonesia terhadap gejolak ekonomi dan keuangan global. Bahkan segera terdampak hanya oleh meningkatnya ketidakpastian ekonomi global, atau sekadar perubahan kebijakan The Fed.   
Bab enam menguraikan tentang kondisi keuangan Pemerintah yang makin mengalami kesulitan, sehingga ruang fiskal untuk melakukan kebijakan pro ataupun antisiklikal menjadi terbatas. Peran pemerintah melalui anggaran menjadi berkurang efektivitasnya, dan bahkan jika tidak hati-hati akan membahayakan kesinambungan fiskalnya. Laju pendapatan nyaris tak bisa mengimbangi laju belanja dan laju pengeluaran pembiayaan. Posisi utang tampak masih aman jika dilihat dari rasionya atas PDB, namun cenderung terus meningkat. Dan yang lebih mengkhawatirkan sebenarnya adalah beban pembayaran bunga utang yang bertambah besar, disertai tingkat bunga yang meninggi.
Bab tujuh menguraikan tentang kondisi investasi, dan kondisi umum para pelaku usaha. Secara umum dinilai bahwa iklim investasi di Indonesia tidak bisa dikatakan buruk atau tidak sehat, namun juga belum dapat dikatakan baik. Investasi cenderung meningkat, namun tidak diikuti oleh peningkatan laju pertumbuhan ekonomi, yang bertahan di kisaran 5%, dan pada era pemerintahan sebelumnya pun rata-rata hanya 5,73% per tahun. Salah satu masalahnya adalah tingginya Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia, yang mencerminkan tingkat efisiensi yang masih rendah. Terjadi sedikit penurunan dalam tiga tahun terakhir, namun rasionya masih sebesar 6,3, lebih tinggi dari hampir semua negara ASEAN. Umumnya diakui bahwa ICOR yang ideal adalah mendekati atau di kisaran 3%.
Kebijakan investasi tampak belum mempertimbangkan hal-hal yang bersifat jangka panjang dan fundamental. Daya saing Indonesia memang sedikit membaik, namun lebih karena tingginya return dan kedisiplinan Indonesia dalam membayar utang dan kewajiban lainnya, serta stabilitas politik yang cukup baik. Beberapa hal yang mendasar belum cukup memadai ditangani, seperti: soal ketenagakerjaan, kepastian usaha, porsi peran BUMN, daftar negatif investasi, serta kebijakan atas usaha mikro dan usaha kecil.
Bab delapan menggambarkan kondisi yang disebut dengan stabilitas sistem keuangan. Pencermatan perkembangan beberapa indikator industri keuangan, terutama perbankan selama beberapa tahun terakhir, memang tampak ada perbaikan kebijakan yang signifikan dan lebih menjamin stabilitas. Akan tetapi karena faktor eksternal yang dihadapi oleh perekonomian nasional seperti yang dijelaskan pada bab lima, maka stabilitas tersebut belum cukup memadai. Dapat dinilai hanya tidak memperlemah fundamental. Ditambah faktor kesulitannya industri keuangan dalam mendorong perekonomian, yang ditandai oleh belum optimalnya fungsi intermediasi yang diperankan.
Bab sembilan yang membahas kondisi ketahanan energi pada dasarnya mencermati aspek bagaimana barang dan jasa diproduksi. Dalam hal ini tidak sepenuhnya fundamental ekonomi dapat dikatakan rapuh. Akan tetapi lebih pada uraian tentang potensi besar yang belum dimanfaatkan secara optimal. Salah satu kendala dalam optimalisasi itu adalah perkembangan teknologi yang belum cukup baik.
Bab sepuluh membicarakan aspek fundamental berkenaan dengan untuk siapa barang dan jasa diproduksi. Penjelasan fokus kepada soalan kemiskinan dan distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat. Suatu perekonomian yang berfundamental kuat dapat dipastikan memiliki ciri telah mampu mengatasi masalah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Selama satu dekade ini, jumlah penduduk miskin dan angka kemiskinannya telah cukup rendah, dan cenderung turun tiap tahun. Ketimpangan ekonomi memang tidak ekstrem dan tidak cenderung meningkat, namun juga tidak membaik secara berarti. Porsi yang diperoleh oleh kelompok terbawah memang tidak menjadi lebih kecil, namun relatif tidak bertambah. Uraian bab ini memperlihatkan bahwa masalah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi masih bersifat laten, dan dapat memburuk sewaktu-waktu.
Aspek untuk siapa barang dan jasa diproduksi sebenarnya mencakup pula apakah hasil produksi bisa diekspor secara menguntungkan, dan seberapa banyak surplus ekonomi yang dibawa ke luar negeri. Hal ini tidak dibahas lagi dalam bab 8, namun sempat disinggung pada bab 2 dan bab 5. Dalam hal ekspor, perekonomian Indonesia belum menunjukkan kinerja yang baik dan berdasar struktur yang kuat. Sedangkan dalam hal surplus ekonomi yang dibawa ke luar negeri, tercermin antara lain pada defisit neraca pendapatan primer yang meningkat.
Dari keseluruhan penjelasan tersebut, fundamental ekonomi Indonesia tidak bisa dikatakan kuat, justru tampak rapuh. Fundamental ekonomi yang rapuh dapat pula diartikan kondisi yang rentan terhadap gejolak ekonomi internasional. Bahkan, kebijakan The Fed saja sudah bisa berdampak besar. Begitu pula kebijakan perdagangan luar negeri Amerika dan negara-negara sekutunya. Kerentanan juga terasa jika dikaitkan dengan hubungan ekonomi dengan Tiongkok. Tiongkok menjadi mitra dagang utama Indonesia, baik dilihat dari sisi ekspor maupun impor. Hubungan dalam investasi pun makin meningkat.
Kelemahan fundamental ekonomi itu kadang tertutupi oleh kondisi perekonomian yang tampak cukup baik dilihat dari beberapa indikator makroekonomi. Akan tetapi kondisi yang lebih mendasar atau fundamental tersamarkan. Buku ini menunjukkan pencermatan yang lebih mendalam dan faktor yang lebih menyeluruh, serta dalam rentang waktu yang lebih panjang.
Meskipun penulis menilai fundamental ekonomi Indonesia saat ini rapuh, bukan berarti situasinya telah amat buruk dan tak berpengharapan untuk segera diperbaiki. Tiap bab tulisan sejatinya memberi gambaran pula akan apa yang dapat dan harusnya dibenahi, terutama melalui kebijakan otoritas ekonomi yang tepat.
Tulisan memang sengaja bernuansa “kritik keras” karena klaim yang juga berlebihan dari otoritas ekonomi. Untuk menghindari kesan putus asa, maka sebagian kritik dapat diartikan rekomendasi. Jika dinilai terjadi indstrialisasi prematur, berarti perlu dibenahi dengan merevitalisasi industri. Masalah pengangguran serta mayoritas pekerja berkondisi rentan dengan produktivitas rendah, berarti diperbaiki secara terencana dan terfokus. Faktor tenaga kerja dapat dimaknai bukan semata sebagai masalah mengurangi pengangguran, melainkan bagaimana mengoptimalkan faktor produksi yang tersedia sangat besar itu. Sederhananya, hampir semua kritik atau penilaian tentang jeleknya sesuatu di buku ini masih berpeluang besar dibenahi.  
Cara melihat persoalan fundamental dengan nuansa yang tidak “sepesimis” uraian sebelumnya diberikan pada bab sembilan. Bab ini tidak terkait langsung pada satu aspek tentang apa, bagaimana dan untuk siapa barang dan jasa diproduksi. Sepintas memang dekat pada aspek bagaimana, namun tinjauannya lebih pada salah satu potensi dan peluang besar bagi perbaikan fundamental ekonomi. Dibahas mengenai potensi sumber daya alam yang masih tersedia, perkembangan produksi dan konsumsi energi, serta selintas tentang perkembangan teknologi di Indonesia. Tantangan masih berat dalam pengelolaannya, namun peluang menjawabnya makin terbuka lebar. Jawaban atas tantangan dalam bidang tersebut akan sekaligus memperkuat fundamental ekonomi Indonesia.   
Kesimpulan terakhir dan terpenting dari buku ini, meski menilai perekonomian Indonesia rawan atas krisis atau gejolak global karena berfundamental rapuh, potensi dan asa perbaikan masih besar. Kerja keras semua anak bangsa, dipandu oleh kebijakan otoritas ekonomi yang tepat dan konsisten akan dapat memperkuat fundamental ekonomi dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan. Pada giliran berikutnya, dinamika ekonomi dengan fundamental yang kuat akan mampu mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rekomendasi Umum

Buku ini memberi rekomendasi secara umum tentang beberapa hal yang mendesak untuk segera dilakukan. Terutama oleh otoritas ekonomi, para pengambil kebijakan dan penanggung jawab pelaksanaan kebijakan. Di antaranya adalah hal-hal berikut:
1.   Otoritas ekonomi (Pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas jasa Keuangan) sebaiknya fokus untuk memperkuat fundamental ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Terutama fokus memperbaiki aspek produksi dalam perspektif jangka menengah dan panjang.
2.   Dalam jangka pendek, satu dua tahun ke depan, ancaman guncangan eksternal atau bahkan krisis ekonomi masih cukup besar, sehingga tetap perlu kehati-hatian dari otoritas ekonomi.
3.   Penguatan fundamental memerlukan bauran kebijakan (mix policy) dalam pengertian yang lebih luas dan menyeluruh dibanding yang disebut dalam laporan resmi saat ini.
4.   Sektor pertanian perlu mendapat prioritas utama untuk dibangun, diberi dukungan dan bantuan. Terutama subsektor tanaman pangan, subsektor perkebunan, dan subsektor peternakan.
5.   Pembangunan industri perlu direncanakan ulang dan diperkuat kebijakannya dalam kerangka industrialisasi yang berbasis keunggulan nasional dan lokalistik. Antara lain penguatan industri pengolahan hasil pertanian. Ada kebutuhan road map industrialisasi yang jelas dan dijadikan acuan secara konsisten.
6.   Kebijakan sektor riil harus lebih konsisten dan terarah, sehingga mampu memberi panduan bagi dunia usaha, serta lebih memberi kepastian dalam jangka panjang.
7.   Kebijakan fiskal perlu diubah paradigmatiknya, dari yang terlalu berorientasi “akuntansi” menjadi kepada outcome dan impact bagi ekonomi nasional. Kebijakan fiskal musti berperspektif jangka menengah dan panjang, memperhitungkan kesinambungan fiskal dalam arti sejatinya. Anggaran berbasis kinerja yang telah lama diakui, diterapkan secara lebih konsisten di semua proses penganggaran.
8.   Harmonisasi kebijakan fiskal, moneter dan perbankan masih sangat mendesak diperbaiki dan ditingkatkan. Dibutuhkan koordinasi yang lebih rutin dari sekadar pertemuan bulanan atau triwulan. Tidak hanya pada jajaran paling atas, namun mencakup jajaran tingkat strategis dan teknis.
9.   Kekayaan sumber daya, mineral, dan energi Indonesia masih cukup memberi harapan bagi penguatan fundamental ekonomi Indonesia. Perlu perbaikan kebijakan dan pengelolaannya agar lebih terarah dan berperspektif jangka panjang.
10. Perkembangan teknologi, termasuk teknologi informasi, masih memerlukan perhatian yang lebih serius. Perbaikan signifikan dalam hal ini menjadi salah satu syarat perbaikan fundamental ekonomi Indonesia.