Senin, 18 Februari 2019

UTANG LUAR NEGERI BUMN MENINGKAT PESAT


Defisit Transaksi Berjalan makin membesar dan menjadi sumber kerentanan sektor eksternal perekonomian Indonesia. Meskipun Pemerintah dan Bank Indonesia selalu mengatakan masih aman dan terkendali, namun tetap diakui bahwa hal ini merupakan tantangan yang musti diwaspadai.

Kinerja Transaksi Berjalan, dan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) secara keseluruhan, sebenarnya tak dapat difahami jika hanya melihat kondisi dalam satu tahun, apalagi satu triwulan. Beberapa pos pada suatu tahun adalah akibat transaksi tahun-tahun sebelumnya, dan berdampak setelahnya. Sebagai contoh utama adalah yang terkait dengan transaksi utang luar negeri (ULN). ULN yang diperoleh pemerintah atau swasta pada suatu tahun akan membawa masuk devisa, yang tercatat dalam Transaksi Finansial pada NPI. Akan tetapi pada saat harus dilakukan pelunasan dan pembayaran bunga, maka akan tercatat pula sebagai arus ke luar.

Tentu saja dapat diperdebatkan hasil bersih dikaitkan dengan apakah utang itu berhasil meningkatkan ekpor. Bagaimanapun, akibat yang bersifat segera adalah hal yang disebut pertama. Oleh karenanya, otoritas ekonomi sering mewaspadai perkembangan ULN. ULN Pemerintah langsung bisa dikontrol, sedangkan ULN swasta diawasi dan berusaha dipengaruhi dengan berbagai kebijakan. Indonesia telah berpengalaman buruk di masa lampau mengenai ULN swasta yang tak terkontrol.

ULN swasta tercatat tumbuh kembali dengan cepat dan melampaui utang pemerintah lagi sejak tahun 2012. Lajunya sempat sedikit melambat, namun kembali bertambah cepat pada tahun 2018. Posisinya pada akhir Desember 2018 sebesar USD190,62 miliat, melampaui ULN Pemerintah dan Bank Indonesia yang sebesar USD186,22 miliar. ULN Pemerintah saja tercatat sebesar USD183,20 miliar.



ULN yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dicatat oleh Bank Indonesia sebagai utang swasta, yang posisinya cenderung meningkat selama 11 tahun terakhir, meski sempat turun dalam beberapa tahun. Peningkatan signifikan terjadi sejak tahun 2011, dan posisi pada akhir Desember 2018 sebesar USD43,94 miliar. Terlepas dari kebutuhan dan manfaatnya, ULN BUMN kemudian ikut memberi tekanan pada Transaksi Berjalan dan Neraca Pembayaran Indonesia, karena harus membayar bunga dan cicilan.

Dilihat dari porsinya, ULN BUMN kini mencapai 23,05% dari total ULN swasta. Bandingkan dengan kondisi pada tahun 2007 yang masih 6.51% dan tahun 2010 sebesar 10,19%.



Jika diperhatikan, pertumbuhan sepanjang tahun 2018 adalah yang paling pesat, sebesar 32,16% dibanding tahun sebelumnya. Pertumbuhan paling tinggi adalah pada BUMN yang bukan Lembaga keuangan, yakni sebesar 41,10%.  Sedangkan bank BUMN hanya bertambah 18,46%, dan BUMN Lembaga keuangan nonbank justeru turun.



Peningkatan ULN BUMN tak dapat dilepaskan dari penugasannya untuk mendukung pembangunan sektor prioritas, seperti infrastruktur. Pihak terkait sering menjelaskan pula bahwa kenaikan utangnya diikuti kenaikan aset, kinerja, dan nilai perusahaan.

Dilihat dari denominasi ULN, maka porsi dolar Amerika masih amat dominan, mencapai 89,70% dari total ULN swasta. Porsi ini mengalami peningkatan dibanding tahun-tahun sebelumnya, seperti tahun 2007 (85,91%) dan pada tahun 2012 (87,43%). Dilihat dari aspek ini, pengaruh kurs rupiah atas dolar justeru makin besar terhadap beban utang.

Jika dilihat dari jangka waktu peminjaman, maka ULN swasta berjangka pendek (kurang dari sama dengan setahun) kini memiliki porsi sekitar 26,58%. Porsi ini memang cenderung stabil selama sebelas tahun terakhir. Namun, porsi lebih dari seperempat utang itu memberatkan jika kondisi ekonomi memburuk mendadak. Terutama jika depresiasi rupiah cukup signifikan, sementara korporasi swasta (termasuk BUMN) tersebut tidak memproduksi barang atau jasa yang diekspor.

Secara umum, kondisi terkini dari ULN swasta memang masih jauh lebih baik dibandingkan tahun 1997/1998. Masih terlihat aman jika dilihat dari besarnya cadangan devisa, kinerja NPI, dan bahkan tekanan atas Transaksi Berjalan yang tengah terjadi. Bank Indonesia pun dengan percaya diri mengatakan tentang keseluruhan ULN sebagai terkendali dan berstruktur sehat. Namun, kewaspadaan otoritas ekonomi atas dinamika ULN tetap diperlukan mengingat kondisi global belakangan ini yang masih mungkin akan menyulitkan di waktu mendatang. ULN BUMN mustinya salah satu yang bisa segera dikendalikan.

Salah satu yang perlu diwaspadai adlah masalah bisa saja timbul dari korporasi swasta dan BUMN secara individual ataupun suatu industri. Salah satu faktor krusialnya adalah jika mereka memiliki ULN dalam denominasi dolar Amerika, namun produksinya dijual dalam rupiah di pasar domestik. 

Selasa, 12 Februari 2019

TRANSAKSI FINANSIAL BERDAMPAK PADA PENDAPATAN PRIMER


Selain Transaksi Berjalan, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) juga mencakup Transaksi Finansial. yang mencatat perubahan kepemilikan aset dan kewajiban finansial luar negeri Indonesia. Transaksi finansial terdiri dari transaksi dalam rangka investasi langsung (direct investment), investasi portofolio (portfolio investment), derivatif financial (financial derivatives), dan investasi lainnya (other investment).

Investor langsung berharap untuk mendapatkan manfaat dari hak suaranya dalam manajemen perusahaan atau memperoleh akses terhadap sumber daya atau pasar di negara domisili perusahaan afiliasinya. NPI mencatat berdasarkan prinsip aset dan kewajiban. Investasi langsung di sisi aset adalah investasi penduduk Indonesia di luar negeri dalam bentuk modal ekuitas dengan batasan tertentu dan dalam bentuk instrumen utang kepada pihak terkait bukan penduduk. Sebaliknya, investasi langsung di sisi kewajiban adalah investasi bukan penduduk pada perusahaan di Indonesia dalam bentuk modal ekuitas dengan batasan tertentu dan dalam bentuk instrumen utang (debt instruments). Batasan tertentu keduanya berupa minimal kepemilikan saham 10%.

Investasi langsung sejak tahun 2005 selalu mengalami surplus, artinya modal asing masuk lebih banyak dibanding yang keluar dan penduduk Indonesia yang berinvestasi keluar. Meski nilainya berfluktuasi, namun cenderung membesar. Surplusnya pada tahun 2018 memang mengalami penurunan dibanding tahun 2016 dan 2017, yaitu sebesar USD13,84 miliar.


Investor portofolio cenderung lebih bersifat spekulatif dibanding investasi langsung, karena tidak memiliki pengaruh yang cukup dalam perusahaan tempatnya berinvestasi. Transaksi investasi portofolio adalah atas surat berharga, baik di pasar perdana ataupun di pasar sekunder. Transaksi terjadi di pasar finansial terorganisasi, melalui bursa ataupun di luar bursa. Investor portofolio terutama menimbang keamanan investasi, kemungkinan apresiasi nilainyai, dan imbal hasil yang diperoleh. Jika kondisi atau keadaan berubah, investor portofolio dapat dengan mudah menggeser investasi mereka ke wilayah lain.

Secara tahunan, investasi portofolio selalu mengalami surplus selama belasan tahun terakhir. Surplus pada tahun 2018 sebesar USD9,34 miliar merupakan yang terendah sejak tahun 2013.



NPI bagian investasi portofolio saat ini mempublikasikan pula masing-masing aset dan kewajiban tadi sebagai suatu sisi atau neraca. Perhatian besar biasanya ditujukan kepada catatan kewajiban dalam investasi portofolio, karena mencerminkan “potensi” untuk keluar.  Sebagai contoh sisi ini adalah pembelian asing atas surat utang negara serta penjualan kembali oleh mereka kepada penduduk.

Sisi kewajiban dalam investasi portofolio secara tahunan selalu mengalami surplus. Dengan kata lain, arus masuk devisa dari investor asing selalu surplus, meski nilainya fluktuatif. Surplus pada tahun 2018 mencapai USD14,51 miliar. Bisa dikatakan bahwa tidak atau belum ada arus balik investor asing melalui investasi portofolio. Hanya perlu diwaspadai tentang nilai arus masuknya yang secara triwulanan sempat mengalami penurunan cukup signifikan selama tiga triwulan pertama, dan baru melonjak pada triwulan keempat tahun 2018.


Secara umum tampak bahwa dinamika investasi portofolio amat mempengaruhi keseluruhan Neraca Pembayaran Indonesia sekitar sepuluh tahun terakhir. Pengaruhnya makin menentukan beberapa tahun ke depan. Bagian neraca lainnya tampak lebih stabil, tidak mudah membaik atau memburuk dalam jangka pendek. Ditambah kemudahan teknis dari jenis transaksi ini berbalik arah atau sekurangnya melambat. Catatan tentang posisi dari nilai investasi portofolio sisi kewajiban dipublikasikan oleh Bank Indonesia dalam Posisi Investasi Internasional, yang terakhir pada akhir triwulan III 2018 sebesar USD247,95 miliar. Meski nyaris mustahil akan mendadak balik ke luar negeri sejumlah itu, namun nilainya bersifat potensial.   

Selain investasi langsung portofolio dan investasi portofolio, ada derivatif finansial yang defisit sebesar USD73,88 juta dan dan investasi lainnya yang surplus sebesar USD2 miliar, sehingga secara Transaksi Finansial secara keseluruhan selama tahun 2018 mencatat surplus (arus masuk lebih besar) sebesar USD25,11 miliar.

Transaksi finansial cenderung selalu surplus dengan nilai cukup besar selama beberapa tahun terakhir, sehingga dapat “mengkompensasi” defisit dari Transaksi Berjalan. Dengan demikian, NPI dapat dipertahankan surplus, dan cadangan devisa masih terus bertambah, kecuali pada tahun 2018.



Salah satu yang perlu difahami, transaksi fianansial yang selalu surplus memberi “tekanan” pula pada NPI. Modal asing yang masuk musti mendapat kompensasi keuntungan dan bunga, yang dicatat dalam Neraca Pendapatan Primer, sebagai salah satu bagian dari transaksi berjalan. Defisit pendapatan primer cenderung meningkat, meski sedikit turun pada tahun 2018 yang masih mencapai USD30,42 miliar.



Oleh karena itu, mengelola Neraca Pembayaran berarti membangun ketahanan eksternal, sekaligus menentukan fundamental perekonomian negara. Tidak bisa dan mustinya tak boleh berperspektif jangka pendek, dan menjadi tanggung jawab Bank Indonesia Bersama Pemerintah. Sejauh ini, publik makin teredukasi dengan soalan APBN (termasuk utang pemerintah), namun masih amat minim pengetahuan tentang soalan ini. Hiruk copras capres pun kurang menyentuh topik tersebut.

Senin, 11 Februari 2019

TRANSAKSI BERJALAN: AMAN ATAU RAWAN?


Bank Indonesia mengatakan, “Perkembangan NPI pada 2018 secara keseluruhan menunjukkan ketahanan sektor eksternal yang tetap terkendali. Defisit neraca transaksi berjalan masih berada dalam batas yang aman, sebesar USD31,1 miliar atau 2,98% dari PDB.” Pernyataan ini perlu diperiksa dengan mencermati angka-angka dalam Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), dan terutama dalam transaksi berjalannya.   

Transaksi berjalan mencatat keluar masuknya devisa akibat perdagangan (transaksi) barang dan jasa. Ada empat bagian cakupan, yang sebetulnya berbentuk neraca juga, yaitu: 1. Barang (Goods); 2. Jasa-Jasa (Services); 3. Pendapatan Primer (Primary Income); dan 4. Pendapatan Sekunder (Secondary Income).

Neraca Barang mencakup transaksi ekspor dan impor barang dagangan umum, baik komoditas migas maupun nonmigas. Neraca barang selama periode tahun 2004 sampai dengan tahun 2017 selalu mencatatkan surplus. Nilainya sempat cenderung meningkat pada tahun 2013 – 2017, meski masih jauh lebih rendah dibandingkan kurun 2004 - 2011. Jika dicermati, kenaikan ekspor memang tidak pesat dan cenderung tak stabil. Surplus neraca barang terjadi lebih dikarenakan laju pertumbuhan impor yang lebih rendah. Dan untuk pertama kalinya mengalami defisit pada tahun 2018, sebesar USD431 juta.



Neraca jasa-jasa antara lain mencakup ekspor dan impor jasa manufaktur, jasa pemeliharaan dan perbaikan, jasa transportasi, jasa perjalanan, jasa konstruksi, jasa asuransi, jasa keuangan, dan lain-lain. Neraca ini selalu mengalami defisit, dengan nilai berfluktuasi, terutama karena pembayaran freight terkait ekspor dan impor barang. Ketergantungan pada jasa transportasi negara lain sudah lama berlangsung. Begitu pula dengan jasa lainnya yang berterkaitan, seperti asuransi. Kita hanya mengalami surplus dalam hal jasa perjalanan, karena wisman yang berkunjung jauh lebih banyak dibanding orang kita yang bepergian ke luar negeri. Defisitnya pada tahun 2018 sebesar USD7,10 miliar.



Neraca Pendapatan Primer mencatat transaksi dari penyediaan faktor produksi tenaga kerja dan modal finansial. Ada arus masuk (inflow) berupa hasil yang diperoleh dari penyediaan tenaga kerja Indonesia atau modal finansial Indonesia kepada bukan penduduk. Sedangkan arus keluar (outflow) merupakan biaya yang harus dibayar Indonesia karena memanfaatkan tenaga kerja atau modal finansial asing. Pada tahun 2018, defisit pendapatan primer mencapai USD30,42 miliar.

Contoh dari transaksi yang memiliki porsi besar dalam neraca pendapatan primer yang bersifat outflow antara lain adalah: keuntungan dari investasi langsung asing, pembayaran bunga surat utang pemerintah, dan pembayaran bunga pinjaman luar negeri. Selama tahun 2018, transaksi ini berupa pembayaran kepada pihak luar negeri sebesar USD39,58 miliar.

Kenaikan pembayaran pendapatan primer terutama sebagai konsekwensi dari transaksi finansial yang selalu surplus, akibat arus modal finansial asing (termasuk utang) yang terus masuk ke Indonesia. Arus masuk itu memperbaiki neraca pembayaran dan menambah cadangan devisa pada tahun bersangkutan.  Namun, kompensasinya akan berupa pembayaran pada bagian neraca Pendapatan Primer pada waktu berikutnya.



Neraca Pendapatan Sekunder mencakup penerimaan dan pembayaran transfer berjalan oleh sektor pemerintah dan sektor lainnya, dan transfer dari tenaga kerja. Antara lain mencatat transfer dana dari tenaga kerja yang bekerja di luar negeri, dan sebaliknya dari tenaga kerja asing. Kondisinya selalu mengalami surplus, dan mencapai USD6,89 miliar pada tahun 2018. Surplus terutama disumbang oleh remitansi TKI, yang mencapai USD10,97 miliar.



Secara keseluruhan, Transaksi Berjalan selama kurun tahun 2004 - 2011 selalu surplus, dengan nilai berfluktuasi. Sejak tahun 2012, selalu mengalami defisit hingga mencapai rekor pada tahun 2018.




Meskipun Bank Indonesia menilai kondisi yang demikian masih aman dan terkendali, tampaknya bisa saja diartikan sebaliknya. Pandangan yang umum tentang ciri kuatnya ketahanan eksternal adalah kecenderungan transaksi berjalan yang mengalami surplus. Kecenderungan adalah kondisi sekitar 5 tahun atau lebih. Alasannya, surplus neraca yang menambah devisa itu bersumber dari produksi, bukan dari sesuatu yang menimbulkan kewajiban untuk dibayar seperti utang atau penanaman modal asing. Terjaganya kecukupan devisa berasal dari sumber-sumber yang fundamental, karena produksi barang dan jasa. Wajar jika selama beberapa triwulan atau satu-dua tahun mengalami defisit, sebagai bagian dari dinamika pasar. Namun, hal ini telah berlangsung selama 7 tahun berturut-turut dengan kecenderungan defisit yang membesar. Lebih mungkin untuk mengatakan ketahanan eksternal kita sebagai rawan atau rentan.

Sabtu, 09 Februari 2019

KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN DI PERDESAAN CENDERUNG MEMBURUK


Pemerintah era Jokowi mengedepankan fakta penurunan angka kemiskinan disertai klaim sebagai prestasi luar biasa.  Begitu juga klaim tentang penurunan ketimpangan ekonomi dengan menyebut indeks gini yang turun. Namun, klaim tersebut perlu diuji dengan pencermatan lebih teliti atas data. Salah satunya tentang data kemiskinan dan ketimpangan di wilayah perdesaan.

Angka kemiskinan dan jumlah penduduk miskin memang turun pada tahun 2018 dibanding tahun 2014, namun fenomena berbeda terjadi pada kelompok sangat miskin. Salah satu dari lima pengelompokkan penduduk berdasar pengeluaran disebut sangat miskin. Sangat miskin adalah mereka yang memiliki pengeluaran dibawah 0,8 kali garis kemiskinan. Angka Sangat miskin biasanya hanya dipublikasi untuk kondisi Maret, karena data susenas yang memiliki sampel jauh lebih besar dibanding September. Penduduk sangat miskin bertambah dari 8.826 ribu menjadi 9.438 ribu orang, dan naik dari 3,57% menjadi 3,57% dari total penduduk. Dan khusus di perdesaan, mereka yang sangat miskin bertambah dari 5.833 ribu menjadi 6.018 ribu orang, dan secara persentasi dari 4,65% menjadi 5,17%.


Bertambahnya jumlah dan persentasi penduduk sangat miskin di perdesaan ini diperburuk oleh fakta tentang meningkatnya kedalaman dan keparahan kemiskinan. BPS menghitung dan menyajikan data tentang itu dengan memakai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1). Makin tinggi nilai P1, makin jauh rata-rata pengeluaran dari garis kemiskinan. P1 perdesaan perlahan terus memburuk, dari 2,25 (September 2014) menjadi 2,32 (September 2018).


Dalam hal distribusi diantara penduduk miskin, BPS memakai Indeks Keparahan Kemiskinan (P2). Semakin tinggi nilai indeks (P2), semakin terjadi ketimpangan antar penduduk miskin itu sendiri. P2 perdesaan perlahan memburuk, dari 0,57(September 2014) menjadi 0,62 (September 2018). Sebagian penduduk miskin di desa memiliki pengeluaran yang jauh lebih kecil dibanding penduduk miskin lainnya. Ini sejalan dengan P1 perdesaan yang juga memburuk, atau bertambahnya penduduk yang miskin sekali.  


Sebagaimana umum difahami, distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan yang diakui penting dilihat sebagai ukuran kemiskinan relatif atau ukuran ketimpangan antar kelompok penduduk. BPS masih kesulitan memperoleh data pendapatan sehingga pengukuran distribusi pendapatan didekati memakai data pengeluaran. Perhitungan BPS tentang hal ini yang populer dan dikedepankan oleh Pemerintah adalah indeks Gini atau Gini Ratio. Sebenarnya, BPS menghitung dan mempublikasikan beberapa ukuran ketimpangan lainnya, seperti: Indeks Theil, Indeks-L, kriteria Bank Dunia, dan rasio kuintil tertinggi dengan terendah.

Indeks-L adalah indikator ketimpangan pengeluaran yang lebih sensitif untuk melihat perubahan distribusi pengeluaran penduduk pada kelompok bawah (penduduk miskin). Lebih sensitif itu maksudnya, perubahan porsi pada kelompok bawah lebih berdampak pada besaran angka indikator. Sebagai perbandingan, gini ratio lebih sensitif pada kelompok tengah. Indeks-L juga dibaca makin timpang jika makin besar. Indeks-L pada 2018 di perdesaan justeru sedikit meningkat, dari 0,165 menjadi 0,173.


BPS juga menghitung dan mempublikasikan distribusi pengeluaran penduduk menurut kriteria Bank Dunia. Antara lain, dihitung berapa porsi (%) 40% kelompok terbawah dari total pengeluaran penduduk. Berdasar ukuran ini, kondisi ketimpangan di perdesaan masih memburuk. Porsi 40% penduduk terbawah di perdesaan berkurang dari 20,94% (2014) menjadi 20,15% (2018).


Indikator lainnya dari BPS tentang ketimpangan adalah melihat porsi kuintil terbawah dan rasio dari kuintil teratas dibanding yang terbawah. Basis datanya serupa dengan kriteria Bank Dunia dari BPS. Penduduk dibagi menjadi lima kelompok pengeluaran (satu kuintil sama dengan 20% penduduk), mulai dari kuintil terendah (Q1) sampai dengan kuintil tertinggi (Q5). Jika rasio dari Q5/Q1 makin besar berarti ketimpangan pendapatan/pengeluaran semakin tinggi.

Sebagai contoh perhitungan kondisi Maret 2018 di perdesaan, Q1 memiliki porsi 7,98% dari total pengeluaran, sedangkan Q5 memiliki porsi 40,26%. Rasio Q5 dibagi Q1 adalah 5,05. Dapat dibaca, 20% penduduk teratas memiliki pengeluaran 5,05 kali lipat dari 20% yang terbawah. Kondisi itu lebih buruk dibanding Maret 2014, porsi Q1 sebesar 8,70%. Jatah mereka yang terbawah makin tergerus. Sedangkan rasio Q5/Q1 mengalami kenaikan, dari 4,67(2014), atau ketimpangan di perdesaan meningkat.


Dengan demikian, selama periode 2014 hingga 2018, sebagian ukuran tentang kemiskinan dan ketimpangan di perdesaan memang membaik. Namun, sebagian besar ukuran lainnya justeru memburuk.

Minggu, 03 Februari 2019

PENDAPATAN NEGARA DAN TAX RATIO

Realisasi pendapatan negara yang berhasil melampui target APBN 2018 menjadi satu hal yang dibanggakan oleh Kementerian Keuangan kini. Setelah keterangan pers terkait, dikemukakan kembali dalam dokumen APBN KITA edisi terbaru disertai narasi bernuansa klaim kinerja yang sangat baik. Disebutkan bahwa untuk pertama kalinya sejak tahun 2011, realisasi pendapatan negara berhasil melampui target yang ditetapkan dalam APBN (102,5%).  

APBN KITA juga mengatakan: “Sepanjang tahun 2018, penerimaan pajak mencapai Rp1.315,9 triliun, atau tumbuh 14,3% (15,5 % di luar Tax Amnesty). Capaian pertumbuhan di tahun 2018 ini merupakan yang tertinggi dalam tujuh tahun terakhir.”

Ada baiknya kita mencermati lebih jauh tentang capaian pendapatan negara tahun 2018 serta capaian beberapa tahun era Presiden Jokowi. Capaian 102,5% itu memang lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya selama era pemerintahan Jokowi, namun secara rata-rata era ini justeru lebih rendah. Sebagaimana yang tampak pada gambar.


Pada tahun 2018, pendapatan negara yang betul-betul jauh melampaui target adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang mencapai 147,79%. PNBP yang meningkat pesat disebabkan penerimaan Sumber Daya Alam (SDA). Penerimaan SDA mencapai Rp181,06 triliun atau 174,65% dari targetnya, dan mengalami pertumbuhan sebesar 62,93% dari capaian tahun 2017. Penerimaan SDA migas mencapai 178,31% dari target, ditambah Penerimaan SDA Minerba yang mencapai 169,72% dari target. Kenaikan penerimaan SDA Migas tersebut terutama disebabkan karena realisasi harga migas (ICP) sebesar USD67,47 per barel jauh melampaui asumsi APBN yang sebesar USD48 per barel.

Telah menjadi pengetahuan umum, ICP bukan lah sesuatu yang dapat dikelola oleh Pemerintah. Pemerintah bahkan mengakui bahwa hal ini disebut sebagai windfall atau semacam durian runtuh. Bukan prestasi kinerja yang perlu dibanggakan secara berlebihan. “Keberuntungan” lain adalah realisasi kurs rupiah sebesar Rp14.247 per USD, sedangkan asumsinya Rp13.400. Selisih berupa pelemahan ini cukup signifikan menaikkan pendapatan, melalui berbagai pos. Dan meski berpengaruh pula pada belanja, secara neto tetap berdampak positif atau menambah surplus.

Selama empat tahun era Presiden Jokowi, faktor penerimaan SDA ini sempat berdampak buruk pada tahun 2015 dan 2016, sehingga tidak mencapai target. Kemudian pada tahun 2017 dan 2018 berbalik arah memberi keberuntungan dan melampaui target. Pencapaian penerimaan SDA dibanding targetnya berturut-turut adalah: 84,91% (2015) 71,70% (2016), 116,19% (2017), dan 174,65% (2018).

Penerimaaan pajak (tidak termasuk bea dan cukai) memang mengalami peningkatan yang signfikan dibanding tahun sebelumnya. Bahkan kenaikannya tertinggi selama tujuh tahun terakhir. Meskipun demikian, hanya mencapai 92,41% dari target. Dan khusus pajak penghasilan, yang bisa dikatakan membutuhkan upaya atau effort paling besar dari aparat fiskus, penerimaan hanya mencapai 87,88% dari target. Jika ditelisik lebih dalam, capaian itu amat terbantu dari PPh migas yang jauh melampaui target, yang kembali karena diuntungkan oleh fenomena harga ICP dan kurs rupiah. Sedangkan PPh nonmigas hanya mencatatkan capaian sebesar 84,06%.

Bagaimanapun, penerimaan perpajakan cenderung mengalami kenaikan selama periode 2015-2018. Capaian dari target APBN pun terus membaik. Capaiannya masih lebih rendah dibanding target APBN pada tahun bersangkutan, yaitu: 83,29% (2015), 83,48% (2016), 91,23% (2017), dan 94,02% (2018). Khusus capaian penerimaan pajak dilaporkan lebih rendah, diimbangi oleh capaian penerimaan bea dan penerimaan cukai yang cukup tinggi.


Dinamika penerimaan pajak, penerimaan perpajakan dan penerimaan SDA ini digambarkan pula oleh apa yang disebut sebagai tax ratio. Pengertian aslinyanya adalah rasio penerimaan pajak terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Dalam konteks APBN Indonesia penerimaan pajak diperluas menjadi penerimaan perpajakan (pajak, bea dan cukai), karena ada pemisahan bagian birokrasi yang mengelolanya, yaitu ditjen Pajak dan ditjen Bea Cukai dalam Kementerian Keuangan. Sedangkan PDB merupakan indikator pendapatan nasional, yaitu pendapatan atau produksi seluruh pelaku ekonomi (pemerintah, korporasi, dan rakyat) dalam wilayah domestik negara Indonesia. Sebagai contoh, dalam perhitungan realisasi sementara APBN tahun 2018 dicatat penerimaan perpajakan sebesar Rp1.521,4 triliun. Sedangkan PDB diprakirakan sebesar Rp14.735,85 triliun (PDB). Maka rasio dinyatakan dalam persentase adalah sebesar 10,32%.

Sejak APBN 2016, definisi rasio yang demikian mengalami perubahan. Menkeu mengusulkan dan diterima oleh DPR, menambahkan penerimaan SDA, baik migas maupun nonmigas yang sebenarnya tercatat sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam APBN. Contoh perhitungannya untuk realisasi sementara tahun 2018 adalah penerimaan SDA sebesar Rp181,06 triliun, yang jika ditambahkan dengan penerimaan perpajakan sebesar Rp1.521,4 triliun tadi, maka jumlahnya menjadi Rp1.702,45 triliun. Sehingga rasionya dengan PDB menjadi 11,55%.

Semula perhitungan baru ini dikenalkan dengan istilah tax ratio dalam arti luas, sedangkan yang lama atau dijelaskan pertama disebut sebagai tax ratio dalam arti sempit. Belakangan, Pemerintah nyaris tak pernah menyebut yang dalam arti sempit lagi.

Tidak ada masalah dengan perubahan definisi, dan bagaimanapun semua penerimaan itu merupakan kinerja Pemerintah. Hanya saja jika mau membandingkan untuk kurun waktu yang panjang, perlu dilakukan secara fair, dengan pengertian yang serupa. Jika mengutip berita media, yang memberitakan keterangan pejabat, biasanya kurang jelas tentang hal ini. Apalagi jika keterangan pers atau dokumen pemerintah agak “menyamarkan”, maka bisa saja dikatakan bahwa tax ratio 2018 mencapai 11,55% telah melampaui tahun 2014 yang sebesar 11,40%. Padahal angka tahun 2014 itu dalam arti sempit, sedang yang 2018 dalam arti luas. Perbandingannya yang fair, tax ratio dalam arti sempit adalah 10,32% (2018) berbanding dengan 11,40% (2014). Sedangkan tax ratio dalam arti luas adalah 11,55% (2018) berbanding dengan 13,7% (2014).


Dalam definisi manapun, tax ratio mengalami penurunan jika membandingkan tahun 2018 dengan 2018. Harus diakui, kondisi pendapatan negara, penerimaan perpajakan, dan tax ratio tahun 2018 membaik dibanding tahun 2015 hingga tahun 2017. Namun narasi seolah prestasi kerja yang sangat baik apalagi luar biasa, jelas berlebihan.