Pemerintah era Jokowi mengedepankan fakta penurunan angka kemiskinan
disertai klaim sebagai prestasi luar biasa.
Begitu juga klaim tentang penurunan ketimpangan ekonomi dengan menyebut indeks
gini yang turun. Namun, klaim tersebut perlu diuji dengan pencermatan lebih teliti
atas data. Salah satunya tentang data kemiskinan dan ketimpangan di wilayah
perdesaan.
Angka kemiskinan dan jumlah penduduk miskin memang turun
pada tahun 2018 dibanding tahun 2014, namun fenomena berbeda terjadi pada
kelompok sangat miskin. Salah satu dari lima pengelompokkan penduduk berdasar
pengeluaran disebut sangat miskin. Sangat miskin adalah mereka yang memiliki
pengeluaran dibawah 0,8 kali garis kemiskinan. Angka Sangat miskin biasanya
hanya dipublikasi untuk kondisi Maret, karena data susenas yang memiliki sampel
jauh lebih besar dibanding September. Penduduk sangat miskin bertambah dari
8.826 ribu menjadi 9.438 ribu orang, dan naik dari 3,57% menjadi 3,57% dari
total penduduk. Dan khusus di perdesaan, mereka yang sangat miskin bertambah
dari 5.833 ribu menjadi 6.018 ribu orang, dan secara persentasi dari 4,65%
menjadi 5,17%.
Bertambahnya jumlah dan persentasi penduduk sangat miskin di
perdesaan ini diperburuk oleh fakta tentang meningkatnya kedalaman dan
keparahan kemiskinan. BPS menghitung dan menyajikan data tentang itu dengan
memakai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1). Makin tinggi nilai P1, makin jauh
rata-rata pengeluaran dari garis kemiskinan. P1 perdesaan perlahan terus memburuk,
dari 2,25 (September 2014) menjadi 2,32 (September 2018).
Dalam hal distribusi diantara penduduk miskin, BPS memakai
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2). Semakin tinggi nilai indeks (P2), semakin
terjadi ketimpangan antar penduduk miskin itu sendiri. P2 perdesaan perlahan memburuk,
dari 0,57(September 2014) menjadi 0,62 (September 2018). Sebagian penduduk
miskin di desa memiliki pengeluaran yang jauh lebih kecil dibanding penduduk
miskin lainnya. Ini sejalan dengan P1 perdesaan yang juga memburuk, atau bertambahnya
penduduk yang miskin sekali.
Sebagaimana umum difahami, distribusi pendapatan merupakan
salah satu aspek kemiskinan yang diakui penting dilihat sebagai ukuran
kemiskinan relatif atau ukuran ketimpangan antar kelompok penduduk. BPS masih
kesulitan memperoleh data pendapatan sehingga pengukuran distribusi pendapatan
didekati memakai data pengeluaran. Perhitungan BPS tentang hal ini yang populer
dan dikedepankan oleh Pemerintah adalah indeks Gini atau Gini Ratio. Sebenarnya, BPS menghitung dan mempublikasikan beberapa
ukuran ketimpangan lainnya, seperti: Indeks Theil, Indeks-L, kriteria Bank
Dunia, dan rasio kuintil tertinggi dengan terendah.
Indeks-L adalah indikator ketimpangan pengeluaran yang lebih
sensitif untuk melihat perubahan distribusi pengeluaran penduduk pada kelompok
bawah (penduduk miskin). Lebih sensitif itu maksudnya, perubahan porsi pada
kelompok bawah lebih berdampak pada besaran angka indikator. Sebagai
perbandingan, gini ratio lebih sensitif pada kelompok tengah. Indeks-L juga
dibaca makin timpang jika makin besar. Indeks-L pada 2018 di perdesaan justeru
sedikit meningkat, dari 0,165 menjadi 0,173.
BPS juga menghitung dan mempublikasikan distribusi
pengeluaran penduduk menurut kriteria Bank Dunia. Antara lain, dihitung berapa
porsi (%) 40% kelompok terbawah dari total pengeluaran penduduk. Berdasar
ukuran ini, kondisi ketimpangan di perdesaan masih memburuk. Porsi 40% penduduk
terbawah di perdesaan berkurang dari 20,94% (2014) menjadi 20,15% (2018).
Indikator lainnya dari BPS tentang ketimpangan adalah
melihat porsi kuintil terbawah dan rasio dari kuintil teratas dibanding yang
terbawah. Basis datanya serupa dengan kriteria Bank Dunia dari BPS. Penduduk
dibagi menjadi lima kelompok pengeluaran (satu kuintil sama dengan 20% penduduk),
mulai dari kuintil terendah (Q1) sampai dengan kuintil tertinggi (Q5). Jika
rasio dari Q5/Q1 makin besar berarti ketimpangan pendapatan/pengeluaran semakin
tinggi.
Sebagai contoh perhitungan kondisi Maret 2018 di perdesaan,
Q1 memiliki porsi 7,98% dari total pengeluaran, sedangkan Q5 memiliki porsi
40,26%. Rasio Q5 dibagi Q1 adalah 5,05. Dapat dibaca, 20% penduduk teratas
memiliki pengeluaran 5,05 kali lipat dari 20% yang terbawah. Kondisi itu lebih
buruk dibanding Maret 2014, porsi Q1 sebesar 8,70%. Jatah mereka yang terbawah
makin tergerus. Sedangkan rasio Q5/Q1 mengalami kenaikan, dari 4,67(2014), atau
ketimpangan di perdesaan meningkat.
Dengan demikian, selama periode 2014 hingga 2018, sebagian
ukuran tentang kemiskinan dan ketimpangan di perdesaan memang membaik. Namun,
sebagian besar ukuran lainnya justeru memburuk.