Bank Indonesia mengatakan, “Perkembangan NPI pada 2018
secara keseluruhan menunjukkan ketahanan sektor eksternal yang tetap
terkendali. Defisit neraca transaksi berjalan masih berada dalam batas yang
aman, sebesar USD31,1 miliar atau 2,98% dari PDB.” Pernyataan ini perlu diperiksa
dengan mencermati angka-angka dalam Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), dan
terutama dalam transaksi berjalannya.
Transaksi berjalan mencatat keluar masuknya devisa akibat
perdagangan (transaksi) barang dan jasa. Ada empat bagian cakupan, yang
sebetulnya berbentuk neraca juga, yaitu: 1. Barang (Goods); 2. Jasa-Jasa (Services);
3. Pendapatan Primer (Primary Income);
dan 4. Pendapatan Sekunder (Secondary Income).
Neraca Barang mencakup transaksi ekspor dan impor barang
dagangan umum, baik komoditas migas maupun nonmigas. Neraca barang selama
periode tahun 2004 sampai dengan tahun 2017 selalu mencatatkan surplus. Nilainya
sempat cenderung meningkat pada tahun 2013 – 2017, meski masih jauh lebih
rendah dibandingkan kurun 2004 - 2011. Jika dicermati, kenaikan ekspor memang
tidak pesat dan cenderung tak stabil. Surplus neraca barang terjadi lebih
dikarenakan laju pertumbuhan impor yang lebih rendah. Dan untuk pertama kalinya
mengalami defisit pada tahun 2018, sebesar USD431 juta.
Neraca jasa-jasa antara lain mencakup ekspor dan impor jasa
manufaktur, jasa pemeliharaan dan perbaikan, jasa transportasi, jasa
perjalanan, jasa konstruksi, jasa asuransi, jasa keuangan, dan lain-lain.
Neraca ini selalu mengalami defisit, dengan nilai berfluktuasi, terutama karena
pembayaran freight terkait ekspor dan impor barang. Ketergantungan pada jasa
transportasi negara lain sudah lama berlangsung. Begitu pula dengan jasa
lainnya yang berterkaitan, seperti asuransi. Kita hanya mengalami surplus dalam
hal jasa perjalanan, karena wisman yang berkunjung jauh lebih banyak dibanding
orang kita yang bepergian ke luar negeri. Defisitnya pada tahun 2018 sebesar
USD7,10 miliar.
Neraca Pendapatan Primer mencatat transaksi dari penyediaan
faktor produksi tenaga kerja dan modal finansial. Ada arus masuk (inflow) berupa hasil yang diperoleh dari
penyediaan tenaga kerja Indonesia atau modal finansial Indonesia kepada bukan
penduduk. Sedangkan arus keluar (outflow)
merupakan biaya yang harus dibayar Indonesia karena memanfaatkan tenaga kerja
atau modal finansial asing. Pada tahun 2018, defisit pendapatan primer mencapai
USD30,42 miliar.
Contoh dari transaksi yang memiliki porsi besar dalam neraca
pendapatan primer yang bersifat outflow
antara lain adalah: keuntungan dari investasi langsung asing, pembayaran bunga
surat utang pemerintah, dan pembayaran bunga pinjaman luar negeri. Selama tahun
2018, transaksi ini berupa pembayaran kepada pihak luar negeri sebesar USD39,58
miliar.
Kenaikan pembayaran pendapatan primer terutama sebagai
konsekwensi dari transaksi finansial yang selalu surplus, akibat arus modal finansial
asing (termasuk utang) yang terus masuk ke Indonesia. Arus masuk itu memperbaiki
neraca pembayaran dan menambah cadangan devisa pada tahun bersangkutan. Namun, kompensasinya akan berupa pembayaran
pada bagian neraca Pendapatan Primer pada waktu berikutnya.
Neraca Pendapatan Sekunder mencakup penerimaan dan
pembayaran transfer berjalan oleh sektor pemerintah dan sektor lainnya, dan
transfer dari tenaga kerja. Antara lain mencatat transfer dana dari tenaga
kerja yang bekerja di luar negeri, dan sebaliknya dari tenaga kerja asing.
Kondisinya selalu mengalami surplus, dan mencapai USD6,89 miliar pada tahun
2018. Surplus terutama disumbang oleh remitansi TKI, yang mencapai USD10,97 miliar.
Secara keseluruhan, Transaksi Berjalan selama kurun tahun
2004 - 2011 selalu surplus, dengan nilai berfluktuasi. Sejak tahun 2012, selalu
mengalami defisit hingga mencapai rekor pada tahun 2018.
Meskipun Bank Indonesia menilai kondisi yang demikian masih
aman dan terkendali, tampaknya bisa saja diartikan sebaliknya. Pandangan yang
umum tentang ciri kuatnya ketahanan eksternal adalah kecenderungan transaksi
berjalan yang mengalami surplus. Kecenderungan adalah kondisi sekitar 5 tahun
atau lebih. Alasannya, surplus neraca yang menambah devisa itu bersumber dari
produksi, bukan dari sesuatu yang menimbulkan kewajiban untuk dibayar seperti
utang atau penanaman modal asing. Terjaganya kecukupan devisa berasal dari
sumber-sumber yang fundamental, karena produksi barang dan jasa. Wajar jika selama
beberapa triwulan atau satu-dua tahun mengalami defisit, sebagai bagian dari
dinamika pasar. Namun, hal ini telah berlangsung selama 7 tahun berturut-turut dengan
kecenderungan defisit yang membesar. Lebih mungkin untuk mengatakan ketahanan
eksternal kita sebagai rawan atau rentan.