Senin, 11 Februari 2019

TRANSAKSI BERJALAN: AMAN ATAU RAWAN?


Bank Indonesia mengatakan, “Perkembangan NPI pada 2018 secara keseluruhan menunjukkan ketahanan sektor eksternal yang tetap terkendali. Defisit neraca transaksi berjalan masih berada dalam batas yang aman, sebesar USD31,1 miliar atau 2,98% dari PDB.” Pernyataan ini perlu diperiksa dengan mencermati angka-angka dalam Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), dan terutama dalam transaksi berjalannya.   

Transaksi berjalan mencatat keluar masuknya devisa akibat perdagangan (transaksi) barang dan jasa. Ada empat bagian cakupan, yang sebetulnya berbentuk neraca juga, yaitu: 1. Barang (Goods); 2. Jasa-Jasa (Services); 3. Pendapatan Primer (Primary Income); dan 4. Pendapatan Sekunder (Secondary Income).

Neraca Barang mencakup transaksi ekspor dan impor barang dagangan umum, baik komoditas migas maupun nonmigas. Neraca barang selama periode tahun 2004 sampai dengan tahun 2017 selalu mencatatkan surplus. Nilainya sempat cenderung meningkat pada tahun 2013 – 2017, meski masih jauh lebih rendah dibandingkan kurun 2004 - 2011. Jika dicermati, kenaikan ekspor memang tidak pesat dan cenderung tak stabil. Surplus neraca barang terjadi lebih dikarenakan laju pertumbuhan impor yang lebih rendah. Dan untuk pertama kalinya mengalami defisit pada tahun 2018, sebesar USD431 juta.



Neraca jasa-jasa antara lain mencakup ekspor dan impor jasa manufaktur, jasa pemeliharaan dan perbaikan, jasa transportasi, jasa perjalanan, jasa konstruksi, jasa asuransi, jasa keuangan, dan lain-lain. Neraca ini selalu mengalami defisit, dengan nilai berfluktuasi, terutama karena pembayaran freight terkait ekspor dan impor barang. Ketergantungan pada jasa transportasi negara lain sudah lama berlangsung. Begitu pula dengan jasa lainnya yang berterkaitan, seperti asuransi. Kita hanya mengalami surplus dalam hal jasa perjalanan, karena wisman yang berkunjung jauh lebih banyak dibanding orang kita yang bepergian ke luar negeri. Defisitnya pada tahun 2018 sebesar USD7,10 miliar.



Neraca Pendapatan Primer mencatat transaksi dari penyediaan faktor produksi tenaga kerja dan modal finansial. Ada arus masuk (inflow) berupa hasil yang diperoleh dari penyediaan tenaga kerja Indonesia atau modal finansial Indonesia kepada bukan penduduk. Sedangkan arus keluar (outflow) merupakan biaya yang harus dibayar Indonesia karena memanfaatkan tenaga kerja atau modal finansial asing. Pada tahun 2018, defisit pendapatan primer mencapai USD30,42 miliar.

Contoh dari transaksi yang memiliki porsi besar dalam neraca pendapatan primer yang bersifat outflow antara lain adalah: keuntungan dari investasi langsung asing, pembayaran bunga surat utang pemerintah, dan pembayaran bunga pinjaman luar negeri. Selama tahun 2018, transaksi ini berupa pembayaran kepada pihak luar negeri sebesar USD39,58 miliar.

Kenaikan pembayaran pendapatan primer terutama sebagai konsekwensi dari transaksi finansial yang selalu surplus, akibat arus modal finansial asing (termasuk utang) yang terus masuk ke Indonesia. Arus masuk itu memperbaiki neraca pembayaran dan menambah cadangan devisa pada tahun bersangkutan.  Namun, kompensasinya akan berupa pembayaran pada bagian neraca Pendapatan Primer pada waktu berikutnya.



Neraca Pendapatan Sekunder mencakup penerimaan dan pembayaran transfer berjalan oleh sektor pemerintah dan sektor lainnya, dan transfer dari tenaga kerja. Antara lain mencatat transfer dana dari tenaga kerja yang bekerja di luar negeri, dan sebaliknya dari tenaga kerja asing. Kondisinya selalu mengalami surplus, dan mencapai USD6,89 miliar pada tahun 2018. Surplus terutama disumbang oleh remitansi TKI, yang mencapai USD10,97 miliar.



Secara keseluruhan, Transaksi Berjalan selama kurun tahun 2004 - 2011 selalu surplus, dengan nilai berfluktuasi. Sejak tahun 2012, selalu mengalami defisit hingga mencapai rekor pada tahun 2018.




Meskipun Bank Indonesia menilai kondisi yang demikian masih aman dan terkendali, tampaknya bisa saja diartikan sebaliknya. Pandangan yang umum tentang ciri kuatnya ketahanan eksternal adalah kecenderungan transaksi berjalan yang mengalami surplus. Kecenderungan adalah kondisi sekitar 5 tahun atau lebih. Alasannya, surplus neraca yang menambah devisa itu bersumber dari produksi, bukan dari sesuatu yang menimbulkan kewajiban untuk dibayar seperti utang atau penanaman modal asing. Terjaganya kecukupan devisa berasal dari sumber-sumber yang fundamental, karena produksi barang dan jasa. Wajar jika selama beberapa triwulan atau satu-dua tahun mengalami defisit, sebagai bagian dari dinamika pasar. Namun, hal ini telah berlangsung selama 7 tahun berturut-turut dengan kecenderungan defisit yang membesar. Lebih mungkin untuk mengatakan ketahanan eksternal kita sebagai rawan atau rentan.