APBN KITA juga mengatakan: “Sepanjang tahun 2018, penerimaan
pajak mencapai Rp1.315,9 triliun, atau tumbuh 14,3% (15,5 % di luar Tax Amnesty). Capaian pertumbuhan di
tahun 2018 ini merupakan yang tertinggi dalam tujuh tahun terakhir.”
Ada baiknya kita mencermati lebih jauh tentang capaian
pendapatan negara tahun 2018 serta capaian beberapa tahun era Presiden Jokowi. Capaian 102,5% itu memang lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya selama era pemerintahan Jokowi, namun secara rata-rata era ini justeru lebih rendah. Sebagaimana yang tampak pada gambar.
Pada tahun 2018, pendapatan negara yang betul-betul jauh melampaui target adalah
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang mencapai 147,79%. PNBP yang meningkat pesat disebabkan penerimaan Sumber Daya
Alam (SDA). Penerimaan SDA mencapai Rp181,06 triliun atau 174,65% dari
targetnya, dan mengalami pertumbuhan sebesar 62,93% dari capaian tahun 2017.
Penerimaan SDA migas mencapai 178,31% dari target, ditambah Penerimaan SDA
Minerba yang mencapai 169,72% dari target. Kenaikan penerimaan SDA Migas
tersebut terutama disebabkan karena realisasi harga migas (ICP) sebesar
USD67,47 per barel jauh melampaui asumsi APBN yang sebesar USD48 per barel.
Telah menjadi pengetahuan umum, ICP bukan lah sesuatu yang
dapat dikelola oleh Pemerintah. Pemerintah bahkan mengakui bahwa hal ini disebut
sebagai windfall atau semacam durian
runtuh. Bukan prestasi kinerja yang perlu dibanggakan secara berlebihan.
“Keberuntungan” lain adalah realisasi kurs rupiah sebesar Rp14.247 per USD, sedangkan
asumsinya Rp13.400. Selisih berupa pelemahan ini cukup signifikan menaikkan
pendapatan, melalui berbagai pos. Dan meski berpengaruh pula pada belanja, secara
neto tetap berdampak positif atau menambah surplus.
Selama empat tahun era Presiden Jokowi, faktor penerimaan
SDA ini sempat berdampak buruk pada tahun 2015 dan 2016, sehingga tidak
mencapai target. Kemudian pada tahun 2017 dan 2018 berbalik arah memberi
keberuntungan dan melampaui target. Pencapaian penerimaan SDA dibanding targetnya
berturut-turut adalah: 84,91% (2015) 71,70% (2016), 116,19% (2017), dan 174,65%
(2018).
Bagaimanapun, penerimaan perpajakan cenderung mengalami
kenaikan selama periode 2015-2018. Capaian dari target APBN pun terus membaik. Capaiannya
masih lebih rendah dibanding target APBN pada tahun bersangkutan, yaitu: 83,29%
(2015), 83,48% (2016), 91,23% (2017), dan 94,02% (2018). Khusus capaian penerimaan
pajak dilaporkan lebih rendah, diimbangi oleh capaian penerimaan bea dan
penerimaan cukai yang cukup tinggi.
Dinamika penerimaan pajak, penerimaan perpajakan dan
penerimaan SDA ini digambarkan pula oleh apa yang disebut sebagai tax ratio. Pengertian aslinyanya adalah rasio
penerimaan pajak terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Dalam konteks APBN
Indonesia penerimaan pajak diperluas menjadi penerimaan perpajakan (pajak, bea
dan cukai), karena ada pemisahan bagian birokrasi yang mengelolanya, yaitu ditjen
Pajak dan ditjen Bea Cukai dalam Kementerian Keuangan. Sedangkan PDB merupakan
indikator pendapatan nasional, yaitu pendapatan atau produksi seluruh pelaku
ekonomi (pemerintah, korporasi, dan rakyat) dalam wilayah domestik negara
Indonesia. Sebagai contoh, dalam perhitungan realisasi sementara APBN tahun
2018 dicatat penerimaan perpajakan sebesar Rp1.521,4 triliun. Sedangkan PDB
diprakirakan sebesar Rp14.735,85 triliun (PDB). Maka rasio dinyatakan dalam
persentase adalah sebesar 10,32%.
Sejak APBN 2016, definisi rasio yang demikian mengalami
perubahan. Menkeu mengusulkan dan diterima oleh DPR, menambahkan penerimaan SDA,
baik migas maupun nonmigas yang sebenarnya tercatat sebagai Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) dalam APBN. Contoh perhitungannya untuk realisasi sementara
tahun 2018 adalah penerimaan SDA sebesar Rp181,06 triliun, yang jika
ditambahkan dengan penerimaan perpajakan sebesar Rp1.521,4 triliun tadi, maka
jumlahnya menjadi Rp1.702,45 triliun. Sehingga rasionya dengan PDB menjadi
11,55%.
Semula perhitungan baru ini dikenalkan dengan istilah tax
ratio dalam arti luas, sedangkan yang lama atau dijelaskan pertama disebut sebagai
tax ratio dalam arti sempit. Belakangan, Pemerintah nyaris tak pernah menyebut
yang dalam arti sempit lagi.
Tidak ada masalah dengan perubahan definisi, dan
bagaimanapun semua penerimaan itu merupakan kinerja Pemerintah. Hanya saja jika
mau membandingkan untuk kurun waktu yang panjang, perlu dilakukan secara fair,
dengan pengertian yang serupa. Jika mengutip berita media, yang memberitakan
keterangan pejabat, biasanya kurang jelas tentang hal ini. Apalagi jika
keterangan pers atau dokumen pemerintah agak “menyamarkan”, maka bisa saja dikatakan
bahwa tax ratio 2018 mencapai 11,55% telah melampaui tahun 2014 yang sebesar
11,40%. Padahal angka tahun 2014 itu dalam arti sempit, sedang yang 2018 dalam
arti luas. Perbandingannya yang fair, tax ratio dalam arti sempit adalah 10,32%
(2018) berbanding dengan 11,40% (2014). Sedangkan tax ratio dalam arti luas
adalah 11,55% (2018) berbanding dengan 13,7% (2014).
Dalam definisi manapun, tax ratio mengalami penurunan jika
membandingkan tahun 2018 dengan 2018. Harus diakui, kondisi pendapatan negara,
penerimaan perpajakan, dan tax ratio tahun 2018 membaik dibanding tahun 2015
hingga tahun 2017. Namun narasi seolah prestasi kerja yang sangat baik apalagi
luar biasa, jelas berlebihan.