Minggu, 28 Desember 2008

Economic Outlook 2009

Executive Summary
BRIGHT INDONESIA, ECONOMIC OUTLOOK 2009

Sejauh yang diungkapkan kepada publik dalam negeri, Pemerintah dan Bank Indonesia (otoritas ekonomi) tampak optimis menyongsong tahun 2009, meskipun perekonomian nasional terus mendapat tekanan dari goncangan eksternal sepanjang tahun 2008. Sikap demikian bisa dimengerti urgensinya, yakni mengelola ekspektasi, karena kepanikan otoritas ekonomi akan dengan mudah menyebar kepada masyarakat dan pelaku bisnis. Bahkan, kepanikan pelaku ekonomi di satu subsektor, apalagi jika melanda sektor perbankan yang memiliki peran amat strategis di sektor keuangan dan sektor riil, dengan cepat menjadi bersifat dramatis dan sistemik.
Pada akhir tahun 2007 hingga awal 2008, mereka percaya perekonomian Indonesia masih akan tumbuh pesat dan tidak akan banyak terpengaruh oleh beberapa gejolak eksternal yang sebenarnya sudah mulai berlangsung. Sekalipun sedikit merosot, masih ada keyakinan atas daya tahan perekonomian domestik dalam menghadapi dampak buruk krisis keuangan global yang semakin meluas. Argumen dasar yang berulangkali dikemukakan adalah bahwa fundamental ekonomi Indonesia sekarang ini sudah kuat.
Jika dibandingkan dengan estimasi Otoritas ekonomi, maka estimasi BRIGHT Indonesia tentu akan dikatakan kurang bersifat optimis, bahkan cenderung pesimis. Outlook ini berupaya menjelaskan berbagai hal pokok dalam dinamika perekonomian Indonesia beserta prediksinya di tahun mendatang, yang antara lain menyimpulkan : pertumbuhan ekonomi akan sangat melambat, inflasi tetap tinggi, pengangguran meningkat, neraca pembayaran terus mendapat tekanan, cadangan devisa akan berkurang, serta angka kemiskinan akan bertambah.
Dalam semua indikator ekonomi utama tersebut, BRIGHT Indonesia memang mengemukakan prediksi yang lebih buruk. Namun tidak berarti memiliki sikap pesimis terhadap masa depan perekonomian Indonesia. Analisis yang dilakukan justeru bersifat lebih realistis. Harapannya, ada antisipasi dari semua pihak agar kondisi tidak berkembang menjadi lebih buruk lagi di tahun-tahun berikutnya. Sikap optimis berlebihan, terutama dari otoritas ekonomi, cenderung menyamarkan pokok permasalahan. Pada mulanya, sikap demikian dapat menenangkan sebagian pelaku ekonomi, khususnya masyarakat kebanyakan. Pada akhirnya, ketika beberapa fakta ekonomi tidak bisa disamarkan lagi dan bahkan berdampak buruk langsung kepada banyak pelaku ekonomi, maka eskalasi kepanikan amat mungkin menjadi tidak terkendali. Hal demikian menjadi salah satu sisi dari krisis 1997/1998, yang mustinya menjadi pengalaman berharga.
Prediksi yang relatif buruk dari BRIGHT Indonesia adalah untuk kondisi tahun 2009 (terutama dibandingkan dengan tahun 2008). Kondisi perekonomian selanjutnya justeru diharapkan menjadi jauh lebih baik, bahkan dibandingkan dengan kondisi selama ini. Salah satu syaratnya, sikap dan cara yang benar menghadapi tahun 2009. Kesiapan untuk menghadapi situasi yang buruk lebih diperlukan daripada upaya menyamarkan, apalagi meremehkannya.
Ancaman resesi ekonomi memang ada, jika diartikan sebagai pertumbuhan PDB yang negatif sedikitnya dua triwulan berturut-turut. Pada triwulan IV-2008 diperkirakan PDB akan tumbuh negatif. Hal itu merupakan sesuatu yang bersifat musiman dalam perekonomian Indonesia, sedangkan dampak buruk gejolak ekonomi dunia bersifat menambah besaran negatifnya. Resesi atau tidak antara lain dapat dilihat pada angka pertumbuhan PDB triwulan I-2009 nanti, dimana biasanya tumbuh positif. BRIGHT Indonesia sendiri masih melihat kemungkinan akan tetap tumbuh positif, meski dengan laju yang lebih rendah dari tahun sebelumnya.
Bahkan, yang mengancam tidak sekadar resesi, melainkan stagflasi, dalam arti sedikit lebih longgar daripada yang umum dikenal dalam textbook. Juga dalam skala yang lebih kecil daripada yang dihadapi pada tahun 1998 lalu.
Terminologi stagflasi bagi suatu perekonomian bisa diartikan sebagai output yang stagnan atau menurun disertai dengan inflasi yang tinggi. Indikator output yang diterima luas adalah PDB menurut harga konstan (riil). BRIGHT Indonesia memprediksi PDB riil masih akan tumbuh positif sebesar 4,4% pada tahun 2009. Namun, jika dipakai adalah ukuran per kapita dari konsep pendapatan nasional lainnya (misalnya disposable income), maka angkanya akan lebih kecil lagi dan mendekati stagnan. Stagnannya suatu perekonomian secara longgar bisa pula diindikasikan oleh tingkat pengangguran yang tinggi dan cenderung meningkat.
Ancaman stagflasi ada jika diartikan sebagai tingginya angka pengangguran dan angka inflasi yang relatif tinggi pula. Apabila otoritas ekonomi menjalankan kebijakan yang tidak tepat, maka keadaan bisa memburuk pada tahun selanjutnya, stagflasi dalam artian output menurun dan inflasi tetap tinggi bisa terjadi pada tahun 2010.
BRIGHT Indonesia tentu saja menyadari akan ada jebakan yang menghadang prediksi semacam itu. Kesiapan menghadapi krisis secara berlebihan akan berbiaya mahal, dan setiap ramalan buruk bisa menjelma menjadi kekuatan besar bagi perwujudannya. Oleh karenanya, sikap realistis tetap memerlukan kehati-hatian yang memadai. Kepekaan atas berbagai rambu dari gejolak ekonomi dan dampak buruk dari peristiwa tertentu, harus diimbangi dengan keterbukaan pikiran akan peluang baru yang muncul. Sikap optimis bisa mengatasi keadaan musti tetap dipelihara.

Dalam konteks makroekonomi Indonesia, berbagai peluang baru sebenarnya telah tersedia jika melihat segala potensi alam dan masyarakat Indonesia, yang selama ini cenderung terbaikan. Fokus otoritas ekonomi terlampau besar kepada upaya memanfaatkan dinamika perekonomian dunia, khususnya untuk mengundang modal asing. Perbaikan yang terjadi kemudian bersifat sementara dan mengandung kerawanan bagi perekonomian domestik di waktu selanjutnya.
Seharusnya pula, setiap krisis atau kondisi buruk yang dihadapi dapat menjadi momentum untuk meninjau ulang hal-hal mendasar dalam perekonomian nasional. BRIGHT indonesia menilai tahun 2009 adalah kondisi yang tepat atau momentum bagi pembangunan ulang fundamental ekonomi Indonesia.
Secara teoritis, indikator makroekonomi memang bisa dipakai sebagai cerminan dari fundamental perekonomian suatu negara. Akan tetapi, indikator makroekonomi Indonesia selama ini memiliki bias statistik yang cukup besar, serta masih terkendala teknis perhitungan yang belum akurat. Diabaikannya satu atau dua indikator yang memburuk kerap pula melemahkan makna analisis secara keseluruhan, mengingat keterkaitan erat antar variabel dalam realitanya.
BRIGHT Indonesia menilai perlunya redefinisi terminologi fundamental ekonomi. Fundamental ekonomi harus diartikan dari berbagai aspek, tidak hanya perkembangan indikator makroekonomi. Diantaranya adalah: struk­tur produksi barang dan jasa domestik, struktur permintaan agregat, keseimbangan yang dinamis antara permintaan dan penawaran agregat, struktur ekspor, komposisi penggunaan faktor produksi, keterkaitan antara sektor keuangan dan sektor riil, distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat, serta efektivitas peran negara dalam perekonomian.
Berbagai pembahasan dalam Outlook menyinggung sebagian besar aspek tersebut. Perhatian utama yang harus diberikan dalam waktu dekat ini adalah pada aspek penawaran dan potensi domestik. Sebagai contoh, struk­tur produksi barang dan jasa domestik musti diperkuat dan dengan orientasi berjangka panjang. Perbaikan neraca pembayaran lebih ditekankan kepada perbaikan struktural, yakni kepada penguatan transaksi berjalan. Selain menguatkan struktur ekspor, meminimalkan impor, regulasi atas transaksi finansial pun harus ketat dan jelas. Pemerintah pun tidak perlu sungkan untuk mengoptimalkan potensi pengiriman TKI ke luar negeri.
Keterkaitan antara sektor keuangan dan sektor riil telah memasuki banyak dimensi baru, yang sebagiannya tidak terduga. Pemberian kebebasan berlebih pada sektor keuangan, apalagi jika memberi dukungan dengan biaya yang besar, bisa menjadi bumerang bagi otoritas ekonomi sendiri. Salah satu kata kuncinya adalah regulasi.
Sejalan dengan itu pula, efektivitas peran negara dalam perekonomian perlu ditingkatkan. Mitos tentang negara hanya perlu menjadi sekadar regulator harus ditinggalkan. Yang perlu dirumuskan dan dijalankan adalah intervensi yang bagaimana, dalam hal apa saja, dan seberapa jauh. Itu pun berlangsung secara dinami, bisa ditinjau dari waktu ke waktu dengan prosedur yang baik.
Analisis mengenai fundamental ekonomi yang mempertimbangkan redefinisi artinya akan menghasilkan kesimpulan bahwa fundamental ekonomi Indonesia belum bisa dikatakan kuat, bahkan cenderung lemah. Sebagai contoh, jika mengartikannya sebagai struk­tur produksi nasional, maka akan tampak soal kerentanannya terhadap fluktuasi pasokan dan harga beberapa komoditi. Jika yang dimaksud adalah adanya keseimbangan yang dinamis antara permintaan dan penawaran agregat, maka mengapa sumber per­tumbuhan ekonomi terbesar kita justeru berasal dari konsumsi. Yang paling mendasar, sekuat apa fundamen­tal ekonomi yang memiliki angka pengangguran sekitar 10 juta orang, atau mencapai lebih dari 30 juta orang jika memasukkan angka setengah penganggur, serta dipenuhi pula oleh lebih dari 35 juta penduduk miskin. Trends perbaikan yang terjadi tidak bersifat mendasar, dimana angka pengangguran dan kemiskinan amat mudah berubah.
BRIGHT Indonesia menilai Otoritas ekonomi terindikasi mengelola perekonomian dengan perspektif yang kurang berjangka panjang, sehingga mengabaikan faktor-faktor yang sebenarnya amat penting. Indikasinya antara lain: pertumbuhan ekonomi dengan sumber utama konsumsi, penambahan modal domestik bruto (investasi) yang bersifat amat padat modal, pertumbuhan pesat lebih bertumpu kepada sektor usaha yang kurang memiliki kaitan ke belakang dan ke depan, ekspor dengan komponen impor yang tinggi, NPI yang ditopang oleh transaki modal jangka pendek, defisit anggaran pemerintah yang dibiayai utang secara terus menerus, dan kebijakan anti inflasi yang berbiaya mahal.
Wajar jika kebijakan makroekonomi hanya mengutak-atik permintaan agregat dari tahun ke tahun. Yang pada kenyataannya, hal itu tidak bisa optimal, karena memang hampir tidak mungkin dilakukan. Upaya menyeimbangkan kontribusi konsumsi (swasta dan pemerintah) dengan investasi sulit untuk berhasil jika aspek produksi riil tidak ditangani secara serius. Apalagi jika investasi dimaksud harus secara nyata meningkatkan kapasitas produksi dalam jangka panjang (tidak sekadar asal meningkatkan permintaan agregat dalam jangka pendek).
Definisi pertumbuhan ekonomi yang lebih luas cakupannya dan berperspektif jangka panjang menekankan perkembangan secara per kapita, pemerataannya dan kelangsungannya secara terus menerus dengan sedikit sekali fluktuasi. Pertumbuhan oun musti bersumber dari proses internal perekonomian tersebut, bukan dari luar yang bersifat sementara. Harus terjadi juga perubahan kelembagaan, termasuk yang bukan ekonomi, yang mendukung kelanggengan peningkatan kapasitas produksi yang berlangsung. Singkatnya, suatu ekonomi dikatakan tumbuh jika berkaitan dengan perubahan sosial yang lebih luas yang menjamin kesinambungan pertumbuhan output.
BRIGHT Indonesia merekomendasikan kepada otoritas ekonomi agar lebih mendasari kebijakannya pada horison waktu yang lebih panjang. Sedangkan mengenai ancaman resesi dan stagflasi dalam jangka pendek ini, untuk mencegahnya adalah memperbaiki sisi penawaran secara mendasar, mulai saat ini. Pada saat bersamaan, perbaikan permintaan agregat dalam negeri tidak perlu dilakukan secara ”dadakan”, baik dengan upaya meningkatkan belanja pemerintah maupun program penanganan kemiskinan yang karikatif dan instan.
BRIGHT Indonesia menilai ada momentum bagi perekonomian Indonesia tahun 2009 untuk membangun ulang fundamental ekonominya, sehingga menjadi lebih berorientasi kepada potensi domestik. Kita tidak boleh lagi mengabaikan potensi domestik yang memang amat besar, baik dilihat dari sumber daya alam maupun sumber daya manusianya. Indonesia memiliki sisi penawaran maupun permintaan yang seimbang dan bisa dioptimalkan. Otoritas ekonomi, terutama Pemerintah dan Bank Indonesia menjadi pelaku kunci bagi perubahan mendasar ini.
Jika semangat demikian melandasi penanganan masalah perekonomian tahun 2009, maka BRIGHT Indonesia yakin bahwa kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia akan terwujud. Tidak perlu menunggu dalam waktu yang amat panjang, serta penuh ketidakjelasan.

Catatan:
Naskah Outlook telah dipublikasikan pada tanggal 25 Nopember 2008. Presentasi oleh tim BRIGHT Indonesia pada tanggal 27 Nopember 2008 di financial club Graha Niaga, Jakarta. Berita tentangnya dimuat di beberapa media cetak nasional sehari kemudian.

Senin, 13 Oktober 2008

Rendahnya Kualitas Pertumbuhan Ekonomi : Sisi Penawaran

Rendahnya Kualitas Pertumbuhan Ekonomi : Sisi Penawaran

Kita sudah pernah membahas, definisi singkat dari Produk Domestik Bruto (PDB) adalah nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam perekonomian selama kurun waktu tertentu.

Sementara itu, barang yang diproduksi di Indonesia terdiri dari ribuan atau jutaan jenis. Ada barang yang berasal dari produksi pertanian, dari industri pengolahan, dan ada yang dari penggalian. Bisa berasal dari lahan petani kecil, produksi rumah tangga, maupun dari produksi perkebunan besar dan industri yang bersifat korporasi. Macam jasa juga demikian. Ada jasa pedagang kecil dan tukang pangkas rambut, namun ada pula jasa konsultan manajemen dan jasa keuangan untuk korporasi. Seluruh produksi barang dan jasa tersebut, per definisi, dimasukkan dalam perhitungan PDB.

Untuk memudahkan pemahaman atau keperluan analisa, penyajian hasil perhitungan PDB ini dilakukan dengan menggolongkan jutaan macam barang dan jasa ke dalam beberapa kelompok jenis barang. Indonesia (BPS) menggolongkannya menjadi sembilan macam barang dan jasa.

Penamaannya disesuaikan dengan jenis sektor usaha yang memproduksinya, sehingga disebut pula penyajian (biasanya berbentuk tabel) PDB menurut lapangan usaha. Metode penghitungan ini secara teknis disebut pendekatan produksi. Sektor produksi atau lapangan usaha dalam penghitungan PDB di Indonesia saat ini dikelompokkan ke dalam 9 sektor atau lapangan usaha. 1. Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan; 2. Pertambangan dan Penggalian; 3. Industri Pengolahan; 4. Listrik, Gas dan Air Bersih; 5. Konstruksi; 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran; 7. Pengangkutan dan Komunikasi; 8. Keuangan, Real estat dan Jasa Perusahaan; 9. Jasa-jasa. Sebenarnya ada rincian lagi dari masing-masing sektor, yang biasa disebut subsektor.

Analisis atas perkembangan komponen PDB tersebut bisa dilakukan. Biasanya ini disebut dengan analisis sisi penawaran, untuk membedakannya dengan analisa dari sisi permintaan pada posting terdahulu.

Di sisi penawaran, seluruh sektor ekonomi selalu mencatat pertumbuhan positif, kecuali pertambangan dan penggalian pada tahun 2004. Sumbangan terbesar yang menopang pertumbuhan selama beberapa tahun berasal dari sektor perdagangan, sektor industri pengolahan dan sektor pengangkutan dan komunikasi. Namun, sektor industri pengolahan mengalami perlambatan, dan pada tahun 2007 hanya bisa tumbuh setara dengan tahun sebelumnya. Keadaan lebih buruk terjadi pada sektor pertanian, laju pertumbuhan dan kontribusinya relatif rendah. Pada tahun 2007 memang ada sedikit perbaikan pada sektor pertanian, namun lebih ditopang oleh pertumbuhan perkebunan milik korporasi (pertanian modern), dibandingkan oleh pertanian rakyat.

Keadaan semacam ini belum berubah secara mendasar pada semester I-2008 dibandingkan dengan semester I-2007. Memang terjadi kenaikan sebesar 6,4 persen dan terjadi di semua sektor kecuali sektor pertambangan dan penggalian. Pertumbuhan ini didorong oleh pertumbuhan sektor pertanian sebesar 5,3 persen, sektor industri pengolahan 4,1 persen, sektor listrik, gas dan air bersih 11,9 persen, sektor konstruksi 8,0 persen, sektor perdagangan, hotel dan restoran 7,5 persen, sektor pengangkutan dan komunikasi 20,0 persen, sektor keuangan, real estat dan jasa perusahaan 8,5 persen serta sektor jasa-jasa 6,0 persen.

Perhatikan pula bahwa sektor-sektor (akan lebih kentara jika dianalisis pada subsektor) padat modal seperti telekomunikasi, keuangan, konstruksi, realestat, dan jasa ritel tumbuh lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional. Sementara itu, sekalipun tumbuh, sektor industri pengolahan dan sektor pertanian cenderung lebih rendah dari rata-rata nasional.

Perlu diingat bahwa sektor industri pengolahan dan sektor pertanian adalah sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja, menjadi sumber penerimaan devisa dan penerimaan pajak, serta memiliki kaitan ke sektor pensuplai inputnya (backward linkage) dan kaitan ke sektor yang memanfaatkan pada proses produksi selanjutnya (forward linkage) yang tinggi.

Analisis semacam ini juga menguatkan kesimpulan kurang berkualitasnya pertumbuhan ekonomi indonesia selama beberapa tahun terakhir.

Soal Kualitas Pertumbuhan Ekonomi yang Rendah dari sisi Permintaan

Soal Kualitas Pertumbuhan Ekonomi yang Rendah dari sisi Permintaan

Angka-angka PDB biasa dianalisis atas dasar komponen-komponennya, sesuai dengan metode penghitungannya. Dari angka-angka yang didapat melalui pendekatan pengeluaran atau penggunaan, bisa diketahui bagaimana sumbangan masing-masing komponen pengeluaran agregat. Dengan teknik ekonomi tertentu, angka pengeluaran agregat bisa diterjemahkan menjadi permintaan agregat. Teknik mengubahnya terkait dengan istilah permintaan yang merujuk kepada dua variabel, kuantitas dan harga. Dan dari sumber yang sama, dikenal pula istilah permintaan domestik, yakni permintaan agregat dengan menghilangkan variabel permintaan luar negeri (ekspor).

Analisis umum dalam hal ini adalah untuk mengetahui “akibat” dari perubahan masing-masing komponen dalam rentang waktu tertentu terhadap laju pertumbuhan PDB. Hasilnya, ada istilah konsumsi yang mendorong pertumbuhan, atau investasi sebagai pendorong pertumbuhan. Tentulah yang lebih disukai adalah investasi, sekalipun idealnya tetap harus diimbangi oleh pertumbuhan konsumsi. Penalarannya terkait dengan dampak untuk waktu berikutnya, terutama yang bersifat jangka panjang.

Jika konsumsi saja yang melaju dengan cepat tanpa diimbangi dengan investasi yang sepadan, maka bisa mengakibatkan peningkatan impor dan atau inflasi. Dari model juga bisa di “utak-atik” peran kebijakan fiskal pemerintah. Misalnya, pengeluaran pemerintah bisa berperan mendorong peningkatan PDB. Istilahnya adalah pemerintah sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi (source of growth).

Sebagai contoh, dari pertumbuhan ekonomi tahun 2007 sebesar 6,3 %, lebih dari separuhnya bersumber dari komponen ekspor barang dan jasa, yakni sebesar 3,8 %. Namun, pada saat bersamaan impor memberi kontribusi dalam arah berlawanan sebesar 3,3 %. Komponen terbesar PDB yaitu konsumsi rumah tangga memberikan sumbangan sebesar 2,9 %. Sementara pengeluaran konsumsi pemerintah sebesar 0,3 %, serta pembentukan modal tetap bruto (investasi) memberikan kontribusi sebesar 2,0 %.

Fenomena yang paling menarik perhatian terkait dengan data-data ini adalah bertahannya konsumsi sebagai sumber pertumbuhan terpenting sekitar sembilan tahun terakhir, sejak era krisis moneter. Dan yang paling luar biasa adalah konsumsi rumah tangga (swasta), meskipun konsumsi pemerintah juga kadang terhitung besar. Sekalipun angka kontribusi ekspor adalah yang tertinggi, namun jika memperhitungkan impor (net ekspor) maka masih lebih rendah daripada konsumsi rumah tangga. Kontribusi net ekspor bahkan sempat negatif pada tahun 2004. Keadaan konsumsi sebagai sumber pertumbuhan belum banyak berubah, bahkan meningkat kembali selama tahun 2007. Konsumsi (rumah tangga dan pemerintah) masih menyumbang lebih dari separo angka pertumbuhan ekonomi. Konsumsi rumah tangga masih juga menjadi kontributor tertinggi. Pada semester I tahun 2008, kecenderungan ini belum terlihat berubah banyak.

Jika data dicermati, konsumsi rumah tangga memang sempat sedikit terpukul pada tahun 2005 dan 2006, akibat kenaikan harga BBM. Namun, komponen lain selain konsumsi pemerintah juga ikutan terpuruk. Dengan demikian, laju konsumsi rumah tangga mungkin akan sedikit tertahan pada semester kedua tahun 2008, setelah pemerintah menaikkan harga BBM.

Sebenarnya, pemerintah berulang kali merencanakan atau mengharapkan agar sumber pertumbuhan utama beralih kepada investasi. Target tinggi selalu dikemukakan, dan berbagai paket kebijakan dikeluarkan. Meskipun belum bisa melampaui konsumsi rumah tangga, kontribusi investasi sepanjang tahun 2007 sudah jauh lebih baik daripada tahun 2006. Perbaikan masih berlanjut pada semester pertama 2008. Sayangnya, semester kedua 2008, diperkirakan akan sedikit melambat lagi.

Bagaimanapun juga, kontribusi investasi masih bersifat harapan, dan sangat mungkin terhadang oleh kondisi perekonomian global yang memburuk. Bahkan, investasi yang dirangsang untuk tumbuh pun terkesan asal besar nominalnya saja, dan tidak bersifat selektif. Sebagai contoh, kebijakan makroekonomi yang mendorong investasi tersebut sama hampir tidak memperhitungkan ketersediaan teknologi atau berdimensi teknologis. Padahal, penambahan modal secara agregat an sich akan kurang efektif jika tidak disertai perencanaan pengembangan teknologi yang tepat. Yang kemudian terjadi adalah dinamika produksi yang bersifat saling meniadakan atau substitutif, bukannya komplementer untuk menambah kapasitas produksi. Suatu investasi mungkin segera menambah kapasitas produksi, namun karena berdampak pada matinya kelompok usaha produktif yang lain, maka hasil akhirnya tidak bisa dihitung sebesar tambahan investasi itu saja. Masih beruntung jika hasil bersihnya adalah positif. Perhitungannya menjadi sulit, ketika sektor usaha modern yang lebih tercatat secara tata keuangan modern menggusur banyak usaha yang kurang terbukukan.

Sementara itu, sumbangan konsumsi telah terbukti dan nampaknya masih (terpaksa) akan diandalkan. Dalam arahan mewaspadai krisis pun, secara eksplisit akan diupayakan peningkatan arti konsumsi pemerintah. Padahal kontribusinya terhadap pertumbuhan semester I 2008 hanya sebesar 0,2 dari total pertumbuhan 6,4 (yoy).

Kekhawatirkan lain atas kondisi semacam ini adalah terkait fakta bahwa pengangguran dan kemiskinan tidak akan teratasi tanpa pertumbuhan yang didorong oleh investasi riil. Kenyataan bahwa konsumsi bertahan begitu lama menggerakkan pertumbuhan merupakan keanehan, dan hanya mungkin dijelaskan dengan berkembangnya kegiatan ekonomi tersembunyi (hidden economy). Hidden economy yang dimaksud adalah kegiatan ekonomi yang tidak tercatat karena bersifat “bawah tanah”, tetapi berskala besar, seperti penyelundupan, bisnis narkotik, perjudian, dan prostitusi/pornografi.

Ada pula ekonom yang mengatakan bahwa ketahanan pengeluaran konsumsi mendorong pertumbuhan selama sembilan tahun terakhir memang kurang masuk akal. Ekonom ini memperkirakan 30 persen dari PDB Indonesia berasal dari praktik ekonomi “bawah tanah”. Namun, perlu difahami bahwa kegiatan ekonomi yang tersembunyi sebenarnya tidak seluruhnya berkaitan dengan urusan terlarang. Pencatatan kegiatan ekonomi secara formal kerap dihindari oleh pelaku usaha karena berhubungan dengan birokrasi yang dirasa menyulitkan. Aktivitas ekonomi tersembunyi juga kian berkembang karena praktik ekonomi biaya tinggi dan ketidakpastian hukum.
Kesimpulannya, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini sering dianggap kurang berkualitas jika dilihat dari sumbernya (sisi permintaan). Kualitas tersebut mungkin menjadi lebih rendah lagi bila arahan mewaspadai krisis terlampau mengandalkan pengeluaran pemerintah, yang notabene lebih banyak berkategori konsumsi.

Pertumbuhan Ekonomi adalah keyword kebijakan pemerintah untuk segala kondisi

Pertumbuhan Ekonomi adalah keyword kebijakan pemerintah untuk segala kondisi
Tatkala ada kekhwatiran imbas krisis keuangan Amerika terhadap perekonomian Indonesia, pemerintah masih tetap melihat pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan utama kebijakannya. Secara resmi ada dua poin arahan yang menyebutnya secara langsung, yaitu tetap pertahankan nilai pertumbuhan enam persen yang ditargetkan tahun ini (no 2) dan optimalisasi APBN 2009 untuk memacu pertumbuhan (no 3). Selain itu, arti penting mempertahankan pertumbuhan ekonomi disebut secara tidak langsung, dan merupakan variabel yang disebut berulang dan diberi penekanan khusus.
Sekitar dua bulan sebelumnya, ketika krisis Amerika masih belum separah kini, dalam pidato kenegaraan dikatakan Presiden bahwa: “ Kita bersyukur, walaupun ditengah tekanan eksternal yang bertubi-tubi, kita telah berhasil menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen, selama tujuh triwulan berturut-turut. Bahkan Produk Domestik Bruto Non Migas, telah tumbuh mendekati 7 persen pada tahun lalu. Pertumbuhan ekonomi kita, meningkat dari 5,5 persen pada tahun 2006 menjadi 6,3 persen pada tahun 2007. Tingkat pertumbuhan ini dicapai ditengah tekanan melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia, dan melonjaknya harga pangan dan energi. Bahkan pada Semester I Tahun 2008 kita tetap bisa menjaga momentum perekonomian kita dengan tingkat pertumbuhan mencapai 6,4 persen. Ini merupakan laju pertumbuhan tertinggi setelah krisis ekonomi tahun 1998.”
Pemerintah sebenarnya sudah tidak seoptimis ketika menyiapkan APBN 2008 setahun yang lalu lagi, sehingga memperkirakan pertumbuhan ekonomi adalah sekitar 6,2 persen. Sebuah asumsi yang tetap saja tergolong ”percaya diri” mengingat kondisi perekonomian dunia yang mulai tidak menentu.
Apa arti Pertumbuhan Ekonomi?
Pengertian pertumbuhan ekonomi yang dipergunakan dalam laporan resmi perekonomian Indonesia sebenarnya adalah pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil atau PDB atas dasar harga konstan. Pernyataan bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2007 sebesar 6,3 persen berarti PDB Indonesia tahun 2007, atas dasar harga konstan (tahun 2000 dipakai sebagai tahun dasar), bertambah sebesar proporsi itu dibandingkan dengan tahun 2006. Pengertian ini pula yang dipakai dalam pembicaraan di media masa, bahkan dalam tulisan para ekonom di Indonesia.
Dalam teori ekonomi, pertumbuhan ekonomi sebenarnya biasa didefinisikan sebagai peningkatan kapasitas suatu bangsa dalam jangka panjang untuk memproduksi berbagai barang dan jasa. Ada berbagai definisi teknis sebagai penjabarannya. Sebagai contoh, Boediono (1985) mengartikan pertumbuhan ekonomi sebagai proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Menurutnya, ada tiga aspek yang harus ditekankan dalam pengertian ini. Pertama, sebagai proses, yang diperhatikan adalah perubahannya bukan keadaannya pada suatu waktu. Kedua, pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan kenaikan output per kapita. Output per kapita adalah output total dibagi dengan jumlah penduduk. Dengan kata lain, pertumbuhan output atau hasil produksi karena peningkatan kapasitas produksi harus dihubungkan dengan perubahan jumlah penduduk. Ketiga, definisi pertumbuhan ekonomi adalah perspektif waktu jangka panjang. Kenaikan output per kapita selama satu atau dua tahun, yang kemudian diikuti dengan penurunan output per kapita bukan pertumbuhan ekonomi. Suatu perekonomian tumbuh apabila dalam jangka waktu yang cukup lama mengalami kenaikan output per kapita, atau menunjukkan kecenderungan yang jelas untuk menaik.
Jika kita mengambil salah satu saja dari aspek itu, yakni yang dihitung adalah pertumbuhan output per kapita, maka akan ada angka yang berbeda dengan laju pertumbuhan ekonomi yang biasa dipublikasikan. Perlu diketahui, perhitungan semacam ini justeru lebih umum menurut text book dan dipakai oleh publikasi banyak negara. Wajar jika pertumbuhan ekonomi dalam versi ini selalu lebih rendah, karena laju pertumbuhan penduduk selalu positif (jumlahnya masih bertambah) setiap tahunnya. Sebagai contoh, pertumbuhan ekonomi 2007 hanya sebesar 4,95 % (bandingkan dengan 6,3 % yang umum dipublikasikan).

Hal lain adalah berkenaan dengan data outputnya yang memakai PDB. Sebenarnya ada yang menyarankan penggunaan Produk Nasional Bruto (PNB), karena relatif lebih mengeluarkan unsur ”pendapatan asing” nya. Bisa pula menggunakan konsep Pendapatan Nasional (PN) adalah PNB dikurangi dengan pajak tidak langsung neto dan dikurangi juga dengan penyusutan. PN ini adalah jumlah pembayaran terhadap faktor produksi yang dipakai dalam proses produksi. Sayangnya, masih ada persoalan ”teknis” dalam statistik perhitungan pendapatan nasional kita, disamping masalah ”nonteknis’ berupa kesukaan menggunaan indikator yang lebih menggembirakan pemerintah.

Reduksi arti yang lebih serius adalah pembahasan pertumbuhan ekonomi dalam perspektif jangka pendek belaka. Cara pembahasan dalam horison waktu jangka pendek tetap berguna. Namun, perubahan perspektif waktu (horison jangka panjang sesuai definisi teoritis) akan berdampak pada penentuan apa yang penting dan tidak penting, serta rekomendasi kebijakan yang sebaiknya dijalankan.

Sebagian ekonom mengartikan pertumbuhan ekonomi secara lebih ketat. Antara lain dengan menekankan bahwa pertumbuhan yang terjadi harus bersumber dari proses internal perekonomian tersebut, bukan dari luar yang bersifat sementara. Ditambahkan pula akan adanya perubahan kelembagaan, termasuk yang bukan ekonomi, yang mendukung kelanggengan peningkatan kapasitas produksi yang berlangsung. Artinya, suatu ekonomi dikatakan tumbuh jika berkaitan dengan perubahan sosial yang lebih luas yang menjamin kesinambungan pertumbuhan output.

Contoh definisi semacam itu adalah dari Simon Kuznets, peraih nobel di bidang ekonomi pada tahun 1971, memberi definisi: ”Pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan atau dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi, kelembagaan, dan ideologis terhadap berbagai tuntutan yang ada” (Todaro, 2003).

Nah, seandainya dimaksud oleh pemerintahan SBY adalah pengertian yang lebih luas dan ketat itu, maka ”pertumbuhan ekonomi” masih cukup layak menjadi kata kunci pengelolaan perekonomian nasional. Sayangnya, makna yang dipakai terlampau sempit dan amat direduksi. Bahkan, istilah itu bisa menyesatkan.






Jumat, 10 Oktober 2008

10 Arahan yang sekadar harapan dan imbauan Presiden SBY

10 Arahan yang sekadar harapan dan imbauan Presiden SBY
Presiden SBY memberikan 10 arahan kepada jajaran Menteri Kabinet Indonesia Bersatu bidang ekonomi dan pejabat BUMN, yang pertemuannya dihadiri pula oleh pihak Kadin, Perbankan Nasional, Pengamat, serta sejumlah pimpinan media massa di Kantor Sekretariat Negara Senin (6/10). Arahan itu terkait dengan kewaspadaan terhadap imbas krisis Amerika Serikat.

Ringkasan arahan itu adalah:
1. Semua kalangan agar tetap optimis, dan bersinergi menghadapi krisis keuangan itu dan tidak panik.
2. Tetap pertahankan nilai pertumbuhan enam persen yang ditargetkan tahun ini. Yang perlu dijaga adalah komponen permintaan, konsumsi, pembelanjaan pemerintah, investasi, ekspor dan impor. Dikatakan pula bahwa kita perlu manfaatkan perekonomian domestik dan mengambil pelajaran dari krisis 98 dimana sabuk pengaman perekonomian domestik adalah sektor UMKM, pertanian, dan sektor informal.
3. Optimalisasi APBN 2009 untuk memacu pertumbuhan dan membangun social safety net dengan sejumlah hal yang harus diperhatikan yaitu infrastruktur, alokasi penanganan kemiskinan, ketersediaan listrik serta pangan dan BBM.
4. Dunia usaha khususnya sektor riil harus tetap bergerak meskipun ekspansi bisa berkurang akibat krisis ini. Pajak dan penerimaan negara tetap terjaga supaya pengangguran tidak bertambah. Kewajiban BI dengan jajaran perbankan adalah mengembangkan kebijakan agar kredit dan likuiditas tersedia agar sektor riil bergerak. Kewajiban pemerintah mengeluarkan kebijakan regulasi iklim dan insentif agar sektor riil tetap bergerak. Sedangkan kewajiban swasta adalah lebih adaptif dan terus mempertahankan kinerja, tetap mencari peluang dan share the hardshift.
5. Semua pihak agar cerdas menangkap peluang untuk melakukan persaingan dan kerjasama ekonomi dengan negara sahabat.
6. Galakkan kembali penggunaan produk dalam negeri sehingga pasar domestik akan bertambah kuat.
7. Jajaran pemerintah khususnya memperkokoh sinergi dan kemitraan atau partnership dengan jajaran perbankan dan swasta.
8. Semua kalangan diminta menghindari sikap egosektoral dan memandang remeh masalah yang dihadapi.

9. Berkaitan dengan pada 2008 dan 2009 merupakan tahun politik dan tahun pemilu, namun semua kalangan diminta tak melakukan langkah non partisan dalam mengatasi masalah ini.

10. Semua pihak diminta melakukan komunikasi dengan tepat dan bijak kepada rakyat.
Sikap pemerintahan SBY untuk segera mengantisipasi kemungkinan imbas buruk krisis keuangan global yang dipicu oleh krisis di Amerika bisa dibilang sangat tepat. Baik pula upaya melibatkan pihak diluar kabinet dalam sebagian pertemuan dan pembicaraan penting mengenai soal itu. Namun seberapa memadai atau akan efektifkah arahan tersebut adalah hal lain lagi.
Persoalan pertama yang muncul adalah bahwa 10 arahan itu tidak benar-benar berisi arahan atau langkah sebanyak itu. Ada banyak pengulangan atau bahkan permainan kata dan kalimat. Perhatikan bahwa lima arahan (no 1,7,8,9 dan 10) yang bernada serupa, yakni imbauan agar semua pihak tidak panik, berkomunikasi yang baik, bersinergi, mengedepankan kepentingan bersama dan tetap optimis. Imbauan semacam ini sepintas persuasif, namun jika melihat eskalasi permasalahannya kemungkinan besar tidak akan efektif. Komitmen sinergi antar aparat, instansi pemerintah dan lembaga negara sudah sejak lama diutarakan, hasilnya masih minim. Apalagi jika dimimpikan adanya sinkronisasi dengan berbagai pihak lain (dalam waktu singkat?), khususnya kalangan bisnis yang notabene akan dan memang sewajarnya jika berorientasi kepada kepentingan diri mereka sendiri.
Arahan no 4 bisa dikatakan mengatakan yang dalam keadaan biasa pun sudah seharusnya demikian. Diimbau apa yang memang menjadi tugas masing-masing pihak (dunia usaha, BI dan pemerintah). Subtansi isinya tidak berbeda dari 5 langkah di atas.
Arahan no 2 dan 3 berkaitan erat yakni untuk tetap berupaya mempertahankan dan memacu pertumbuhan ekonomi. Pada arahan ketiga memang ada penekanan pada upaya optimalisasi APBN dan pembangunan safety net.
Hanya arahan 5 dan 6 yang berbeda. Arahan 6 adalah mengenai imbauan untuk penggunaan produk dalam negeri sehingga pasar domestik akan bertambah kuat. Jika hal ini bisa direalisasikan memang cukup menjanjikan. Kekhawatirannya arahannya hanya bersifat slogan. Kita bahkan ragu, apakah belanja negara saja bisa selektif untuk lebih memakai produk dalam negeri. Begitu juga sejauh mana upaya ”banting setir” kebijakan perdagangan bebas ke yang lebih protektif untuk melindungi produk dalam negeri bisa dengan cepat dilaksanakan.
Perhatikan pula bahwa arahan no 5 mengandung masalah serupa. Sudah cukup lama diketahui tentang tidak kokohnya struktur ekspor kita, baik dilihat dari jenis komoditi maupun negara tujuan. Diragukan apakah dalam waktu singkat bisa diperbaiki. Harapan terbesar lebih pada adanya ”paksaan” untuk bersegera memperbaiki struktur ekspor itu.
Singkatnya, arahan Presiden SBY masih bersifat terlampau umum dan dapat dikategorikan sebagai retorika politik. Angka 10 saja hanya semacam mistifikasi bukan pada substansi atau isi arahan. Isinya pun bersifat imbauan yang kurang bertenaga (power), semacam harapan-harapan belaka. Kita belum bisa melihat apa sebenarnya STRATEGI ATAU KEBIJAKAN EKONOMI YANG AKAN ATAU DISIAPKAN UNTUK DIAMBIL PEMERINTAH.
Arahan yang kurang jelas mengenai strategi ekonomi apa yang dijalankan pemerintah, bisa menambah kebingungan para pelaku pasar (bisnis), dan bisa segera diikuti oleh masyarakat luas (rumah tangga). Lebih buruk lagi, arahan itu justeru berpotensi memicu kepanikan, setidaknya ”ekspektasi” bahwa keadaan akan memburuk.

Rabu, 24 September 2008

Produk Domestik Bruto (PDB) 2009 diasumsikan sebesar Rp 5.309 triliun

Produk Domestik Bruto (PDB) 2009 diasumsikan sebesar Rp 5.309 triliun

Panitia Kerja Asumsi Dasar Ekonomi RAPBN 2009, pada tanggal 19 September lalu, menetapkan nominal Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 5.309 triliun. Naik sekitar 18,4 persen dari asumsi dalam APBN-P 2008 yang sebesar Rp 4.484 triliun, dan naik lebih dari 23,3 persen jika dibandingkan asumsi dalam APBN 2008 sebesar Rp 4.307 triliun. Namun porsi kenaikannya terlihat lebih kecil jika dibandingkan dengan PDB 2008 yang diperkirakan akan terelaisasi.

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan informasi demikian?

Dalam buku teks ilmu ekonomi, definisi singkat dari Produk Domestik Bruto (PDB) adalah nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam perekonomian selama kurun waktu tertentu.

Istilah perekonomian biasanya merujuk kepada wilayah suatu negara, meskipun kadang digunakan untuk wilayah (regional) tertentu. Kurun waktu dimaksud umumnya adalah satu tahun, menurut penanggalan yang umum secara internasional, 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Hal itu memudahkan perbandingan antar perekonomian (negara) dilakukan, misalnya oleh World Bank atau UNDP yang sering mempublikasikannya. Namun, di banyak negara (termasuk Indonesia), PDB dihitung pula secara triwulanan.

Sebagaimana kita lihat secara kasat mata, barang yang diproduksi di Indonesia terdiri dari ribuan atau jutaan jenis. Ada barang yang berasal dari produksi pertanian, dari industri pengolahan, dan ada yang dari penggalian. Bisa berasal dari lahan petani kecil, produksi rumah tangga, maupun dari produksi perkebunan besar dan industri yang bersifat korporasi. Macam jasa juga demikian. Ada jasa pedagang kecil dan tukang pangkas rambut, namun ada pula jasa konsultan manajemen dan jasa keuangan untuk korporasi. Seluruh produksi barang dan jasa tersebut, per definisi, dimasukkan dalam perhitungan PDB. Secara praktis, perhitungan hanya mungkin dilakukan dengan menyamakan satuan hitung dari seluruh barang dan jasa, yakni dengan mata uang. Secara teknis ilmiah biasa disebut bahwa definisi PDB menyiratkan keinginan meringkas aktivitas ekonomi dalam nilai tunggal (uang) selama periode tertentu.

Ada satu konsep penting yang terkandung dalam definisi PDB yang harus selalu diingat. Penghitungan PDB bersifat arus (flow), yaitu kuantitas per kurun waktu, biasanya selama satu tahun atau satu triwulan. Ini berbeda dengan penghitungan yang bersifat persediaan (stock), yaitu kuantitas pada suatu waktu, misalnya pada tanggal tertentu. Kekayaan suatu negara, yang secara teoritis bisa dihitung pada tanggal tertentu, maka angka perhitungannya akan bersifat persediaan (stock). Sedangkan penghasilan seluruh penduduk suatu negara selama satu tahun adalah arus (flow). Dengan demikian, suatu negara mungkin saja memiliki kekayaan yang besar (misalnya karena sumber daya alam yang berlimpah), akan tetapi memiliki penghasilan (seluruh penduduknya) per tahun yang tergolong masih rendah. Tentu saja, hubungan yang lazim adalah searah, arus penghasilan yang tinggi akan memungkinkan akumulasi kekayaan yang terus membesar.

Untuk memudahkan pemahaman atau keperluan analisa, penyajian hasil perhitungan PDB ini dilakukan dengan menggolongkan jutaan macam barang dan jasa ke dalam beberapa kelompok jenis barang. Indonesia (BPS) menggolongkannya menjadi sembilan macam barang dan jasa. Jutaan macam barang dan jasa yang dihasilkan dianggap hanya sembilan jenis, artinya setiap barang harus dimasukkan ke dalam salah satu kelompok tersebut. Penamaan kelompoknya disesuaikan dengan jenis sektor usaha yang memproduksinya, sehingga disebut pula penyajian (biasanya berbentuk tabel) PDB menurut lapangan usaha. Metode penghitungan ini secara teknis disebut pendekatan produksi. Menurut pendekatan ini, PDB adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai sektor produksi atau lapangan usaha di wilayah suatu negara dalam jangka waktu setahun. Karena yang dihitung adalah barang dan jasa “akhir”, maka yang dijumlahkan pada masing-masing sektor hanyalah nilai tambah produksi, agar tidak terjadi penghitungan ganda.

Sektor produksi atau lapangan usaha dalam penghitungan PDB di Indonesia saat ini dikelompokkan ke dalam 9 sektor atau lapangan usaha. Sebagai contoh, jutaan barang dan jasa dari masing-masing sektor yang diproduksi pada tahun 2007 dinilai berdasar harga pada waktu itu. Nilai keseluruhannya adalah Rp 3.957,4 triliun, dengan rincian produksi masing-masing lapangan usaha seperti : 1. Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan (547,2); 2. Pertambangan dan Penggalian (440,8); 3. Industri Pengolahan (1.068,8); 4. Listrik, Gas dan Air Bersih (34,8); 5. Konstruksi (305,2); 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran (590,8); 7. Pengangkutan dan Komunikasi (265,3); 8. Keuangan, Real estat dan Jasa Perusahaan (305,2); 9. Jasa-jasa (399,3). Sebenarnya ada rincian lagi dari masing-masing sektor, yang biasa disebut subsektor.

Angka yang lebih sering dianalisa oleh para ekonom adalah PDB riil, PDB menurut harga konstan tahun dasar tertentu. PDB riil dihitung dengan menghilangkan faktor fluktuasi harga, sehingga yang diperbandingkan antar tahun adalah benar-benar kuantitas produksi, dimana nilai uang hanya bersifat satuan ukuran yang memungkinkan dilakukannya penjumlahan. Alat yang dipakai adalah indeks harga tertentu, yaitu PDB deflator. Angka PDB deflator ini sedikit berbeda dengan angka Indeks Harga Konsumen (IHK) yang biasa dipakai sebagai ukuran inflasi. IHK dihitung berdasar harga yang dibayar oleh konsumen akhir untuk semua barang yang dibeli, sedangkan PDB deflator berdasar harga untuk semua barang yang diproduksi.

Kita bisa menelusuri kemana perginya seluruh barang dan jasa yang diproduksi pada tahun 2007 di atas. Dipergunakan untuk apa dan oleh siapa saja. Dalam pengertian sehari-hari dibeli oleh siapa saja, dengan catatan ada sebagian barang dan jasa yang dianggap dibeli oleh produsennya sendiri. Dari sudut pandang pihak pembeli atau yang memperoleh barang, nilai barang dan jasa yang dibayarnya adalah pengeluaran. Dengan demikian, PDB bisa pula dilihat sebagai pengeluaran total atas hasil produksi (output) barang dan jasa suatu perekonomian dalam kurun waktu tertentu. Untuk keperluan analisis, PDB yang dilihat secara ini disebut juga dengan PDB menurut penggunaannya. Untuk apa atau oleh siapa saja PDB tersebut dipergunakan, yang berarti pula pihak mana saja yang melakukan pengeluaran untuk mendapatkannya. Sebagaimana kebiasaan yang berlaku secara internasional, BPS mengelompokkannya sebagai berikut: Pengeluaran Konsumsi Rumah tangga, Pengeluaran Konsumsi Pemerintah, Pembentukan modal tetap domestik Bruto dan perubahan stok, serta Ekspor Netto, yaitu ekspor dikurangi impor.

Oleh karena PDB terdiri dari berbagai barang dan jasa akhir, pendekatan ini bisa pula diartikan sebagai jumlah seluruh komponen permintaan akhir. Dengan penjelasan teknis ekonomi tertentu, angka-angka komponen di atas bisa dianalisa sebagai indikator permintaan agregat suatu perekonomian. Secara menyederhanakan, media masa atau laporan perekonomian suka menyebutnya sebagai sisi permintaan dari PDB atau bahkan dari perekonomian.

Yang perlu selalu diingat adalah bahwa PDB adalah angka agregat, yang bersifat keseluruhan. Angka agregat sama sekali tidak mencerminkan distribusinya. PDB misalnya, hanya akan menghasilkan angka rata-rata jika dibagi dengan jumlah penduduk. PDB atas dasar harga yang berlaku pada tahun 2007 adalah sekitar Rp 3.957 trilyun, dengan penduduk sekitar 225 juta, maka PDB per kapita hampir mencapai Rp 17,58 juta. Seandainya satu keluarga terdiri dari 4 jiwa, maka penghasilan rata-rata per keluarga adalah lebih dari Rp 70 juta per tahun, atau hampir 6 juta rupiah per bulan. Bayangkan pula jika memakai angka asumsi PDB 2009 menurut APBN nanti, yang sebesar Rp 5.309 triliun. Setelah memperhitungkan kenaikan jumlah penduduk, maka penghasilan rata-rata per keluarga tahun depan (2009) diperkirakan sebesar Rp 92 juta per tahun atay Rp 7,6 juta per bulan. Berapa banyak keluarga di Indonesia yang memiliki penghasilan sebesar itu?

Statistiknya barangkali tidak keliru dan tak dimanipulasi, namun memang bersifat pukul rata. Jika ada yang berpenghasilan milyaran rupiah, maka akan “menambahi” rata-rata bagi yang berpenghasilan ratusan ribu rupiah, bahkan bagi yang tak memiliki penghasilan sama sekali.

Perhatikan pula pengaruh variabel harga dalam PDB nominal, yang secara teknis biasa disebut sebagai inflasi. Kenaikan harga-harga (inflasi) yang tinggi adalah rahasia dari melesatnya PDB nominal dari asumsi APBN 2008, bahkan dari angka yang sudah direvisi dalam APBN-P 2008. Secara logis, PDB nominal 2009 pun akan jauh lebih besar dari yang ditetapkan jika ternyata asumsi inflasi yang hanya 6,2 persen terlampau rendah dibandingkan realisasinya nanti.

Sebenarnya pula berbagai buku teks ilmu ekonomi telah membahas banyak kelemahan dari angka-angka dan cara perhitungan pendapatan nasional (PDB adalah salah satu diantaranya). Ekonom yang kritis sangat merekomendasikan agar PDB tidak terlampau banyak dipakai sebagai alat ukur perekonomian, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia. Pada kenyataannya, PDB (nominal maupun harga konstan) selalu menjadi tema sentral dalam laporan resmi perekonomian Indonesia.

Selain itu, analisa makroekonomi dalam laporan resmi pemerintah dan Bank Indonesia pada umumnya memiliki horison waktu jangka pendek. Sebagiannya disebabkan periodisasi laporan yang bersifat relatif jangka pendek (triwulanan, semester, atau tahunan), sehingga fokusnya adalah perubahan selama kurun waktu tersebut. Variabel yang diamati atau dilaporkan sering dideskripsikan dengan menganalisa faktor-faktor yang tampak berpengaruh signifikan dalam perspektif waktu bersangkutan. Akibatnya, faktor-faktor yang sebenarnya berpengaruh signifikan, namun dalam kurun waktu yang lebih panjang, kerap kurang diperhatikan. Bahkan, beberapa variabel penting dalam makroekonomi jarang sekali dibahas karena fakta jangka pendeknya tidak mengalami perubahan berarti.

Senin, 22 September 2008

Angka Pengangguran dalam Pidato Presiden SBY

Angka Pengangguran dalam Pidato Presiden SBY

Soal pengangguran memang selalu dikutip dalam Pidato kenegaraan Presiden SBY selama tiga tahun terakhir (setiap bulan Agustus). Namun bagi ekonom yang kritis, ada ketidakjelasan atau ketidakkonsistenan dalam kutipan itu. Bahkan berkenaan dengan aspek kuantitatif yang paling sederhana.

Pada tahun 2008, dikatakan: ”Pembangunan ekonomi, kita laksanakan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata. Oleh karena itu, strategi yang saya gariskan adalah strategi ‘pertumbuhan disertai pemerataan’ atau ‘growth with equity.’ Percepatan pembangunan ekonomi, telah memberikan dampak yang positif baik pada percepatan penurunan tingkat pengangguran terbuka maupun tingkat kemiskinan. Tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2006 mencapai 10,5 persen, kini telah berhasil diturunkan menjadi 8,5 persen pada Februari 2008.”

Pada tahun 2007 hanya dikatakan: “…..Pengangguran dan kemiskinan masih belum sepenuhnya kita tanggulangi...” Tidak disinggung angka sama sekali.

Pada tahun 2006 dikatakan: ”Tingkat pengangguran telah mulai menurun dari 11,2% pada bulan November tahun 2005 menjadi 10,4 persen pada awal tahun 2006. Penurunan tingkat pengangguran ini baru pertama kali terjadi, setelah dalam beberapa tahun terakhir mengalami kenaikan.” Perhatikan bahwa yang dipakai sebagai angka dasar (untuk perbandingan) adalah data November 2005 bukannya Februari 2005 (SBY sudah jadi Presiden) yang 10,3 persen.

Ketika angka-angka disebut, kecenderungannya adalah memakai prosentase, bukannya jumlah penganggur secara absolut. Wajar karena jumlah angkatan kerja terus meningkat, sehingga penurunan secara prosentase terlihat lebih baik.

Menarik pula jika dilihat bahwa angka pengangguran di Indonesia sering tidak diperlakukan sebagai indikator makroekonomi oleh pemerintah. Ketika pemerintah mengklaim kondisi makroekonomi sangat baik, angka-angka yang biasa diperlihatkan sering tidak mencakup angka pengangguran. Anehnya, para pengkritik pemerintah pun kerap berperspektif yang sama. Mereka biasa mengatakan bahwa pemerintah terlampau memperhatikan makroekonomi, sedangkan masalah pengangguran dan kemiskinan tidak teratasi dengan baik.

Padahal, menurut text book, pengangguran (atau tingkat penggunaan tenaga kerja sebagai kebalikannya) adalah salah satu soal terpenting makroekonomi. Pengangguran sebagai indikator makroekonomi bermanfaat untuk mengetahui bagian dari tenaga kerja yang sesungguhnya terlibat, atau berusaha untuk terlibat, dalam kegiatan memproduksi barang dan jasa selama kurun waktu tertentu.

Secara resmi, Badan Pusat Statistik (BPS) memberi definisi, menghitung dan mempublikasikan secara rutin berbagai data bekenaan dengan pengangguran. Menurut BPS, tenaga kerja (manpower) adalah seluruh penduduk dalam usia kerja (berusia 15 tahun atau lebih) yang potensial dapat memproduksi barang dan jasa. Penduduk usia kerja dibagi menjadi dua golongan yaitu yang termasuk angkatan kerja dan yang termasuk bukan angkatan kerja. Angkatan kerja sendiri terdiri dari mereka yang aktif bekerja dan mereka yang sedang mencari pekerjaan. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok bukan angkatan kerja adalah mereka yang masih bersekolah, ibu rumah tangga, pensiunan dan lain-lain.

Sementara itu, penduduk yang bekerja atau mempunyai pekerjaan adalah mereka yang selama seminggu sebelum pencacahan melakukan pekerjaan atau bekerja untuk memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan selama paling sedikit satu jam dalam seminggu yang lalu dan tidak boleh terputus (Sensus Penduduk 2000). Pengangguran Terbuka merupakan bagian dari angkatan kerja yang tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan (baik bagi mereka yang belum pernah bekerja sama sekali maupun yang sudah penah berkerja), atau sedang mempersiapkan suatu usaha, mereka yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan dan mereka yang sudah memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja.

BPS menyediakan pula istilah Setengah Pengangguran, yaitu bagian dari angkatan kerja yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu). Di banyak negara, pengertian ini masih termasuk pengangguran. Jika angka setengah pengangguran dianggap tidak bekerja, maka jumlahnya saat ini masih berkisar 25 juta orang. Angka pengangguran akan masih lebih dari 20 persen.

Persoalan lain yang juga membutuhkan perhatian adalah upah riil yang diterima para pekerja. Upah riil adalah nilai balas jasa yang diterima pekerja, yang diukur dengan daya belinya terhadap barang dan jasa. Jika upah nominal naik lebih rendah daripada tingkat inflasi, apalagi jika tidak mengalami kenaikan samasekali, maka upah riil dipastikan menurun. Ada indikasi, upah riil pekerja di beberapa sektor usaha mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir.

Persoalan rendahnya imbalan bagi para pekerja ditunjukkan pula oleh data banyaknya orang yang bekerja di sektor usaha berskala mikro, yang biasa disebut sebagai sektor nonformal. BPS sendiri merasa perlu menjelaskan bahwa penurunan angka dan jumlah pengangguran selama beberapa tahun belakangan lebih disebabkan oleh daya serap sektor ini. BPS mengeluarkan data tentang jenis-jenis pekerjaan, yang salah satu klasifikasinya adalah bekerja atau berusaha sendiri. Klasifikasi ini memang tidak hanya mencakup sektor nonformal, namun dalam penjelasan verbalnya dipastikan sebagai yang paling besar porsinya.

Kekhawatiran akan turun, stagnan atau tumbuh secara amat lambat ditujukan pula pada pendapatan riil para petani, yang antara lain diindikasikan oleh nilai tukar petani (NTP). Data NTP dari BPS memang memperlihatkan perkembangan yang fluktuatif selama beberapa tahun terakhir. Namun, belakangan ada kecenderungan untuk stagnan atau menurun. Bahkan, ada yang menduga jika pencermatan dilakukan secara lebih teliti, maka beberapa sektor pertanian rakyat (dilihat dari sisi pendapatan petaninya) mengalami penurunan yang cukup signifikan.

Kesimpulannya, angka pengangguran yang biasa dikutip dalam pidato kenegaraan Presiden SBY sulit ditafsirkan sebagai indikasi keberhasilan kebijakan ekonomi dari pemerintahannya. Justeru lebih dekat sebagai bukti kegagalan pengelolaan perekonomian nasional.

Rabu, 10 September 2008

IHSG sebenarnya dianggap mencerminkan apa oleh Nota Keuangan dan APBN?

IHSG sebenarnya dianggap mencerminkan apa oleh Nota Keuangan dan APBN?
Sampai dengan awal tahun ini, pertumbuhan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang spektakuler berulangkali diklaim sebagai pertanda perbaikan ekonomi oleh pemerintah maupun oleh sebagian ekonom. Alasan utamanya, hal itu dianggap mencerminkan tingginya kepercayaan dunia bisnis (terutama internasional) terhadap perekonomian Indonesia. Namun, ketika pada beberapa bulan terakhir, fluktuasi harga saham terjadi secara cukup signifikan, dengan kecenderungan menurun, maka penjelasannya memakai variabel yang berbeda. Tidak serta merta diartikan secara logis sebagai menurunnya kepercayaan.

IHSG adalah indikator harga dari seluruh saham yang tercatat di bursa Efek Indonesia. Jika IHSG cenderung terus meningkat artinya harga saham pada umumnya naik, meskipun tetap ada yang mengalami penurunan. Bagi kebanyakan ekonom mainstreams, IHSG sering diperlakukan sebagai cermin perekonomian. Logikanya, ada ekspektasi mengenai keadaan emiten (perusahaan yang menerbitkan saham) yang terus membaik sehingga sahamnya “dihargai” lebih mahal.

Dalam kenyataannya, para pelaku pasar modal tidak sepenuhnya (malah ada yang tidak sama sekali) mendasari perilakunya dengan analisa fundamental tentang keadaan emiten atau keadaan industri yang bersangkutan. Banyak dari mereka murni bertujuan berdagang dan berspekulasi, mengoptimalkan perolehan harga melalui fluktuasi harga saham. Ada macam-macam jenis transaksi dan jenis produk yang diperdagangkan seperti: perdagangan waran, kontrak berjangka indeks saham, right issue, reksa dana, dan sebagainya. Semuanya bisa dilakukan dengan pasar regular, negosiasi maupun tunai, sehingga memungkinkan segala macam “game” dapat dimainkan.

Anggapan bahwa IHSG mencerminkan tingkat kepercayaan dunia bisnis internasional sebenarnya memang memiliki alasan kuat berdasar data kepemilikan saham. Kepemilikan saham di bursa Indonesia mayoritas adalah oleh asing, mencapai hampir 70%. Bahkan, saham yang dimiliki oleh lokal (sekitar 30%) mengandung pula unsur kepemilikan asing. Yang dimaksud lokal oleh data tersebut adalah: asuransi, reksa dana, dana pensiun, lembaga keuangan, perusahaan, perusahaan efek, yayasan, perorangan dan lainnya. Padahal kita telah tahu bahwa reksa dana, lembaga keuangan, perusahaan, dan perusahaan efek, sebagian kepemilikannya (ada yang sebagai saham pengendali) adalah asing, sekalipun berbadan hukum Indonesia.

Bagaimanapun, kita perlu bersikap kritis atas berbagai pernyataan (terutama dari pihak pemerintah atau ekonom pendukungnya). Pada saat IHSG terus naik (bahkan secara dramatis) yang dikemukakan adalah opini mengenai membaiknya perekonomian nasional. Ketika yang terjadi adalah penurunan IHSG secara signifikan, maka yang disebut-sebut adalah dinamika umum pasar keuangan internasional yang juga mengalami koreksi secara besar-besaran.

Sebagai contoh, kita kutip halaman I-3 dari Nota Keuangan dan RAPBN 2009, sebagai berikut: ”Dalam hal pasar modal, kinerja pasar modal domestik masih cukup baik dan mampu terus tumbuh serta menciptakan beberapa rekor baru, antara lain indeks harga saham yang mencapai 2.830,3 pada tanggal 9 Januari 2008. Namun kondisi ekonomi AS yang semakin memburuk telah membawa sentimen negatif pada bursa saham. Indeks bursa saham utama, termasuk bursa saham Indonesia kembali berjatuhan. IHSG turun mencapai level terendah pada level 2.180,1 pada tanggal 9 April 2008. Kebijakan untuk menaikkan harga BBM dan realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2008 yang masih cukup kuat, membawa sentimen positif ke bursa saham Indonesia, sehingga IHSG mampu kembali meningkat. Pada akhir semester I tahun 2008, IHSG ditutup pada level 2.349,1, atau meningkat 9,8 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.”

Setahun sebelumnya, pada halaman I-1 dari Nota keuangan dan APBN 2008 disebutkan bahwa: “…..Perekonomian menunjukkan pembalikan dengan arah yang positif. Hingga akhir tahun 2006, indikator-indikator ekonomi makro menunjukkan bahwa ekonomi tumbuh sebesar 5,48 persen; tingkat inflasi mencapai 6,6 persen (y-o-y); BI Rate mencapai 9,75 persen; rata-rata nilai tukar rupiah sekitar Rp9.164 per US$; dan indeks harga saham gabungan (IHSG) menembus level 1.800 poin. Memasuki tahun 2007, perbaikan ekonomi makro terus terjadi sejalan dengan membaiknya perekonomian negara-negara ASEAN. IHSG terus meningkat secara tajam dan mencapai 2.359,2 poin pada akhir September 2007…..

Jumat, 05 September 2008

TANGGUNG JAWAB MAHASISWA EKONOMI DI INDONESIA

TANGGUNG JAWAB MAHASISWA EKONOMI DI INDONESIA
Sebagai mahasiswa baru di fakultas ekonomi jurusan ilmu ekonomi, maka sudah sewajarnya jika anda bertanya-tanya, dalam hati ataupun diutarakan, mengenai peran ilmu yang akan segera dipelajari selama beberapa tahun. Secara lebih sempit, sebagian mahasiswa mencoba meneropong profesi apa yang mungkin digeluti setelah lulus nantinya. Ada banyak peluangkah, mengingat ketatnya persaingan mencari kerja kini dan kemungkinan di masa datang. Jikapun ada atau cukup besar peluang mendapat kerja dengan kompetensi yang dimiliki setelah menguasai ilmu ekonomi, tergelitik khayalan mengenai besar kecilnya imbalan atau upahnya.

Ada berita baik dan ada berita buruk mengenai peran ekonom dan ilmu ekonomi di Indonesia. Berita baiknya, ekonom dan ilmu ekonomi sedang amat diperlukan di negara ini, yang bahkan cenderung mendominasi profesi dan disiplin ilmu lainnya. Jumlah tenaga ahli ekonomi yang diperlukan oleh berbagai kementerian dan lembaga negara bisa dikatakan cukup banyak. Baik dibandingkan dengan sebagian besar disiplin ilmu sosial lainnya, maupun jika dibandingkan dengan ketersediaan ahli ekonomi itu sendiri hingga saat ini. Tidak hanya dibutuhkan oleh semua departemen atau lembaga negara, melainkan juga oleh kebanyakan perusahaan swasta atau lembaga non bisnis. Hebatnya lagi, ahli ekonomi biasa dipakai untuk jenis pekerjaan yang tergolong “menengah” atau “atas” dalam struktur manajemen. Sementara itu, di media masa, para ekonom sering tampil menyerupai para selebritis. Di jajaran media itu sendiri, profesi jurnalis dengan latar belakang kompetensi ilmu ekonomi memperoleh kesempatan yang tergolong amat baik. Patut diperhitungkan pula soal banyaknya politisi yang dahulunya “hanya” seorang ahli ekonomi. Setidaknya, pribadi-pribadi yang terjun ke bidang politik secara serius pun biasa mempekerjakan ekonom sebagai tim suksesnya.

Bisa dikatakan, gambaran tentang pekerjaan teknis dari seorang ekonom di Indonesia tidak lagi streotype sebagai dosen dan peneliti saja. Tidak pula terbatas pada staf ahli atau bahkan menteri itu sendiri. Pilihannya sangat banyak, dan sekali lagi, saat ini adalah era keemasan bagi ekonom di Indonesia.
Berita buruknya, ekonom dan ilmu ekonomi justeru mulai terbukti gagal memperbaiki kehidupan ekonomi bangsa dan rakyat kebanyakan di Indonesia. Semakin banyak, semakin terkenal dan berpengaruhnya ahli ekonomi dibanding waktu yang sudah-sudah, belum tampak menunjukkan arti positif bagi perekonomian nasional. Perekonomian masih dihantui oleh ancaman krisis yang bisa datang sewaktu-waktu; utang pemerintah semakin mempersempit pilihan kebijakannya dan secara langsung membebani rakyat; kebijakan ekonomi yang dipilih tidak membantu mengatasi masalah pangan dan energi yang mutlak dibutuhkan rakyat; soal kemiskinan dan pengangguran belum ada indikasi akan terselesaikan.

Kembali ke berita baik, posisi yang tinggi dari para ekonom sudah diramalkan oleh Samuelson, sebagaimana dikutip oleh Mankiw (2006), “Saya tidak peduli siapa yang membuat undang-undang suatu negara, atau membuat perjanjian-perjanjian negara tersebut, jika saya mampu menulis buku ajar (textbook) ilmu ekonominya. Dalam bahasa awam untuk konteks Indonesia bisa diterjemahkan menjadi: “tidak penting siapa presiden dan para menteri di bidang perekonomiannya, asal konsep ilmu ekonomi yang dipakainya adalah ide tertentu (yang terkontrol).”

Samuelson pula yang sejak awal mengklaim bahwa ilmu ekonomi adalah ratunya ilmu sosial. Argumen utamanya adalah ilmu ekonomi memiliki kekuatan ilmu eksakta namun mengandung keindahan seni atau sastra. Kurang lebihnya, bisa berguna secara rasional namun mengandung unsur kebijaksanaan, alias bisa diaplikasikan.

Terlepas dari itu, ada dua fenomena yang saling bertolak belakang berkenaan dengan pe­mahaman publik atas apa yang sebenarnya telah dan tengah berlangsung dalam dinamika perekonomian Indonesia. Pertama, istilah dan angka ekonomi cenderung mendominasi headline news media massa, media cetak maupun media elektronik di Indonesia saat ini. Ada berita atau ulasan mengenai kondisi perekonomian, yang dahulunya hanya dikenal mereka yang bergelut dalam wacana ilmu ekonomi, seperti : laju pertumbuhan ekonomi, kondisi APBN, perkembangan transaksi berjalan dan fluktuasi nilai tukar rupiah. Masyarakat luas akhirnya menjadi terbiasa disodori perbincangan mengenai hal-hal tersebut.

Akan tetapi, ada fenomena lain yang justeru nuansanya berkebalikan dari fenomena pertama tadi. Tampak semakin banyak orang yang bingung dengan penggambaran atau ulasan para ahli ekonomi, terutama ekonom pemerintah, tentang keadaan ekonomi Indonesia. Indikasinya bisa dilihat dari berbagai komentar pembaca media cetak dalam surat pembaca, atau pada saat ini paling mudah dilihat dari tanggapan dalam media yang kebanyakan sudah menyediakan edisi online selain versi cetak (juga ada beberapa media yang memang hanya mempublikasan edisi online).

Dalam berbagai headline news tadi, masyarakat umum yang tidak terlatih dalam ilmu ekonomi sering dibingungkan oleh banyak hal, sekalipun terbiasa membaca dan mendengarnya. Sebagian dari penyebabnya adalah: Ada banyak istilah ekonomi yang tak mudah dimengerti; Ada penyajian angka yang sangat banyak macamnya karena sebagian besar istilah tadi memiliki aspek kuantitatif, dan dipublikasikan secara rutin; Tidak sesuainya makna sajian angka (indikator) ekonomi yang di­­katakan oleh ekonom dengan kondisi yang dirasakan oleh orang kebanyakan; Ada banyak pertanyaan mengenai mengapa ulasan ekonom tentang berbagai istilah dan angka ekonomi bernada positif, sementara mereka merasakan hidup dengan kesulitan ekonomi yang tidak berkesudahan.

Pada saat ini pemerintah (dan BI) dengan dukungan ekonomnya selalu mengemukakan keadaan yang membaik, sementara rakyat kebanyakan tidak merasa demikian.

Mahasiswa Ekonomi, khususnya jurusan ilmu ekonomi, bertanggung jawab untuk mencari tahu mengapa ada gap antara ekonom dan rakyat, mengapa ilmu ekonomi tidak sepenuhnya menggambarkan keadaan secara benar, lalu berusaha memperbaikinya. Untuk itu mereka tetap perlu belajar ilmu ekonomi arus utama (mainstreams) sebagaimana yang memang telah “dipaksakan” dalam kurikulum. Namun, para mahasiswa harus berupaya keras belajar tentang cara pandang lain dari banyak sumber yang juga bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Lebih penting lagi, belajar dari fakta-fakta yang ada di Indonesia. Tentu saja, dimulai dari penalaran dengan akal sehat.

Perlu diketahui oleh mahasiswa baru bahwa ada dua hal yang paling dikritikkan kepada ekonom mainstreams. Pertama, mereka sering tidak mengetahui (bisa juga tidak peduli) keadaan yang sebenarnya terjadi di perekonomian riil rakyat kebanyakan. Termasuk di dalamnya adalah kekurang mengertian hubungan antar variabel dan cara kerjanya. Kedua, kurang menggali konsep kebijasanaan lokal maupun warisan sejarah pemikiran bangsa sendiri. Baik dari para pemikir terdahulu, atau dari rakyat kebanyakan. Banyak ekonom yang lebih percaya kepada fikiran ahli ekonomi di negara seberang yang bahkan tidak pernah secara serius ingin mengetahui tentang perekonomian Indonesia.

Catatan: Disampaikan Awalil Rizky pada kuliah umum untuk mahasiswa jurusan Ilmu ekonomi, FE Universitas Trisakti, tanggal 5 September 2008.

Jumat, 29 Agustus 2008

Apakah Arti Rasio Utang Pemerintah Terhadap PDB Yang Menurun?

Apakah Arti Rasio Utang Pemerintah Terhadap PDB Yang Menurun?

Masih berkaitan dengan posting saya sebelum ini, Presiden SBY juga mengatakan antara lain: ”Kebijakan pembiayaan anggaran dalam tahun 2009 tidak hanya bertujuan untuk memperkuat tingkat kemandirian dan mengurangi ketergantungan sumber pembiayaan luar negeri, namun juga ditujukan untuk mendorong pengelolaan utang yang berhati-hati. Sumber pembiayaan anggaran dari dalam negeri, terutama berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara, termasuk Surat Berharga Syariah Negara. Hal ini selain akan memberikan komitmen pengembangan surat berharga berdasarkan prinsip syariah di Indonesia, juga akan menciptakan alternatif surat berharga negara yang lebih bervariasi.” Lebih lanjut dikatakannya, ” Dengan kebutuhan pembiayaan, baik yang berasal dari dalam negeri maupun pembiayaan luar negeri sebagaimana saya kemukakan tadi, maka rasio utang pemerintah terhadap PDB dalam tahun 2009 diperkirakan akan menurun dari sekitar 54 persen pada tahun 2004, menjadi sekitar 30 persen. Tingkat rasio utang ini, membuktikan tekad yang kita canangkan bahwa Indonesia harus bisa dibangun dengan semaksimal mungkin menggunakan sumber daya kita sendiri.”

Sebagaimana banyak diketahui, untuk lebih mengendalikan beban utang di masa mendatang, Pemerintah dan DPR telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang KeuanganNegara. Pemerintah juga telah mengeluarkan PP Nomor 23 Tahun tentang “Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah”. Undang-undang dan PP tersebut diantaranya mengatur bahwa besarnya defisit dari General Governments maksimal 3 persen dari PDB dan besarnya rasio utang dari General Governments terhadap PDB maksimal 60 persen.

Target agar angka rasio utang dari General Governments terhadap PDB tidak melebihi dari 60% tampaknya terlalu mudah dicapai. Wajar pula jika Pemerintah selalu berargumen bahwa meskipun jumlah nominal utang menunjukkan kecenderungan yang meningkat, namun rasio utang terhadap PDB menunjukkan kecenderungan menurun yang konsisten. Hal ini diklaim sebagai mencerminkan beban dan sekaligus kemampuan Pemerintah dalam mengelola kewajiban secara berkelanjutan.

Sebagai catatan, biasanya yang dijadikan standar adalah estimasi yang dilakukan Bank Dunia dan IMF. Bank Dunia menyimpulkan bahwa debt to GDP ratio semacam itu yang aman adalah sekitar 21 persen– 49 persen. Sedangkan IMF menyimpulkan bahwa batas yang dianggap aman adalah 26 persen – 58 persen. Berdasarkan kriteria tersebut, utang dalam dan luar negeri pemerintah Indonesia bisa dikatakan dalam batas aman.

Keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan rasio stok utang terhadap PDB ini harus diperiksa secara lebih kritis. Masih banyak detil yang harus dicermati dibalik penurunan rasio itu, selain apakah penurunan sebesar demikian cukup memadai bagi perekonomian Indonesia. Sebagai contoh, kita harus memperhitungkan adanya inflasi yang tinggi pada tahun 2005 yang otomatis menggelembungkan PDB menurut harga berlaku, sehingga bilangan penyebut menyumbang signifikan dalam penurunan rasio. Artinya pula, kecenderungan inflasi yang akan lebih tinggi pada tahun 2008 ini dibandingkan tahun sebelumnya justeru akan memperbaiki rasio dimaksud.

Pada uraian buku utang yang saya tulis bersama Nasyith pun telah menjelaskan berbagai teknik keuangan untuk “gali lobang tutup lobang”, dimana stok utang bisa dikendalikan namun biayanya meningkat. Sebagai contoh, pemerintah bisa melakukan buyback, debt switch, dan atau menerbitkan lebih dahulu SUN yang hasilnya dipakai membayar yang jatuh tempo. Begitupun ULN memang sedikit dikurangi namun diganti dengan SUN. Satu langkah atau gabungan dari semuanya, akan membuat stok nominal utang hanya sedikit berubah. Bahkan bisa menurun jika yang dianalisis adalah rasio stok utang dengan PDB, karena PDBnya (sebagai bilangan penyebut) meningkat. Namun bisa dipastikan biaya utangnya meningkat.

Sebagai contoh lagi, langkah agar pemegang SUN lama bersedia menukarkannya dengan yang baru pasti harus ditawarkan yield yang lebih baik. Pelunasan yang dipercepat memerlukan insentif keuntungan lebih baik dilihat dari sisi pemegang SUN. Singkatnya, kita harus memeriksa kembali apakah keberhasilan pengendalian stok utang dan rasionya terhadap PDB ini diimbangi dengan penurunan biaya utang. Atau yang terjadi justeru pembengkakan biaya utang. Penelitian saya menemukan bahwa terjadi peningkatan biaya utang secara signifikan untuk setiap satuan utangnya.

Bagi mereka yang belum akrab dengan perhitungan ekonomi secara teknis, bayangkan saja jika sebuah keluarga memiliki utang kemudian membayar cicilan dan bunganya dengan pinjaman baru yang berbunga (dan biaya administrasi) lebih besar dari yang dilunasi. Secara sederhana, itulah yang terjadi pada pengelolaan utang pemerintah.

Apakah Utang Luar Negeri Kita Menurun?

Apakah Utang Luar Negeri Kita Menurun?

“Defisit anggaran sebesar Rp 99,6 triliun (1,9 persen PDB) dalam RAPBN tahun 2009, direncanakan dibiayai dari sumber-sumber pembiayaan dalam negeri sekitar Rp 110,7 triliun, dan pembiayaan luar negeri neto minus Rp 11,1 triliun. Dengan demikian pembayaran cicilan pokok utang luar negeri yang kita lakukan, lebih besar dari pada jumlah utang luar negeri baru. Hal ini sesuai dengan tujuan untuk terus mengurangi porsi utang luar negeri dalam pembiayaan defisit kita.” Begitu yang dikatakan Presiden SBY pada pidato kenegaraan Agustus lalu. Ditegaskan pula olehnya bahwa ”Dengan demikian, suatu saat nanti kita dapat bangga menyampaikan pada generasi penerus, anak cucu kita, bahwa kita mewariskan Negara dengan kekayaan yang makin meningkat, kemakmuran yang merata, dan utang yang makin kecil atau bahkan tidak ada.”

Pernyataan bernada demikian bukan hal yang baru dikeluarkan Pemerintahan SBY, yang telah berulang kali mengatakan (termasuk dari petinggi Departemen keuangan) komitmen untuk terus menurunkan posisi (outstanding) utang luar negerinya, baik secara nominal maupun angka rasionya terhadap PDB.

Ada beberapa hal yang membutuhkan kejelasan dari pernyataan atau target semacam itu. Salah satunya adalah soal definisi utang luar negeri (ULN) pemerintah. Definisi ULN dipastikan telah menjadi beragam akibat perkembangan pasar keuangan internasional dan pasar keuangan domestik yang mengalami internasionalisasi. Untuk kasus ULN pemerintah Indonesia, dampak dari perkembangan ini sangat signifikan bagi arti datanya sejak tahun 2004.
ULN biasa diartikan (terutama oleh pemerintah) sebagai pinjaman yang bersumber dari: multilateral, bilateral, komersial dan kredit ekspor. Jika diartikan demikian, maka nominal ULN pemerintah memang berprospek menurun, setidaknya stagnan dalam tiga tahun terakhir. Rasionya terhadap PDB otomatis akan turun, mengingat kecenderungan PDB untuk terus meningkat. ULN pemerintah versi arti ini tercatat sebesar USD 68,58 miliar (2004), USD 63,09 miliar (2005), USD 62,02 miliar (2006), USD 62,25 (2007), dan USD 63,17 miliar (30 Juni 2008).
Menurut dokumen Bank Dunia (1992), loan adalah dokumen yang secara sah mengikat yang mewajibkan sejumlah dana tertentu tersedia untuk dibayarkan (di-disburse). Sedangkan Loan agreement adalah bukti yang sah atas suatu kesepakatan untuk meminjamkan apabila pra-kondisi tertentu telah dipenuhi. Dalam PP No.2/2006, Loan agreement adalah naskah perjanjian atau naskah lain yang disamakan yang memuat kesepakatan mengenai Pinjaman Luar Negeri antara Pemerintah (peminjam atau borrower) dengan Pemberi Pinjaman Luar Negeri (Lender).
PP No.2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri (pasal1) menyatakan bahwa pinjaman luar negeri adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan, rupiah, maupun dalam bentuk barang dan/atau jasa yang diperoleh dari pemberi pinjaman luar negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu.

Jika mengiktui PP No.2 Tahun 2006, kita bisa saja memasukkan SUN berdenominasi dolar sebagai ULN pemerintah Indonesia saat ini. Sebabnya adalah karena SUN tersebut seluruhnya masih dimiliki oleh pihak non penduduk. Perhitungan demikian akan membuat nominal ULN langsung melonjak. Angkanya kemungkinan besar terus bertambah di masa mendatang, mengingat kecenderungannya yang terus menaik sejak diterbitkan. Nilai penerbitan SUN berdenominasi dolar Amerika sejak 2004 telah mencapai USD 11,2 miliar pada 31 Juli 2008.

Jika ULN diartikan sebagai utang dalam denominasi mata uang asing, maka obligasi negara berdenominasi dolar Amerika harus dimasukkan dalam perhitungan. Nominalnya berprospek melonjak, dan tidak mustahil rasionya pun menaik. Dalam versi ini, telah terjadi kenaikan posisi ULN pemerintah selama dua tahun terakhir, USD 66,76 miliar (2005), USD 67,52 miliar (2006) dan USD 69,25 (2007). Bahkan, telah menjadi USD 74,37 miliar per 31 Juli 2008, karena terbitnya ON denominasi dolar dan pencairan ULN baru selama beberapa bulan terakhir.

Meskipun tidak lazim dalam publikasi resmi, pengertian ULN bisa saja kita perluas sebagai utang yang dananya berasal dari luar negeri. Maka SUN yang dimiliki pihak asing (non residen) sebesar Rp 106,12 triliun (sekitar USD 12 miliar) per 22 Agustus 2008 harus dimasukkan pula. Data sebelumnya dari SUN yang dimiliki asing adalah: Rp 10,74 triliun (2004), Rp 31,09 triliun (2005), Rp 54,92 triliun (2006), dan Rp 78,16 triliun (2007).

Sejauh ini, pengertian pemerintah yang kita pakai pun adalah pemerintah umum (general government). Pengertian yang lebih luas adalah sektor publik (public sector), yang antara lain juga memasukkan bank sentral ke dalamnya. Kita tahu, Bank Indonesia pun memiliki ULN, serta ada puluhan triliun rupiah dari SBI yang dimiliki oleh pihak asing. Selain bank sentral, kita bisa menambahkan BUMN ke dalam sektor publik.

Ada baiknya pula kita mengingat bahwa sebagian besar SUN yang bisa diperdagangkan dimiliki oleh lembaga keuangan, seperti: bank, reksadana dan asuransi. Berbagai lembaga tersebut memang tergolong penduduk (residen) secara hukum. Namun, proporsi kepemilikan asing atas saham-sahamnya terus membesar. Sebagai contoh, sebanyak 267,65 triliun atau sekitar 49,6 % dari sekitar 539,4 triliun SUN yang dapat diperdagangkan per 22 Agustus 2008 adalah dimiliki oleh bank. Padahal kepemilikan asing atas saham perbankan telah lebih dari 50 % pada awal tahun ini. Artinya, dana itu bersumber dari luar negeri.
Akhirnya, penetapan target ULN pemerintah memerlukan ketegasan mengenai apa yang dicakup. Perlu konsistensi penggunaan definisi, agar kondisinya mudah dinilai publik luas. Dan yang lebih penting lagi adalah pembicaraan mengenai beban semua utang pemerintah. Baik untuk saat ini maupun perhitungannya untuk masa mendatang. Kebanyakan dari biaya itu tetap saja dibayar kepada pihak ”luar negeri”.
Menurut penelitian saya, yang antara lain menggunakan cara berfikir di atas, kesimpulan bahwa terjadi penurunan ULN adalah tidak benar. Nominalnya terus membesar dengan cepat, sedangkan prosentasenya terhadap PDB memang sedikit mengalami penurunan, tetapi tidak mengindikasikan perbaikan keadaan secara berarti.

Angka anggaran pengentasan kemiskinan adalah pernyataan politik bukan pernyataan fiskal

Angka anggaran pengentasan kemiskinan adalah pernyataan politik bukan pernyataan fiskal

Anggaran pengentasan kemiskinan pada tahun 2009 mencapai Rp 66,2 triliun, suatu jumlah yang diklaim pidato kenegaraan Presiden SBY lalu sebagai peningkatan hingga 3 kali lipat dalam 4 tahun terakhir.
Sayangnya, penyebutan kegiatan pemerintah sebagai Program Pengentasan atau Penanganan Kemiskinan adalah bersifat klaim atau kebijakan politik. Pemerintah sendiri belum lama menyadari bahwa ada banyak aktivitasnya yang bisa dikategorisasikan sebagai program kemiskinan. Tatkala Kemenko Kesra (TKPK) mengemukakan adanya 55 program di berbagai departeman atau lembaga sekitar satu setengah tahun lalu, mereka belum pernah mempublikasikan (karena mungkin memang belum punya) data pasti mengenai rinciannya. Melalui berbagai hasil rapat koordinasi, rincian baru mulai dipublikasikan pada Desember tahun 2007 dan awal 2008.

Perlu dicatat bahwa publikasi itu pun adalah versi kemenko kesra (TKPK), dan lebih bersifat nama program dan departemen/lembaga yang mengelolanya. Tampaknya, tidak semua departemen/lembaga senang programnya yang sudah berjalan dikategorikan demikian, sehingga laporan rinci (termasuk juklak/juknis) selalu tersendat diberikan kepada TKPK. Indikasinya terlihat dari upaya menyatukan semuanya ke dalam PNPM-Mandiri belum berjalan mulus. Tahun 2007 baru ada 2 program, tahun 2008 ada 6 program (termasuk program baru), padahal rencananya ada 17 program yang akan diintegrasikan.

Pernyataan berbagai pejabat tentang anggaran yang dibelanjakan bagi Program Kemiskinan juga serupa dengan kesimpangsiuran mengenai soal jumlah dan rincian program. Khusus untuk tahun 2008, versi yang banyak beredar adalah Rp 80 triliun dan Rp 60 triliun. Sebelumnya, pada masa pembahasan APBN (Agustus-Oktober 2007) sempat mengemuka angka Rp 54 triliun. Perhatikan bahwa angka yang disebut biasanya bernada ”sekitar”, dan sampai saat ini belum ada publikasi mengenai rinciannya yang mendekati angka itu. Bisa dipastikan akan demikian pula dengan angka Rp 66,2 triliun di atas.

Mengapa demikian?

Sistem penganggaran dalam APBN kita telah diatur oleh beberapa Peraturan Perundangan (dibuat sebagai bagian dari LoI dengan IMF). APBN, saat ini, dinyatakan dalam format dan struktur yang disebut dengan I-Account. Pada format I-account, catatan penerimaan, pengeluaran dan pembiayaan anggaran diletakkan dalam satu kolom. Dalam format tersebut, pos-pos APBN dikelompokkan menjadi 2 bagian. Bagian atas (above the line) mencatat besarnya penerimaan dan pengeluaran negara, kelompok A dan B. Bagian bawah (below the line) mencatat besarnya pembiayaan anggaran, kelompok E dalam tabel yang sama. Item D berfungsi sebagai garis batas. Item C yang merupakan memorandum untuk hal posisi surplus anggaran jika tidak memperhitungkan pembayaraan bunga utang.

Untuk keperluan tulisan ini, yang akan dijelaskan lebih lanjut hanya bagian Belanja Negara (B). Belanja Negara terdiri dari Belanja pemerintah Pusat dan Belanja Daerah.

Belanja Pemerintah Pusat diklasifikasikan atau dirinci atas dasar tiga hal, dan ditampilkan dalam tabel yang berbeda. Klasifikasinya adalah: atas dasar jenis belanja (klasifikasi ekonomi), atas dasar organisasi, dan atas dasar fungsi. Penjumlahan dari masing-masing rincian atas dasar yang berbeda itu akan menunjukkan besaran yang sama, sebagai angka belanja pemerintah pusat. Kepentingannya adalah untuk pencermatan atas uang yang dibelanjakan pemerintah pusat dari beberapa sudut pandang, sehingga dapat dipergunakan untuk evaluasi secara terus menerus.

Klasifikasi pertama dan kedua berguna untuk prosedur perencanaan dan pelaksanaan anggaran, termasuk untuk kepentingan akuntabilitas. Sedangkan klasifikasi ketiga, atas dasar fungsi, adalah bersifat analisa, seperti untuk analisa makroekonomi.
Menurut jenis belanja, anggaran belanja pemerintah pusat terdiri dari 8 jenis, yaitu: (1) belanja pegawai, (2) belanja barang, (3) belanja modal, (4) pembayaran bunga utang, (5) subsidi, (6) belanja hibah, (7) bantuan sosial, dan (8) belanja lain-lain.

Belanja pemerintah pusat menurut organisasi adalah semua pengeluaran negara yang dialokasikan kepada kementerian/lembaga, sesuai dengan program-program yang akan dijalankan. Rincian Belanja Pemerintah Pusat menurut organisasi terdiri dari dua kelompok. Pertama, Bagian Anggaran Kementerian/Lembaga seperti MPR, DPR, BPK, MA, Departemen-Departemen, BPS, dan sebagainya. Rincian belanja negara menurut organisasi dipengaruhi oleh perkembangan susunan kementerian/lembaga, perkembangan jumlah bagian anggaran, serta perubahan nomenklatur atau pemisahan suatu unit organisasi dari organisasi induknya, atau penggabungan organisasi. Setelah beberapa kali dilakukan perubahan dan penyempurnaan, hingga tahun 2008, organisasi kementerian/lembaga, terdiri dari: (i) 6 lembaga tinggi negara, (ii) 20 departemen teknis, (iii) 3 kementerian koordinator, (iv) 10 kementerian negara, dan (v) 34 lembaga negara yang pembentukannya ditetapkan melalui Keputusan Presiden dan telah mempunyai kode bagian anggaran sendiri. Kedua, Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan yang terdiri dari: Cicilan bunga utang, sibsidi dan transfer lainnya, dan belanja lain-lain. Bagian kedua ini tidak secara langsung dipergunakan oleh kementerian/lembaga, pelaksanaannya diatur tersendiri.

Belanja pemerintah pusat menurut fungsi dibedakan dalam 11 fungsi, yaitu: (1) pelayanan umum, (2) pertahanan, (3) ketertiban dan keamanan, (4) ekonomi, (5) lingkungan hidup, (6) perumahan dan fasilitas umum, (7) kesehatan, (8) pariwisata dan budaya, (9) agama, (10) pendidikan, dan (11) perlindungan sosial.

Perlu diketahui, ada pengeluaran yang memiliki fungsi tersendiri, seperti pembayaran bunga utang dan subsidi. Dalam bentuk tabel yang lain, laporan pemerintah biasa pula mencantumkannya sebagai fungsi pelayanan umum, sehingga angka pos fungsi ini menjadi sangat besar.
Sementara itu, rincian belanja menurut fungsi bukanlah merupakan dasar pengalokasian anggaran. Pengalokasian anggaran didasarkan pada program-program yang diusulkan oleh kementerian negara/lembaga, yang dirinci menurut jenis belanja. Selanjutnya, program-program tersebut dikelompokkan sesuai dengan fungsi dan sub fungsinya. Dengan demikian, rincian belanja menurut fungsi adalah kompilasi dari anggaran program-program kementerian negara/lembaga, dan hanya digunakan sebagai alat analisis (tools of analysis).

Apa yang dapat disimpulkan terkait dengan anggaran program kemiskinan?
Semua pernyataan tentang hal itu sebenarnya adalah pernyataan politik bukan pernyataan fiskal (anggaran). Tergantung apa saja yang mau dimasukkan. Bahkan yang dimaksud dengan bantuan sosial (jenis belanja no 7) tidak sepenuhnya bisa diartikan untuk kemiskinan, karena bisa untuk bencana atau yang sejenisnya (dan bisa tidak jadi direalisasikan).

Sekali lagi diingatkan bahwa secara pendekatan anggaran (fiskal) hanya dikenal pengkategorian berdasar tiga hal (jenis, organisasi dan fungsi), yang tidak ada menyebut soal kemiskinan di dalamnya.

Sebagai contoh kasus adalah angka sekitar 80 triliun yang diklaim untuk tahun 2008. Biasanya yang menyatakannya adalah menkokesra (atau pejabat di bawahnya), bukan menteri keuangan. Ketika Kepala Badan Fiskal, Anggito omong, angkanya justeru 60 triliun saja. Pada waktu siaran pers RAPBN 2008, sub judul kemiskinan tidak diberi jumlah totalnya, hanya diberi beberapa contoh. Lukman Edy bahkan menyebut angka Rp 93 triliun untuk daerah tertinggal yang ditafsirkannya pula sebagai untuk pengentasan kemiskinan.

Dengan demikian, saya amat meragukan jika Presiden SBY mengetahui rincian dari angka Rp 66,2 triliun di atas. Jika dibuat rinciannya, maka bisa jadi akan lebih kecil atau lebih besar, tergantung pos belanja mana yang mau dimasukkan. Sekali lagi, angka tersebut adalah pernyataan politik, bukan pernyataan fiskal.

Kamis, 21 Agustus 2008

Apakah Pemerintahan SBY berhasil menurunkan tingkat kemiskinan secara berarti?

Apakah Pemerintahan SBY berhasil menurunkan tingkat kemiskinan secara berarti?

Salah satu bagian yang paling ditonjolkan dalam pidato kenegaraan Presiden SBY tanggal 15 Agustus 2008 lalu adalah mengenai klaim keberhasilan percepatan pembangunan ekonomi.
Keberhasilan itu telah memberikan dampak yang positif baik pada percepatan penurunan tingkat kemiskinan. Tingkat kemiskinan, mengalami penurunan dari 17,7 persen pada tahun 2006 menjadi 15,4 pesen pada Maret 2008. Dikatakan bahwa angka kemiskinan tahun 2008 itu adalah angka kemiskinan terendah, baik besaran maupun prosentasenya, selama 10 tahun terakhir. Ditambahkan bahwa tren penurunan angka kemiskinan juga terjadi, walaupun kita menggunakan kriteria angka kemiskinan dari Bank Dunia. Pernyataan terakhir seolah ingin menjawab kritik dari berbagai pihak yang banyak mengutip angka versi Bank Dunia.

Pernyataan Presiden SBY itu terlampau berlebihan. Kesan perbaikan menjadi dramatis dengan mengambil contoh tahun 2006 dan 2008. Harus diingat bahwa SBY dilantik pada 20 Oktober 2004, enam bulan kemudian, angka kemiskinan pada bulan Maret 2005 adalah 15,97 persen atau sebanyak 35,10 juta jiwa. Bandingkan angka 15,97 persen itu dengan 15,42 persen, serta 35,10 juta jiwa dengan 34,96 juta jiwa. Jumlah orang miskin hanya berkurang sekitar 100 ribu jiwa. Jelas merupakan penurunan yang tidak berarti sama sekali.

Sementara itu, laporan Bank Dunia (2007) menyebutkan bahwa hampir 42 persen dari seluruh rakyat Indonesia hidup di antara garis kemiskinan US$1 dan AS$2. Perbedaan antara orang miskin dan yang hampir miskin sangat kecil. Jika kita memakai garis kemiskinan BPS, mungkin saja benar angka yang dikutip pidato itu. Namun tidak diungkapkan bahwa sangat banyak orang yang tidak tergolong miskin, namun berada di sekitarannya, yang biasa disebut nyaris miskin. Dengan demikian, salah satu yang harus diwaspadai adalah adanya perpindahan posisi penduduk dari hampir/tidak miskin menjadi miskin. Sedikit guncangan ekonomi akan menyebabkan mereka berubah status. Laporan yang sama mengatakan: walaupun hasil survei tahun 2004 menunjukkan hanya 16,7 persen penduduk Indonesia yang tergolong miskin, lebih dari 59 persen dari mereka pernah jatuh miskin dalam periode satu tahun sebelum survei dilaksanakan; serta lebih dari 38 persen rumah tangga miskin pada tahun 2004 tidak miskin pada tahun 2003.

Ada tanda-tanda bahwa jumlah penduduk yang tergolong miskin sementara (transient poor), yaitu penduduk yang penghasilannya dekat dengan garis kemiskinan, cukup besar. Sedikit guncangan ekonomi akan menyebabkan mereka berubah status. Begitu pula sebaliknya, kebijakan instan bisa mengubah angka-angka, namun bersifat sangat sementara. Sebagai contoh, kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dalam kurun waktu tertentu segera memperbaiki keadaan. Jika pendataan (sensus dan survei) dilakukan pada saat itu, maka hasilnya tidaklah mencerminkan keadaan yang sebenarnya dalam kurun waktu yang lebih panjang. Jika integritas BPS tidak dipertanyakan pun, angka-angkanya mudah berubah hanya dalam waktu satu tahun, serta tidak sulit ”diperbaiki”.

Yang kita perlukan adalah perbaikan kondisi ekonomi yang lebih mendasar, suatu keadaan yang dicirikan oleh kemakmuran bagi rakyat kebanyakan.

Selasa, 19 Agustus 2008

BANK BERSUBSIDI YANG MEMBEBANI

BANK BERSUBSIDI YANG MEMBEBANI
(Bab I buku saya dan Nasyith Majidi)

Judul buku : Bank Bersubsidi Yang Membebani
Penulis : Awalil Rizky dan Nasyith Majidi
Penerbit : E Publishing, Jakarta, 2008


Sejak Soeharto berkuasa sampai dengan pertengahan tahun 1997, perkembangan per­ekonomi­an Indonesia secara keseluruhan terlihat mengesankan. Secara umum, indikator makroekonomi menunjukkan perkembangan angka dan kondisi mutakhir yang sangat baik. Tidak ada pertanda yang membuat khawatir bagi banyak pihak, terutama bagi pemerintah dan otoritas moneter. Indikator makroekonomi yang dimaksud antara lain adalah: pertumbuhan ekonomi, angka inflasi, nilai tukar rupiah, cadangan devisa dan neraca pembayaran.
Keadaan itu kemudian berubah secara drastis hanya dalam waktu setahun, mulai pertengahan tahun 1997 hingga tahun 1998. Perkembangan indikator makroekonomi berbalik arah, menjadi amat buruk. Nilai tukar rupiah merosot sangat tajam, pertumbuhan ekonomi menjadi negatif, inflasi sangat tinggi, neraca pembayaran mengalami defisit yang besar, serta cadangan devisa terkuras hampir habis. Semua pi­hak baru menjadi sadar bahwa telah terjadi krisis, krisis moneter se­kali­gus krisis ekonomi. Krisis yang terjadi memenuhi hampir semua kriteria atau ciri suatu krisis yang dikenal dalam wacana ekonomi. Peristiwa tersebut bisa dikatakan sebagai krisis nilai tukar, krisis perbankan, krisis moneter, ataupun krisis ekonomi. Selain cakupannya yang sangat luas yang melanda hampir semua sektor ekonomi, kejadian dan kondisi buruk berlangsung dalam kurun waktu berkepanjangan.

Setelah satu dekade berlalu, rangkaian peristiwa yang begitu dramatis tersebut tetap menyisakan suatu persoalan teoritis. Masih terdapat perbedaan pandangan me­ngenai penyebab utama dari krisis, terutama berkenaan dengan bobot dari masing-masing faktor yang diidentifikasi. Sebagai contoh, apa­­kah goncangan eksternal, khususnya efek penularan dari krisis regional, yang menjadi faktor penyebab terpenting. Ataukah, soal lain yang lebih bersifat internal, yakni rapuhnya fundamental ekonomi. Jika keduanya dikedepankan secara bersama, maka perdebatan mengarah pada seberapa proporsi masing-masingnya. Kontroversi lain adalah mengenai upaya penanganan krisis yang tidak tepat. Mulai dari soal keterlambatan, kesalahan tindakan, sampai dengan biaya yang terlampau besar.

Kesepakatan umum hanya kepada hal yang telah jelas dengan sendirinya, yaitu urutan dan rangkaian peristiwa yang disebut krisis. Padahal, urutan peristiwa tidak selalu berarti kausalitas atau hubungan sebab akibat. Sementara itu, dinamika berikutnya pun berlangsung secara susul menyusul atau terjadi secara bersamaan. Depresiasi kurs rupiah terhadap dolar AS secara amat tajam, memulai krisis moneter yang terjadi tak lama kemudian. Suku bunga menjadi tinggi dan laju inflasi semakin tak terkendali, diiringi dengan defisit neraca pembayaran yang semakin besar. Krisis moneter diikuti oleh krisis perbankan, hanya dalam hitungan bulan, oleh karena industri perbankan tidak mampu menanggung kondisi moneter dan keuangan yang sedemikian berat. Secara simultan, dan dalam waktu yang amat singkat, krisis tersebut membuat sektor riil terpukul hebat, sehingga secara keseluruhan men­ciptakan krisis ekonomi. Krisis ekonomi membawa kepada kri­sis politik, yang berujung pada jatuhnya rezim Soeharto.

Banyak ahli yang berpendapat bahwa krisis itu juga tidak terlepas dari ketidaksiapan infrastruktur sistem keuangan Indonesia dalam mengantisipasi tekanan-tekanan yang berasal dari eksternal atau pasar internasional. Antara lain diindikasikan oleh keterlambatan reaksi dan proaksi berbagai pihak, termasuk otoritas moneter. Belakangan, diakui bahwa belum ada prosedur resolusi dari krisis yang bersifat baku dan diterima semua pihak. Beberapa kebijakan yang diambil oleh pemerintah, terutama oleh otoritas moneter pada waktu itu, sebagiannya malah dinilai memperparah keadaan.

Sebagai contoh, pengetatan likuiditas yang dilakukan Pemerintah sebagai langkah untuk mengatasi depresiasi Rupiah, malah memberi pukulan lanjutan bagi perbankan dan sektor riil. Penutupan 16 bank pada tanggal 1 November 1997, yang dimaksudkan untuk mengembalikan kepercayaan terhadap bank, mengakibatkan keadaan yang sebaliknya. Kepercayaan masyarakat kepada bank-bank nasional menjadi semakin rendah. Kekhawatiran akan terjadinya pencabutan ijin usaha bank, padahal belum ada program penjaminan simpanan, menyebabkan kepanikan masyarakat atas keamanan dananya di perbankan. Masyarakat terdorong untuk melakukan penarikan simpanan dari perbankan secara besar-besaran, setidaknya memindah simpanan dari satu bank ke bank lain yang dianggap lebih meyakinkan.

Akibatnya, posisi likuiditas perbankan mendapat tekanan yang amat berat. Tekanan lain diberikan oleh fenomena inflasi. Berbagai isu tentang kelangkaan pasokan barang-barang kebutuhan pokok, menyebabkan ekspektasi masyarakat terhadap inflasi semakin tinggi, disertai peningkatan kegiatan spekulasi di pasar valuta asing. Bisa difahami jika beberapa bank yang sebelumnya tergolong sehat dan merupakan pemasok dana, selanjutnya juga terkena imbas, sehingga berubah posisi menjadi peminjam dana di pasar uang antar bank.

Akhirnya, hampir seluruh bank umum nasional menghadapi kesulitan likuiditas dalam jumlah besar. Sebagian besar bank terpaksa melanggar ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) dan mengalami saldo negatif atas rekening gironya di Bank Indonesia. Dana pinjaman antar bank, sebagai sarana bank mengatasi kesulitan likuiditas dalam jangka pendek, menawarkan bunga yang sangat tinggi (mencapai 50%). Sumber dana semacam itu pun makin sulit untuk diperoleh. Kesulitan likuiditas masih terus berlanjut dengan adanya berbagai tekanan susulan. Peningkatan eksposure rupiah dari utang dalam dolar Amerika semakin memberatkan bank, ditambah dengan meningkatnya kredit bermasalah atau nonperforming loan (NPL) akibat banyaknya debitur yang gagal bayar (default). Kondisi umum yang terwujud kemudian adalah banyaknya bank menjadi insolvent (nilai aktivanya lebih kecil daripada nilai pasivanya).

Bank Indonesia (BI) yang pada awalnya, sesuai prosedur standar, berusaha membantu mengatasi kesulitan likuiditas perbankan, menjadi kewalahan. Oleh karena jumlah bantuan dan prosedur bantuan kemudian menjadi sangat tidak biasa, BI meminta persetujuan pemerintah, bahkan berkonsultasi dengan DPR, untuk langkah-langkah berikutnya. Dalam konteks inilah, dikenal istilah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Besarnya BLBI yang dikucurkan kepada bank-bank, hanya dalam tempo beberapa bulan, mencapai hampir Rp 150 trilyun. Jumlah ini sangat besar, mengingat pada tahun 1997, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia adalah sebesar Rp 627,7 triliun, dan Penerimaan negara hanya Rp 112,3 triliun. Ternyata, BLBI sebesar itu ditambah dengan langkah-langkah lain, termasuk likuidasi beberapa bank, tetap tidak mampu menahan krisis yang terus berlanjut. Krisis ekonomi akhirnya memaksakan perubahan besar di bidang sosial dan politik, termasuk jatuhnya pemerintahan Soeharto.

Pemerintahan pasca Soeharto, terutama era Habibie, menjalankan program stabilisasi makroekonomi melalui kebijakan moneter dan fiskal. Program awal difokuskan untuk mengatasi permasalahan yang sangat mendesak pada saat krisis, yaitu: meredam tekanan laju inflasi dan gejolak nilai tukar. Mereka berupaya agar keadaan moneter menjadi stabil dengan pertanda suku bunga yang normal dan nilai tukar rupiah yang realistis, sehingga dapat membantu kebangkitan kembali dunia usaha. Secara bersamaan, pemerintah melakukan berbagai langkah konsolidasi di bidang fiskal melalui peningkatan disiplin anggaran dengan melakukan penghematan atas berbagai pengeluaran pemerintah. Pemerintah juga terpaksa melakukan penjadwalan dan penyesuaian terhadap beberapa proyek pembangunan.
Dalam keseluruhan langkah tersebut, upaya restrukturisasi dan penyehatan perbankan menjadi prioritas yang sangat penting. Pengeluaran biaya yang amat besar untuk itu juga dianggap wajar. Pertimbangan utamanya, stabilitas moneter menjadi prasyarat bagi pemulihan ekonomi, dan itu memerlukan stabilitas sistem keuangan. Stabilitas sistem keuangan mensyaratkan pembenahan sektor perbankan, termasuk BI sebagai bank sentral.

A. Stabilitas Sistem Keuangan
Istilah stabilitas moneter biasanya mengacu pada stabilitas harga dalam bentuk kestabilan nilai mata uang. Sedangkan pengertian stabilitas keuangan mengarah kepada kestabilan institusi keuangan itu sendiri, serta stabilitas pasar yang tergabung dalam sistem keuangan. Secara logis bisa dimengerti bahwa stabilitas moneter hanya dapat dicapai dengan sistem keuangan yang stabil.
Kestabilan institusi keuangan terutama menyangkut lembaga keuangan yang berpengaruh secara signifikan terhadap sistem keuangan secara keseluruhan. Dalam konteks ini, kelembagaan Bank Indonesia dan perbankan nasional merupakan institusi yang paling penting. Sementara itu, pengertian kestabilan pasar meliputi baik pasar modal maupun pasar uang. Pasar dimaksud dapat dikatakan stabil apabila para pelaku pasar masih percaya untuk melakukan transaksi pada tingkat harga yang merupakan refleksi dari fundamental ekonomi, serta fluktuasi atau volatilitas harga pasar yang tidak ekstrim dalam jangka pendek.

Sebagai bagian dari pembelajaran masa lalu dan kesiapan menghadapi atau mencegah krisis yang mungkin terjadi, Bank Indonesia (BI) mensosialisasikan istilah Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) secara intensif. Meskipun demikian, BI mengakui bahwa SSK sebenarnya belum memiliki definisi yang baku dan diterima secara internasional. Berbagai pengertian SSK yang ada lebih menekankan pada pengertian keadaan yang disebut tidak stabil, yakni pada saat telah membahayakan dan menghambat kegiatan ekonomi. Ketidakstabilan sistem keuangan dapat dipicu oleh berbagai macam penyebab dan gejolak. Seringkali berupa kombinasi antara kegagalan pasar, faktor struktural, serta faktor perilaku. Kegagalan pasar itu sendiri dapat bersumber dari eksternal (internasional) dan internal (domestik).

Ada beberapa definisi SSK yang biasa dikedepankan oleh pihak BI. Pertama, SSK adalah sistem keuangan yang mampu mengalokasikan sumber dana dan menyerap kejutan (shock) yang terjadi sehingga dapat mencegah gangguan terhadap kegiatan sektor riil dan sistem keuangan. Kedua, SSK adalah sistem keuangan yang kuat dan tahan terhadap berbagai gangguan ekonomi sehingga tetap mampu melakukan fungsi intermediasi, melaksanakan pembayaran dan menyebar risiko secara baik. Ketiga, SSK adalah suatu kondisi dimana mekanisme ekonomi dalam penetapan harga, alokasi dana dan pengelolaan risiko berfungsi secara baik dan mendukung pertumbuhan ekonomi.

B. Bank Indonesia yang semakin kuat
Krisis ekonomi menempatkan Bank Indonesia (BI) sebagai institusi sentral. Sebagian sorotan adalah mengenai peran BI sebagai aktor penyebab, atau setidaknya yang memperparah krisis. Sebagian lainnya, melihat BI sebagai korban dari krisis. BI pula yang kemudian diharapkan berperan sebagai pemain utama dalam upaya pemulihan dan pembangunan kembali perekonomian Indonesia.
Peran yang dibebankan dalam upaya pemulihan itu kepada BI adalah menjaga stabilitas moneter, sesuai kedudukannya sebagai otoritas moneter, serta bertanggung jawab atas stabilitas sistem keuangan, berkenaan dengan tugasnya menangani perbankan dan sistem pembayaran. Peran demikian seharusnya sudah dimainkan sejak awal atau sebelum krisis terjadi. Namun, pihak BI berkilah mengenai ketidakleluasaan geraknya akibat rezim pemerintahan yang otoriter, maupun oleh peraturan yang berlaku.
Akhirnya, sebagian peran itu memperoleh legitimasi baru menurut perundang-undangan, yang bermuara kepada beberapa perubahan penting. Salah satu yang mendasar adalah soal independensi BI. Para pengambil keputusan di era pasca Soeharto ternyata memilih menetapkan keindependenan BI sebagai bank sentral. Tampak ada keyakinan bahwa tingkat dan varian fluktuasi perekonomian akan menjadi lebih baik dengan independensi itu. Sebagai argumen pendukung, dikemukakan studi empiris yang melihat korelasi antara independensi dari Bank Sentral dengan kinerja ekonomi suatu negara. Ditunjukkan bahwa terdapat hubungan terbalik antara independensi dengan tingkat rata-rata maupun varians dari inflasi. Meskipun studi tersebut sebenarnya lebih menunjukkan hubungan korelasi dan bukan kausalitas antara independensi dengan kinerja inflasi.

Pada prinsipnya, independensi Bank Sentral dapat dilihat pada beberapa hal. Pertama, pada tujuan dan fungsi apa yang harus diemban oleh Bank Sentral, apakah tujuan tunggal seperti stabilitas rupiah atau ada yang lain seperti menciptakan kesempatan kerja dan pemerataan pembangunan. Kedua, pada mekanisme dan kebebasan menetapkan instrumen dan target moneter. Apakah ada kemungkinan pihak lain yang bisa menetapkan target moneter. Ketiga, pada proses penunjukkan dan syarat pergantian jajaran pimpinan Bank Sentral terutama Gubernur sebagai sosok paling penting, termasuk juga waktu penugasan masing-masing jajaran pimpinan yang tidak sama, sehingga menjamin kesinambungan (rotasi). Keempat, pada peraturan mengenai ada atau tidak kewajiban menyetor kembali surplus Bank Sentral, dan ada tidak kewajiban melakukan jaminan bagi surat berharga (utang) yang diterbitkan pemerintah.
UU No. 23/1999 ternyata telah memberikan Bank Indonesia (BI) suatu jaminan yang sangat kuat kepada keseluruhan aspek di atas. Independensi tersebut tercermin antara lain dari penentuan hanya satu tujuan BI, yaitu mencapai dan memelihara stabilitas rupiah. BI memiliki kebebasan menentukan sasaran dan instrumen moneter yang akan digunakan dalam pencapaian tujuannya.

Independensi juga dapat dilihat dalam proses pemilihan pimpinan BI melalui proses pencalonan dari pemerintah (Presiden) untuk Gubernur dan Deputi Senior yang harus mendapat persetujuan DPR, dan pencalonan oleh Gubernur diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR untuk Deputi Gubernur. Pergantian pimpinan juga mengharuskan adanya kontinuitas melalui pembatasan maksimum jumlah deputi gubernur yang bisa diganti yaitu 2 orang. Terdapat pula perlindungan terhadap jabatan pimpinan BI (tidak bisa diberhentikan) kecuali yang bersangkutan mengundurkan diri, terbukti melakukan tindak pidana kejahatan, atau berhalangan tetap.

Posisi BI yang semakin independen bukannya tanpa kritik. Sebagian pandangan mempertanyakan apakah dengan independensinya, BI sama sekali berdiri di luar pemerintah. Bahkan, ada pandangan yang menganggap BI telah menjadi negara dalam negara. Anggapan ini muncul antara lain karena BI bisa membuat peraturan yang mengikat semua warga negara Indonesia, serta memiliki pengaturan (termasuk sumber) keuangan tersendiri.
Banyak pihak yang menyoroti sisi keadilan dari peran dan fungsi BI dibandingkan dengan lembaga lainnya, terutama dengan pemerintah. Beban BI hanya satu saja, yaitu memelihara stabilitas rupiah. Sementara pemerintah harus mengemban fungsi lain yang sangat banyak dan berat, seperti: mencapai pertumbuhan ekonomi, penciptaan kesempatan kerja, menciptakan keadilan dan pemerataan, dan pengurangan kemiskinan. Rasa ketidakadilan dalam pembagian fungsi pengelolaan ekonomi diperkuat lagi oleh kondisi sehabis krisis, dimana hampir seluruh beban biaya atas kerusakan perbankan yang sangat mahal hingga mencapai Rp 1.000 triliun (termasuk beban bunga obligasi) harus ditanggung pemerintah melalui APBN. Padahal, kesalahan perbankan itu sendiri sebagian besarnya merupakan tanggungjawab BI. Bisa dipastikan, pihak BI ikut melakukan kesalahan dalam pengelolaan perbankan, meskipun dapat diperdebatkan mengenai tingkat kesalahannya.

Hal lain yang kadang memicu rasa ketidaksukaan atas BI adalah kesan lebih sejahteranya persoanalia BI dibanding abdi negara lainnya. Antara lain yang biasa dijadikan contoh: kondisi kompleks perkantoran BI yang sangat mewah, gaji pegawai yang relatif tinggi, serta fasilitas kepada pegawai dan jajaran pimpinan BI yang berlebihan dibanding jajaran pemerintah lainnya.
Ada persoalan lain yang lebih pelik mengenai hubungan BI dengan pemerintah. Secara teoritis sangat mungkin terjadi perbedaan ”kepentingan” antara pemerintah dan BI. Dalam eskalasi tertentu, masalah ini secara empiris mulai terjadi, dan berpotensi membesar di tahun-tahun mendatang. Pemeliharaan stabilitas rupiah sebagai tujuan yang hendak dicapai BI sering perlu dilakukan dengan pengetatan moneter. Hal ini, setidaknya dalam jangka pendek, bisa bertentangan dengan tujuan yang ingin dicapai pemerintah yaitu penciptaan kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi.
Pembahasan lebih rinci mengenai Bank Indonesia diberikan pada bab 2. Di sana akan dijelasikan mengenai hal-hal pokok yang tercantum dalam UU-BI No. 23/1999 serta perubahannya dalam UU-BI No. 3/2004. Dikemukakan pula secara singkat, beberapa persoalan kontroversial seperti: soal independensi, soal BLBI dan rekapitalisasi perbankan.

C. Restrukturisasi dan reformasi perbankan
Pada awal tahun 1998, ketika krisis perbankan sudah cukup terasa, pemerintah sebenarnya telah mengambil beberapa kebijakan untuk segera memulihkan kepercayaan terhadap perbankan. Pemerintah memberikan jaminan pembayaran atas kewajiban bank-bank umum kepada deposan dan kreditur dalam dan luar negeri (blanket guaranty), serta membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk melakukan langkah penyehatan bank-bank yang bermasalah. Namun, kedua kebijakan pemerintah tersebut ternyata tidaklah memadai. Krisis perbankan justeru meluas dan mengarah pada lumpuhnya sistem perbankan nasional.

Kesulitan likuiditas menyebabkan pelanggaran Giro Wajib Minimum (GWM) oleh hampir semua bank. Saldo negatif pada rekening giro di BI bahkan telah dialami oleh sebagian besar bank. Sebenarnya, sesuai peraturan perundang-undangan, BI dan pemerintah bisa mengenakan sanksi stop kliring kepada mereka. Akan tetapi, kebijakan pemerintah adalah melakukan penyelamatan, sesuai kesepakatan dengan IMF. Alasan utamanya, kebijakan menutup bank bukanlah opsi yang realistis dalam suasana krisis yang sudah menjalar ke banyak aspek (multidimensi). Diyakini, jika banyak bank ditutup secara masal, maka keadaan bisa menjadi lebih buruk lagi.

Situasi yang dihadapi bank-bank pada waktu itu dianggap BI sebagai illiquid (kesulitan likuiditas), bukannya insolvent (aktiva lebih kecil daripada pasiva). Apabila tidak diberikan bantuan kepada perbankan, maka akan terjadi rush (penarikan dana secara besar-besaran dalam waktu singkat). Dalam kondisi rush, bank yang sehat pun tidak akan mampu mengatasi kesulitan likuiditas tanpa bantuan Pemerintah.
Pertimbangan lainnya, dari pemerintah dan BI, adalah masalah sektor riil dan hubungan ekonomi dengan luar negeri. Di sektor riil, stop kliring itu akan memutus sebagian besar sistem pembayaran sehingga lalu lintas perdagangan akan terhenti. Sedangkan dalam konteks perdagangan luar negeri, pemerintah khawatir terjadi ketidakpercayaan bank-bank di luar negeri kepada bank-bank di dalam negeri, karena kepercayaan memang tampak mulai berkurang. Ada anggapan bahwa impor barang bisa terancam. Secara otomatis terjadi gangguan pula dengan ekspor, karena kebanyakan produknya masih membutuhkan bahan baku impor yang tinggi, serta bergantung pada mekanisme pembayaran luar negeri.

Akhirnya, pemerintah dan BI melakukan pilihan untuk tidak menutup bank, meskipun langkah itu membutuhkan biaya yang besar. Yang dibayangkan mereka adalah hal sebaliknya, kemustahilan perekonomian negara tanpa adanya bank. Oleh karenanya, dalam evaluasi sampai dengan saat ini, langkah tersebut diklaim cukup tepat oleh pemerintah dan BI. Kerap ditambahkan argumen bahwa tahap pemulihan seperti saat ini tidak akan dapat dicapai jika di masa krisis yang lalu, keruntuhan sistem perbankan dibiarkan, tanpa tindakan penyelamatan.
Dalam konteks yang demikian lah, kebijakan penyaluran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dijalankan. Perlu ditambahkan bahwa dari sisi yuridis, penyaluran BLBI itu sesungguhnya bukan merupakan kebijakan yang mendadak diciptakan. Kebijakan itu telah dilakukan jauh sebelum terjadinya krisis moneter dan memiliki landasan hukum yaitu UU No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral dan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998. Pasal 32 ayat (3) UU No. 13 tahun 1998 menyebutkan "Bank dapat pula memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat" sedangkan pasal 37 ayat (2) huruf b UU No. 7 tahun 1992 menegaskan "Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan likuiditas yang membahayakan kelangsungan usahanya, maka BI dapat mengambil tindakan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku."

Istilah BLBI itu sendiri memang baru dikenal sejak tanggal 15 Januari 1998 sebagaimana ditegaskan Pemerintah dalam Letter of Intent (LoI) kepada International Monetary Fund (IMF). Dalam surat yang ditandatangani oleh Menko Ekkuin itu, Pemerintah menyatakan pentingnya bantuan likuiditas (liquidity support) BI kepada perbankan. Dilihat dari sisi ini, BLBI merupakan program Pemerintah (bersama BI) yang diketahui dan direkomendasikan oleh IMF. Bahkan, kebijakan itu menjadi salah satu persyaratan (conditionality) yang ditetapkan oleh IMF untuk bantuannya kepada Indonesia. Dalam pengertian luas, liquidity support sebenarnya meliputi juga kredit subordinasi, kredit likuiditas darurat dan fasilitas diskonto I dan II. Namun, BLBI yang diberikan pada waktu itu hanya mencakup bantuan likuiditas kepada bank untuk menutup kekurangan likuiditas, terutama yang berupa: saldo debet, fasilitas diskonto dan SBPU khusus, serta dana talangan dalam rangka kewajiban pembayaran luar negeri.
Dengan pertimbangan yang serupa, Pemerintah pasca Soeharto melakukan hal yang hampir sama, yakni menjalankan kebijakan rekapitalisasi perbankan. Pemerintah merekapitalisasi bank-bank yang memenuhi persyaratan yang memiliki rata-rata rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) di bawah -25%. Langkah itu diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan kepada pemerintah, mempercepat pemulihan ekonomi, dan mengembalikan fungsi intermediasi perbankan.

Ada perbedaan penting dalam hal ”daya tawar” (bargaining) BI, tatkala kebijakan rekapitalisasi perbankan diambil dengan ketika penyaluran BLBI dijalankan terdahulu. Kini, BI memiliki status dan kedudukan baru berdasar UU No 23/99. Posisi BI menjadi lebih independen, sehingga dalam operasionalisasinya, pemerintah harus mengikuti juga berbagai pertimbangan dan keputusan dari pihak BI. Menurut sebagian pengamat, pihak BI bahkan cenderung berkedudukan lebih kuat. Sedangkan dalam kebijakan BLBI, posisi pemerintah lah yang lebih dominan.
Sementara itu, kebijakan rekapitalisasi perbankan sebenarnya merupakan bagian dari program yang lebih luas, yaitu program penyehatan perbankan dan program peningkatan ketahanan industri perbankan. Program penyehatan lembaga perbankan meliputi : penjaminan pemerintah bagi bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), rekapitalisasi perbankan, restrukturisasi kredit perbankan dan pemulihan fungsi intermediasi perbankan. Sementara itu, upaya meningkatkan ketahanan sistem perbankan difokuskan pada pengembangan infrastruktur perbankan, peningkatan mutu pengelolaan perbankan (good governance) serta penyempurnaan sistem pengaturan dan pengawasan bank.

Penyempurnaan ketentuan perbankan ditujukan untuk meningkatkan praktek-praktek perbankan yang berdasarkan prinsip kehati-hatian sesuai dengan standar internasional. Penyempurnaan tersebut meliputi fit and proper test, exit policy, Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), restrukturisasi kredit, penilaian aktiva produktif, kelembagaan bank umum, pendanaan jangka pendek, perdagangan portofolio obligasi dan bank syariah. Ketentuan exit policy merupakan penyempurnaan kebijakan dalam penanganan bank bermasalah yang lebih transparan dengan menetapkan kriteria bank yang dikategorikan dalam pengawasan khusus dan tindakan-tindakan korektif yang harus diselesaikan dalam periode tertentu dan kriteria bank untuk dialihkan menjadi Bank Dalam Penyehatan di bawah pengawasan BPPN.
Dalam rangka pemantapan pengawasan bank, Bank Indonesia telah menyempurnakan sistem pengawasan yang semula terfokus pada compliance based supervision diperluas menjadi pengawasan yang berbasis risiko (risk based supervision) dan berorientasi ke depan yang mengacu pada standar internasional. Dalam kaitan tersebut Bank Indonesia telah menempatkan tenaga pengawas dalam rangka On-site Supervisory Presence pada beberapa bank. Sementara itu, untuk lebih meningkatkan kemampuan tenaga pengawas bank serta penanganan tugas pengawasan khusus (Special Surveilance) telah dilakukan pelatihan-pelatihan dan persiapan untuk pelaksanaan consolidated supervision.

Sampai dengan akhir tahun 2000, berbagai kebijakan pokok yang telah ditempuh di atas menghasilkan berbagai kemajuan dalam kinerja perbankan nasional. Permodalan bank yang pada tahun 1999 masih negatif telah membaik hingga mencapai Rp 53,5 triliun pada Desember 2000, sehingga meningkatkan rata-rata CAR bank. Sementara itu, penghimpunan dana bank yang menunjukkan peningkatan sudah mulai diikuti pula dengan peningkatan penyaluran kredit. Pada waktu bersamaan, rasio kredit bermasalah atau NPL membaik hingga mencapai 18,8% secara gross atau 5,8% secara netto, yang disebabkan oleh pengalihan kredit bermasalah ke BPPN, restrukturisasi kredit dan penyaluran kredit baru. Net interest margin (NIM) yang negatif pada tahun 1999 telah membaik menjadi positif sebesar Rp 22,8 triliun sejalan dengan positive spread yang didukung juga dengan relatif stabilnya suku bunga dana. Perbaikan CAR, peningkatan penghimpunan dana dan penyaluran kredit, perbaikan NPL, dan NIM yang positif kemudian terus berlanjut pada tahun-tahun berikutnya.

Meskipun demikian, tantangan terbesar sampai saat ini adalah belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan. Dalam tahun-tahun awal era reformasi, hal ini antara lain disebabkan oleh masih tingginya faktor risiko dan ketidakpastian serta proses restrukturisasi kredit yang belum berjalan sepenuhnya. Dengan masih terbatasnya penyaluran kredit, ekses likuiditas yang dialami perbankan lebih banyak ditanamkan pada SBI, antar bank aktiva serta surat-surat berharga lainnya. Sedangkan dalam tiga tahun terakhir ini, keadaannya memang sudah lebih baik, namun perlu dikritisi apakah sudah cukup optimal upaya yang dilakukan perbankan. Masih pula perlu dikritisi mengenai kesinambungan perbaikan kinerja perbankan di masa mendatang.

D. Arsitektur Perbankan Indonesia
Pada 9 Januari 2004, siaran pers Bank Indonesia mengumumkan secara resmi implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Sebelumnya, selama sekitar setahun sejak BI melansir rencana tersebut, pembicaraan mengenai API berlangsung cukup intensif di lingkungan pelaku industri perbankan. Setelah mendapat tanggapan dari berbagai pihak, BI menyelesaikan penyusunan cetak biru API pada tahun 2003. BI memutuskan implementasinya secara bertahap, mulai tahun 2004 untuk jangka waktu lima sampai dengan sepuluh tahun kemudian.
BI menggunakan istilah arsitektur perbankan karena dianggap memberikan nuansa yang bersifat lebih komprehensif dan luas mengenai tatanan perbankan yang didinginkan sampai waktu yang akan datang. Ada banyak istilah lain yang memiliki pengertian hampir serupa dengan arsitektur perbankan, serta kerap kali dipergunakan dalam analisis oleh para ahli atau pengamat perbankan. Istilah itu antara lain adalah: blueprint perbankan, landscape perbankan, stratifikasi perbankan, dan pemetaan perbankan.
BI mengatakan bahwa API dirancang sebagai rekomendasi kebijakan (policy recommendation) bagi industri perbankan nasional dalam menghadapi segala perubahan yang terjadi di masa mendatang, sekaligus menjadi arah kebijakan (policy direction) yang harus ditempuh oleh perbankan dalam kurun waktu yang cukup panjang. Dengan kata lain, API merupakan suatu blueprint mengenai tatanan industri perbankan ke depan. Isi dokumennya menyangkut hampir semua aspek yang berhubungan dengan perbankan, seperti : kelembagaan, struktur, pengawasan, pengaturan dan lembaga penunjang lainnya.

Dengan API, BI mengharapkan kalangan industri perbankan nasional bersama-sama dengan stakeholders lainnya mengetahui bagaimana bentuk dan wujud perbankan Indonesia dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan (dari tahun 2004). Aspek yang digambarkan API mencakup sisi regulasi, pengawasan, struktur kelembagaan dan beberapa aspek penting lainnya. Pengetahuan tentang API akan membuat mereka semua menjadi lebih mudah melakukan perencanaan bagi kebutuhan masing-masing.
Perlu diakui bahwa pada dasarnya implementasi API di Indonesia amat dipengaruhi oleh wacana internasional dalam topik tersebut. Wacana dimaksud adalah tentang implementasi arsitektur keuangan global yang diprakarsai oleh Bank for International Settlements (BIS). BIS adalah organisasi internasional yang memprakarsai dan memfasilitasi kerjasama antara bank sentral berbagai negara ditambah dengan beberapa organisasi keuangan internasional. Wacana arsitektur keuangan global itu sendiri mulai berkembang sejak tahun 1998. Ada keinginan kuat agar kestabilan keuangan global bisa dipelihara secara berkesinambungan, yang antara lain dipicu oleh pelajaran berharga pada masa krisis di kawasan Asia Tenggara di masa lalu. Krisis perbankan di Asia Tenggara tersebut ternyata juga merepotkan negara-negara dan lembaga pemberi pinjaman (kreditur) pada masa itu. Oleh karenanya, BIS mempublikasikan secara gencar akan pentingnya perhatian serius terhadap kestabilan keuangan melalui program arsitektur keuangan global.

Meskipun demikian, perlunya banking landscape bagi perbankan Indonesia sebenarnya masih dapat diperdebatkan untung ruginya oleh semua pihak. Terutama oleh kalangan perbankan yang harus menyesuaikan diri dengan ketentuan yang sebagian besarnya bersifat mengikat secara hukum (memaksa). Salah satu argumen pokok bagi yang kurang setuju adalah berkenaan dengan dibatasinya ”kekuatan pasar” dalam menentukan struktur perbankan yang ideal dan dianggap efisien bagi perekonomian.
Sekitar tiga tahun kemudian sejak diumumkannya API sebagai blueprint perbankan nasional, BI mensosialisasikan rencana implementasi Basel II. Basel II adalah suatu panduan atau best practices, yang berisi pengaturan permodalan bagi bank-bank. Jika API lebih menekankan kepada bangunan perbankan nasional yang ingin diwujudkan, maka Basel II adalah satu bagian kerangka aturan (khususnya mengenai permodalan) dalam proses pembangunan tersebut.
Arti pentingnya pengaturan terhadap permodalan bagi suatu bank mudah difahami mengingat Bank merupakan suatu perusahaan yang menjalankan fungsi intermediasi atas dana yang diterima dari nasabah. Jika suatu bank mengalami kegagalan, dampak yang ditimbulkan akan dapat meluas mempengaruhi nasabah dan lembaga-lembaga yang menyimpan dananya atau menginvestasikan modalnya di bank. Jika bank itu berskala operasi yang cukup besar, akan berpotensi menciptakan dampak ikutan secara nasional (domestik), bahkan bisa mempengaruhi pasar internasional. Dengan kata lain, peraturan mengenai permodalan bank yang berfungsi sebagai penyangga terhadap kemungkinan terjadinya kerugian, sehingga kepercayaan nasabah terhadap aktivitas perbankan tetap dapat dipelihara.

Sebagaimana API, wacana Basel II juga dipromosikan oleh BIS. Urgensi soal permodalan bagi perbankan, membuat BIS memiliki komite khusus yang selalu memantau dan menganalisis perkembangannya di seluruh dunia secara terus menerus. Komite itu dikenal sebagai Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) atau Komite Basel, yang antara lain merumuskan dan mensosialisasikan berbagai panduan atau best practices perbankan, terutama yang dinilai harus dijalankan oleh bank sentral.

API dan Basel II pada umumnya diakui sebagai suatu konsep yang baik oleh banyak pihak, termasuk kalangan perbankan. Mereka bisa menerima tujuan konsep agar terwujud bangunan yang kuat, serta mekanisme perbankan yang menjamin stabilitas keuangan namun tetap memberi peluang tumbuh bagi setiap bank. Yang kemudian dipermasalahkan dari kedua konsep itu adalah detil aturan, tahap-tahap serta waktu pelaksanaannya.
Uraian lebih lanjut akan dikembangkan dalam Bab V, yang juga memuat ulasan singkat tentang rencana implementasi Bassel II di Indonesia. Kita pun akan melihat secara kritis, beberapa dampak logis dari implementasi API dan Bassel II. Dalam hal API adalah soal meningkatnya kepemilikan asing dalam perbankan di Indonesia. Dalam hal Bassel II adalah soal kehati-hatian (prudent) berlebih yang bisa menghambat fungsi intermediasi perbankan, terutama bagi penyaluran untuk usaha mikro dan kecil.

E. Statistik Perbankan: Beberapa fakta saat ini
Bagaimana keadaan perbankan setelah dilanda krisis, kemudian dibantu dan di restrukturisasi oleh pemerintah dan Bank Indonesia? Sebagian besarnya dapat diamati dan dinilai dari berbagai angka dalam statistik perbankan. Angka-angka mengenai jumlah bank dan perkantorannya; pangsa kepemilikan; aset dan permodalan; dana yang berhasil dihimpun dan Kredit yang disalurkan; kualitas kredir, khususnya yang bermasalah (NPL); soal profitabilitas, soal efisiensi dan lain sebagainya. Berikut ini diulas fakta-fakta utamanya saja.
Jumlah jaringan kantor Bank Umum khususnya sejak deregulasi perbankan yang tercantum dalam Paket Oktober tahun 1988 (Pakto 88) mengalami perkembangan yang pesat. Pasca Pakto 88, jumlah Bank Umum terus bertambah, didominasi oleh pendirian Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) Devisa dan BUSN Non Devisa, dari 111 bank dengan jumlah kantor sebanyak 1.957 kantor sampai mencapai puncaknya pada akhir tahun 1996, yaitu 239 bank dengan 7.314 kantor. Namun demikian, setelah krisis perbankan tahun 1997 jumlah Bank Umum terus mengalami penurunan yang disebabkan adanya likuidasi oleh Pemerintah, merger, dan self-liquidation.

Terdapat 130 bank menurut data dari BI pada akhir Desember 2007. Akan tetapi, jumlah kantor justeru terus meningkat menjadi 9.697 kantor, mengisyaratkan kemampuan yang lebih baik untuk melayani nasabah. Jumlah Bank Persero sebanyak 5 bank dengan 2765 kantor; BUSN Devisa sebanyak 35 bank dengan 4711 kantor; BUSN Non Devisa sebanyak 36 bank dengan 778 kantor; Bank Pembangunan Daerah (BPD) sebanyak 26 bank dengan 1205 kantor; Bank Campuran sebanyak 17 bank dengan 96 kantor; dan Bank Asing sebanyak 11 bank dengan 142 kantor. Tercatat bahwa kantor Bank Asing dan Bank Campuran yang paling pesat pertumbuhannya.

Kepercayaan masyarakat terhadap perbankan berhasil dipulihkan, jika dilihat dari pertumbuhan aset dan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang berhasil dihimpun. Aset Bank umum bertambah dengan pesat dalam beberapa tahun terakhir. Jumlah total aset, selama tahun 2002 sampai dengan tahun 2007, tumbuh rata-rata lebih dari 10% setiap tahun, sehingga total aset per bulan Desember 2007 adalah sebesar Rp1.986,5 triliun. DPK yang berhasil dihimpun juga terus meningkat, sekalipun laju pertumbuhannya mulai melambat, DPK pada bank umum per 31 Desember 2007 telah mencapai Rp1.510,8 triliun.
Di sisi lain, dana masyarakat yang dihimpun oleh perbankan yang berhasil disalurkan kembali dalam bentuk kredit juga cen­derung meningkat selama beberapa tahun. Angka Loan to Deposit Rasio (LDR), yang membandingkan antara kredit yang disalurkan dengan DPK yang dihimpun dan dinyatakan dalam prosentase, sempat membaik dalam beberapa tahun. Akan tetapi, selama tahun 2006, LDR kembali memburuk, dan berangsur membaik kembali pada tahun 2007. Meskipun membaik, angka LDR masih berfluktuasi di kisaran 65%, yang berarti fungsi intermediasi sektor perbankan suatu keadaan yang belum optimal. Masih sangat besar dana yang seharusnya dapat menjadi “darah segar” bagi sektor riil, jika berhasil disalurkan kepada kegiatan produktif. Padahal, BI rate atau tingkat bunga Surat berharga Bank Indonesia (SBI), yang cenderung diikuti oleh suku bunga pinjaman perbankan, terus mengalami penurunan.
Tekanan risiko kredit yang dihadapi bank membaik pada tahun 2007, setelah sempat meningkat selama tahun 2005 dan 2006. Beberapa tahun sebelumnya, risiko kredit berangsur menurun secara cukup signifikan. Hal ini ditunjukkan oleh naik turunnya rasio kredit bermasalah (NPL).
Profitabilitas perbankan relatif stagnan dalam tiga tahun terakhir, hanya sedikit mengalami perbaikan, setelah beberapa tahun sebelumnya terus meningkat. Penyebab utamanya adalah meningkatnya beban operasional, disamping peningkatan efisiensi yang sudah mulai lebih berat untuk dilaksanakan. Hal ini tercermin dari angka-angka Return on Asset (ROA) dan Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO). Rasio ROA dihitung dari laba tahun yang berjalan dibandingkan dengan total aset. Sedangkan BOPO Total beban operasional dibagi Total pendapatan operasional.

ROA sebesar 0,9% (tahun 2000) membaik sampai mencapai 3,5% (tahun 2004), kemudian menurun menjadi 2,56% (tahun 2005), serta menjadi 2,64% (2006), dan 2,78% (2007). Sedangkan BOPO sedikit menurun pada tahun 2006 dan 2007, setelah sebelumnya sempat meningkat pada tahun 2005. Tentang perkembangan ROA dan BOPO ini akan dibahas lebih detil pada bab 7.
Sementara itu, rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan juga relatif stabil selama beberapa tahun ini. Setelah peningkatan yang sangat tinggi pada tahun 2001, dan cukup tinggi pada tahun 2002, sedikit menurun pada tahun 2003, maka pada tahun-tahun berikutnya relatif stabil pada angka yang cukup aman. CAR per Nopember 2007 adalah 20,3%. Selain tergolong cukup tinggi, sebagian besarnya merupakan modal inti (Tier 1). Dengan demikian, dari segi permodalan, perbankan Indonesia tampak cukup solvable menghadapi risiko. Kondisi semacam ini, secara teoritis, sebenarnya mendukung untuk melakukan ekspansi kredit lebih besar.

Uraian dan data yang lebih lengkap mengenai perkembangan statistik perbankan diberikan pada bab 7 dan bab 8. Pada kedua bab itu, interpretasi beserta hal-hal yang berada ”dibalik angka” juga akan mencermati. Diantaranya adalah mengenai soal profitabilitas, efisiensi dan soal penyaluran kredit. Kita pun perlu membahas contoh yang bersifat mikro, mengenai kondisi kelompok bank atau bank secara individual.

F. Tentang Buku ini
Uraian buku sebagian besarnya bersifat deskriptif, menjelaskan agar detil permasalahan bisa lebih difahami, khususnya bagi pembaca yang belum akrab dengan seluk beluk perbankan. Deskripsi diberikan berkenaan dengan hal-hal yang bersifat ketentuan atau peraturan. Sumber data dan definisi yang utama adalah Undang-Undang yang berlaku, serta berbagai dokumen dan publikasi Bank Indonesia. Jika tidak disebut lain, maka berbagai definisi, ketentuan dan data dalam buku ini bersumber dari BI. Dengan demikian, sebagian uraian bersifat sangat teknis, karena memang dimaksudkan demikian. Bagi pembaca yang lebih menginginkan pemahaman umum saja terhadap ketentuan perbankan yang berlaku, bagian semacam itu dapat dilewatkan.
Pembahasan mengenai istilah atau angka-angka statistik bersifat analitis, namun disertai penjelasan sederhana. Istilah perbankan tertentu dipaparkan sedemikian rupa agar lebih mudah dimengerti oleh pembaca yang belum cukup akrab dengan istilah-istilah tersebut. Sedangkan angka-angka statistik di tampilkan secara lebih sederhana, namun dibahas secara agak mendalam dalam uraian verbal. Ada, memang, beberapa data statistik yang ditampilkan lebih kompleks, yang ditujukan bagi pembaca yang ingin lebih mendalam pengetahuannya. Bagian statistik yang semacam ini bisa dilewatkan saja bagi para pembaca yang lebih membutuhkan pemahaman umum.

Di setiap bab sebenarnya sudah diberikan pembahasan yang bersifat kritis, dengan porsi berbeda sesuai topiknya. Akan tetapi, tinjauan kritis yang menyeluruh atas perbankan Indonesia saat ini diberikan pada Bab VIII. Sebagiannya mengulangi dan memperdalam hal-hal yang sudah dibicarakan pada masing-masing bab. Tinjauan kritis dimaksud bisa berupa pencermatan hal-hal dibalik angka statistik dan membaca kombinasi angka. Dapat pula terhadap arah kebijakan, dengan argumentasi angka maupun penalaran teoritis atas kondisi-kondisi yang berpeluang besar untuk terjadi.

Pengertian kritis pada bab VIII diperluas lagi dengan mengemukakan pandangan lain yang terutama berbeda dari pemerintah dan otoritas moneter. Ada baiknya kita melihat argumen-argumen lain, termasuk yang berbeda secara radikal, dalam memandang permasalahan perbankan dewasa ini. Dengan demikian, kebijakan perbankan di masa akan datang mestinya mempertimbangkan banyak hal, tidak semata-mata dari perspektif perbankan. Apalagi jika hanya demi kepentingan sekelompok orang dalam ”bisnis bank”.
Buku ini pada dasarnya ditujukan kepada para pengambil kebijakan ekonomi Indonesia, terutama yang terkait dengan perbankan. Secara lebih umum, sebagai masukan dalam proses pengambilan kebijakan tersebut. Ini berarti mencakup siapa saja yang memiliki kepedulian. Setiap warga negara Indonesia memiliki hak untuk ikut menentukan arah pengelolaan negara ini. Apalagi bagi mereka yang bisa secara langsung mempengaruhi secara berarti, di lingukungan eksekutif maupun legislatif, di pusat dan di daerah. Masalah perbankan tidak bisa diserahkan begitu saja sepenuhnya kepada jajaran pengambil keputusan di Bank Indonesia. Setidaknya, ada proses kontrol yang baik disertai transparansi setiap argumentasi dasar atas kebijakan pokok yang diambil BI.

Buku ini memiliki pesan sederhana, pengelolaan perbankan seharusnya dikelola bukan demi keuntungan para rentenir (rent seeker), yang telah terlampau banyak mendapat subsidi. Melainkan dikelola untuk kepentingan bangsa Indonesia, yang berarti diarahkan bagi peningkatan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.