Angka Pengangguran dalam Pidato Presiden SBY
Soal pengangguran memang selalu dikutip dalam Pidato kenegaraan Presiden SBY selama tiga tahun terakhir (setiap bulan Agustus). Namun bagi ekonom yang kritis, ada ketidakjelasan atau ketidakkonsistenan dalam kutipan itu. Bahkan berkenaan dengan aspek kuantitatif yang paling sederhana.
Pada tahun 2008, dikatakan: ”Pembangunan ekonomi, kita laksanakan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata. Oleh karena itu, strategi yang saya gariskan adalah strategi ‘pertumbuhan disertai pemerataan’ atau ‘growth with equity.’ Percepatan pembangunan ekonomi, telah memberikan dampak yang positif baik pada percepatan penurunan tingkat pengangguran terbuka maupun tingkat kemiskinan. Tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2006 mencapai 10,5 persen, kini telah berhasil diturunkan menjadi 8,5 persen pada Februari 2008.”
Pada tahun 2007 hanya dikatakan: “…..Pengangguran dan kemiskinan masih belum sepenuhnya kita tanggulangi...” Tidak disinggung angka sama sekali.
Pada tahun 2006 dikatakan: ”Tingkat pengangguran telah mulai menurun dari 11,2% pada bulan November tahun 2005 menjadi 10,4 persen pada awal tahun 2006. Penurunan tingkat pengangguran ini baru pertama kali terjadi, setelah dalam beberapa tahun terakhir mengalami kenaikan.” Perhatikan bahwa yang dipakai sebagai angka dasar (untuk perbandingan) adalah data November 2005 bukannya Februari 2005 (SBY sudah jadi Presiden) yang 10,3 persen.
Ketika angka-angka disebut, kecenderungannya adalah memakai prosentase, bukannya jumlah penganggur secara absolut. Wajar karena jumlah angkatan kerja terus meningkat, sehingga penurunan secara prosentase terlihat lebih baik.
Menarik pula jika dilihat bahwa angka pengangguran di Indonesia sering tidak diperlakukan sebagai indikator makroekonomi oleh pemerintah. Ketika pemerintah mengklaim kondisi makroekonomi sangat baik, angka-angka yang biasa diperlihatkan sering tidak mencakup angka pengangguran. Anehnya, para pengkritik pemerintah pun kerap berperspektif yang sama. Mereka biasa mengatakan bahwa pemerintah terlampau memperhatikan makroekonomi, sedangkan masalah pengangguran dan kemiskinan tidak teratasi dengan baik.
Padahal, menurut text book, pengangguran (atau tingkat penggunaan tenaga kerja sebagai kebalikannya) adalah salah satu soal terpenting makroekonomi. Pengangguran sebagai indikator makroekonomi bermanfaat untuk mengetahui bagian dari tenaga kerja yang sesungguhnya terlibat, atau berusaha untuk terlibat, dalam kegiatan memproduksi barang dan jasa selama kurun waktu tertentu.
Secara resmi, Badan Pusat Statistik (BPS) memberi definisi, menghitung dan mempublikasikan secara rutin berbagai data bekenaan dengan pengangguran. Menurut BPS, tenaga kerja (manpower) adalah seluruh penduduk dalam usia kerja (berusia 15 tahun atau lebih) yang potensial dapat memproduksi barang dan jasa. Penduduk usia kerja dibagi menjadi dua golongan yaitu yang termasuk angkatan kerja dan yang termasuk bukan angkatan kerja. Angkatan kerja sendiri terdiri dari mereka yang aktif bekerja dan mereka yang sedang mencari pekerjaan. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok bukan angkatan kerja adalah mereka yang masih bersekolah, ibu rumah tangga, pensiunan dan lain-lain.
Sementara itu, penduduk yang bekerja atau mempunyai pekerjaan adalah mereka yang selama seminggu sebelum pencacahan melakukan pekerjaan atau bekerja untuk memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan selama paling sedikit satu jam dalam seminggu yang lalu dan tidak boleh terputus (Sensus Penduduk 2000). Pengangguran Terbuka merupakan bagian dari angkatan kerja yang tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan (baik bagi mereka yang belum pernah bekerja sama sekali maupun yang sudah penah berkerja), atau sedang mempersiapkan suatu usaha, mereka yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan dan mereka yang sudah memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja.
BPS menyediakan pula istilah Setengah Pengangguran, yaitu bagian dari angkatan kerja yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu). Di banyak negara, pengertian ini masih termasuk pengangguran. Jika angka setengah pengangguran dianggap tidak bekerja, maka jumlahnya saat ini masih berkisar 25 juta orang. Angka pengangguran akan masih lebih dari 20 persen.
Persoalan lain yang juga membutuhkan perhatian adalah upah riil yang diterima para pekerja. Upah riil adalah nilai balas jasa yang diterima pekerja, yang diukur dengan daya belinya terhadap barang dan jasa. Jika upah nominal naik lebih rendah daripada tingkat inflasi, apalagi jika tidak mengalami kenaikan samasekali, maka upah riil dipastikan menurun. Ada indikasi, upah riil pekerja di beberapa sektor usaha mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir.
Persoalan rendahnya imbalan bagi para pekerja ditunjukkan pula oleh data banyaknya orang yang bekerja di sektor usaha berskala mikro, yang biasa disebut sebagai sektor nonformal. BPS sendiri merasa perlu menjelaskan bahwa penurunan angka dan jumlah pengangguran selama beberapa tahun belakangan lebih disebabkan oleh daya serap sektor ini. BPS mengeluarkan data tentang jenis-jenis pekerjaan, yang salah satu klasifikasinya adalah bekerja atau berusaha sendiri. Klasifikasi ini memang tidak hanya mencakup sektor nonformal, namun dalam penjelasan verbalnya dipastikan sebagai yang paling besar porsinya.
Kekhawatiran akan turun, stagnan atau tumbuh secara amat lambat ditujukan pula pada pendapatan riil para petani, yang antara lain diindikasikan oleh nilai tukar petani (NTP). Data NTP dari BPS memang memperlihatkan perkembangan yang fluktuatif selama beberapa tahun terakhir. Namun, belakangan ada kecenderungan untuk stagnan atau menurun. Bahkan, ada yang menduga jika pencermatan dilakukan secara lebih teliti, maka beberapa sektor pertanian rakyat (dilihat dari sisi pendapatan petaninya) mengalami penurunan yang cukup signifikan.
Kesimpulannya, angka pengangguran yang biasa dikutip dalam pidato kenegaraan Presiden SBY sulit ditafsirkan sebagai indikasi keberhasilan kebijakan ekonomi dari pemerintahannya. Justeru lebih dekat sebagai bukti kegagalan pengelolaan perekonomian nasional.