TANGGUNG JAWAB MAHASISWA EKONOMI DI INDONESIA
Sebagai mahasiswa baru di fakultas ekonomi jurusan ilmu ekonomi, maka sudah sewajarnya jika anda bertanya-tanya, dalam hati ataupun diutarakan, mengenai peran ilmu yang akan segera dipelajari selama beberapa tahun. Secara lebih sempit, sebagian mahasiswa mencoba meneropong profesi apa yang mungkin digeluti setelah lulus nantinya. Ada banyak peluangkah, mengingat ketatnya persaingan mencari kerja kini dan kemungkinan di masa datang. Jikapun ada atau cukup besar peluang mendapat kerja dengan kompetensi yang dimiliki setelah menguasai ilmu ekonomi, tergelitik khayalan mengenai besar kecilnya imbalan atau upahnya.
Ada berita baik dan ada berita buruk mengenai peran ekonom dan ilmu ekonomi di Indonesia. Berita baiknya, ekonom dan ilmu ekonomi sedang amat diperlukan di negara ini, yang bahkan cenderung mendominasi profesi dan disiplin ilmu lainnya. Jumlah tenaga ahli ekonomi yang diperlukan oleh berbagai kementerian dan lembaga negara bisa dikatakan cukup banyak. Baik dibandingkan dengan sebagian besar disiplin ilmu sosial lainnya, maupun jika dibandingkan dengan ketersediaan ahli ekonomi itu sendiri hingga saat ini. Tidak hanya dibutuhkan oleh semua departemen atau lembaga negara, melainkan juga oleh kebanyakan perusahaan swasta atau lembaga non bisnis. Hebatnya lagi, ahli ekonomi biasa dipakai untuk jenis pekerjaan yang tergolong “menengah” atau “atas” dalam struktur manajemen. Sementara itu, di media masa, para ekonom sering tampil menyerupai para selebritis. Di jajaran media itu sendiri, profesi jurnalis dengan latar belakang kompetensi ilmu ekonomi memperoleh kesempatan yang tergolong amat baik. Patut diperhitungkan pula soal banyaknya politisi yang dahulunya “hanya” seorang ahli ekonomi. Setidaknya, pribadi-pribadi yang terjun ke bidang politik secara serius pun biasa mempekerjakan ekonom sebagai tim suksesnya.
Bisa dikatakan, gambaran tentang pekerjaan teknis dari seorang ekonom di Indonesia tidak lagi streotype sebagai dosen dan peneliti saja. Tidak pula terbatas pada staf ahli atau bahkan menteri itu sendiri. Pilihannya sangat banyak, dan sekali lagi, saat ini adalah era keemasan bagi ekonom di Indonesia.
Berita buruknya, ekonom dan ilmu ekonomi justeru mulai terbukti gagal memperbaiki kehidupan ekonomi bangsa dan rakyat kebanyakan di Indonesia. Semakin banyak, semakin terkenal dan berpengaruhnya ahli ekonomi dibanding waktu yang sudah-sudah, belum tampak menunjukkan arti positif bagi perekonomian nasional. Perekonomian masih dihantui oleh ancaman krisis yang bisa datang sewaktu-waktu; utang pemerintah semakin mempersempit pilihan kebijakannya dan secara langsung membebani rakyat; kebijakan ekonomi yang dipilih tidak membantu mengatasi masalah pangan dan energi yang mutlak dibutuhkan rakyat; soal kemiskinan dan pengangguran belum ada indikasi akan terselesaikan.
Kembali ke berita baik, posisi yang tinggi dari para ekonom sudah diramalkan oleh Samuelson, sebagaimana dikutip oleh Mankiw (2006), “Saya tidak peduli siapa yang membuat undang-undang suatu negara, atau membuat perjanjian-perjanjian negara tersebut, jika saya mampu menulis buku ajar (textbook) ilmu ekonominya. Dalam bahasa awam untuk konteks Indonesia bisa diterjemahkan menjadi: “tidak penting siapa presiden dan para menteri di bidang perekonomiannya, asal konsep ilmu ekonomi yang dipakainya adalah ide tertentu (yang terkontrol).”
Samuelson pula yang sejak awal mengklaim bahwa ilmu ekonomi adalah ratunya ilmu sosial. Argumen utamanya adalah ilmu ekonomi memiliki kekuatan ilmu eksakta namun mengandung keindahan seni atau sastra. Kurang lebihnya, bisa berguna secara rasional namun mengandung unsur kebijaksanaan, alias bisa diaplikasikan.
Terlepas dari itu, ada dua fenomena yang saling bertolak belakang berkenaan dengan pemahaman publik atas apa yang sebenarnya telah dan tengah berlangsung dalam dinamika perekonomian Indonesia. Pertama, istilah dan angka ekonomi cenderung mendominasi headline news media massa, media cetak maupun media elektronik di Indonesia saat ini. Ada berita atau ulasan mengenai kondisi perekonomian, yang dahulunya hanya dikenal mereka yang bergelut dalam wacana ilmu ekonomi, seperti : laju pertumbuhan ekonomi, kondisi APBN, perkembangan transaksi berjalan dan fluktuasi nilai tukar rupiah. Masyarakat luas akhirnya menjadi terbiasa disodori perbincangan mengenai hal-hal tersebut.
Akan tetapi, ada fenomena lain yang justeru nuansanya berkebalikan dari fenomena pertama tadi. Tampak semakin banyak orang yang bingung dengan penggambaran atau ulasan para ahli ekonomi, terutama ekonom pemerintah, tentang keadaan ekonomi Indonesia. Indikasinya bisa dilihat dari berbagai komentar pembaca media cetak dalam surat pembaca, atau pada saat ini paling mudah dilihat dari tanggapan dalam media yang kebanyakan sudah menyediakan edisi online selain versi cetak (juga ada beberapa media yang memang hanya mempublikasan edisi online).
Dalam berbagai headline news tadi, masyarakat umum yang tidak terlatih dalam ilmu ekonomi sering dibingungkan oleh banyak hal, sekalipun terbiasa membaca dan mendengarnya. Sebagian dari penyebabnya adalah: Ada banyak istilah ekonomi yang tak mudah dimengerti; Ada penyajian angka yang sangat banyak macamnya karena sebagian besar istilah tadi memiliki aspek kuantitatif, dan dipublikasikan secara rutin; Tidak sesuainya makna sajian angka (indikator) ekonomi yang dikatakan oleh ekonom dengan kondisi yang dirasakan oleh orang kebanyakan; Ada banyak pertanyaan mengenai mengapa ulasan ekonom tentang berbagai istilah dan angka ekonomi bernada positif, sementara mereka merasakan hidup dengan kesulitan ekonomi yang tidak berkesudahan.
Pada saat ini pemerintah (dan BI) dengan dukungan ekonomnya selalu mengemukakan keadaan yang membaik, sementara rakyat kebanyakan tidak merasa demikian.
Mahasiswa Ekonomi, khususnya jurusan ilmu ekonomi, bertanggung jawab untuk mencari tahu mengapa ada gap antara ekonom dan rakyat, mengapa ilmu ekonomi tidak sepenuhnya menggambarkan keadaan secara benar, lalu berusaha memperbaikinya. Untuk itu mereka tetap perlu belajar ilmu ekonomi arus utama (mainstreams) sebagaimana yang memang telah “dipaksakan” dalam kurikulum. Namun, para mahasiswa harus berupaya keras belajar tentang cara pandang lain dari banyak sumber yang juga bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Lebih penting lagi, belajar dari fakta-fakta yang ada di Indonesia. Tentu saja, dimulai dari penalaran dengan akal sehat.
Perlu diketahui oleh mahasiswa baru bahwa ada dua hal yang paling dikritikkan kepada ekonom mainstreams. Pertama, mereka sering tidak mengetahui (bisa juga tidak peduli) keadaan yang sebenarnya terjadi di perekonomian riil rakyat kebanyakan. Termasuk di dalamnya adalah kekurang mengertian hubungan antar variabel dan cara kerjanya. Kedua, kurang menggali konsep kebijasanaan lokal maupun warisan sejarah pemikiran bangsa sendiri. Baik dari para pemikir terdahulu, atau dari rakyat kebanyakan. Banyak ekonom yang lebih percaya kepada fikiran ahli ekonomi di negara seberang yang bahkan tidak pernah secara serius ingin mengetahui tentang perekonomian Indonesia.
Catatan: Disampaikan Awalil Rizky pada kuliah umum untuk mahasiswa jurusan Ilmu ekonomi, FE Universitas Trisakti, tanggal 5 September 2008.