Jumat, 28 Juni 2019

MEWASPADAI UTANG LUAR NEGERI SWASTA


Utang luar negeri (ULN) yang diperoleh pemerintah dan swasta pada suatu tahun akan membawa masuk devisa, yang menambah surplus Neraca Pembayaran Indonesia. Akan tetapi pada saat harus dilakukan pelunasan dan pembayaran bunga, maka akan tercatat sebagai arus ke luar. Jika hanya dilihat seperti itu tentu total devisa yang keluar akan lebih tinggi, karena ada tambahan bunganya. Akan tetapi sebagian ULN dianggap bisa meningkatkan ekpor yang menghasilkan devisa. Baik secara langsung karena sebagiannya dipakai dalam proses produksi berorientasi ekspor. Ataupun secara tidak langsung, melalui perbaikan kondisi ekonomi dan memacu pertumbuhan ekonomi yang kemudian mendorong ekspor.

Teori ekonomi bahkan memberi pembenaran perlunya utang luar negeri bagi suatu negara yang sedang membangun, karena tingkat tabungan domestik dianggap terlampau rendah. Tidak akan mencukupi bagi kebutuhan investasi yang menjadi syarat utama pertumbuhan ekonomi. Jika tidak berutang, atau hanya dengan mengandalkan tabungan domestik, maka negara itu diyakini kehilangan banyak kesempatan untuk mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.   

Terlepas dari perdebatan tentang manfaat utang luar negeri dan harapan akan menghasilkan devisa yang lebih banyak, akibat yang bersifat segera dan pasti adalah kewajiban pelunasan utang pokok dan pembayaran bunga. Oleh karenanya, otoritas ekonomi sering mewaspadai perkembangan ULN. ULN Pemerintah langsung bisa dikontrol, sedangkan ULN swasta diawasi dan coba dipengaruhi dengan berbagai kebijakan. Indonesia telah berpengalaman buruk di masa lampau mengenai ULN swasta yang tak terkontrol.

ULN swasta tercatat tumbuh kembali dengan cepat dan melampaui utang pemerintah lagi sejak tahun 2012. Laju ULN Pemerintah kemudian sempat naik pesat pada tahun 2017 dan 2018, sehingga kembali setara. Akan tetapi di akhir tahun 2018 hingga April 2019, ULN swasta kembali melampaui ULN Pemerintah. ULN swasta sebesar US$199,61 miliar, ULN Pemerintah sebesar US$189,72 miliar, sehingga totalnya sebesar US$389,34 miliar. Salah satu penyebab kenaikan pesatnya adalah ULN Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dicatat oleh Bank Indonesia sebagai utang swasta.


Posisi ULN BUMN cenderung meningkat selama 10 tahun terakhir. Peningkatan signifikan terjadi sejak tahun 2011, dan posisi pada akhir April 2019 mencapai US$49,02 miliar. Perlu diketahui bahwa BUMN yang paling banyak berutang adalah yang bergerak di bidang nonkeuangan. Bukan BUMN Bank ataupun BUMN lembaga keuangan nonbank.


Dilihat dari porsi, ULN BUMN saat ini mencapai 24,56% dari total ULN swasta. Jauh lebih besar dibanding porsi tahun 2007 yang sebesar 6.51% dan tahun 2010 sebesar 10,19%. Hampir 30% berjangka waktu pendek (kurang dari setahun).


Dilihat dari denominasi valuta asing ULN, maka porsi dolar Amerika masih amat dominan, mencapai 90,09% dari total ULN swasta. Porsi ini mengalami peningkatan dibanding tahun-tahun sebelumnya, seperti tahun 2007 (85,91%) dan pada tahun 2012 (87,43%). Artinya, dilihat dari sisi ini, pengaruh kurs rupiah atas dolar makin membesar.

Jika dilihat dari jangka waktu sisa, maka ULN swasta berjangka pendek (kurang dari sama dengan setahun) kini memiliki porsi sekitar 27,24%. Porsi ini sempat stabil selama sepuluh tahun terakhir di kisaran 25%, dan sedikit meningkat dua tahun terakhir. Porsi yang telah lebih dari seperempat total utang swasta itu akan memberatkan jika kondisi ekonomi memburuk mendadak. Terutama jika depresiasi rupiah cukup signifikan, sementara korporasi swasta (termasuk BUMN) tersebut tidak memproduksi barang atau jasa yang diekspor.

Secara umum, kondisi terkini dari ULN swasta memang masih lebih baik dibanding tahun 1996-1997, menjelang krisis. Masih terlihat aman pula jika dilihat dari besarnya cadangan devisa, kinerja NPI, dan bahkan tekanan atas Transaksi Berjalan yang tengah terjadi. Akan tetapi, kondisinya cenderung memburuk selama beberapa tahun terakhir. Dengan demikian, kewaspadaan otoritas ekonomi atas dinamika ULN perlu ditingkatkan mengingat kondisi global ke depan makin penuh ketidakpastian dan berisiko terjadi turubulensi. ULN BUMN menjadi salah satu yang bisa segera dikendalikan oleh otoritas ekonomi.

Ulasan dalam tulisan ini bersifat umum, hanya melihat data-data keseluruhan dan pengelompokan oleh Bank Indonesia. Masalah bisa saja timbul dari korporasi swasta dan BUMN secara individual ataupun suatu industri. Salah satu faktor krusialnya adalah jika mereka memiliki ULN dalam denominasi dolar Amerika, namun produksinya dijual dalam rupiah di pasar domestik. Yang jelas, terdapat beberapa indikasi yang kurang menggembirakan dan membutuhkan kewaspadaan lebih tinggi dari otoritas ekonomi Indonesia. 

Minggu, 23 Juni 2019

PEMBAYARAN BUNGA UTANG MAKIN MEMBEBANI APBN


Perhatian publik lebih sering kepada tambahan dan posisi utang pemerintah. Perdebatan umum mengedepankan nilai nominal posisi utang ataupun rasionya atas Produk Domestik Bruto (PDB). Padahal yang secara langsung lebih berpengaruh kepada pengelolaan APBN adalah nilai pembayaran bunga utang. Tambahan utang memang cenderung akan menambah pembayaran bunga, namun laju kenaikannya tidak selalu sama atau seiring. Hal itu bergantung pada perkembangan tingkat bunga utang. Dapat saja posisi utang bertambah cukup besar selama setahun, namun tidak diikuti oleh kenaikan pembayaran bunga secara proporsional.

Selama era pemerintahan Jokowi, nilai pembayaran bunga utang cenderung naik lebih cepat dari tambahan utang, kecuali pada tahun pertama pemerintahan (2015). Terlihat bahwa persentase kenaikan pembayaran bunga melampaui persentase pertumbuhan posisi utang. Demikian pula jika dilihat dari kenaikan persentase pembayaran bunga selama setahun dibanding dengan posisi utang akhir tahun yang bersangkutan. Sedangkan selama era pemerintahan SBY pertama dan SBY kedua, terjadi fluktuasi dalam besaran ini.


Cara penjelasan lain adalah dengan melihat data posisi utang akhir tahun 2014 yang sebesar Rp2.607 triliun, yang diprakirakan meningkat menjadi Rp4.778 triliun pada akhir tahun 2019 (posisi per akhir Mei telah mencapai Rp4.572 triliun). Naik sekitar 1,83 kali lipat (183%). Sementara itu, pembayaran bunga utang pada tahun 2014 sebesar Rp133,44 triliun, dan diprakirakan sekitar Rp298 triliun pada tahun 2019 (meski target APBN hanya sebesar Rp275,89 triliun). Naik sekitar 2,23 kali lipat (223%).

APBN KiTA yang dirilis Kementerian Keuangan tanggal 21 Juni lalu memperlihatkan bahwa realisasi pembayaran bunga Januari hingga Mei 2019 (5 bulan) telah mencapai Rp127,07 triliun. Jumlah itu merupakan 46,06% dari target yang sebesar Rp275,89 triliun. Dengan data itu, diprakirakan hingga akhir tahun pembayaran bunga akan melebihi targetnya. Tampaknya memang tidak seburuk tahun lalu yang realisasi mencapai 108,11% dari rencana. Pada tahun 2019 kemungkinan sekitar 105% dari rencana, atau sebesar Rp290 triliun.

Salah satu cara melihat beban utang adalah mencermati perkembangan porsi pembayaran bunga utang selama setahun dari posisi utang rata-rata selama tahun yang bersangkutan. Posisi utang rata-rata secara sederhana dapat diperoleh dari posisi awal tahun (sama dengan akhir tahun sebelumnya) ditambah dengan posisi akhir tahun, kemudian dibagi dua. Rasio itu dapat dibaca sebagai “tingkat bunga riil” yang dibayar Pemerintah melalui APBN.

Rasio pada tahun 2014 sebesar 5,35%, kemudian terus naik menjadi 5,40% (2016), 5,47% (2017), dan 6,18% (2018). APBN 2019 sebenarnya mencerminkan upaya menurunkan rasio. Jika sesuai rencana, rasio pembayaran bunga utang dari posisi utang rata-rata dapat ditekan menjadi 6,0%. Akan tetapi dari prakiraan berdasar realisasi 5 bulan berjalan, justeru dapat meningkat menjadi 6,31%.


Analisis yang lebih cermat adalah memilah biaya dari beberapa jenis utang antara lain karena beberapa jenis utang memang memiliki “biaya” yang jauh lebih rendah, sehingga bisa menyamarkan jenis lainnya. Sebagai contoh, SBN yang tidak bisa diperdagangkan yang dimiliki oleh Bank Indonesia kini nyaris tak berbiaya, dan beberapa pinjaman luar negeri (loan) berbunga kecil.
Salah satu yang paling sering dianalisis karena berguna pula sebagai perbandingan antar negara adalah Surat Utang Negara bertenor 10 tahun. Selama beberapa tahun terakhir SBN bertenor 10 tahun memiliki bunga riil (yield) di kisaran 7-8%. Yield SBN Indonesia itu terbilang paling tinggi di kawasan saat ini. Sebagai contoh per 7 Juni 2019, Indonesia sebesar 7,96% yang lebih tinggi dari Philipina (5,22%), Malaysia (3,70%), Thailand (2,23%) dan Singapura (2,03%).      

Untuk mengetahui seberapa besar beban pembayaran bunga utang pemerintah dalam pengelolaan APBN dapat dilihat dari perbandingan atau rasionya dengan belanja negara dan pendapatan negara. Rasio dalam belanja memperlihatkan porsinya sebagai salah satu pos belanja dalam APBN. Sebagai contoh, pembayaran bunga utang pada tahun 2018 sebesar Rp258,09 triliun merupakan 11,72% dari realisasi Belanja Negara tahun itu. Jika dicermati perubahan porsinya dari tahun ke tahun, maka makin kecil porsinya akan memberi ruang bagi jenis belanja lain. Faktanya, ada kecenderungan porsi yang perlahan meningkat. Sedangkan rasio bunga utang dengan pendapatan menujukkan porsi yang terpakai, seandainya dibayar penuh dari pendapatan. Pembayaran bunga utang tahun 2018 adalah sebesar 13,38% dari realisasi Pendapatan Negara. Kecenderungannya juga mengalami peningkatan selama beberapa tahun terakhir.


Secara umum dari berbagai data di atas dapat dikatakan bahwa pembayaran bunga utang makin membebani pengelolaan APBN. Akan tetapi jika dilihat data kurun waktu yang lebih lama, serta tingkat bunga utang negara-negara lain, maka terdapat peluang bagi perbaikan yang signifikan.

Minggu, 02 Juni 2019

DEFISIT PENDAPATAN PRIMER YANG MAKIN MENEKAN


Kondisi yang rawan namun kurang menjadi wacana diskusi publik adalah fakta bahwa yang paling membebani Transaksi Berjalan (Current Account) hingga defisitnya terus membesar adalah perkembangan neraca Pendapatan Primer (Primary Income).

Per definisi, pendapatan (income) merupakan perolehan yang timbul dari penyediaan faktor produksi tenaga kerja dan modal finansial. Arus masuk (inflow) pendapatan mengacu pada hasil yang diperoleh dari penyediaan tenaga kerja Indonesia atau modal finansial Indonesia kepada bukan penduduk. Sedangkan arus keluar (outflow) pendapatan merupakan biaya yang harus dibayar Indonesia karena memanfaatkan tenaga kerja atau modal finansial asing.

Transaksi pendapatan primer yang berupa pembayaran (outflow) antara lain adalah: keuntungan dari investasi langsung asing, pembayaran bunga surat utang pemerintah, dan pembayaran bunga pinjaman luar negeri. Nilai yang berupa pembayaran ke pihak asing cenderung terus meningkat, dan mencapai USD39,58 miliar pada tahun 2018. Kecenderungan naik terutama sebagai konsekuensi dari transaksi finansial yang selalu surplus, akibat arus modal finansial asing (termasuk utang) yang terus masuk ke Indonesia.

Sebagaimana umum diketahui bahwa ekonomi Indonesia menerima arus masuk modal dari luar, baik berupa investasi langsung, investasi portofolio, atau transaksi keuangan lainnya. Hal itu dicatat dalam Transaksi Finansial yang merupakan bagian dari Neraca Pembayaran. Transaksi finansial terdiri dari transaksi dalam rangka investasi langsung (direct investment), investasi portofolio (portfolio investment), derivatif financial (financial derivatives), dan investasi lainnya (other investment).

Investor langsung berharap untuk mendapatkan manfaat dari hak suaranya dalam manajemen perusahaan atau memperoleh akses terhadap sumber daya atau pasar di negara domisili perusahaan afiliasinya. Sedangkan investor portofolio cenderung lebih bersifat spekulatif dibanding investasi langsung, karena tidak memiliki pengaruh yang cukup dalam perusahaan tempatnya berinvestasi. Transaksi investasi portofolio adalah atas surat berharga, baik di pasar perdana ataupun di pasar sekunder. Transaksi terjadi di pasar finansial terorganisasi, melalui bursa ataupun di luar bursa. Investor portofolio terutama menimbang keamanan investasi, kemungkinan apresiasi nilainyai, dan imbal hasil yang diperoleh. Jika kondisi atau keadaan berubah, investor portofolio dapat dengan mudah menggeser investasi mereka ke wilayah lain.

Sebenarnya, pihak Indonesia juga melakukan hal serupa (investasi) di luar negeri dan menerima arus pendapatan primer. Nilainya pada tahun 2018 mencapai USD9,28 miliar. Namun masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang dibayar ke pihak luar, sehingga terjadi defisit sebesar USD30,43 miliar.

Neraca Pendapatan Primer selama ini memang selalu mengalami defisit. Hal itu disebabkan, Indonesia lah yang lebih banyak memakai faktor produksi asing dibanding sebaliknya. Masalahnya adalah ketika nilai defisit mengalami kenaikan yang pesat. Kenaikan terutama sebagai konsekuensi dari transaksi finansial yang selalu surplus, akibat arus modal finansial asing (termasuk utang) yang terus masuk ke Indonesia. Arus masuk itu memperbaiki neraca pembayaran dan menambah cadangan devisa pada tahun bersangkutan. Namun, kompensasinya akan berupa pembayaran pada bagian neraca Pendapatan Primer pada waktu berikutnya. Perkembangan defisit pendapatan primer secara tahunan sejak tahun 1981 dapat dilihat pada gambar.

          
Dilihat dari perkembangan triwulan I tahun 2019, defisitnya telah lebih besar dibanding triwulan yang sama pada tahun-tahun sebelumnya. Ada kemungkinan, defisit tahun 2019 menciptakan rekor baru dalam neraca Pendapatan Primer.



Neraca Pendapatan Primer 2018 yang defisit sebesar USD 30,43 miliar terdiri dari Kompensansi Tenaga Kerja yang defisit sebesar USD1,50 miliar dan Pendapatan Investasi yang defisit sebesar USD28,93 miliar. Pendapatan Investasi tersebut terdiri dari tiga jenis: Pendapatan investasi langsung yang defisit USD17,14 miliar, pendapatan investasi portofolio yang defisit USD9,65 miliar, dan pendapatan investasi lainnya yang defisit USD2,14 miliar.

Selama lima belas tahun terakhir tampak bahwa defisit pendapatan investasi langsung dan investasi portofolio cenderung meningkat. Pendapatan investasi langsung tahun 2004 defisit sebesar USD8,22 miliar menjadi defisit USD17,14 miliar pada tahun 2018, atau sekitar dua kali lipat. Sedangkan investasi portofolio tahun 2004 justru sempat surplus atau pihak Indonesia menerima hasil investasinya di luar negeri lebih besar dibanding yang dibayar ke pihak asing. Pada tahun 2005 kembali defisit sebesar USD0,46 miliar dan meningkat menjadi deficit USD9,65 miliar pada tahun 2018, atau meningkat lebih dari 20 kali lipat.

Dalam empat tahun terakhir, defisit pendapatan investasi langsung berfluktuasi, sedangkan defisit pendapatan investasi portofolio tetap meningkat. Hal ini seiring dengan arus masuk transaksi finansial dalam investasi portofolio yang juga meningkat.  



Dari aspek pengelolaan perekonomian oleh otoritas ekonomi, keseimbangan eksternal dalam aspek ini perlu mendapat perhatian yang lebih serius. Tekanan pendapatan primer makin memperdalam defisit transaksi berjalan. Dari defisit transaksi berjalan sebesar USD31,06 miliar pada tahun 2018, kontibusi defisit Pendapatan Primer sebesar USD30,43 miliar. Secara teknis, defisit pendapatan primer tentu saja tidak bisa diturunkan seketika secara signifikan, karena merupakan akibat akumulasi dari masuknya modal finansial selama bertahun-tahun. Akan tetapi dapat dilakukan pengendalian agar tidak terjadi peningkatan yang lebih besar lagi, atau diturunkan perlahan-lahan. Perbaikan transaksi berjalan sendiri memang harus mengandalkan perbaikan neraca perdagangan barang dan jasa secara berkesinambungan.

Bagaimanapun, dalam satu dua tahun ke depan, defisit pendapatan primer telah menjadi soalan amat serius. Tekanannya pada transaksi berjalan dapat melemahkan ketahanan Indonesia atas gejolak keuangan global.