Sabtu, 20 Agustus 2016

KESEIMBANGAN PRIMER: Pengertian Umum

Istilah keseimbangan primer sudah dikenal lama dalam khasanah keuangan negara. APBN telah mencantumkannya sebagai pos atau item utama sejak belasan tahun lalu. Namun, istilah itu menjadi populer bagi publik baru-baru ini, ketika bu Sri Mulyani menjelaskannya. Dia mengakui terus terang bahwa sebagian utang baru hanya untuk membayar bunga utang, yang ditunjukkan oleh negatifnya angka keseimbangan primer. Seolah pengakuan bahwa klaim berutang adalah untuk membangun infrastruktur dan lain-lain selama ini tidak sepenuhnya benar.

Mudah difahami jika pendapatan kurang dari belanja maka terjadi defisit. Pendapatan dalam definisi APBN adalah tidak termasuk penerimaan dari utang baru. Belanja juga tidak meliputi pembayaran utang. Dengan definisi ini, APBN kita sejak era Soeharto dulu memang terbiasa deficit. Hanya kini menjadi semakin besar.

Diantara berbagai pos belanja, ada yang diperuntukkan bagi pembayaran bunga utang. Pengertian bunga termasuk komisi, diskonto ataupun ongkos lain dalam berutang. Nominalnya terus meningkat dari tahun ke tahun, terutama karena memang posisi utang bertambah besar. Yang dimaksud posisi (outstanding) adalah kondisi atau sisa utang pada suatu waktu. Pos pembayaran bunga utang kerap diperlakukan secara khusus karena urgensi datanya untuk dianalisis serta mengindikasi banyak hal dalam pengelolaan anggaran.

Data pembayaran bunga utang antara lain menurunkan istilah keseimbangan primer (primary balance), yang sebenarnya adalah suatu neraca. Neraca yang memperlihatkan pendapatan dikurangi belanja, namun tidak termasuk data itu dalam besaran belanjanya. Jika nilainya positif (surplus) berarti bunga utang dibayar dari pendapatan. Jika negatif (defisit) berarti sebagian bunga utang dibayar tidak dari pendapatan, melainkan dari utang baru.

Realisasi APBN Indonesia dahulunya, meski selalu defisit, namun memiliki keseimbangan primer yang positif. Berutang baru adalah untuk membayar utang lama dan menutupi defisit saja. Bahkan, Kementerian Keuangan sempat mematok akan memelihara kondisi itu dengan menempatkannya sebagai indikasi kesinambungan fiskal. Akan tetapi, sejak tahun 2012 terjadi keseimbangan primer yang negatif dan nilainya cenderung membesar. Perlahan, tidak hanya dalam arti nominal, namun juga prosentasinya terhadap total pendapatan, total belanja, dan bahkan PDB.

Sumber: Kemenkeu RI, diolah. Data tahun 2016 adalah APBNP, 2017 adalah RAPBN


Sekali lagi, bedakan antara pembayaran bunga dengan pembayaran cicilan utang. Ingat pula bahwa pendapatan tidak termasuk penerimaan dari utang baru. Jika keseimbangan primer adalah nol, maka kita hanya gali lubang tutup lubang (bayar utang lama dengan utang baru). Jika keseimbangan primer negatif, maka kita menggali lubang yang lebih besar atau membuat lubang baru lagi!!!

Sabtu, 06 Agustus 2016

PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB): APA ITU?

Produk Domestik Bruto (PDB) adalah nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam perekonomian selama kurun waktu tertentu. Kata kunci pertama adalah produksi. Produksi menghasilkan barang dan jasa, kadang cuma disebut sebagai barang saja. Istilah yang kerap dipakai adalah output, yang timbul oleh karena adanya kegiatan produksi. Nilai pasar artinya diukur dengan harga, satuannya mata uang. Arti kata “akhir” menunjukkan bahwa yang dihitung nilai tambahnya saja, yang secara teknis bisa diperhitungkan. 

Pengertian perekonomian merujuk kepada wilayah atau wilayah domestik, karena dapat menunjukkan bagian dari suatu negara, suatu negara atau gabungan beberapa negara. Semua barang dan jasa sebagai hasil kegiatan ekonomi yang beroperasi di wilayah domestik Indonesia diperhitungkan tanpa memperhatikan apakah faktor produksinya dimiliki atau dikuasai oleh penduduknya atau pihak asing. Mencakup produksi dari perorangan , perusahaan, lembaga swasta, lembaga pemerintah atau badan hukum lainnya. Dengan kata lain, output yang diproduksi di Indonesia, bukan oleh orang Indonesia. Produksi warga Indonesia di negara lain, tidak dimasukkan ke dalam PDB Indonesia.

Kurun waktu tertentu yang baku adalah satu tahun menurut penanggalan, 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Urgensinya membuat PDB dihitung dan dipublikasikan pula secara triwulanan di banyak negara, termasuk Indonesia.

Output terdiri dari ribuan atau jutaan jenis. Ada barang yang berasal dari produksi pertanian, dari industri pengolahan, dari penggalian, dan lain-lain. Bisa berasal dari lahan petani kecil, produksi rumah tangga, maupun dari produksi perkebunan besar dan inudustri yang bersifat korporasi. Macam jasa juga demikian. Ada jasa pedagang kecil dan tukang pangkas rambut, namun ada pula jasa konsultan manajemen dan jasa keuangan untuk korporasi. Seluruhnya diupayakan masuk dalam perhitungan PDB. Perhitungan hanya mungkin dengan menyamakan satuan hitung dari seluruh barang dan jasa, yakni dengan mata uang, rupiah. Bisa dikatakan bahwa definisi PDB menyiratkan keinginan meringkas aktivitas ekonomi dalam nilai tunggal (uang) selama periode tertentu. Ilmu ekonomi arus utama menganggap PDB paling mencerminkan dinamika perekonomian.

Ada satu konsep penting yang terkandung dalam definisi PDB yang harus selalu diingat. Perhitungan bersifat arus (flow), yaitu kuantitas per kurun waktu. Ini berbeda dengan penghitungan yang bersifat persediaan (stock), yaitu kuantitas pada suatu waktu, misalnya pada tanggal tertentu. Kekayaan suatu negara, yang secara teoritis bisa dihitung pada tanggal tertentu, bersifat persediaan. Sedangkan penghasilan seluruh penduduk suatu negara selama satu tahun adalah arus. Suatu negara mungkin saja memiliki kekayaan yang besar (misalnya karena sumber daya alam yang berlimpah), akan tetapi memiliki penghasilan per tahun yang tergolong masih rendah. Tentu saja, hubungan yang lazim adalah searah, arus penghasilan yang tinggi akan memungkinkan akumulasi kekayaan yang terus membesar.

PDB Indonesia tahun 2015 adalah sebesar Rp 11.540,80 triliun. Kerap disebut pula angka PDB per kapita, yakni dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia pada pertengahan tahun, yakni Rp 45.176.151. Jika memakai angka rata-rata jumlah anggota keluarga sebesar 3,64, maka diperoleh angka Rp 164.441.189. Sayangnya “pendapatan atau produksi” per kapita maupun per keluarga itu bersifat rata-rata. Gambar disalin dari publikasi BPS.


                             
Pendekatan dalam Menghitung
PDB dapat dihitung dengan menjumlahkan nilai barang dan jasa (output) yang diprouduksi, sehingga disebut pendekatan produksi. Karena ada jutaan jenis output, maka dikelompokkan berdasar jenis sektor usaha, publikasinya disebut PDB menurut Lapangan Usaha. Output itu diproduksi dengan menggunakan faktor produksi yang memperoleh balas jasa. Jika dijumlahkan semua balas jasa itu, nilainya sama dengan nilai output, disebut sebagai pendekatan pendapatan. Sisi yang pertama melihat barangnya, sedang sisi yang kedua melihat siapa saja yang memperoleh hasil dari produksi barang tersebut. Ada satu cara lagi, yakni menjumlahkan para pihak yang memakai barang, biasa disebut PDB menurut Pengeluaran, karena merupakan pengeluaran dari yang menggunakannya.   

Secara konsep ketiga pendekatan tersebut akan menghasilkan angka yang sama. Jadi, jumlah pengeluaran akan sama dengan jumlah barang dan jasa akhir yang dihasilkan dan harus sama pula dengan jumlah pendapatan untuk faktor-faktor produksi. PDB yang dihasilkan dengan cara ini disebut sebagai PDB atas dasar harga pasar atau harga berlaku.

Sebelum penjelasan hal lain, perlu dicatat bahwa yang dihitung adalah barang dan jasa “akhir”, maka yang dijumlahkan pada masing-masing sektor hanyalah nilai tambah produksi, agar tidak terjadi penghitungan ganda. Misalkan pada produksi suatu, nilai tambah produksi bahan bakunya harus dipilah. BPS punya teknik memilah dan menentukan nilai akhir ini sesuai dengan pedoman dan kelaziman di dunia internasional.

Dalam hal pendekatan produksi, BPS yang bertugas menghitung PDB Indonesia menyajikan hasil perhitungan ke dalam 17 kelompok (sebelumnya hanya 9 kelompok), berdasar jenis sektor usaha yang memproduksinya. Disediakan pula rincian lagi dari masing-masing sektor, yang biasa disebut subsektor. PDB Indonesia tahun 2015 adalah sebesar Rp 11.540,80 triliun, dirinci menjadi: (A) Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan sebesar Rp 1.560,40 triliun, (B) Pertambangan dan Penggalian sebesar Rp 879,40 triliun, (C) Industri Pengolahan sebesar Rp 2.405,41 triliun, dan seterusnya. (lihat gambar yang disalin dari publikasi BPS).


Sektor Industri Pengolahan dapat dirinci sebagai berikut: 1. Industri Batubara dan Pengilangan Migas sebesar Rp 307,70 triliun,  2. Industri Makanan dan Minuman sebesar Rp 647,00 triliun, 3. Industri Pengolahan Tembakau sebesar Rp 108,86 triliun, 4. Industri Tekstil dan Pakaian Jadi sebesar Rp 139,40 triliun, dan seterusnya hingga 16 sub sektor.

Untuk PDB berdasar pendekatan Pendapatan, BPS belum mempublikasikan secara resmi dan rutin hasil perhitungannya, karena memang secara teknis lebih sulit dilakukan. Beberapa kertas kerja mereka sudah menjelaskan metode dan hasil untuk tahun tertentu. Sekali lagi, komponen PDB pendekatan ini seharusnya terdiri dari antara lain kompensasi pekerja, surplus usaha bruto, pendapatan campuran bruto, dan pajak kurang subsidi atas produksi dan impor.


Sedangkan PDB dengan pendekatan pengeluaran yang merupakan semua komponen permintaan akhir, pada tahun 2015 terdiri dari: 1. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga sebesar Rp 6.453,21 triliun, 2. Pengeluaran Konsumsi Lembaga Non Profit Rumah Tangga sebesar Rp 130,94 triliun, 3. Pengeluaran Konsumsi Pemerintah sebesar Rp 1.125,54 triliun, 4. Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto sebesar Rp 3.829,98 triliun, 5. Perubahan Inventori sebesar Rp 158,76 triliun, dan 6. Ekspor Neto (ekspor dikurangi impor) sebesar Rp 28,42 triliun.  (lihat gambar yang disalin dari publikasi BPS)


Penyajian PDB atas dasar harga berlaku oleh BPS dengan pendekatan produksi (lapangan usaha) dan pendekatan pengeluaran, apalagi yang rinci hingga sub komponennya dapat dianalisis. Antara lain untuk mengetahui struktur perekonomian, misal terkait pertanian dan industri pengolahan, yang jika dilakukan untuk data beberapa tahun memberi gambaran kasar sebagian proses industrialisasi. Sedangkan dalam hal pengeluaran, dapat dilihat perbandingan antara konsumsi dan investasi (pembentukan modal tetap domestik bruto), dan secara lebih rinci konsumsi rumah tangga dan pemerintah.  

Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan
Setelah mendapatkan angka PDB menurut harga berlaku pada tahun bersangkutan, pada tahap berikutnya, BPS mencoba meniadakan faktor kenaikan harga-harga. Alat yang dipakai adalah indeks harga tertentu, yaitu PDB deflator. Angka PDB deflator ini sedikit berbeda dengan angka Indeks Harga Konsumen (IHK) yang biasa dipakai sebagai ukuran inflasi. IHK dihitung berdasar harga yang dibayar oleh konsumen akhir untuk semua barang yang dibeli, sedangkan PDB deflator berdasar harga untuk semua barang yang diproduksi. Contoh perbedaan tersebut dalam penghitungan antara lain adalah: peningkatan dalam harga barang yang diproduksi oleh perusahaan atau pemerintah akan terlihat dalam PDB deflator tetapi tidak dalam IHK; kenaikan barang-barang impor terlihat dalam IHK, tetapi tidak dalam PDB deflator.

Dengan menghilangkan faktor fluktuasi harga, diharapkan yang diperbandingkan adalah benar-benar kuantitas produksi, dimana nilai uang hanya bersifat satuan ukuran yang memungkinkan dilakukannya penjumlahan. Angka yang didapat disebut PDB atas dasar harga konstan, kadang disebut pula sebagai PDB riil.

Pada dasarnya bisa diambil sembarang tahun untuk menjadi kurun waktu dasar (base period) tertentu. Kemudian, nilai PDB pada tahun-tahun sesudahnya “disesuaikan” dengan “tingkat harga” pada tahun dasar tersebut. Seolah-olah, PDB tahun yang diamati dihitung menggunakan harga-harga yang terjadi pada tahun dasar yang telah ditetapkan. Dalam prakteknya, ada sangat banyak harga dan berubah-ubah, maka dipergunakan teknik penghitungan atas dasar ilmu statistika, yakni menggunakan angka indeks. Dengan kata lain, angka indeks itu berfungsi sebagai deflator. Tahun dasar umumnya diubah setiap 10 tahun sekali, dan yang dipakai saat ini adalah tahun 2010, mengikuti anjuran Badan Statistik PBB agar setiap negara memakai tahun kelipatan 5. Perlu diketahui, Indonesia sebelumnya memakai tahun dasar 1993, 1983 dan 1973.

Karena tahun dasar publikasi BPS saat ini adalah 2010, maka PDB Indonesia pada tahun 2010 atas dasar harga berlaku persis sama dengan atas dasar harga konatan, yakni sebesar Rp 6.864,1 triliun. Sedangkan PDB Indonesia tahun 2015 atas dasar harga berlaku adalah sebesar Rp 11.540,8 triliun, yang jika dinyatakan dalam harga konstan (harga tahun 2010) maka hanya sebesar Rp 8.976,9 tiriliun.

Perbandingan PDB atas dasar harga konstan dari suatu tahun atas tahun sebelumnya ini lah yang dipakai sebagai angka pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2015 sebesar 4,79 % berarti PDB Indonesia tahun 2015 atas dasar harga konstan tahun 2010, bertambah sebesar proporsi itu dibandingkan dengan tahun 2014. Yakni, Rp 8.976,9 triliun (2015) dibandingkan dengan Rp 8.566,3 triliun (2014).



Rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam kurun tahun 2010 – 2015 adalah 5,62% per tahun. Sedangkan periode tahun 2001-2009 adalah sebesar 5,10 %. Terendah pada tahun 2001 sebesar 3,83%, dan tertinggi pada tahun 2007 sebesar 6,28%. Dengan angka sedemikian, perekonomian Indonesia dianggap tetap tumbuh secara moderat. Pertumbuhan yang tinggi dialami oleh masa sebelumnya, era 1970an sampai dengan pertengahan tahun1990an, yang rata-rata mencapai lebih dari 7 %.


Dengan demikian, perkiraan angka pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 % pada tahun 2016, setelah 4,79% (2015), dan 5,02% (2014) bisa dikatakan kurang menggembirakan. Ingat lagi, konsep PDB sejak awal adalah agregat (keseluruhan) tidak menunjukkan distribusinya. Jika dianalisis hati-hati, sebenarnya angka rincian sektoral, sub sektoral beserta rincian pendekatan pengeluaran, akan memberi indikasi awal struktur dan distribusinya. 

Jumat, 05 Agustus 2016

BAGAIMANA SRI MULYANI MENEKAN REALISASI BELANJA APBN?
Oleh: Awalil Rizky

Ancaman defisit yang membengkak semakin nyata jika melihat laporan realisasi semester I 2016. Realisasi pendapatan tak sesuai target, secara nominal lebih rendah dari tahun lalu, sedangkan belanja justeru melampaui capaian tahun-tahun lampau. Upaya lebih keras untuk mengurangi belanja di waktu tersisa pun musti dilakukan.

Ada beberapa hal musti dipertimbangkan. Pertama, apakah memang mau mengurangi belanja di saat ekonomi sedang lesu? Lazimnya, pemerintah ekspansif atau belanja lebih banyak, untuk mendorong dinamika ekonomi, antara lain melalui peningkatan permintaan dan menaikkan daya beli masyarakat. Jika sebaliknya, maka laju pertumbuhan ekonomi bisa melambat, setidaknya tak ada tambahan dorongan baru. Presiden pun masih memerintahkan penyerapan anggaran dipercepat, beberapa waktu lalu.

Kedua, Undang-Undang APBNP 2016 sudah ditetapkan, yang berarti pagu belanja definitif. Cara yang tersedia hanya menekan realisasi. Belanja APBNP 2016 bisa dikelompokkan menjadi tiga: Belanja Kementerian/Lembaga (37,3%), Belanja non Kementerian/Lembaga (25,9%), Transfer ke Daerah (36,9%). Transfer ke Daerah sangat sulit dikurangi karena peraturan perundang-undangan dan sebagian besar porsinya terhubung dengan target pendapatan yang terlanjur ditetapkan tinggi. Belanja non K/L, sebagian besarnya adalah pembayaran bunga utang dan subsidi, yang cukup sulit dikurangi realisasinya dengan langkah efisiensi biasa. Ruang pengendalian realisasi yang masih terbuka adalah dalam belanja K/L, yang terdiri dari 87 organisasi.

Ketiga, APBNP 2016 sudah disusun dengan upaya efisiensi belanja K/L. Telah dilakukan pemotongan atas belanja perjalanan, rapat, dan hal-hal yang dianggap bukan prioritas. Di sisi lain, semula mereka disuruh mempercepat belanja dan dimudahkan dengan aturan baru tentang lelang dan semacamnya. Dipatuhi, yang terbukti dari realisasi belanja K/L semester I 2016 yang mencapai 24,5% dari pagu APBNP, yang terbilang terbesar dalam kurun beberapa tahun terakhir. Menurut berbagai informasi, sudah ada kontrak, transaksi pendahuluan dan semacamnya yang mengikat secara hukum ataupun musti direalisasi menurut kelaziman bisnis dalam semester kedua. Mereka pun terkesan lebih siap berbelanja dibanding tahun lalu, sehingga realisasi memang dapat melampaui 95% dari pagu. Maka, wacana mengendalikan realisasi butuh langkah luar biasa dan mungkin “tangan besi” Sri Mulyani.

Sri Mulyani sudah mengatakan bahwa salah satu skenario jika implementasi amnesti pajak pada periode pertama tidak sesuai harapan, maka akan anggaran belanja K/L non prioritas akan dipangkas. Akan disisir semua kemungkinan adanya penghematan, dengan catatan pengecualian atas belanja prioritas terkait pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, pertahanan dan keamanan. Namun harus diingat bahwa penghematan dimaksud secara teknis berarti menekan realisasi, bukan mengubah pagu yang ditetapkan Undang-Undang. Kecuali akan diajukan RAPBNP 2016 kedua, yang artinya “keadaan luar biasa” dalam fiskal.

Sebenarnya masih ada opsi untuk menekan belanja non K/L. Dalam hal realisasi subsidi, subsidi listrik masih bisa ditekan, antara lain dengan menunda sebagian pembayarannya atau digeser ke tahun berikut, dari pagu Rp 50 triliun. Menunda penyaluran sebagian subsidi nonenergi sebesar Rp 83,40 triliun, yang terdiri dari subsidi pangan, subsidi pupuk, subsidi benih, subsidi PSO, subsidi bunga kredit program, dan subsidi pajak. Sebagai contoh, subsidi bunga KUR yang terindikasi lebih dinikmati oleh perbankan dibandingkan UMKM, padahal aturan main dan cara evaluasinya belum terlampau jelas.

Bagaimana kemungkinan mengurangi realisasi pembayaran bunga utang? Dalam hal karena peningkatan outstanding utang yang signifikan, tidak ada yang bisa dilakukan. Penyebab terbesar lain adalah pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap tiga mata uang asing utama, yaitu Dolar Amerika Serikat, Euro, dan Yen Jepang. Beban bunga utang luar negeri, baik loan maupun SBN valuta asing, menjadi lebih tinggi dalam hitungan rupiah. Seandainya, bauran kebijakan amnesti pajak, kebijakan Bank Indonesia dan “perbawa” bu Sri dapat menekan kurs hingga di kisaran Rp 13.000, maka ada penghematan hingga belasan triliun rupiah. Dan jika sentimen positif pasar berlanjut, maka bunga riil untuk SBN yang akan terbit juga turun.

Bagaimanapun, langkah utama musti meningkatkan pendapatan. Kebijakan amnesti pajak yang sudah memasuki tahap pelaksanaan adalah harapan. Ke publik sempat diutarakan potensi mendapat laporan pengakuan hingga Rp 5000 triliun, baik repatriasi maupun deklarasi, yang menghasilkan tambahan pendapatan pajak (denda) mencapai Rp 165 triliun. Namun, skenario pesimis yang beredar di kalangan terbatas diakui kemungkinan pendapatan hanya sekitar Rp 57,9 T, antara lain dari dana repatriasi hingga akhir Desember 2016 sebesar Rp 543 T.

Sri Mulyani diharapkan mendongkrak hasil amnesti pajak melampaui skenario pesimis dan mendekati harapan semula. Mampu pula menekan realisasi belanja, setidaknya di kisaran 94% dari pagu APBNP 2016. Selanjutnya, menyusun RAPBN 2017 yang lebih realistis dan hati-hati. Tentu diskusi bisa berlanjut dalam hal bagaimana peran Pemerintah dalam mendorong perekonomian. Itu nanti, sekarang bagaimana menyelamatkan keuangan pemerintah dahulu.   

   
ALARM BAHAYA FISKAL
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 telah dilaksanakan lima bulan. Realisasi sementara bisa digunakan membuat proyeksi capaian berikutnya. Kondisi perekonomian domestik dan global mengalami perubahan dibandingkan saat penyusunannya. Sebagian prakiraan tidak sesuai, yang berdampak pada melesetnya realisasi beberapa pos.
APBN 2016 memasang target pendapatan yang luar biasa. Pendapatan dalam APBN selama sepuluh tahun terakhir memang cenderung tumbuh. Namun, terukur di kisaran 10 persen. Realisasi 2015 justeru mengalami sedikit penurunan. Target Pendapatan APBN 2016 cukup mengejutkan, yaitu sebesar Rp 1.820,4 triliun. Naik 21,85 persen dari realisasi APBN 2015 yang hanya Rp 1.494 triliun. Sungguh fantastis jika tercapai, karena normalnya tumbuh 10 persen menjadi sekitar Rp 1.643,4 triliun. Dari mana tambahan sekitar Rp 177 tiliun itu? Ternyata berharap dari kebijakan yang disebut Tax Amnesty.
Secara teoritis dan perhitungan terbilang masuk akal jika kebijakan berjalan lancar. Sayang, kebijakan dimaksud hingga kini masih belum memberi kepastian. Andai bisa dijalankan, tetap sulit untuk memenuhi target tambahan dari itu pada tahun 2016. Padahal, fenomena ekonomi global dan domestik justeru membuat pos-pos pendapatan lain cenderung terkoreksi ke bawah. Diantaranya adalah harga migas dan komoditas yang merosot, ekspor-impor yang stagnan atau tumbuh tidak signifikan, dan lifting minyak yang dibawah target. Seandainya kebijakan tax amnesty sesuai harapan pun, APBNP 2016 harus mengkoreksi beberapa item pendapatan.
Realisasi Penerimaan Pajak APBN 2015 adalah Rp 1.060,8 triliun, sedangkan kepabeanan dan cukai sebesar Rp 179,6 triliun, sehingga total Penerimaan Perpajakan mencapai Rp 1.240,4 triliun. APBN 2016 memasang target penerimaan perpajakan Rp 1.546,6 triliun. Sementara itu, realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) 2015 sebesar Rp 253,7 triliun, ditargetkan meningkat menjadi Rp 273,8 triliun.
Seiring dengan target Pendapatan yang fantastis, Belanja pun akan digenjot. APBN 2016 yang bersifat ekspansif memang sesuai teori dalam kondisi ekonomi yang masih lesu. Belanja Pemerintah diharap akan lebih menggairahkan perekonomian. Akan tetapi, kecenderungan pendapatan yang jauh dibawah target, memaksa koreksi atas banyak pos Belanja. Jika tidak, defisit anggaran akan membengkak dan melebihi batas 3 persen dari PDB, yang dibolehkan Undang-Undang.
Masalahnya, belanja apa saja yang dapat dihemat atau efisiensi belanja bagaimana di semester tersisa? Bagaimana pula dengan semangat awal untuk ekspansif mendorong ekonomi?
Secara teknis, yang paling dapat dilakukan oleh Pemerintah adalah memotong belanja Kementerian dan Lembaga (K/L). Pengurangan Belanja Non K/L lebih sulit dilakukan karena menyangkut pembayaran bunga utang, dan subsidi-subsidi. Subsidi energi hanya bisa turun sedikit karena penurunan subsidi migas, sebagiannya terkompensasi subsidi listrik yang meningkat, antara lain karena carry over dan penundaan kenaikan tarif. Subsidi non energi, seperti pangan dan pupuk, justeru meningkat. Subsisi bunga kredit program, seperti KUR yang terlanjur diperintahkan kepada bank untuk digenjot, demi penurunan suku bunga kredit UMKM.
Pos transfer daerah memang akan menurun sesuai ketentuan perundang-undangan terkait dengan pendapatan. Penurunannya tidak bisa sebesar-besarnya, dan nilainya hanya setara dengan kenaikan subsidi. Yang menarik, pembayaran bunga utang bisa dipastikan akan naik. Baik karena stok utang yang meningkat melebihi target maupun karena imbal hasil SBN yang tetap tinggi.
Jika Pemerintah bersungguh-sungguh melakukan efisiensi, maka Belanja K/L dapat ditekan hingga sebesar Rp 50 triliun, dari Rp 784,1 triliun dalam APBN 2015 menjadi realisasi di kisaran Rp 735 triliun. Itupun butuh kerja keras dan kedisiplinan. Perlu adanya efisiensi belanja operasional, seperti: Perjalanan Dinas dan Paket Meeting; Belanja Jasa (listrik, telepon, air, serta daya dan jasa lainnya); dan Pembangunan gedung baru (yang masih diblokir). Efisiensi belanja lainnya, seperti: pemeliharaan/pengadaan peralatan kantor; Belanja jasa seperti: iklan, banner, spanduk; Belanja modal non-infrastruktur seperti gedung kantor dan kendaraan; Belanja barang bantuan Pemerintah kepada Pemda/masyarakat dan belanja Bansos; Honorarium kegiatan; dan lain sebagainya.
Jika diperhitungkan realisasi penyerapan yang biasanya pada tahun ke 2 pemerintahan, maka total Belanja diperkirakan dapat turun dari Rp 2.095,7 triliun menjadi Rp 1.960 triliun. Sekali lagi, yang mungkin ditekan adalah belanja K/L. Upaya ini harus tampak serius dalam APBN Perubahan 2016, yang sedang disusun.
Bagaimanapun, harus diingat bahwa APBN adalah kebijakan fiskal. Dasar kebijakan fiskal adalah tiga fungsi utama pemerintah, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi. Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian; fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan; fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental ekonomi.
Akhirnya, Pemerintah (bersama Bank Indonesia, OJK, DPR) harus segera sadar bahwa tersedia pilihan kebijakan lain selain fiskal yang sudah memberi “alarm bahaya” itu. Optimalkan kebijakan moneter, kebijakan perbankan dan kebijakan sektor riil. Bersinergi lah demi ekonomi negeri.
Dimuat Bisnis Indonesia 28 Mei 2016
EFISIENSI BELANJA ADALAH KENISCAYAAN APBNP 2016
Oleh: Awalil Rizky
Chief economist Permodalan BMT Ventura
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 menetapkan target pendapatan yang luar biasa. Kemudian baru diketahui bahwa realisasi pendapatan tahun 2015 justeru mengalami sedikit penurunan dibanding tahun sebelumnya. Target kenaikan pendapatan pun menjadi terbilang fantastis sebesar 21,85 persen, dari Rp 1.494 triliun menjadi Rp 1.820,4 triliun. Pendapatan selama sepuluh tahun terakhir memang cenderung tumbuh, namun terukur di kisaran 5 hingga 10 persen.

Selain karena realisasi 2015 jauh di bawah asumsi ketika APBN 2016 disusun, ada kebijakan andalan yang disebut Tax Amnesty (TA). Secara teoritis dan perhitungan, kebijakan TA terbilang masuk akal jika berjalan lancar. Sementara TA masih dalam proses dan belum pasti, fenomena ekonomi global dan domestik justeru membuat berbagai poss pendapatan cenderung terkoreksi ke bawah. Diantaranya adalah: harga migas dan komoditas yang merosot, kondisi ekspor-impor yang kurang menggembirakan, dan lifting minyak yang dibawah target.

Seiring dengan target pendapatan yang fantastis, belanja pun semula akan digenjot, bahkan waktu lelang dipercepat. Belanja ekspansif memang sesuai teori dalam kondisi ekonomi yang masih lesu, dengan maksud lebih menggairahkan. Akan tetapi, dari realisasi lima bulan berjalan, banyak petanda pendapatan akan jauh dibawah target, yang memaksa koreksi pos belanja. Seandainya kebijakan TA berjalan pun, APBN Perubahan 2016 harus disusun untuk mengkoreksi beberapa item pendapatan. Jika tidak, defisit anggaran akan membengkak dan melebihi batas 3 persen dari PDB, yang dibolehkan oleh Undang-Undang.

Masalahnya, belanja apa saja yang dapat dihemat atau diefisiensiankan dalam semester tersisa?
Belanja Negara terdiri dari Belanja Pemerintah Pusat (BPP) serta Transfer Ke Daerah dan Dana Desa. BPP terdiri dari Belanja Kementerian dan Lembaga (K/L) dan Belanja Non K/L. Transfer ke Daerah diantaranya adalah dana bagi hasil, dana alokasi umum, dana insentif daerah, dan dana otonomi khusus.

Pembahasan kita mulai dari Belanja Non K/L yang sulit dikurangi, hanya berkurang proporsional sesuai aturan, atau bahkan terpaksa bertambah dalam APBNP 2016. Belanja Non K/L sebesar Rp 541,4 triliun, antara lain berupa pembayaran bunga utang Rp 184,9 triliun, subsidi energi Rp 102,1 dan subsidi non energi Rp 80,5 triliun. Pembayaran bunga utang akan melebihi target dan bisa mencapai Rp 193 triliun, karena stok utang yang bertambah, penerbitan SBN lebih awal, sementara imbal hasil SBN tetap tinggi. Subsidi energi hanya bisa turun sedikit di kisaran Rp 97 triliun, karena penurunan subsidi migas yang terkompensasi oleh subsidi listrik yang meningkat, antara lain karena carry over dan penundaan kenaikan tarif. Subsidi non energi mungkin akan meningkat menjadi Rp 90 triliun, antara lain karena tambahan subsidi pangan dan pupuk. Ada pula subsisi bunga kredit program yang tetap seperti KUR yang terlanjur diperintahkan kepada bank untuk digenjot, demi penurunan suku bunga kredit UMKM. Hanya ada sedikit item Belanja non K/L yang bisa ditekan, seperti belanja pegawai non K/L.

Transfer ke Daerah memang akan sedikit berkurang antara lain karena penurunn pendapatan negara yang dibagihasilkan. Paling jauh yang dapat dilakukan adalah perbaikan arus kas dengan memaksa penundaan beralasan efisiensi dengan kewajiban laporan yang lebih ketat. Sedangkan Dana Desa tetap harus diberikan sesuai target semula.

Dengan demikian, peluang efisiensi terbesar hanya dalam belanja K/L. Secara perhitungan teknis, dapat ditekan hingga sebesar Rp 50 triliun, dari Rp 784,1 triliun dalam APBN 2015 menjadi realisasi di kisaran Rp 735 triliun. Akan tetapi itu butuh kerja keras dan kedisiplinan, serta ditetapkan dahulu dalam APBN Perubahan 2016. Efisiensi belanja operasional antara lain dalam hal seperti: Perjalanan Dinas dan Paket Meeting; Belanja Jasa (listrik, telepon, air, serta daya dan jasa lainnya); dan Pembangunan gedung baru (yang masih diblokir). Efisiensi belanja lainnya, seperti: pemeliharaan/pengadaan peralatan kantor; Belanja jasa seperti: iklan, banner, spanduk; Belanja modal non-infrastruktur seperti gedung kantor dan kendaraan; Belanja barang bantuan Pemerintah kepada Pemda/masyarakat dan belanja Bansos; Honorarium kegiatan; Kegiatan-kegiatan prioritas dan pendukung yang setelah dikaji ulang ternyata dapat ditunda; dan lain sebagainya.

Dengan prakiraan di atas beserta efisiensi belanja K/L, ditambah proyeksi normal prosentasi realisasi penyerapan pada tahun ke 2 pemerintahan, maka total Belanja diperkirakan dapat turun dari Rp 2.095,7 triliun menjadi Rp 1.960 triliun. Angka belanja sebesar itu masih membutuhkan revisi dalam pos Pendapatan, agar besarnya defisit tidak melanggar ketentuan. Upaya serius musti dilakukan dalam penyusunan APBNP 2016 saat ini. Berbagai pihak pada Kementerian/Lembaga juga musti secara sadar melakukannya. Bukannya malah berupaya ke sana sini agar porsi belanjanya tidak dikurangi atau hanya dipotong sedikit.

Bagaimanapun, harus diingat bahwa APBN adalah kebijakan fiskal. Dasar kebijakan fiskal adalah tiga fungsi utama pemerintah, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi. Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian; fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan; fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental ekonomi.

Akhirnya, Pemerintah harus ingat bahwa tersedia pilihan kebijakan lain selain fiskal, yang berarti meningkatkan sinergi dengan Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan DPR. Optimalkan kebijakan moneter, kebijakan perbankan dan kebijakan sektor riil. Bersinergi lah demi ekonomi negeri.

   
KOPERASI DIKEPUNG LAKU PANDAI DAN KUR
Keuangan inklusif kini mengedepan dalam banyak dokumen kebijakan otoritas ekonomi (Pemerintah, Bank Indonesia dan OJK). Diartikan sebagai suatu kegiatan menyeluruh yang bertujuan untuk meniadakan segala bentuk hambatan baik yang bersifat harga maupun non harga terhadap akses masyarakat dalam menggunakan atau memanfaatkan layanan jasa keuangan. Programnya adalah agar sebanyak mungkin orang bisa memperoleh produk dan jasa keuangan yang paling dasar seperti: tabungan, transfer, pinjaman, dan asuransi. Diupayakan dengan harga dan prosedur yang terjangkau, wajar dan transparan.

Program unggulannya kini adalah apa yang secara resmi disebut sebagai Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai), yang dalam wacana akademis biasa disebut branchless banking. Laku Pandai adalah kegiatan menyediakan layanan perbankan atau layanan keuangan lainnya yang dilakukan tidak melalui jaringan kantor, namun melalui kerjasama dengan pihak lain dan perlu didukung dengan penggunaan sarana teknologi informasi.

Bank penyelenggara harus memenuhi persyaratan yang mencakup sarana teknologi informasi harus yang andal, aman dan teruji, yang antara lain tercermin dari tersedianya sistem yang mampu melakukan pembukuan transaksi pada saat transaksi berlangsung (real time). Ada pengaturan mengenai persyaratan, tata cara seleksi, cakupan perjanjian kerjasama, serta standar dan mekanisme hubungan kerja antara Bank Penyelenggara dengan Agen. Agen dimaksud bisa perorangan atau badan hukum, yang berfungsi sebagai “kantor layanan” dari bank.

Laku Pandai diluncurkan OJK secara resmi pada 26 Maret 2015, dengan target 350 ribu agen hingga akhir tahun. Belum sesuai harapan, baru ada sekitar 30 ribu agen dari 8 bank yang sudah operasional. OJK kembali menetapkan target bertambahnya 300 ribu agen pada tahun 2016, yang kali inididukung oleh pertambahan bank yang diberi izin. Jutaan nasabah diharapkan akan terlayani oleh para agen.
Program keuangan inklusif terdahulu yang diklaim berhasil oleh Pemerintahan SBY adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR). KUR bahkan diakui berbagai forum internasional mengenai implementasi keuangan inklusif, dan akan diadopsi menjadi praktik terbaik penanggulangan kemiskinan di negara berkembang. Capaian KUR secara data agregat memang luar biasa. Penyaluran sejak diluncurkan Nopember 2007 hingga Nopember 2014 mencapai Rp 175 triliun, dengan baki debet (outstanding) sekitar Rp 50 triliun, menjangkau lebih dari 12 juta unit UMKM.

Kesuksesan KUR diamini Pemerintahan Jokowi, yang berniat menggandakan skalanya. Dana subsidi dialokasikan lebih banyak sejak APBNP 2015. APBN 2016 pun menetapkan target spektakuler, lebih dari Rp 100 triliun. Kepada bank penyalur diberikan subsidi untuk KUR mikro sebesar 10%, KUR ritel sebesar 4,5%, dan KUR TKI sebesar 12%. di kisaran, dan suku bunga efektif menjadi maksimal 9%. Dana subsidi APBN disediakan sekitar Rp 10,5 triliun, dari pos subsidi Bunga dan Kredit Program, yang berplafon Rp 16,5 triliun.

Laku Pandai dan KUR bisa mengkerdilkan Koperasi
Setahun berjalan, Laku Pandai baru berupa produk tabungan dengan karakteristik Basic Saving Account, serta beberapa fitur transfer dan pembayaran. Produk kredit rencananya akan dikembangkan tahun ini, dan sedang disusun skema yang dapat dikaitkan dengan KUR mikro.

Laku Pandai yang dipadukan dengan KUR baru secara konseptual tampak akan menjadi terobosan besar. Diharapkan, semakin banyak orang (UMKM) yang bisa mengakses kredit dan biaya modal menjadi rendah. Akan tetapi, perlu diperiksa lebih cermat data realisasi, yang terindikasi  berciri perpindahan nasabah lama yang menikmati suku bunga tinggi ke suku bunga rendah. Artinya, 12 juta nasabah era SBY dan 1 juta era Jokowi, mungkin lebih dari separuhnya berasal dari perpindahan saja. Sebagai bukti awal, data umum pertumbuhan kredit UMKM setara saja dengan non UMKM. Porsi kredit UMKM tidak beranjak dari 18-20%, bahkan kredit mikro hanya 4%, karena dominasi kredit menengah. Dan yang terpenting, hingga September 2015, nasabah kredit UMKM (KUR dan nonKUR) hanya 11,4 juta rekening.

Penyalur KUR selama ini adalah 7 bank nasional dan 26 BPD (dengan porsi kecil). BPR dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) belum dilibatkan. LKM dimaksud adalah yang sudah operasional puluhan tahun, seperti: koperasi simpan pinjam, koperasi syariah (BMT). Fakta di lapangan, BPR sudah merasakan dampak “persaingan” yang berat, bahkan sebelum era bersubsidi bunga. LKM tidak banyak terdampak ketika itu, karena orientasinya kepada komunitas dan pendekatan yang berbeda. Namun, akan terdampak jika era KUR baru ini berjalan.Jika target KUR baru sedemikian spektakuler, maka proses perpindahan akan lebih masif. BRI mungkin akan memindah nasabah Kupedes menjadi KUR, daripada direbut oleh bank lain. Sementara itu, BPR akan lebih terpuruk. Sedangkan LKM akan menghadapi masalah serius karena perpindahan nasabah.

Sementara itu, keberadaan agen Laku Pandai secara masif berpeluang mengancam pola hubungan sosial. Perorangan yang potensial menjadi agen adalah tokoh masyarakat, tokoh adat, dan agama. Relasi sosial akan menjadi semakin transaksional, solidaritas dan kohesivitas masyarakat akan terganggu. Agen kemungkinan akan berasal dari pindahan SDM LKM (Koperasi). Ditambah dengan peluang eks rentenir yang berganti baju, bahkan berperan ganda.

Apakah ongkos ekonomi (dan sosial) terdampaknya LKM (Koperasi) telah dipertimbangkan dengan baik? LKM yang mandiri dari masyarakat akan menjadi korban program yang belum pasti berkelanjutan, dan akan terus tersubsidi. KUR memang terbukti memberi manfaat, namun tidak sebesar pewartaannya. Seharusnya, upaya pengembangan Laku Pandai dan KUR sejak awal melibatkan pelaku UMKM dan koperasi. Target RPJMN meningkatkan kontribusi koperasi pada PDB dari 1,7% tahun 2014 menjadi 8,0% tahun 2019 menjadi mustahil terwujud. Lagipula, mustinya kebijakan keuangan inklusif bukan perbankan inklusif kan?
Awalil Rizky

Chief economist PBMT Ventura
KUR SPEKTAKULER BAGI SIAPA?
Kredit Usaha Rakyat (KUR) diklaim sebagai kisah sukses oleh Pemerintahan SBY. Kisah sukses KUR konon diakui berbagai forum internasional mengenai implementasi keuangan inklusif (financial inclusion), dan akan diadopsi menjadi praktik terbaik (best practice) penanggulangan kemiskinan di negara berkembang. Seberapa sukses KUR di era SBY? Penyaluran KUR sejak diluncurkan Nopember 2007 hingga Nopember 2014 mencapai Rp 175 triliun, dengan baki debet (outstanding) sekitar Rp 50 triliun. Pemerintah pun suka menyebut realisasi KUR telah menggerakkan  lebih dari 12 juta unit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Kesuksesan KUR ternyata diamini oleh Pemerintahan Jokowi, dengan cara menggandakan skala dan jangkauannya. Dana dialokasikan lebih banyak sejak awal dalam APBNP 2015. Suku bunga efektif yang dibolehkan bagi bank penyalur diminta turun dari 22% menjadi 12%, dengan diberi subsidi bunga. Sebelumnya, pemerintah hanya membayar imbal jasa penjaminan. APBN 2016 mengalokasikan lebih banyak dana lagi. Target menjadi berlipat ganda, dan suku bunga efektif menjadi maksimal 9%. Dana yang tersedia sekitar Rp 10,5 triliun, dari pos subsidi Bunga dan Kredit Program, yang berplafon Rp 16,5 triliun.
Target penyaluran KUR dalam proses penyusunan APBN 2016 adalah di kisaran Rp 125 triliun, dengan asumsi subsidi suku bunga tertentu. Proses pembicaraan teknis lanjutan, yang melibatkan Bank penyalur dan supervisi OJK, ditetapkan target Rp 103 triliun. Kepada bank penyalur diberikan subsidi untuk KUR mikro sebesar 10%, KUR ritel sebesar 4,5%, dan KUR TKI sebesar 12%.
Apakah realistis? Pada tahun 2015, ketika laju kredit perbankan secara umum melambat, KUR tersalur sekitar Rp 22,5 triliun, di bawah target Rp 30 triliun. Ada alasan, subsidi tidak diberikan sejak awal tahun dan kondisi perekonomian masih belum pulih. Dengan subsidi yang lebih besar dan digelontorkan sejak awal, Pemerintah berharap melipatgandakannya. Konon, para direksi Bank BUMN sudah “ditekan” agar serius mensukseskannya.
Target bermasalah, jika dilihat dari sudut pandang penyalur. Mereka menghitung bukan dari subsidi yang 10% untuk KUR mikro (plafon sampai dengan Rp 25 juta), melainkan marginnya. Berarti sama dengan subsidi 7% dengan bunga efektif 12%. Bahkan untuk KUR ritel, subsidinya hanya naik dari 3% menjadi 4,5%, yang berarti margin lebih kecil. Pemerintah merasa menyediakan dana subsidi yang besar, namun bank penyalur mungkin tidak melihat “keuntungan” baru. Harus diakui, jika target terpenuhi adalah terobosan besar bagi perekonomian. Bayangkan saja, bunga efektif  hanya satu digit bagi rakyat (UMKM), dan tersedia lebih dari Rp 103 triliun.
KUR Perbankan bisa menjadi predator BPR dan LKM
Penyalur KUR selama ini adalah 7 bank nasional dan 26 BPD (dengan porsi kecil). BPR dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) belum dilibatkan. LKM dimaksud adalah yang sudah operasional puluhan tahun, seperti: koperasi simpan pinjam, koperasi syariah (BMT). Fakta di lapangan, BPR sudah merasakan dampak “persaingan” yang berat, bahkan sebelum era bersubsidi bunga. LKM tidak banyak terdampak ketika itu, karena orientasinya kepada komunitas dan pendekatan yang berbeda. Namun, akan terdampak jika era KUR baru ini berjalan.
Bukankah akan lebih baik, karena biaya modal menjadi rendah dan semakin mudah mengakses kredit? Tanpa data terinci, akan mudah diiyakan. Perlu diperiksa lebih cermat. KUR terindikasi  berciri perpindahan nasabah lama yang menikmati suku bunga tinggi ke suku bunga rendah. Artinya, 12 juta nasabah era SBY dan 1 juta era Jokowi, mungkin lebih dari separuhnya berasal dari perpindahan saja. Sebagai bukti awal, data umum pertumbuhan kredit UMKM setara saja dengan non UMKM. Porsi kredit UMKM tidak beranjak dari 18-20%, bahkan kredit mikro hanya 4%, karena dominasi kredit menengah. Dan yang terpenting, hingga September 2015, nasabah kredit UMKM (KUR dan nonKUR) hanya 11,4 juta rekening.
Jika target KUR baru sedemikian spektakuler, maka proses perpindahan akan lebih masif. BRI mungkin akan memindah nasabah Kupedes menjadi KUR, daripada direbut oleh bank lain. Sementara itu, BPR akan lebih terpuruk. Sedangkan LKM akan menghadapi masalah serius. Apakah ongkos ekonomi (dan sosial) terdampaknya LKM (terutama yang koperasi) telah dipertimbangkan dengan baik? Akan terus berlangsung dengan subsidi sepanjang masa? Ada peluang, LKM yang mandiri dari masyarakat akan menjadi korban program yang belum pasti berkelanjutan. Otoritas KUR memang sudah mau melibatkan selain bank, termasuk koperasi. Namun yang diajak berunding adalah perusahaan pembiayaan besar. Koperasi baru diberi skema pembolehan, tanpa tindak lanjut negosiasi.
KUR memang terbukti telah memberi manfaat, namun tidak sebesar pewartaannya. Upaya eskalasi terkesan terburu-buru, kurang menimbang ongkos sosial dan ekonomi diluar subsidi APBN sebesar lebih dari Rp 10 triliun. Target agregat memang spektakuler, namun soal kemanfaatan butuh diskusi panjang, yang melibatkan pelaku UMKM dan koperasi.

Awalil Rizky
Chief economist PBMT Ventura.