EFISIENSI BELANJA
ADALAH KENISCAYAAN APBNP 2016
Oleh: Awalil Rizky
Chief economist
Permodalan BMT Ventura
Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) 2016 menetapkan target pendapatan yang luar biasa. Kemudian baru
diketahui bahwa realisasi pendapatan tahun 2015 justeru mengalami sedikit
penurunan dibanding tahun sebelumnya. Target kenaikan pendapatan pun menjadi
terbilang fantastis sebesar 21,85 persen, dari Rp 1.494 triliun menjadi Rp
1.820,4 triliun. Pendapatan selama sepuluh tahun terakhir memang cenderung
tumbuh, namun terukur di kisaran 5 hingga 10 persen.
Selain karena realisasi 2015 jauh
di bawah asumsi ketika APBN 2016 disusun, ada kebijakan andalan yang disebut Tax Amnesty (TA). Secara teoritis dan
perhitungan, kebijakan TA terbilang masuk akal jika berjalan lancar. Sementara
TA masih dalam proses dan belum pasti, fenomena ekonomi global dan domestik
justeru membuat berbagai poss pendapatan cenderung terkoreksi ke bawah. Diantaranya
adalah: harga migas dan komoditas yang merosot, kondisi ekspor-impor yang kurang
menggembirakan, dan lifting minyak
yang dibawah target.
Seiring dengan target pendapatan
yang fantastis, belanja pun semula akan digenjot, bahkan waktu lelang
dipercepat. Belanja ekspansif memang sesuai teori dalam kondisi ekonomi yang
masih lesu, dengan maksud lebih menggairahkan. Akan tetapi, dari realisasi lima
bulan berjalan, banyak petanda pendapatan akan jauh dibawah target, yang memaksa
koreksi pos belanja. Seandainya kebijakan TA berjalan pun, APBN Perubahan 2016
harus disusun untuk mengkoreksi beberapa item pendapatan. Jika tidak, defisit
anggaran akan membengkak dan melebihi batas 3 persen dari PDB, yang dibolehkan oleh
Undang-Undang.
Masalahnya, belanja apa saja yang
dapat dihemat atau diefisiensiankan dalam semester tersisa?
Belanja Negara terdiri dari
Belanja Pemerintah Pusat (BPP) serta Transfer Ke Daerah dan Dana Desa. BPP
terdiri dari Belanja Kementerian dan Lembaga (K/L) dan Belanja Non K/L. Transfer
ke Daerah diantaranya adalah dana bagi hasil, dana alokasi umum, dana insentif
daerah, dan dana otonomi khusus.
Pembahasan kita mulai dari Belanja
Non K/L yang sulit dikurangi, hanya berkurang proporsional sesuai aturan, atau
bahkan terpaksa bertambah dalam APBNP 2016. Belanja Non K/L sebesar Rp 541,4
triliun, antara lain berupa pembayaran bunga utang Rp 184,9 triliun, subsidi
energi Rp 102,1 dan subsidi non energi Rp 80,5 triliun. Pembayaran bunga utang akan
melebihi target dan bisa mencapai Rp 193 triliun, karena stok utang yang bertambah,
penerbitan SBN lebih awal, sementara imbal hasil SBN tetap tinggi. Subsidi
energi hanya bisa turun sedikit di kisaran Rp 97 triliun, karena penurunan
subsidi migas yang terkompensasi oleh subsidi listrik yang meningkat, antara
lain karena carry over dan penundaan kenaikan tarif. Subsidi non energi mungkin
akan meningkat menjadi Rp 90 triliun, antara lain karena tambahan subsidi
pangan dan pupuk. Ada pula subsisi bunga kredit program yang tetap seperti KUR
yang terlanjur diperintahkan kepada bank untuk digenjot, demi penurunan suku bunga
kredit UMKM. Hanya ada sedikit item Belanja non K/L yang bisa ditekan, seperti
belanja pegawai non K/L.
Transfer ke Daerah memang akan sedikit
berkurang antara lain karena penurunn pendapatan negara yang dibagihasilkan. Paling
jauh yang dapat dilakukan adalah perbaikan arus kas dengan memaksa penundaan
beralasan efisiensi dengan kewajiban laporan yang lebih ketat. Sedangkan Dana
Desa tetap harus diberikan sesuai target semula.
Dengan demikian, peluang
efisiensi terbesar hanya dalam belanja K/L. Secara perhitungan teknis, dapat
ditekan hingga sebesar Rp 50 triliun, dari Rp 784,1 triliun dalam APBN 2015
menjadi realisasi di kisaran Rp 735 triliun. Akan tetapi itu butuh kerja keras
dan kedisiplinan, serta ditetapkan dahulu dalam APBN Perubahan 2016. Efisiensi
belanja operasional antara lain dalam hal seperti: Perjalanan Dinas dan Paket
Meeting; Belanja Jasa (listrik, telepon, air, serta daya dan jasa lainnya); dan
Pembangunan gedung baru (yang masih diblokir). Efisiensi belanja lainnya,
seperti: pemeliharaan/pengadaan peralatan kantor; Belanja jasa seperti: iklan,
banner, spanduk; Belanja modal non-infrastruktur seperti gedung kantor dan
kendaraan; Belanja barang bantuan Pemerintah kepada Pemda/masyarakat dan
belanja Bansos; Honorarium kegiatan; Kegiatan-kegiatan prioritas dan pendukung
yang setelah dikaji ulang ternyata dapat ditunda; dan lain sebagainya.
Dengan prakiraan di atas beserta
efisiensi belanja K/L, ditambah proyeksi normal prosentasi realisasi penyerapan
pada tahun ke 2 pemerintahan, maka total Belanja diperkirakan dapat turun dari
Rp 2.095,7 triliun menjadi Rp 1.960 triliun. Angka belanja sebesar itu masih
membutuhkan revisi dalam pos Pendapatan, agar besarnya defisit tidak melanggar
ketentuan. Upaya serius musti dilakukan dalam penyusunan APBNP 2016 saat ini.
Berbagai pihak pada Kementerian/Lembaga juga musti secara sadar melakukannya.
Bukannya malah berupaya ke sana sini agar porsi belanjanya tidak dikurangi atau
hanya dipotong sedikit.
Bagaimanapun, harus diingat bahwa
APBN adalah kebijakan fiskal. Dasar kebijakan fiskal adalah tiga fungsi utama
pemerintah, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi. Fungsi
alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi
pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan
efektivitas perekonomian; fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan
anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan; fungsi
stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk
memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental ekonomi.
Akhirnya, Pemerintah harus ingat
bahwa tersedia pilihan kebijakan lain selain fiskal, yang berarti meningkatkan
sinergi dengan Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan DPR. Optimalkan kebijakan
moneter, kebijakan perbankan dan kebijakan sektor riil. Bersinergi lah demi
ekonomi negeri.