Jumat, 05 Agustus 2016

BAGAIMANA SRI MULYANI MENEKAN REALISASI BELANJA APBN?
Oleh: Awalil Rizky

Ancaman defisit yang membengkak semakin nyata jika melihat laporan realisasi semester I 2016. Realisasi pendapatan tak sesuai target, secara nominal lebih rendah dari tahun lalu, sedangkan belanja justeru melampaui capaian tahun-tahun lampau. Upaya lebih keras untuk mengurangi belanja di waktu tersisa pun musti dilakukan.

Ada beberapa hal musti dipertimbangkan. Pertama, apakah memang mau mengurangi belanja di saat ekonomi sedang lesu? Lazimnya, pemerintah ekspansif atau belanja lebih banyak, untuk mendorong dinamika ekonomi, antara lain melalui peningkatan permintaan dan menaikkan daya beli masyarakat. Jika sebaliknya, maka laju pertumbuhan ekonomi bisa melambat, setidaknya tak ada tambahan dorongan baru. Presiden pun masih memerintahkan penyerapan anggaran dipercepat, beberapa waktu lalu.

Kedua, Undang-Undang APBNP 2016 sudah ditetapkan, yang berarti pagu belanja definitif. Cara yang tersedia hanya menekan realisasi. Belanja APBNP 2016 bisa dikelompokkan menjadi tiga: Belanja Kementerian/Lembaga (37,3%), Belanja non Kementerian/Lembaga (25,9%), Transfer ke Daerah (36,9%). Transfer ke Daerah sangat sulit dikurangi karena peraturan perundang-undangan dan sebagian besar porsinya terhubung dengan target pendapatan yang terlanjur ditetapkan tinggi. Belanja non K/L, sebagian besarnya adalah pembayaran bunga utang dan subsidi, yang cukup sulit dikurangi realisasinya dengan langkah efisiensi biasa. Ruang pengendalian realisasi yang masih terbuka adalah dalam belanja K/L, yang terdiri dari 87 organisasi.

Ketiga, APBNP 2016 sudah disusun dengan upaya efisiensi belanja K/L. Telah dilakukan pemotongan atas belanja perjalanan, rapat, dan hal-hal yang dianggap bukan prioritas. Di sisi lain, semula mereka disuruh mempercepat belanja dan dimudahkan dengan aturan baru tentang lelang dan semacamnya. Dipatuhi, yang terbukti dari realisasi belanja K/L semester I 2016 yang mencapai 24,5% dari pagu APBNP, yang terbilang terbesar dalam kurun beberapa tahun terakhir. Menurut berbagai informasi, sudah ada kontrak, transaksi pendahuluan dan semacamnya yang mengikat secara hukum ataupun musti direalisasi menurut kelaziman bisnis dalam semester kedua. Mereka pun terkesan lebih siap berbelanja dibanding tahun lalu, sehingga realisasi memang dapat melampaui 95% dari pagu. Maka, wacana mengendalikan realisasi butuh langkah luar biasa dan mungkin “tangan besi” Sri Mulyani.

Sri Mulyani sudah mengatakan bahwa salah satu skenario jika implementasi amnesti pajak pada periode pertama tidak sesuai harapan, maka akan anggaran belanja K/L non prioritas akan dipangkas. Akan disisir semua kemungkinan adanya penghematan, dengan catatan pengecualian atas belanja prioritas terkait pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, pertahanan dan keamanan. Namun harus diingat bahwa penghematan dimaksud secara teknis berarti menekan realisasi, bukan mengubah pagu yang ditetapkan Undang-Undang. Kecuali akan diajukan RAPBNP 2016 kedua, yang artinya “keadaan luar biasa” dalam fiskal.

Sebenarnya masih ada opsi untuk menekan belanja non K/L. Dalam hal realisasi subsidi, subsidi listrik masih bisa ditekan, antara lain dengan menunda sebagian pembayarannya atau digeser ke tahun berikut, dari pagu Rp 50 triliun. Menunda penyaluran sebagian subsidi nonenergi sebesar Rp 83,40 triliun, yang terdiri dari subsidi pangan, subsidi pupuk, subsidi benih, subsidi PSO, subsidi bunga kredit program, dan subsidi pajak. Sebagai contoh, subsidi bunga KUR yang terindikasi lebih dinikmati oleh perbankan dibandingkan UMKM, padahal aturan main dan cara evaluasinya belum terlampau jelas.

Bagaimana kemungkinan mengurangi realisasi pembayaran bunga utang? Dalam hal karena peningkatan outstanding utang yang signifikan, tidak ada yang bisa dilakukan. Penyebab terbesar lain adalah pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap tiga mata uang asing utama, yaitu Dolar Amerika Serikat, Euro, dan Yen Jepang. Beban bunga utang luar negeri, baik loan maupun SBN valuta asing, menjadi lebih tinggi dalam hitungan rupiah. Seandainya, bauran kebijakan amnesti pajak, kebijakan Bank Indonesia dan “perbawa” bu Sri dapat menekan kurs hingga di kisaran Rp 13.000, maka ada penghematan hingga belasan triliun rupiah. Dan jika sentimen positif pasar berlanjut, maka bunga riil untuk SBN yang akan terbit juga turun.

Bagaimanapun, langkah utama musti meningkatkan pendapatan. Kebijakan amnesti pajak yang sudah memasuki tahap pelaksanaan adalah harapan. Ke publik sempat diutarakan potensi mendapat laporan pengakuan hingga Rp 5000 triliun, baik repatriasi maupun deklarasi, yang menghasilkan tambahan pendapatan pajak (denda) mencapai Rp 165 triliun. Namun, skenario pesimis yang beredar di kalangan terbatas diakui kemungkinan pendapatan hanya sekitar Rp 57,9 T, antara lain dari dana repatriasi hingga akhir Desember 2016 sebesar Rp 543 T.

Sri Mulyani diharapkan mendongkrak hasil amnesti pajak melampaui skenario pesimis dan mendekati harapan semula. Mampu pula menekan realisasi belanja, setidaknya di kisaran 94% dari pagu APBNP 2016. Selanjutnya, menyusun RAPBN 2017 yang lebih realistis dan hati-hati. Tentu diskusi bisa berlanjut dalam hal bagaimana peran Pemerintah dalam mendorong perekonomian. Itu nanti, sekarang bagaimana menyelamatkan keuangan pemerintah dahulu.