BAGAIMANA SRI MULYANI MENEKAN REALISASI BELANJA APBN?
Oleh: Awalil Rizky
Ancaman defisit yang membengkak semakin nyata jika melihat
laporan realisasi semester I 2016. Realisasi pendapatan tak sesuai target, secara
nominal lebih rendah dari tahun lalu, sedangkan belanja justeru melampaui
capaian tahun-tahun lampau. Upaya lebih keras untuk mengurangi belanja di waktu
tersisa pun musti dilakukan.
Ada beberapa hal musti dipertimbangkan. Pertama, apakah memang mau mengurangi belanja di saat ekonomi
sedang lesu? Lazimnya, pemerintah ekspansif atau belanja lebih banyak, untuk
mendorong dinamika ekonomi, antara lain melalui peningkatan permintaan dan menaikkan
daya beli masyarakat. Jika sebaliknya, maka laju pertumbuhan ekonomi bisa
melambat, setidaknya tak ada tambahan dorongan baru. Presiden pun masih
memerintahkan penyerapan anggaran dipercepat, beberapa waktu lalu.
Kedua, Undang-Undang
APBNP 2016 sudah ditetapkan, yang berarti pagu belanja definitif. Cara yang
tersedia hanya menekan realisasi. Belanja APBNP 2016 bisa dikelompokkan menjadi
tiga: Belanja Kementerian/Lembaga (37,3%), Belanja non Kementerian/Lembaga
(25,9%), Transfer ke Daerah (36,9%). Transfer ke Daerah sangat sulit dikurangi
karena peraturan perundang-undangan dan sebagian besar porsinya terhubung
dengan target pendapatan yang terlanjur ditetapkan tinggi. Belanja non K/L,
sebagian besarnya adalah pembayaran bunga utang dan subsidi, yang cukup sulit
dikurangi realisasinya dengan langkah efisiensi biasa. Ruang pengendalian
realisasi yang masih terbuka adalah dalam belanja K/L, yang terdiri dari 87
organisasi.
Ketiga, APBNP 2016
sudah disusun dengan upaya efisiensi belanja K/L. Telah dilakukan pemotongan atas
belanja perjalanan, rapat, dan hal-hal yang dianggap bukan prioritas. Di sisi
lain, semula mereka disuruh mempercepat belanja dan dimudahkan dengan aturan
baru tentang lelang dan semacamnya. Dipatuhi, yang terbukti dari realisasi
belanja K/L semester I 2016 yang mencapai 24,5% dari pagu APBNP, yang terbilang
terbesar dalam kurun beberapa tahun terakhir. Menurut berbagai informasi, sudah
ada kontrak, transaksi pendahuluan dan semacamnya yang mengikat secara hukum
ataupun musti direalisasi menurut kelaziman bisnis dalam semester kedua. Mereka
pun terkesan lebih siap berbelanja dibanding tahun lalu, sehingga realisasi memang
dapat melampaui 95% dari pagu. Maka, wacana mengendalikan realisasi butuh langkah
luar biasa dan mungkin “tangan besi” Sri Mulyani.
Sri Mulyani sudah mengatakan bahwa salah satu skenario jika
implementasi amnesti pajak pada periode pertama tidak sesuai harapan, maka akan
anggaran belanja K/L non prioritas akan dipangkas. Akan disisir semua
kemungkinan adanya penghematan, dengan catatan pengecualian atas belanja
prioritas terkait pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, pertahanan
dan keamanan. Namun harus diingat bahwa penghematan dimaksud secara teknis
berarti menekan realisasi, bukan mengubah pagu yang ditetapkan Undang-Undang.
Kecuali akan diajukan RAPBNP 2016 kedua, yang artinya “keadaan luar biasa”
dalam fiskal.
Sebenarnya masih ada opsi untuk menekan belanja non K/L.
Dalam hal realisasi subsidi, subsidi listrik masih bisa ditekan, antara lain dengan
menunda sebagian pembayarannya atau digeser ke tahun berikut, dari pagu Rp 50
triliun. Menunda penyaluran sebagian subsidi nonenergi sebesar Rp 83,40
triliun, yang terdiri dari subsidi pangan, subsidi pupuk, subsidi benih,
subsidi PSO, subsidi bunga kredit program, dan subsidi pajak. Sebagai contoh, subsidi
bunga KUR yang terindikasi lebih dinikmati oleh perbankan dibandingkan UMKM, padahal
aturan main dan cara evaluasinya belum terlampau jelas.
Bagaimana kemungkinan mengurangi realisasi pembayaran bunga
utang? Dalam hal karena peningkatan outstanding
utang yang signifikan, tidak ada yang bisa dilakukan. Penyebab terbesar lain adalah
pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap tiga mata uang asing utama, yaitu Dolar
Amerika Serikat, Euro, dan Yen Jepang. Beban bunga utang luar negeri, baik loan maupun SBN valuta asing, menjadi
lebih tinggi dalam hitungan rupiah. Seandainya, bauran kebijakan amnesti pajak,
kebijakan Bank Indonesia dan “perbawa” bu Sri dapat menekan kurs hingga di kisaran
Rp 13.000, maka ada penghematan hingga belasan triliun rupiah. Dan jika
sentimen positif pasar berlanjut, maka bunga riil untuk SBN yang akan terbit juga
turun.
Bagaimanapun, langkah utama musti meningkatkan pendapatan. Kebijakan
amnesti pajak yang sudah memasuki tahap pelaksanaan adalah harapan. Ke publik
sempat diutarakan potensi mendapat laporan pengakuan hingga Rp 5000 triliun,
baik repatriasi maupun deklarasi, yang menghasilkan tambahan pendapatan pajak
(denda) mencapai Rp 165 triliun. Namun, skenario pesimis yang beredar di
kalangan terbatas diakui kemungkinan pendapatan hanya sekitar Rp 57,9 T, antara
lain dari dana repatriasi hingga akhir Desember 2016 sebesar Rp 543 T.
Sri Mulyani diharapkan mendongkrak hasil amnesti pajak
melampaui skenario pesimis dan mendekati harapan semula. Mampu pula menekan
realisasi belanja, setidaknya di kisaran 94% dari pagu APBNP 2016. Selanjutnya,
menyusun RAPBN 2017 yang lebih realistis dan hati-hati. Tentu diskusi bisa
berlanjut dalam hal bagaimana peran Pemerintah dalam mendorong perekonomian. Itu
nanti, sekarang bagaimana menyelamatkan keuangan pemerintah dahulu.