KOPERASI DIKEPUNG
LAKU PANDAI DAN KUR
Keuangan inklusif kini mengedepan dalam banyak dokumen
kebijakan otoritas ekonomi (Pemerintah, Bank Indonesia dan OJK). Diartikan
sebagai suatu kegiatan menyeluruh yang bertujuan untuk meniadakan segala bentuk
hambatan baik yang bersifat harga maupun non harga terhadap akses masyarakat
dalam menggunakan atau memanfaatkan layanan jasa keuangan. Programnya adalah
agar sebanyak mungkin orang bisa memperoleh produk dan jasa keuangan yang
paling dasar seperti: tabungan, transfer, pinjaman, dan asuransi. Diupayakan
dengan harga dan prosedur yang terjangkau, wajar dan transparan.
Program unggulannya kini adalah apa yang secara resmi
disebut sebagai Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku
Pandai), yang dalam wacana akademis biasa disebut branchless banking. Laku Pandai adalah kegiatan menyediakan layanan
perbankan atau layanan keuangan lainnya yang dilakukan tidak melalui jaringan
kantor, namun melalui kerjasama dengan pihak lain dan perlu didukung dengan
penggunaan sarana teknologi informasi.
Bank penyelenggara harus memenuhi persyaratan yang mencakup
sarana teknologi informasi harus yang andal, aman dan teruji, yang antara lain
tercermin dari tersedianya sistem yang mampu melakukan pembukuan transaksi pada
saat transaksi berlangsung (real time).
Ada pengaturan mengenai persyaratan, tata cara seleksi, cakupan perjanjian
kerjasama, serta standar dan mekanisme hubungan kerja antara Bank Penyelenggara
dengan Agen. Agen dimaksud bisa perorangan atau badan hukum, yang berfungsi
sebagai “kantor layanan” dari bank.
Laku Pandai diluncurkan OJK secara resmi pada 26 Maret 2015,
dengan target 350 ribu agen hingga akhir tahun. Belum sesuai harapan, baru ada
sekitar 30 ribu agen dari 8 bank yang sudah operasional. OJK kembali menetapkan
target bertambahnya 300 ribu agen pada tahun 2016, yang kali inididukung oleh
pertambahan bank yang diberi izin. Jutaan nasabah diharapkan akan terlayani
oleh para agen.
Program keuangan inklusif terdahulu yang diklaim berhasil
oleh Pemerintahan SBY adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR). KUR bahkan diakui
berbagai forum internasional mengenai implementasi keuangan inklusif, dan akan
diadopsi menjadi praktik terbaik penanggulangan kemiskinan di negara
berkembang. Capaian KUR secara data agregat memang luar biasa. Penyaluran sejak
diluncurkan Nopember 2007 hingga Nopember 2014 mencapai Rp 175 triliun, dengan
baki debet (outstanding) sekitar Rp
50 triliun, menjangkau lebih dari 12 juta unit UMKM.
Kesuksesan KUR diamini Pemerintahan Jokowi, yang berniat menggandakan
skalanya. Dana subsidi dialokasikan lebih banyak sejak APBNP 2015. APBN 2016 pun
menetapkan target spektakuler, lebih dari Rp 100 triliun. Kepada bank penyalur
diberikan subsidi untuk KUR mikro sebesar 10%, KUR ritel sebesar 4,5%, dan KUR
TKI sebesar 12%. di kisaran, dan suku bunga efektif menjadi maksimal 9%. Dana subsidi
APBN disediakan sekitar Rp 10,5 triliun, dari pos subsidi Bunga dan Kredit
Program, yang berplafon Rp 16,5 triliun.
Laku Pandai dan KUR
bisa mengkerdilkan Koperasi
Setahun berjalan, Laku Pandai baru berupa produk tabungan
dengan karakteristik Basic Saving Account,
serta beberapa fitur transfer dan pembayaran. Produk kredit rencananya akan
dikembangkan tahun ini, dan sedang disusun skema yang dapat dikaitkan dengan
KUR mikro.
Laku Pandai yang dipadukan dengan KUR baru secara konseptual
tampak akan menjadi terobosan besar. Diharapkan, semakin banyak orang (UMKM)
yang bisa mengakses kredit dan biaya modal menjadi rendah. Akan tetapi, perlu
diperiksa lebih cermat data realisasi, yang terindikasi berciri perpindahan nasabah lama yang
menikmati suku bunga tinggi ke suku bunga rendah. Artinya, 12 juta nasabah era
SBY dan 1 juta era Jokowi, mungkin lebih dari separuhnya berasal dari
perpindahan saja. Sebagai bukti awal, data umum pertumbuhan kredit UMKM setara
saja dengan non UMKM. Porsi kredit UMKM tidak beranjak dari 18-20%, bahkan
kredit mikro hanya 4%, karena dominasi kredit menengah. Dan yang terpenting,
hingga September 2015, nasabah kredit UMKM (KUR dan nonKUR) hanya 11,4 juta
rekening.
Penyalur KUR selama ini adalah 7 bank nasional dan 26 BPD
(dengan porsi kecil). BPR dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) belum dilibatkan.
LKM dimaksud adalah yang sudah operasional puluhan tahun, seperti: koperasi
simpan pinjam, koperasi syariah (BMT). Fakta di lapangan, BPR sudah merasakan
dampak “persaingan” yang berat, bahkan sebelum era bersubsidi bunga. LKM tidak
banyak terdampak ketika itu, karena orientasinya kepada komunitas dan
pendekatan yang berbeda. Namun, akan terdampak jika era KUR baru ini berjalan.Jika
target KUR baru sedemikian spektakuler, maka proses perpindahan akan lebih
masif. BRI mungkin akan memindah nasabah Kupedes menjadi KUR, daripada direbut
oleh bank lain. Sementara itu, BPR akan lebih terpuruk. Sedangkan LKM akan
menghadapi masalah serius karena perpindahan nasabah.
Sementara itu, keberadaan agen Laku Pandai secara masif
berpeluang mengancam pola hubungan sosial. Perorangan yang potensial menjadi
agen adalah tokoh masyarakat, tokoh adat, dan agama. Relasi sosial akan menjadi
semakin transaksional, solidaritas dan kohesivitas masyarakat akan terganggu.
Agen kemungkinan akan berasal dari pindahan SDM LKM (Koperasi). Ditambah dengan
peluang eks rentenir yang berganti baju, bahkan berperan ganda.
Apakah ongkos ekonomi (dan sosial) terdampaknya LKM (Koperasi)
telah dipertimbangkan dengan baik? LKM yang mandiri dari masyarakat akan
menjadi korban program yang belum pasti berkelanjutan, dan akan terus
tersubsidi. KUR memang terbukti memberi manfaat, namun tidak sebesar
pewartaannya. Seharusnya, upaya pengembangan Laku Pandai dan KUR sejak awal
melibatkan pelaku UMKM dan koperasi. Target RPJMN meningkatkan kontribusi
koperasi pada PDB dari 1,7% tahun 2014 menjadi 8,0% tahun 2019 menjadi mustahil
terwujud. Lagipula, mustinya kebijakan keuangan inklusif bukan perbankan
inklusif kan?
Awalil Rizky
Chief economist PBMT
Ventura