Jumat, 05 Agustus 2016

KOPERASI DIKEPUNG LAKU PANDAI DAN KUR
Keuangan inklusif kini mengedepan dalam banyak dokumen kebijakan otoritas ekonomi (Pemerintah, Bank Indonesia dan OJK). Diartikan sebagai suatu kegiatan menyeluruh yang bertujuan untuk meniadakan segala bentuk hambatan baik yang bersifat harga maupun non harga terhadap akses masyarakat dalam menggunakan atau memanfaatkan layanan jasa keuangan. Programnya adalah agar sebanyak mungkin orang bisa memperoleh produk dan jasa keuangan yang paling dasar seperti: tabungan, transfer, pinjaman, dan asuransi. Diupayakan dengan harga dan prosedur yang terjangkau, wajar dan transparan.

Program unggulannya kini adalah apa yang secara resmi disebut sebagai Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai), yang dalam wacana akademis biasa disebut branchless banking. Laku Pandai adalah kegiatan menyediakan layanan perbankan atau layanan keuangan lainnya yang dilakukan tidak melalui jaringan kantor, namun melalui kerjasama dengan pihak lain dan perlu didukung dengan penggunaan sarana teknologi informasi.

Bank penyelenggara harus memenuhi persyaratan yang mencakup sarana teknologi informasi harus yang andal, aman dan teruji, yang antara lain tercermin dari tersedianya sistem yang mampu melakukan pembukuan transaksi pada saat transaksi berlangsung (real time). Ada pengaturan mengenai persyaratan, tata cara seleksi, cakupan perjanjian kerjasama, serta standar dan mekanisme hubungan kerja antara Bank Penyelenggara dengan Agen. Agen dimaksud bisa perorangan atau badan hukum, yang berfungsi sebagai “kantor layanan” dari bank.

Laku Pandai diluncurkan OJK secara resmi pada 26 Maret 2015, dengan target 350 ribu agen hingga akhir tahun. Belum sesuai harapan, baru ada sekitar 30 ribu agen dari 8 bank yang sudah operasional. OJK kembali menetapkan target bertambahnya 300 ribu agen pada tahun 2016, yang kali inididukung oleh pertambahan bank yang diberi izin. Jutaan nasabah diharapkan akan terlayani oleh para agen.
Program keuangan inklusif terdahulu yang diklaim berhasil oleh Pemerintahan SBY adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR). KUR bahkan diakui berbagai forum internasional mengenai implementasi keuangan inklusif, dan akan diadopsi menjadi praktik terbaik penanggulangan kemiskinan di negara berkembang. Capaian KUR secara data agregat memang luar biasa. Penyaluran sejak diluncurkan Nopember 2007 hingga Nopember 2014 mencapai Rp 175 triliun, dengan baki debet (outstanding) sekitar Rp 50 triliun, menjangkau lebih dari 12 juta unit UMKM.

Kesuksesan KUR diamini Pemerintahan Jokowi, yang berniat menggandakan skalanya. Dana subsidi dialokasikan lebih banyak sejak APBNP 2015. APBN 2016 pun menetapkan target spektakuler, lebih dari Rp 100 triliun. Kepada bank penyalur diberikan subsidi untuk KUR mikro sebesar 10%, KUR ritel sebesar 4,5%, dan KUR TKI sebesar 12%. di kisaran, dan suku bunga efektif menjadi maksimal 9%. Dana subsidi APBN disediakan sekitar Rp 10,5 triliun, dari pos subsidi Bunga dan Kredit Program, yang berplafon Rp 16,5 triliun.

Laku Pandai dan KUR bisa mengkerdilkan Koperasi
Setahun berjalan, Laku Pandai baru berupa produk tabungan dengan karakteristik Basic Saving Account, serta beberapa fitur transfer dan pembayaran. Produk kredit rencananya akan dikembangkan tahun ini, dan sedang disusun skema yang dapat dikaitkan dengan KUR mikro.

Laku Pandai yang dipadukan dengan KUR baru secara konseptual tampak akan menjadi terobosan besar. Diharapkan, semakin banyak orang (UMKM) yang bisa mengakses kredit dan biaya modal menjadi rendah. Akan tetapi, perlu diperiksa lebih cermat data realisasi, yang terindikasi  berciri perpindahan nasabah lama yang menikmati suku bunga tinggi ke suku bunga rendah. Artinya, 12 juta nasabah era SBY dan 1 juta era Jokowi, mungkin lebih dari separuhnya berasal dari perpindahan saja. Sebagai bukti awal, data umum pertumbuhan kredit UMKM setara saja dengan non UMKM. Porsi kredit UMKM tidak beranjak dari 18-20%, bahkan kredit mikro hanya 4%, karena dominasi kredit menengah. Dan yang terpenting, hingga September 2015, nasabah kredit UMKM (KUR dan nonKUR) hanya 11,4 juta rekening.

Penyalur KUR selama ini adalah 7 bank nasional dan 26 BPD (dengan porsi kecil). BPR dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) belum dilibatkan. LKM dimaksud adalah yang sudah operasional puluhan tahun, seperti: koperasi simpan pinjam, koperasi syariah (BMT). Fakta di lapangan, BPR sudah merasakan dampak “persaingan” yang berat, bahkan sebelum era bersubsidi bunga. LKM tidak banyak terdampak ketika itu, karena orientasinya kepada komunitas dan pendekatan yang berbeda. Namun, akan terdampak jika era KUR baru ini berjalan.Jika target KUR baru sedemikian spektakuler, maka proses perpindahan akan lebih masif. BRI mungkin akan memindah nasabah Kupedes menjadi KUR, daripada direbut oleh bank lain. Sementara itu, BPR akan lebih terpuruk. Sedangkan LKM akan menghadapi masalah serius karena perpindahan nasabah.

Sementara itu, keberadaan agen Laku Pandai secara masif berpeluang mengancam pola hubungan sosial. Perorangan yang potensial menjadi agen adalah tokoh masyarakat, tokoh adat, dan agama. Relasi sosial akan menjadi semakin transaksional, solidaritas dan kohesivitas masyarakat akan terganggu. Agen kemungkinan akan berasal dari pindahan SDM LKM (Koperasi). Ditambah dengan peluang eks rentenir yang berganti baju, bahkan berperan ganda.

Apakah ongkos ekonomi (dan sosial) terdampaknya LKM (Koperasi) telah dipertimbangkan dengan baik? LKM yang mandiri dari masyarakat akan menjadi korban program yang belum pasti berkelanjutan, dan akan terus tersubsidi. KUR memang terbukti memberi manfaat, namun tidak sebesar pewartaannya. Seharusnya, upaya pengembangan Laku Pandai dan KUR sejak awal melibatkan pelaku UMKM dan koperasi. Target RPJMN meningkatkan kontribusi koperasi pada PDB dari 1,7% tahun 2014 menjadi 8,0% tahun 2019 menjadi mustahil terwujud. Lagipula, mustinya kebijakan keuangan inklusif bukan perbankan inklusif kan?
Awalil Rizky

Chief economist PBMT Ventura