Kamis, 27 Oktober 2016

APBN 2017 LEBIH REALISTIS NAMUN MASIH PENUH RISIKO

APBN 2017 disahkan oleh sidang DPR kemaren sore, yang ditandai beberapa perubahan dari RAPBN yang diajukan Pemerintah. Asumsi pertumbuhan ekonomi turun dari 5,3% menjadi 5,1%. Sedikit diluar kebiasaan DPR yang cenderung menaikkan atau setidaknya mempertahankan usulan Pemerintah. Perlu diingat bahwa asumsi APBNP 2016 adalah 5,2%, sedangkan realisasi hingga satu semester adalah 5,0%. Realisasi 2016 kemungkinan memang antara 5,0-5,1%.

Menarik pula jika membandingkan asumsi ini dengan prakiraan (forecast) yang telah dikeluarkan oleh berbagai lembaga internasional yang kisarannya antara 5,2 – 5,3 %, bahkan Fitch pada bulan Mei lalu sempat optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2017 bisa mencapai 5,5%. Catatannya, berbagai ramalan tersebut memang disampaikan beberapa bulan lalu, dan besar kemungkinan akan ada update di kisaran yang sama dengan asumsi APBN 2017.

Bisa ditafsirkan bahwa DPR memang tidak seoptimis Pemerintah tentang kondisi perekonomian tahun depan, yang pertumbuhannya akan setara saja dengan tahun ini. Kali ini, Pemerintah "dipaksa" DPR lebih realistis dalam hal asumsi pertumbuhan ekonomi.Tahun 2017 akhirnya disepakati masih merupakan tahun yang penuh tantangan (risiko) bagi perekonomian, dan juga bagi pengelolaan fiskal.
Pemerintah mengakui bahwa pemotongan anggaran di tahun 2016 menyebabkan pertumbuhan konsumsi pemerintah mengalami penyesuaian termasuk untuk 2017, dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Namun, konsumsi RT diperkirakan masih tumbuh cukup tinggi sejalan dengan inflasi yang relatif terkendali terutama harga barang kebutuhan pokok. Sedangkan PMTB diperkirakan meningkat namun belum cukup kuat terutama masih relatif lemahnya permintaan domestik. Ada sedikit perbaikan pada kinerja ekspor yang diyakini masih tumbuh positif, meski pada kondisi masih lemahnya permintaan negara Mitra Dagang Utama.

Penurunan asumsi pertumbuhan ekonomi ternyata tidak membuat target Pendapatan dan proyeksi belanja turun dari usulan RAPBN. Ada beberapa perubahan perhitungan teknis yang disepakati oleh DPR dan Pemerintah yang membuat sedikit penurunan asumsi itu terkompensasi oleh perhitungan lainnya.  Anggaran belanja negara 2017 mencapai Rp 2.080,5 triliun, atau naik Rp 10 triliun dari usulan semula. Mendekati lagi APBNP 2016 yang sebesar Rp 2.082,9 triliun. Pendapatan negara ditetapkan Rp 1.750,3 triliun atau lebih besar Rp12,7 triliun dari rencana semula. Dengan demikian, defisit anggaran menjadi Rp330,2 triliun atau setara dengan 2,41 persen dari PDB.



Meskipun sedikit turun dari target APBNP 2016, target pendapatan 2017 masih terbilang tinggi dan bernuansa optimis. Kemungkinan salah satu alasannya adalah keberhasilan kebijakan amnesti pajak. Dijelaskan bahwa kebijakan utama optimalisasi penerimaan negara antara lain adalah: Melanjutkan dukungan insentif fiskal, mendorong iklim investasi & dunia usaha; Fokus penerimaan terutama pada sektor perdagangan dan WP pribadi. Ekstensifikasi melalui Geo Tagging; Memperbaiki basis pajak dan kepatuhan wajib pajak melaui penguatan database pajak, optimalisasi penggunaan IT dan konfirmasi status wajib pajak; Mengoptimalkan perjanjian pajak internasional; Cukai dan pajak lainnya untuk mengurangi konsumsi pada produk tertentu (dan atau untuk mengurangi) dengan eksternalitas negatif; serta Optimalisasi PNBP dengan tetap memperhatikan pelestarian sumber daya alam dan peningkatan kualitas pelayanan publik.

Sedangkan masih besarnya belanja, meski tetap dilakukan langkah-langkah efisisensi adalah untuk mendukung belanja yang lebih produktif. Dikatakan bahwa APBN 2017 tetap merupakan kebijakan fiskal yang ekspansif  dengan komitmen pada reformasi penganggaran serta prinsip kehati-hatian. Kebijakan utama belanja antara lain adalah: Fokus pada infrastruktur dan belanja sosial; Efisiensi pada belanja barang; Mempertahankan anggaran kesehatan (5%), pendidikan (20%); Fleksibilitas dalam merespon kondisi perekonomian Mitigasi bencana alam & risiko fiskal; serta  Percepatan penyerapan anggaran.

Sebagaimana yang sudah aku tulis terdahulu, Pemerintah kali ini menyadari dan mulai fokus pada soal kesinambungan fiskal. Antara lain dikatakan: Menjaga defisit dibawah 3% terhadap PDB; Memperbaiki mekanisme pembiayaan untuk proyek infrastruktur dan pembiayaan usaha kecil menengah; Investasi pemerintah yang lebih selektif; Menyempurnakan mekanisme penjaminan untuk percepatan pembangunan infrastruktur.



Bagaimanapun, APBN 2017 memang lebih realistis dibanding APBNP 2015, APBN 2016, dan bahkan APBNP 2016. Akan tetapi risiko fiskal sudah terlanjur membesar. Baik karena “mengendalikan” belanja yang sudah terlanjur naik pesat, maupun karena beban utang yang makin besar. Bisa dikatakan bahwa langkah berani dan radikal mengurangi subsidi energi tidak mencukupi kenaikan belanja dan perubahan alokasinya. Target penerimaan perpajakan yang terlampau optimis masih belum bisa dipenuhi, meski membaik dengan kebijakan amnesti pajak. Kelanjutan mengoptimalkan kebijakan amnesti pajak sebagai langkah awal reformasi perpajakan nampaknya masih membutuhkan waktu beberapa tahun ke depan. Kenaikan penerimaan perpajakan tahun 2017 kemungkinan masih wajar (alamiah) karena terkompensasi kondisi perekonomian yang masih lesu, serta butuh waktunya reformasi dimaksud.

Belanja yang mulai dapat dikendalikan adalah belanja Kementerian/Lembaga. Transfer Daerah dan Dana Desa juga sedikit bisa diperbaiki, meski terkendala aturan yang mengikat. Sedangkan belanja non K/L masih belum dapat ditekan signifikan, khususnya belanja bunga. Sedangkan dalam hal belanja subsidi, perhitungan dampak ekonomi dan politiknya masih rumit. Jika dikurangi lagi masih dapat diperdebatkan apakah tidak akan memperburuk kondisi ekonomi, khususnya bagi rakyat kebanyakan. Patut diperhitungkan bahwa dampak pengurangan subsidi energi masih tetap terasa, sehingga cukup berisiko jika dikurangi lagi berbagai subsidi lainnya, ditengah perekonomian yang masih belum pulih.


Sekali lagi, kesinambungan fiskal masih penuh risiko. Butuh kerja keras Pemerintah yang musti didukung oleh otoritas ekonomi yang lain (BI dan OJK). Optimisme dunia usaha dan konsumen (rakyat) perlu tetap dipelihara, termasuk dengan menjaga stabilitas sosial dan politik.   

Rabu, 26 Oktober 2016

KESINAMBUNGAN FISKAL MENJADI TANTANGAN SERIUS PEMERINTAH

Istilah Kesinambungan fiskal muncul  hingga 16 kali dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2017. Namun tanpa definisi berupa kalimat yang tegas. Istilah dipakai lebih dalam konteks menjaga, memelihara dan tampak kekhawatiran tentang soalan itu kini dan beberapa tahun ke depan. Terlihat pula istilah kesinambungan sering bertukar tempat atau terkait sangat erat dengan ketahanan fiskal.  
Pengertian yang umum dari kesinambungan fiskal suatu negara sebagai ketiadaan risiko gagal bayar utang dan bunganya. Secara penalaran biasa berarti pengeluaran operasional sebagai negara terjamin oleh penerimaan yang cukup terukur atau terprediksi ke depannya.

Apa indikator mengukur tingkat kesinambungan fiskal? Bisa macam-macam, yang penting bisa memberi “warning” agar dapat diambil langkah perbaikan atau kebijakan berjaga-jaga dari risiko terburuk. Diantaranya adalah:1. rasio keseimbangan primer terhadap PDB;2. rasio utang pemerintah terhadap PDB; 3. rasio pembayaran bunga utang pemerintah terhadap pendapatan negara.

Keseimbangan primer (primary balance), yang sebenarnya adalah suatu neraca. Pendapatan dikurangi belanja, tanpa memasukkan pembayaran bunga utang dalam belanjanya. Jika angkanya positif (surplus) berarti sebagian bunga utang (jika besar bisa seluruhnya) dibayar dari pendapatan. Jika negatif (defisit) berarti sebagian bunga utang dibayar tidak dari pendapatan melainkan dari utang baru. Keseimbangan Primer Indonesia sudah negatif sejak tahun 2012, dan proyeksi Kemenkeu RI masih akan negatif hingga tahun 2020. Yang diupayakan hanya menekan agar tidak terus membesar secara prosentasi dari PDB dan dari Pendapatan. Dari indikator ini kesinambungan fiskal SANGAT RAWAN. 

Rasio utang pemerintah terhadap PDB (debt to GDP ratio) terbilang aman karena masih di bawah angka 30 %. Namun kecenderungannya memburuk dalam dua tahun terakhir. Naik dari 24,7% menjadi 27,7%. Angka 27,7% juga masih proyeksi APBNP 2016, yang kemungkinan sedikit meleset karena utang baru lebih besar daripada yang ditargetkan, sehingga kisarannya lebih mendekati 28%. Masih aman, namun PATUT MULAI DIWASPADAI.


Rasio pembayaran bunga utang (debt service) pemerintah terhadap pendapatan negara juga terbilang masih aman, namun terus memburuk dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2012, pembayaran bunga utang masih 7,5% dari penerimaan, terus naik tiap tahun, hingga diproyeksikan menjadi 10,7% pada akhir tahun nanti. Kemungkinan bisa mencapai 10,9% karena pembayaran bunga melebihi target, sedang penerimaan di bawah target. Masih aman, namun AMAT PERLU DIWASPADAI.


Harus difahami bahwa beban utang ini tidak semata “tanggung jawab” pemerintahan Jokowi, karena bersifat akumulatif. Pemerintahan Jokowi selama dua tahun ini bisa dibilang terlampau ekspansif dalam kebijakan fiskal, sehingga deficit melebar, utang tumbuh lebih cepat, dan akibatnya indikator kesinambungan fiskan memburuk. Jika belanja prioritas dan turunannya kemudian menghasilkan kemampuan membayar yang lebih baik di masa mendatang, maka tidak akan ada masalah yang berarti. Misalkan pertumbuhan ekonomi menjadi lebih tinggi, pendapatan meningkat (baik karena pertumbuhan itu ataupun kebijakan semacam amnesti pajak), efisiensi belanja membaik, biaya utang menurun signifikan (terutama turunnya yield SBN karena “bargaining” yang lebih kuat), dan lain-lain.


Berutang sebenarnya tidak bisa dihindarkan oleh negara mana pun, namun masalahnya adalah pada KEMAMPUAN MEMBAYAR di kemudian hari. Tantangannya apakah kebijakan fiskal pemerintah akan meningkatkan hal itu, dan kemudian mampu memelihara kesinambungan fiskal. Dan pada akhirnya, apakah kebijakan fiskal itu memenuhi fungsi alokatif, fungsi distributif dan fungsi stabilasasi. Yang kesemuanya berujung kepada peningkatan kesejahteraan umum. Adil, makmur dan sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia.     




Minggu, 23 Oktober 2016

BELANJA HIBAH DAN BANTUAN SOSIAL DKI YANG TINGGI?

Berdasar LKPD tahun 2015, serapan belanja menurut jenisnya yang tertinggi adalah pada Belanja hibah sebesar 96,20%, dan belanja bantuan sosial sebesar 99,96%.  Ada lagi Transfer/Bantuan Keuangan sebesar 92,52%. Total ketiganya secara nominal pun cukup besar, mencapai Rp 4.175,70 miliar atau 9.71% dari total realisasi Belanja dan Transfer. Lebih besar dibandingkan belanja tanah atau belanja peralatan dan mesin atau belanja jalan, irigasi dan jaringan.


Belanja Hibah adalah Pemberian bantuan dalam bentuk uang/barang/jasa kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya. Belanja Bantuan Sosial adalah pemberian bantuan dalam bentuk uang/barang/jasa kepada kelompok/anggota masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bantuan ini tidak dapat diberikan secara terus menerus/tidak berulang, selektif dan memiliki kejelasan peruntukan penggunaannya. Transfer / Bantuan Keuangan adalah pemberian bantuan dalam bentuk uang yang bersifat umum atau khusus kepada pemerintah daerah lainnya dalam rangka peningkatan kemampuan keuangan, termasuk kepada partai politik.

Sepintas tampak bahwa serapan belanja yang hampir memenuhi target adalah belanja hibah dan belanja bantuan sosial. Kedua jenis belanja ini tidak memerlukan lelang, melainkan merujuk kepada penetapan APBD, serta ada yang kemudian dirinci oleh Keputusan Gubernur. Sekali lagi perlu dicermati bahwa tingkat serapan seluruh Belanja dan Transfer tahun 2015 hanya 72,10%, dan khusus Belanja Modal hanya hanya 55,60%. Sedangkan Belanja hibah mencapai 96,20%, dan belanja bantuan sosial bahkan mencapai 99,96%.

Analisis dapat pula dilakukan dengan perbandingan antar tahun. Realisasi Belanja Hibah 2015 (96,20%) lebih tinggi dibandingkan tahun 2014 yang sebesar 53,85%. Lebih tinggi pula dibandingkan rata-rata serapan belanja hibah selama lima tahun (2009-2013) sebesar 92,68%.


Realisasi Belanja Bantuan Sosial 2015 (99,96%) jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2014 yang sebesar 55,71%. Dan jauh lebih tinggi dari rata-rata serapan belanja Bantuan Sosial selama lima tahun (2009-2013) yang sebesar 68,66%

Kadang yang bisa membingungkan publik, bahkan para pengamat keuangan yang lebih ahli, adalah pemberitaan (dari media masa yang kredibel dan berita terverifikasi) tentang angka-angka penyaluran hibah dan atau bantuan sosial. Jika ditelusuri dalam LKPD, beberapa pihak yang terberitakan tersebut tidak tampak dalam laporan. Seperti yang disebut di atas, para penerima Hibah musti tercantum dalam Keputusan Gubernur, yang juga tetap merujuk pada APBD tahun bersangkutan.
Tentu saja tidak berarti pasti ada penyimpangan secara hukum, namun tetap ada masalah dalam transparansi dan pertanggungjawaban publik. Sebagai contoh, kebanyakan Surat Keputusan Gubernur terkait tidak ada di web resmi, begitu pula dalam LKPD hanya SKPD/UPKD yang tercantum, ratusan para penerima tidak ada. Salah satu masalahnya adalah dalam pemberitaan media atau pengumuman hibah biasa tercampur antara tiga pos belanja: Belanja Hibah, Belanja Bantuan Sosial, dan Transfer/Bantuan Keuangan. Bahkan kadang ada berita mengenai dana non budgeter, diterima sebagai hibah dan belanja sebagai hibah, namun tidak masuk dalam LKPD.

Dengan demikian, salah satu topik yang perlu diperbincangkan dalam Pilkada DKI adalah pengelolaan dana (APBD) terkait tiga jenis Belanja/Transfer tersebut. Perlu diketahui bahwa dalam khasanah Keuangan Negara Pusat, soal jenis bantuan sosial makin dipelototi dan perlahan diminimalkan porsinya. Sedang dalam kasus DKI tampak membesar dianggarkan, serta paling tinggi realisasinya. 

Jika pengelolaan keuangan daerah semakin efisien dan efektif, maka kemungkinan besar jenis-jenis belanja semacam ini porsinya menurun. Apalagi jika dikaitkan dengan isyu transparansi, antara lain soal  e-budgeting dan lelang terbuka, maka pos-pos tersebut kontradiktif. Terbuka peluang perbaikan yang signifikan di masa mendatang.

BELANJA MODAL DKI JAKARTA BELUM OPTIMAL

Belanja Daerah dan Transfer  dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang disajikan menurut Klasifikasi Ekonomi didasarkan pada jenis belanja untuk melaksanakan aktivitas. Terdiri dari: 1) Belanja Operasi, 2) Belanja Modal, 3) Belanja Tak Terduga, dan 4) Transfer.

Belanja Operasi adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari Pemerintah Daerah yang memberi manfaat jangka pendek, meliputi Belanja Pegawai, Belanja Barang, Bunga, Subsidi, Hibah dan Bantuan Sosial. Belanja Modal digunakan untuk pembelian/pengadaan aset tetap dan aset lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan seperti perolehan tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya.

Analisis atas rincian belanja menurut jenis ini dapat dilakukan pada satu tahun anggaran, biasanya melihat tingkat realisasi. Jenis belanja apa yang rendah realisasinya dan dibicarakan faktor penyebab utama. Gubernur (Pemda) kadang memberi penjelasan dalam LKPD, dan sering dalam forum bersama legislatif ataupun penjelasan ke media masa. Jika ada masalah (rendahnya realisasi), mingkin bisa pada aspek perencanaan (penganggaran) maupun aspek pelaksanaan, atau keduanya.
Dalam hal belanja operasi, dalam kondisi apa pun biasanya penyerapan tetap tinggi. Dalam hal belanja pegawai kadang sedikit menyesuaikan dengan belanja modal. Sebagian aspek belanja modal perlu dana yang terkategori belanja pegawai, seperti dampak pemeliharaan ketika telah terbeli. Ketika sebagian mesin dan peralatan tidak terealisasi, maka sebagian alokasi belanja pegawai pun tak terjadi. Salah satu cara melihat hal ini adalah merujuk kepada rincian klasifikasi belanja menurut Kelompok Belanja terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja pegawai menjadi terbagi dalam kedua rincian, yang jika dijumlahkan sama dengan belanja pegawai menurut klasifikasi ekonomi.

Tingkat realisasi (biasa disebut penyerapan dalam pemberitaan) Belanja dalam APBD DKI Jakarta tahun 2015 menurut jenis adalah sebagai berikut: Belanja Operasi realisasinya 79,48%. Terdiri atas: a. Belanja Pegawai 88,76%, b.Belanja Barang dan Jasa 64,76%. c. Belanja Bunga 11,89%, d. Belanja Subsidi 70,12%, e. Belanja Hibah 96,20%, f. Belanja Bantuan Sosial 99,96%. Sepintas tampak bahwa serapan belanja yang hampir memenuhi target adalah belanja hibah dan belanja bantuan sosial. Kedua jenis belanja ini tidak memerlukan lelang, melainkan merujuk kepada penetapan APBD, serta ada yang kemudian dirinci oleh Keputusan Gubernur. Realisasi Belanja barang dan jasa justeru tampak amat rendah, yang dapat diberi tafsiran tentang tidak optimalnya operasional Pemda. Jika masalahnya adalah pada besarnya nilai rencana belanja jenis itu, berarti ada yang kurang dalam manajemen pemerintahan, karena prosesnya melibatkan hampir semua pihak dalam kepemimpinan Gubernur. Rencana pun diajukan atas nama gubernur, dan untuk kasus anggaran 2015 ditetapkan oleh Peraturan Gubernur (bisanya oleh Peraturan Daerah).


Sementara itu belanja pegawai sebesar 88,76% adalah belum optimal, meski terbilang masih cukup besar, terutama karena realisasi belanja modal yang hanya 55,60%. Terdiri dari: a. realisasi Belanja Tanah 46,91%, b. realisasi Belanja Peralatan dan Mesin 62,22%, c. realisasi Belanja Gedung dan Bangunan 60,45%, d. realisasi Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan 61,95%, e. realisasi Belanja Aset Tetap Lainnya 40,54%. Bagaimanapun belanja modal per definisi makroekonomi adalah termasuk investasi yang memiliki efek pengganda bagi pertumbuhan ekonomi. Rendahnya penyerapan musti ditelusuri lebih jauh karena menyia-nyiakan potensi. Sebagai tambahan argumentasi, APBD masih surplus, dengan utang yang amat kecil, bahkan masih ada piutang dana Transfer Pemerintah Pusat yang sangat besar.

Beberapa versi penjelasan beredar dalam dokumen, pemberitaan media ataupun pernyataan Gubernur dan atau pejabat. Ada soal kesulitan pembebasan tanah, baik karena soal harga ataupun teknis lain. Kembali musti diperiksa pada tiap kasus, bagaimana perencanaannya, apa kesulitan pastinya. Bukankah ini “hanya” perencanaan berdurasi satu tahu, mengapa faktor-faktor tersebut sampai tidak terukur. Ada soal isyu “anggaran siluman” dari pihak legislatif yang bersekongkol dengan oknum birokrasi Pemda. Artinya perlu dicermati lagi, dan sekali lagi Gubernur memiliki “power” yang amat besar sejak rencana, sehingga bagaimana solusinya. Untuk anggaran tahun 2015, bukankah Pergub atau APBD versi Gubernur yang dijalankan, bukan peraturan daerah. Isyu tersebut pastinya antara lain akan tersaji dalam belanja modal lainnya, selain tanah. Dan kemungkinan sudah pula “tergunting” dalam rendahnya serapan belanja barang di atas. Tampaknya, gubernur (Pemda) memiliki “utang penjelasan” atas serapan yang amat rendah pada belanja modal (serta belanja barang dan jasa) tahun 2015.  

Analisis dapat pula dilakukan dengan perbandingan antar tahun, maka akan diperoleh kemajuan atau bisa pula keterlambatan dalam aspek-aspek tertentu. Melanjutkan contoh dari data di atas,  realisasi Belanja Modal yang amat rendah yakni sebesar 55,60% dari target pada tahun 2015 bagaimana jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Ternyata realisasi tahun 2014 justeru lebih rendah (mungkin ada cutinya Gubernur pada saat Pilpres, dilanjutkan masa posisi terpilih Presiden) sebesar 40,78%. Sedangkan rata-rata penyerapan selama lima tahun (2009 – 2013) adalah 71,31%. Dengan kata lain, serapan belanja modal tahun 2015 masih jauh dari rata-rata itu.

Rincian serapan belanja modal selain tanah juga bisa lebih menggambarkan seberapa optimal Pemda memberi kontribusi mendorong pertumbuhan ekonomi (termasuk penyerapan tenaga kerja). Pada tahun 2015, serapan belanja Belanja Peralatan dan Mesin mencapai 62,22% dari target. Memang lebih tinggi dibanding tahun 2014 yang hanya 53,20%. Masih jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata penyerapan selama lima tahun (2009 – 2013) sebesar 79,14%.

Serapan Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan pada tahun 2015 adalah sebesar 61,95%. Jauh lebih tinggi dibanding tahun 2014 yang hanya 33,63%. Masih jauh lebih rendah dibandingkan  rata-rata penyerapan selama lima tahun (2009 – 2013) sebesar 74,25%.


Ada baiknya dalam wacana Pilkada, calon gubernur pertahana memberi penjelasan tentang tidak optimalnya belanja modal, terutama belanja Belanja Peralatan dan Mesin serta  Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan. Apa kendalanya dan bagaimana rencana dia ke depannya. Sedangkan para penantang dapat mencermati angka-angka yang lebih rinci (misal data yang lebih detil dari yang tidak direalisasi), lalu memberi ide untuk mengatasinya. 

Sabtu, 22 Oktober 2016

MEMAHAMI KEUANGAN PEMERINTAH DKI JAKARTA (bagian 6)

Pada dasarnya terdiri atas tiga bagian, yaitu: anggaran Pendapatan, anggaran Belanja, dan Pembiayaan Anggaran. Pendapatan adalah hak pemerintah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Belanja adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.

Ada dua istilah lain yang perlu diperhatikan, yaitu penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan adalah uang yang masuk ke kas. Pengeluaran adalah uang yang keluar dari kas. Sebagai contoh, pendapatan adalah penerimaan yang tidak perlu dibayar kembali. Namun ada penerimaan yang perlu dibayar kembali, seperti utang, yang dimasukkan dalam pembiayaan. Ada juga pengeluaran pembiayaan, yang diharapkan akan menghasilkan pendapatan di masa datang, seperti investasi.


Realisasi Pembiayaan Daerah DKI Jakarta pada tahun Anggaran 2015 terdiri dari: 1. Penerimaan Pembiayaan sebesar Rp9.209,78 miliar. Nilai tersebut diperoleh dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) tahun lalu berdasarkan LKPD tahun 2014 sebesar Rp9.160,90 miliar dan penerimaan Pinjaman Dalam Negeri-Pemerintah Pusat sebesar Rp48,88 miliar. 2. Pengeluaran Pembiayaan sebesar Rp5.454,18 miliar, terdiri dari: a. Pembentukan Dana Cadangan Rp 79 miliar, b. Pembayaran Pokok Utang Rp 4,08 miliar, c. Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) Daerah Rp 5.371,09 miliar.

Berbeda dengan APBN yang bagian pembiayaan didominasi oleh penerimaan utang dan pembayaran utang, APBD DKI Jakarta hanya mencatat soalan itu dalam nilai yang terbilang kecil. Penerimaan pembiayaan terbesar adalah dari SILPA, sedangkan pengeluaran terbesar adalah Penyertaan Modal Pemerintah (PMP).  
Tentang SILPA, selain dicatat dalam laporan realisasi APBD, dicatat pula dalam Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (dimunkinkan menjadi sisa kurang). Secara umum, SILPA tahun 2014 seluruhnya masuk sebagai penerimaan tahun 2015, kemudian diperhitungkan surplus tahun 2015, serta pembiayaan netto tahun 2015. Hasilnya SILPA tahun 2015.

Kita lihat lebih lanjut pos terbesar dalam pengeluaran pembiayaan, yaitu realisasi PMP Provinsi DKI Jakarta tahun 2015 sebesar Rp5.371.09 miliar. PMP diberikan kepada: 1) PD Dharma Jaya sebesar Rp46 miliar, 2) PD Pal Jaya sebesar Rp70 miliar, 3) PT Jakarta Propertindo sebesar Rp1.500 miliar, 4) PT Bank DKI sebesar Rp1.000 miliar, 5) PT Mass Rapit Transit Jakarta sebesar Rp2.015 miliar, 6) PT Transportasi Jakarta sebesar Rp700 miliar, 7) PT Penjamin kredit Daerah sebesar Rp40 miliar.
PMP kepada PD Dharma Jaya sebesar Rp46 miliar, sesuai dengan Keputusan Gubernur Nomor 2701 Tahun 2015 diberikan dalam rangka pembibitan dan penggemukan sapi di Nusa Tenggara Timur, pembangunan Tempat Penampungan dan Pemotongan Ayam (TPNA dan TPA) dan alat produksi laiinya, revitalisasi alat produksi dan pengembangan usaha, serta perbaikan manajemen, sistem, dan infrastruktur.

PMP kepada PD Pal Jaya sebesar Rp70 miliar sesuai dengan Keputusan Gubernur Nomor 2782 Tahun 2015 diberikan dalam rangka percepatan layanan pengelolaan air limbah di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta 
.
PMP kepada PT Jakarta Propertindo sebesar Rp1.500 miliar sesuai dengan Keputusan Gubernur Nomor 2698 Tahun diberikan dalam rangka investasi pada proyek properti, infrastruktur, utilitas serta pengembangan bisnis PT Jakarta Propertindo.

PMP kepada PT Bank DKI sebesar Rp1.000 miliar sesuai dengan Keputusan Gubernur Nomor 2783 Tahun 2015 diberikan dalam rangka memperkuat modal PT Bank DKI untuk menjaga rasio kecukupan modal (CAR), ekspansi kredit, pengembangan jaringan layanan, penyempurnaan teknologi informatika (core banking system) dan pertumbuhan un-organic.

PMP kepada PT Mass Rapit Transit Jakarta sebesar Rp2.015 miliar sesuai dengan Keputusan Gubernur Nomor 912 Tahun 2015 diberikan dalam rangka penambahan modal kerja.

PMP kepada PT Transportasi Jakarta sebesar Rp700 miliar sesuai dengan Keputusan Gubernur Nomor 2699 Tahun 2015 diberikan dalam rangka pembangunan insfrastruktur, pengembangan sistem pendukung operasional Bus Rapid Transit (BRT), pengadaan bus tingkat kawasan Electronic Road Pricing (ERP) dan cadangan likuiditas.

PMP kepada PT Penjamin kredit Daerah sebesar Rp40 miliar sesuai dengan Keputusan Gubernur Nomor 2744 Tahun 2015 diberikan dalam rangka membantu akses permodalan bagi Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah yang belum memenuhi persyaratan bank secara teknis, disamping pula untuk meningkatkan layanan perbankan serta mengantisipasi risiko kredit.

PMP yang dijelaskan di atas adalah yang diberikan selama tahun anggaran 2015. Secara akumulasi, PMP yang sudah diberikan bertahun-tahun, dengan memperhitungkan penerimaan hasil, perubahan modal akibat operasional dan dampak keuangan lainnya, Pemda DKI mencatat dalam Neraca Daerah apa yang disebut dengan Investasi Permanen. Hal ini sudah dijelaskan dalam seri tulisan ini bagian 3. Ada baiknya kita tampilkan kembali salah satu tabel tabelnya untuk melihat kondisi PMP akumulatif yang tercatat sebagai bagian Neraca Daerah.


Kita dapat mendiskusikan lebih dalam tentang PMP DKI Jakarta tahun 2015 dan rencananya pada tahun 2016 dan 2017. Diantaranya mengenai bagaimana dasar pemikiran serta kajian (akademis) tentang PMP tersebut, bagaimana realisasi penggunaan dana oleh BUMD bersangkutan, sejauh mana target atau hasil dari yang direncanakan, bagaimana kinerja dan transparansi pengelolaan BUMD itu, dan lain-lain. Kita bisa pula minta gambaran Pemda mengenai capaian-capaian BUMD, apakah terkait soal keuangan seperti pendapatan yang dimasukkan ke dalam APBD, dan yang lebih utama terkait seberapa jauh peningkatan layanan publik terkait dengan adanya kucuran PMP.  

Sabtu, 15 Oktober 2016

MEMAHAMI KEUANGAN PEMERINTAH DKI JAKARTA (bagian 5)

Belanja Daerah dan Transfer adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dan diakui pada saat terjadinya pengeluaran dari rekening Kas Daerah. Belanja Daerah dan Transfer meliputi semua pengeluaran Daerah dari rekening Kas Daerah yang mengurangi Ekuitas, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu Tahun Anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah.

Pengelolaan Belanja Daerah disusun berdasarkan pendekatan kinerja dari Satuan Kerja Perangkat Daerah/Unit Kerja Perangkat Daerah (SKPD/UKPD), yang dalam pelaksanaannya sesuai dengan tugas dan fungsinya, yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.

Realisasi Belanja Daerah dan Transfer tahun anggaran 2015 adalah sebesar Rp43.031.322.947.557,00 atau 72,10% dari target. LKPD menyajikannya secara terinci dalam tiga klasifikasi, yaitu: menurut Klasifikasi Ekonomi, menurut Urusan Pemerintahan, dan menurut Kelompok Belanja. Jumlah totalnya adalah sama karena hanya berbeda rincian penyajian.

Belanja Daerah menurut Klasifikasi Ekonomi yaitu pengelompokan belanja yang didasarkan pada jenis belanja untuk melaksanakan aktivitas. Klasifikasi ekonomi berdasarkan jenis belanja untuk Pemerintah Daerah terdiri dari Belanja Operasi meliputi Belanja Pegawai, Belanja Barang, Belanja Bunga, Belanja Subsidi, Belanja Hibah, Belanja Bantuan Sosial, serta Belanja Modal, Belanja Tak Terduga dan Transfer.


Belanja Operasi adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari Pemerintah Daerah yang memberi manfaat jangka pendek, meliputi Belanja Pegawai, Belanja Barang, Bunga, Subsidi, Hibah dan Bantuan Sosial. Realisasinya mencapai Rp32.415,28 miliar atau 79,48%. Penjelasan lebih lanjut adalah sebagai berikut: a. Belanja Pegawai sebesar Rp17.312,34 miliar atau 88,76%, di antaranya berupa realisasi Belanja Gaji dan Tunjangan Pegawai Negeri Sipil sebesar Rp13.654,49 miliar dan Belanja Honorarium Pegawai Honorer/Tidak Tetap sebesar Rp1.434,29 miliar. b.Belanja Barang dan Jasa, yang digunakan untuk pengeluaran pembelian/pengadaan barang yang nilai manfaatnya kurang dari 12 (dua belas) bulan dan/atau pemakaian jasa dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintah daerah. Dengan realisasi sebesar Rp10.633,82 miliar atau 64,76%. c. Belanja Bunga sebesar Rp5,48 miliar atau 11,89%. d. Belanja Subsidi sebesar Rp659,08 miliar atau 70,12%, yang digunakan untuk Belanja Subsidi Kepada BUMD PT Transportasi Jakarta. e. Belanja Hibah, yaitu Pemberian bantuan dalam bentuk uang/barang/jasa kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, sebesar Rp1.717,43 miliar atau 96,20%. f. Belanja Bantuan Sosial, yaitu pemberian bantuan dalam bentuk uang/barang/jasa kepada kelompok/anggota masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bantuan ini tidak dapat diberikan secara terus menerus/tidak berulang, selektif dan memiliki kejelasan peruntukan penggunaannya, dengan sebesar Rp2.087,12 miliar atau 99,96%. Bantuan sosial dirinci: 1. Belanja Bantuan Sosial kepada Individu/Siswa (Biaya Personal Siswa Miskin) melalui Kartu Jakarta Pintar (KJP) sebesar Rp2.079,62 miliar dan 2. Belanja Bantuan Sosial Kepada Organisasi Sosial Kemasyarakatan sebesar Rp7,50 miliar.

Belanja Modal digunakan untuk pembelian/pengadaan aset tetap dan aset lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan seperti perolehan tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya. Realisasinya sebesar Rp10.244,02 miliar atau 55,60%. Antara lain: a. Belanja Tanah sebesar Rp3.451,78 miliar atau 46,91%, b. Belanja Peralatan dan Mesin sebesar Rp2.002,19 miliar atau 62,22%, c. Belanja Gedung dan Bangunan sebesar Rp2.063,98 miliar atau 60,45%, d. Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan sebesar Rp2.685,24 miliar atau 61,95%, e. Belanja Aset Tetap Lainnya sebesar Rp40,83 miliar atau 40,54%.

Belanja Tidak Terduga digunakan untuk penanggulangan bencana alam dan bencana sosial yang tidak diperkirakan sebelumnya, termasuk pengembalian atas kelebihan penerimaan daerah tahun-tahun sebelumnya yang telah ditutup. Disamping itu digunakan dalam rangka pencegahan gangguan terhadap stabilitas penyelenggaraan pemerintahan demi terciptanya keamanan, ketentraman dan ketertiban masyarakat. Realisasi sampai dengan akhir Tahun Anggaran 2015 sebesar Rp877 juta atau 1,21%

Transfer/Bantuan Keuangan adalah pemberian bantuan dalam bentuk uang yang bersifat umum atau khusus kepada pemerintah daerah lainnya dalam rangka peningkatan kemampuan keuangan, termasuk kepada partai politik. Realisasinya sebesar Rp371,15 miliar atau 92,52%.

Belanja Daerah Menurut Urusan Pemerintahan terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundangundangan. Belanja Daerah dalam penyelenggaraan urusan wajib adalah urusan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar kepada masyarakat yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak, dan diwujudkan melalui prestasi kerja dalam pencapaian standar pelayanan minimal. Yang dimaksud dengan Urusan Pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi dan potensi daerah.


Dalam klasifikasi ini, realisasi Belanja sebesar Rp43.031,32 miliar terdiri dari: Urusan Wajib sebesar Rp 41.382,80 miliar dan Urusan Pilihan sebesar Rp1.648,52 miliar. Urusan wajib dirinci ke dalam 25 urusan seperti: Pendidikan, Kesehatan, Pekerjaan Umum, Perumahan, Penataan Ruang, Perencanaan Pembangunan,  Perhubungan, Lingkungan Hidup, serta Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum dan Kepegawaian, dan lain-lain. Sedangkan urusan pilihan dirinci ke dalam 7 urusan, seperti: Pertanian Kehutanan, Energi dan Sumberdaya Mineral, Pariwisata, Kelautan dan Perikanan, Perdagangan dan Industri.

Belanja Daerah Menurut Kelompok Belanja terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja Tidak Langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan, sedangkan belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Klasifikasi ini yang paling sering dipublikasikan, dibicarakan dan dikutip media tentang APBD, penganggaran maupun realisasinya.
Dalam klasifikasi ini, realisasi Belanja sebesar Rp43.031,32 miliar terdiri dari: Belanja tidak langsung sebesar Rp20.707,21 miliar dan Belanja langsung sebesar Rp22.324,11 miliar. Belanja tidak langsung terdiri dari: Belanja Pegawai, Belanja Bunga, Belanja Subsidi, Belanja Hibah, Belanja Bantuan Sosial, Belanja Bantuan Keuangan, Belanja Tidak Terduga. Belanja langsung terdiri dari: Belanja Pegawai, Belanja Barang dan Jasa, dan belanja modal.




Semua jenis klasifikasi bisa dianalisis, dan dapat menggambarkan berbagai hal tentang pembagunan DKI Jakarta pada tahun bersangkutan. Jika dibandingkan antar tahun, maka akan diperoleh kemajuan atau bisa pula keterlambatan dalam aspek-aspek tertentu. Secara umum akan tergambar seberapa optimal belanja telah dilakukan. Sebagai contoh dari data di atas,  Realisasi Belanja Modal tampak amat rendah yakni sebesar 55,60% dari target. Dalam rincian lebih lanjut, belanja tanah memang yang realisasinya paling rendah. Namun, realisasi belanja modal seperti peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya pun terbilang rendah. Jika soal tanah terkait dengan kesulitan pembebasannya, maka musti dilihat detilnya lagi, apakah hanya soal harga atau hal lain. Mengingat APBD hanya berhorison satu tahun, maka aspek perencanaannya bagaimana sehingga ada kesulitan demikian. Terlebih dalam hal jenis belanja modal lainnya, musti diperiksa hingga perencanaan dan penganggaran.

Dalam hal belanja menurut urusan pemerintahan, akan dapat dianalisis soal prioritas belanja menurut targetnya dan kemudian bagaimana realisasinya. Jika dibandingkan antar tahun selama kurun tertentu akan diperoleh gambaran kebijakan umum dan pencapaian Pemda. Dapat pula diperbincangkan atau dianalisis mengenai tentang perlu atau seberapa perlu suatu pos belanja. Pemeriksaan atas capaian kinerja akan lebih menguatkan argumen.




MEMAHAMI KEUANGAN PEMERINTAH DKI JAKARTA (bagian 4)

Laporan mengenai realisasi anggaran dalam LKPD adalah yang paling mendapat perhatian publik dan sering menjadi pemberitaan media. Yang dilaporkan adalah tentang Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan. Terlihat tentang persentase realisasi dibanding yang dianggarkan dalam APBD, dan tentang surplus atau defisitnya. Bagian ini hanya membahas mengenai Pendapatan Daerah Provinsi DKI Jakarta tahun 2015 berdasar LKPD yang disampaikan Gubernur.

Pendapatan Daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode yang bersangkutan. Realisasi Pendapatan Daerah tahun 2015 ditargetkan sebesar Rp56.309,24 miliar dan terealisasi sebesar Rp44.209,24 miliar atau 78,51% dari target. Bersumber dari: 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp33.686,18 miliar; 2. Pendapatan Transfer sebesar Rp8.642,34 miliar; dan 3. Lain-lain Pendapatan yang Sah sebesar Rp1.880,68 miliar.

PAD terdiri dari: Pajak Daerah,  Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan Lain-lain PAD yang sah.


Pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Realisasi penerimaan Pajak Daerah Tahun Anggaran 2015 adalah sebesar Rp29.077 miliar atau 89,24% dari target.

Sebagai daerah khusus, DKI Jakarta bisa menetapkan pajak yang menjadi wewenang Provinsi maupun kabupaten/kota, sehingga jenis pajaknya mencapai 13 jenis. Realisasi dan persentasinya dari target pada tahun 2015 adalah sebagai berikut: Pajak Kendaraan Bermotor Rp 6.090 miliar (100,66%), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Rp 4.685 miliar (101,86%), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor Rp 1.233 miliar (91,32%), Pajak Air Tanah Rp105 miliar (110,65%), Pajak Hotel Rp1.276 miliar (85,09%),  Pajak Restoran Rp2.290 miliar (109,06%), Pajak Hiburan Rp609 miliar (110,69%), Pajak Reklame Rp715 miliar (39,72%), Pajak Penerangan Jalan Rp730 miliar (102,80%), Pajak Parkir Rp451 miliar (106,10%), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Rp 3.609 miliar (61,37%), Pajak Rokok Rp475 miliar (113,11%), Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan Rp6.808 miliar (95,89%).


Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan baik yang bersifat pelayanan jasa umum, pelayanan jasa usaha dan perizinan tertentu. Realisasi sampai dengan akhir Tahun Anggaran 2015 mencapai Rp459,46 miliar atau 75,32% dari target.

Retribusi Daerah terdiri dari: 1. Retribusi Jasa Umum. Diantaranya adalah Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor,  Retribusi Persampahan/Kebersihan, Retribusi Pemakaian Tempat Pemakaman, dan Retribusi Pelayanan Kesehatan;2.  Retribusi Jasa Usaha. Diantaranya adalah Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah, Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga, Retribusi Jasa Terminal, Retribusi Jasa Perhubungan Udara, Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan., 3. Retribusi Perizinan Tertentu. Diantaranya adalah Retribusi Izin Mendirikan Bangunan, Retribusi Perpanjangan Izin Memperkerjakan Tenaga Kerja Asing, Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol.


Sedangkan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan sebesar Rp 527,28 miliar terdiri dari: 1. Bagian Laba Perusahaan Milik Daerah (100% kepemilikan) sebesar Rp82,31 miliar; Penerimaan dari Penyertaan Modal Daerah kepada Pihak Ketiga (PT Patungan) dilaporkan sebesar Rp444,07 miliar; 3. Penerimaan dari Badan Pengelola sebesar Rp905,03 miliar.


Kelompok penerimaan Lain-lain PAD mencapai Rp 3.622,51 miliar atau 87,63% dari target. Diantaranya yang bernilai besar diperoleh dari: Pendapatan dari Badan Layanan Usaha Daerah, Hasil Penerimaan Pihak Ketiga, Jasa Giro, Pendapatan Bunga, Pendapatan Sanksi Pajak, dan Pendapatan Denda Retribusi.


Sebagaimana daerah lainnya, sesuai peraturan perundangan, DKI Jakarta juga memperoleh Pendapatan Transfer. Pendapatan Transfer adalah penerimaan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam bentuk Dana Perimbangan, yaitu penerimaan dari bagian daerah yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dana Perimbangan terdiri dari, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Sebagai daerak khusus, DKI Jakarta memperoleh Dana Penyesuaian yang tergolong Tranfer Pemerintah Lainnya.

Pendapatan Transfer Tahun Anggaran 2015 mencapai Rp8.642, 39 miliar atau 54,85%. Bagi Hasil Pajak mencapai Rp5.751,74 miliar atau 44,60%. Porsi terbesarnya adalah dari bagi hasil Pajak Penghasilan (PPh) sebesar Rp5.616,13 miliar  atau 44,17% dari target. Sedangkan Transfer Pemerintah Pusat Lainnya berupa Dana Penyesuaian tercatat sebesar Rp2.755,11 miliar  99,84% dari target. Diantaranya bersumber dari Tambahan Penghasilan Guru PNSD Profesi Sertifikasi sebesar Rp1.746,66 miliar dan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebesar Rp1.008,45 miliar.


Analisis mengenai pendapatan daerah sangat luas cakupannya dan merambah aspek-aspek lain, baik internal birokrasi maupu kondisi perekonomian daerah dan nasional. Salah satu fokusnya adalah mencermati apakah pendapatan sudah diperoleh optimal dibandingkan dengan potensi yang ada sesuai peraturan. Pada sisi yang lain juga apakah peraturan terkait, seperti perda dan pergub, sudah memadai dan dilaksankan dengan baik. Tentu saja bagi ekonom, analisis dapat mencakup apakah iklim investasi terdorong menjadi lebih baik dan kepastian usaha makin terjamin.

Dari aspek lain juga terlihat bahwa pendapatan DKI Jakarta yang terbesar adalah dari Pajak Daerah yang merupakan 86,32% dari PAD. Bahkan pajak daerah mencapai 65,77% dari total Pendapatan Daerah. Artinya ketergantungan dengan transfer dari Pemerintah Pusat tidak terlampau besar, berbeda dengan kebanyakan daerah lain di Indonesia.

Salah satu yang menarik juga adalah dalam hal pajak yang terkait dengan kendaraan bermotor. Ada tiga jenis dari duabelas pajak, yakni: Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor,dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. Ketiganya pada realisasi tahun 2015 mencapai Rp 12.008 miliar atau 41,30% dari total penerimaan pajak daerah. Maka isyu tentang kemacetan, pembatasan kendaraan bermotor, pengalihan pada transportasi masal, dan lain semacamnya akan berhubungan erat dengan hal ini.

Beberapa hal lain yang penting dicermati adalah hasil dari Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, terutama bagian laba dari BUMD dan PT Patungan. Apakah sudah optimal, apakah sepadan dengan penyertaan modal, dan apakah perusahaan dimaksud beroperasi cukup efisien, dan seterusnya. Begitu pula dengan pendapatan lain-lain dari PAD yang sah, seperti pendapatan bunga dan jasa giro. Dari uraian di atas, pendapatan lain-lain ini mencapai Rp3.622,51 miliar atau 10,87% dari total PAD, suatu porsi yang amat besar.


Jumat, 14 Oktober 2016

MEMAHAMI KEUANGAN PEMERINTAH DKI JAKARTA (bagian 3)

Investasi Jangka Panjang adalah salah satu jenis aset yang perlu dicermati dalam Neraca Daerah, sebagai bagian dari LKPD. Selain dalam Neraca, informasi terkait bisa dilihat dalam realisasi APBD mengenai penyertaan modal pemerintah (PMP) dalam item pengeluaran pembiyaan pada tahun anggaran bersangkutan. Analisis mendalam pada masing-masing investasi, serta arus PMP serta penerimaan investasi tersebut selama beberapa tahun, akan memberi gambaran seberapa baik Pemda memutuskan investasinya. Giliran berikut dapat menganalisis tentang kinerja BUMD, tentu dengan tambahan data dan informasi  selain dari LKPD.

Investasi Jangka Panjang per 31 Desember 2015 tercatat sebesar Rp22.508 miliar. Terdiri dari: Investasi Non Permanen sebesar Rp 897,19 miliar dan Nilai Investasi Permanen sebesar Rp22.098 miliar. Investasi Non Permanen adalah berupa Dana Bergulir, yang saldo penyisihan Tak Tertagihnya sebesar Rp487,36 miliar, sehingga nilai bersih (netto) yang tercatat dalam Neraca menjadi sebesar Rp 409,86 miliar. Porsi yang jauh lebih besar adalah pada investasi permanen.

 


Perundang-undangan memang membolehkan pemerintah daerah membentuk perusahaan daerah yang asetnya dikelola secara terpisah. Pada pembentukan perusahaan daerah dinyatakan dalam akta pendirian perusahaan yang selanjutnya pemerintah menyertakan modalnya yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah.

Suatu perusahaan dapat disebut sebagai perusahaan daerah jika pemerintah daerah memiliki mayoritas atau lebih dari 51% saham perusahaan dimaksud. Nilai penyertaan modal pemerintah daerah dapat diketahui dari peraturan daerah, akta pendirian perusahaan dan perubahannya, serta bukti setoran modal yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah.

Penilaian investasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dilakukan dengan 2 metode yaitu: 1. Metode biaya, yaitu investasi dicatat sebesar biaya perolehan. Penghasilan atas investasi tersebut, berupa dividen, diakui sebesar bagian hasil yang diterima dan tidak mempengaruhi pencatatan nilai investasi pada badan usaha/badan hukum terkait di Neraca Daerah; 2. Metode ekuitas. Investasi awal dicatat sebesar biaya perolehan, dan ditambah atau dikurangi sebesar laba atau rugi yang diumumkan oleh perusahaan setelah tanggal perolehan. Bagian laba berupa dividen, kecuali dividen dalam bentuk saham, yang diterima akan mengurangi nilai investasi pada badan usaha/badan hukum terkait di Neraca Daerah.

Nilai investasi permanen dengan metode biaya per 31 Desember 2015 adalah sebesar Rp341,26 miliar. Dilaukukan pada tujuh perusahaan dengan persentasi kepemikian saham sebagai berikut: PT Kawasan Berikat Nusantara (26,85%), PT Cemani Toka (27,42%), PT Pakuan International (1,94%), PT Grahasahari Suryajaya (8,08%), PT Asuransi Bangun Askrida (5,99%), PT Jakarta International Expo (13,14%), PT Rumah Sakit Haji Jakarta (51,00%).

Nilai Investasi permanen dengan Metode Ekuitas per 31 Desember 2015 adalah sebesar Rp 21.757 miliar. Tersebar pada lima perusahaan daerah yang sahamnya dimiliki 100% sebesar Rp 2.142 miliar, dan duabelas PT Patungan sebesar Rp 19.956 miliar. Sebagian besar PT Patungan tergolong BUMD, karena kepemilikan saham Pemda yang lebih dari 51%.  


Investasi yang bernilai diatas satu triliun rupiah beserta persentasi kepemilikan saham Pemda adalah sebagai berikut: PD Pembangunan Sarana Jaya (100%), PT Pembangunan Jaya (38,80%), PT Pembangunan Jaya Ancol, Tbk. (72,00%), PT Jakarta Propertindo (99,98%), PT Bank DKI Jakarta (99,97%), PT Mass Rapid Transit Jakarta (99,97%), dan PT Transportasi Jakarta (99,36%).

Sebagai tambahan informasi, LKPD melaporkan bahwa pada tahun anggaran 2015, Penyertaan Modal Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah sebesar Rp5.371 miliar. Diberikan kepada tujuh Perusahaan: PD Dharma Jaya Rp46 miliar, PD Pal Jaya Rp70 miliar, 3) PT Jakarta Propertindo Rp1.500 miliar; PT Bank DKI sebesar Rp1.000 miliar, PT Mass Rapit Transit Jakarta Rp2.015 miliar, PT Transportasi Jakarta Rp700 miliar, PT Penjamin kredit Daerah Rp40 miliar.

Dilaporkan pula sebagai bagian dari Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, Pemda DKI memperoleh Bagian Laba Perusahaan Milik Daerah (100% kepemilikan) sebesar Rp82,31 miliar. Berasal dari empat perusahaan, sedangkan PDAM Jaya tidak menghasilkan laba. Sedangkan realisasi penerimaan dari Penyertaan Modal Daerah kepada Pihak Ketiga (PT Patungan) dilaporkan sebesar Rp444,07 miliar. Berasal dari 10 Perusahaan, sedangkan 2 perusahaan tidak memberi laba.

Tentu saja investasi jangka panjang Pemda tidak bisa hanya dilihat dari penerimaan laba, karena tujuan utamanya adalah dalam rangka peningkatan pelayanan publik. Dengan mengetahui lebih jelas berapa dana yang telah dikucurkan, seberapa besar modal yang tertanam dan kembalian bagian laba, publik dapat menilai secara wajar dan fair. Informasi lebih jauh yang musti digali adalah tentang kinerja dari layanan public dimaksud sesuai masing-masingnya. Apakah sudah sesuai target yang direncanakan, dan apakah memang diperlukan demikian, dan seterusnya. Bagaimanapun Pemda DKI memiliki investasi jangka panjang yang terbilang amat besar ( lebih dari Rp 22 triliun) dan tiap tahun mengucurkan dana penyertaan modal triliunan rupiah.
  




MEMAHAMI KEUANGAN PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA (bagian 2)

Salah satu yang perlu dicermati dalam Neraca Daerah, sebagai salah satu bagian dari Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), adalah tentang aset tetap. Selain dalam neraca, tentang hal ini bisa dilihat pula dalam Laporan Perubahan Ekuitas. Perhatian dalam hal ini untuk menilai seberapa baik Pemda mengelola dan atau mengendalikan pengelolaan aset tetap tersebut.

Aset Tetap mencakup seluruh aset yang dimanfaatkan oleh pemerintah daerah untuk keperluan operasional maupun untuk kepentingan publik yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. Nilai Aset Tetap yang dilaporkan dalam LKPD DKI Jakarta per 31 Desember 2015 adalah sebesar Rp 363.584.467.256.156,00. Setelah memperhitungkan akumulasi penyusutan aset tetap nilainya menjadi Rp 334.403.041.973.049,00. Lebih rendah dibandingkan nilai per 31 Desember 2014 sebesar Rp 341.982.544.524.372,00.

Aset Tetap diklasifikasikan ke dalam enam golongan. Terdiiri dari: Tanah Rp 284.069 miliar, Peralatan dan Mesin Rp 18.987 miliar, Gedung dan Bangunan Rp 24.170 miliar, Jalan, Irigasi, dan Jaringan Rp 32.309 miliar, Aset Tetap Lainnya Rp 1.423 miliar, dan Konstruksi Dalam Pengerjaan Rp 2.630 miliar.


Selama tahun anggaran dilaporkan adanya penambahan aset tetap sebesar Rp49.655.729.118.282,00. Sedangkan pengurangan Aset Tetap sebesar Rp28.053.806.386.498,00. Namun harus difahami bahwa separuh dari penambahan yang dilaporkan adalah perubahan catatan karena transfer antar SKPD sebesar Rp24.007.870.026.414,00. Dan pos itu diimbangi dengan pencatatan dalam pengurangan. Hal lain juga terkait dengan reklasifikasi, koreksi, dan semacamnya dalam penambahan dan pengurangan.


Yang lebih tampak nyata dalam penambahan aset tetap adalah dari Belanja Modal sebesar Rp10.244.016.709.208,00. Yang terdiri dari: 1. Tanah Rp 3.451.775.763.772,00, 2. Peralatan dan Mesin Rp 2.002.190.574.946,00, 3. Gedung dan Bangunan Rp 2.063.978.323.661,00, 4. Jalan, Irigasi dan Jaringan Rp 2.685.243.694.385,00, 5. Aset Tetap Lainnya Rp 40.828.352.444,00.

Penambahan aset tetap tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Tanah, diantaranya terdapat di Dinas Perumahan dan Gedung Pemda sebesar Rp1.116.883.455.000,00, Dinas Pertamanan dan Pemakaman sebesar Rp1.093.936.509.501,00 dan Dinas Tata Air sebesar Rp827.278.912.044,00; 2. Peralatan dan Mesin, di antaranya terdapat di Dinas Kebersihan sebesar Rp623.821.118.092,00, RSUD Pasar Minggu sebesar Rp164.467.847.882,00 dan Pusat Penyimpanan Barang Daerah sebesar Rp116.991.946.080,00; 3. Gedung dan Bangunan, di antaranya terdapat di Dinas Perumahan dan Gedung Pemda sebesar Rp617.793.700.138,00, Dinas Pendidikan sebesar Rp418.393.231.568,00. Dan Dinas Kesehatan sebesar Rp207.112.200.000,00; 4. Jalan, Irigasi dan Jaringan, di antaranya terdapat di Dinas Bina Marga sebesar Rp1.579.706.212.783,00, Dinas Tata Air sebesar Rp217.003.303.173,00 dan Sudin Bina Marga Jakarta Utara sebesar Rp148.237.655.281,00; 5. Aset Tetap Lainnya, di antaranya terdapat di Dinas Pertamanan dan pemakaman sebesar Rp7.685.804.462,00, Sudin Pertamanan dan Pemakaman Jakarta Pusat sebesar Rp7.549.701.426 dan Sudin Pertamanan dan Pemakaman Jakarta Timur sebesar Rp4.545.195.502,00.

Sedangkan catatan mengenai penambahan aset antara lain mencaku hal-hal berikut: Penambahan Aset Tetap dari Kapitalisasi Non Belanja Modal sebesar Rp800.565.243.723,00; Penambahan Aset Tetap dari Donasi/Hibah Dari Luar Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp9.924.892.409,00; Penambahan Kurang Catat Transfer Antar SKPD sebelum tahun 2015 sebesar Rp15.022.324.923,00; Penambahan Aset Tetap karena Transfer antar SKPD sebesar Rp24.007.870.026.414,00; Penambahan Aset Tetap dari Koreksi Kurang Catat Nilai sebesar Rp39.452.322.112,00; Penambahan Aset Tetap dari Koreksi Kurang Catat Nilai sebesar Rp39.452.322.112,00; Penambahan Aset Tetap dari Koreksi Kurang Catat Barang sebesar Rp844.175.028.311,00; Penambahan Aset Tetap dari Reklasifikasi Konstruksi Dalam Pengerjaan yang sudah selesai sebesar; Rp1.700.958.572.735,00; Penambahan Aset Tetap Pengadaan dari Dana Operasional BLUD sebesar Rp35.775.427.390,00; Penambahan Aset Tetap dari hutang pada pihak ketiga sebesarRp20.739.659.941,00; Penambahan Aset Tetap karena reklasifikasi antar aset tetap sebesar Rp62.412.205.108,00; Penambahan Aset Tetap dari Reklasifikasi Aset Rusak Berat menjadi Aset Tetap sebesar Rp948.264.892,00; Penambahan Aset Tetap dari Reklasifikasi Aset Belum Validasi menjadi Aset Tetap sebesar Rp10.146.706.196.229,00; Penambahan dari Reklasifikasi Belanja Modal 2015 ke Konstruksi Dalam Pengerjaan sebesar Rp1.495.299.347.210,00; Penambahan dari Reklasifikasi Belanja Modal 2015 ke Konstruksi Dalam Pengerjaan sebesar Rp1.495.299.347.210,00; Penambahan Aset Tetap dari Reklasifikasi Aset Fasos Fasum menjadi Aset Tetap sebesar Rp12.984.584.057,00; Penambahan Aset Tetap karena Koreksi Penambahan Lain-Lain sebesar Rp218.817.626.630,00.

LKPD melaporkan pengurangan Aset Tetap sebesar Rp28.053.806.386.498,00. Yang terdiri dari 1. Tanah Rp 20.664.120.983.135,00; 2. Peralatan dan Mesin Rp 1.370.149.816.528,00; 3. Gedung dan Bangunan Rp 3.032.747.846.280,00; 4. Jalan. Irigasi dan Jaringan Rp 1.131.589.657.725,00; 5. Aset Tetap Lainnya Rp 94.165.640.981,00; dan 6. Konstruksi Dalam pengerjaan Rp 1.761.032.441.849,00

Adapun alasan pengurangan tersebut antara lain terdiri dari: a. Pengurangan Aset Tetap karena penghapusan sebesar Rp93.965.742.079,00; b. Pengurangan Aset Tetap berasal dari Belanja Modal Tahun 2015 yang diserahkan Ke Pihak Lain/ Masyarakat sebesar Rp24.014.798.242,00; c. Pengurangan Aset Tetap yang diserahkan Ke Pihak Lain di Luar SKPD (Selain Dari Belanja Modal Tahun Anggaran 2015) sebesar Rp11.459.976.952,00; d. Pengurangan Aset Tetap karena Kurang Catat Transfer sebesar Rp9.943.170.306,00; e. Pengurangan Aset Tetap yang berasal dari Transfer antar SKPD sebesar Rp24.023.434.927.542,00; f. Reklasifikasi yang berasal dari Belanja Modal Tahun 2015 yang belum siap digunakan di ke Konstruksi Dalam Pengerjaan sebesar Rp1.495.299.347.210,00; f. Reklasifikasi yang berasal dari Belanja Modal Tahun 2015 yang belum siap digunakan di ke Konstruksi Dalam Pengerjaan sebesar Rp1.495.299.347.210,00; h. Reklasifikasi dari Belanja Modal Tahun 2015 yang reklas ke Ekstrakomtabel karena tidak memenuhi nilai batas kapitalisasi sebesar Rp44.273.632.684,00; i. Reklasifikasi Aset Tetap yang di peroleh sebelum tahun 2015 Ke Persediaan karena tidak memenuhi kriteria Aset Tetap sebesar Rp14.881.319.513,00; j. Reklasifikasi Aset Tetap Ke Ekstrakomtabel yang diperoleh sebelum tahun 2015 karena tidak memenuhi batas kapitalisasi aset sebesar Rp2.815.600.505,00; k. Reklasifikasi Konstruksi Dalam Pengerjaan yang sudah selesai ke lima golongan aset tetap sebesar Rp1.700.958.572.735,00; l. Reklasifikasi Aset Tetap Menjadi Aset Rusak Berat sebesar Rp119.154.983.628,00; m. Reklasifikasi Aset Tetap Menjadi Aset Tak Berwujud sebesar Rp22.895.736.469,00; n. Reklasifikasi Antar Aset Tetap sebesar Rp62.412.205.108,00; o. Koreksi Atas Belanja Modal TA 2014 (Temuan, Denda, dll) sebesar Rp7.430.395.428,00; p. Koreksi Lebih Catat Nilai sebesar Rp26.533.062.022,00 merupakan hasil koreksi kesalahan pencatatan pada SKPD/UKPD; q. Koreksi Lebih Catat Barang sebesar Rp270.133.023.320,00; r. Pengurangan Aset Tetap karena koreksi pengurangan lain-lain sebesar Rp119.176.328.521,00.

LKPD juga melaporkan tentang dilakukan nya penyusutan atas asset tetap yang akumulasi nilainya mencapai Rp29.181.425.283.107,00. Penyusutan dilakukan pada empat golongan aset tetap, yaitu: akumulasi Penyusutan Peralatan dan Mesin Rp8.720.575.513.975,00, akumulasi Penyusutan Gedung dan Bangunan Rp 9.252.509.523.776,00, Akumulasi Penyusutan Jalan, Irigasi, dan Jaringan Rp11.208.289.041.206,00, Akumulasi Penyusutan Aset Tetap Lainnya Rp 51.204.150,00.
Sebagai informasi tambahan, nilai aset tetap pada dasarnya dicatat berdasar harga perolehanannya. Sehingga nilai tanah misalnya bukanlah nilai NJOP atau nilai pasar. Oleh karenanya, sangat mungkin nilai pasar aset tetap jauh lebih besar daripada yang tercatat dalam Neraca Daerah atau yang dilaporkan LKPD, yang setelah dikurangi akumulasi penyusutan per 31 Desember 2015, sebesar Rp334,40 triliun.


Bagaimanapun, isyu pengelolaan aset adalah penting dan strategis bagi seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat. Publik perlu lebih mengetahui secara umum tentang apa sajanya, bagaimana pengelolaannya, serta gambaran manfaat bagi publik. Dalam hal pengelolaan, publik berhak tahu seberapa memadai pencatatannya, apakah sudah berdasar siklus akuntansi yang benar, sistem informasi yang baik, serta ada sistem pengendalian internal yang kuat. Diharapkan, masyarakat akan makin teredukasi, peduli dan akan aktif terlibat dalam pengawasan pengelolaan aset negara yang memang menjadi hak mereka untuk ikut mendapat manfaatnya.



Kamis, 13 Oktober 2016

DISKUSI LAH TENTANG LKPD PEMDA DKI JAKARTA!!!

Pelaksanaan Pengelolaan Keuangan Daerah yang akuntabel dan transparan sudah diamanatkan dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Setiap Pemda, termasuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, wajib menysusun Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) pada tiap tahun anggaran.  

Pedoman dan aturan lainnya mengisyaratkan bahwa dalam pengelolaan keuangan daerah agar berazaskan prestasi kerja. Hal tersebut merupakan bentuk pertanggungjawaban dari suatu kegiatan untuk sebuah produk/hasil yang mengutamakan output. Sedangkan pelaporan dan pertanggungjawaban pengguna anggaran, antara lain mengacu Standar Akuntansi Pemerintah dan Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual.

Sebagai contoh, sebagaimana dinyatakan oleh dokumen Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Tahun Anggaran 2015, bahwa dokumen disusun dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan informasi bagi stakeholders (masyarakat, DPRD, lembaga pengawas, lembaga pemeriksa dan pemerintah pusat). Informasi yang dimaksud adalah informasi mengenai posisi keuangan dan seluruh transaksi yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selama Tahun Anggaran 2015 serta menyajikan informasi yang bermanfaat bagi pengguna dalam menilai akuntabilitas dan membuat keputusan. Laporan keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyediakan informasi mengenai pendapatan, belanja, surplus/defisit, pembiayaan, kenaikan/penurunan saldo anggaran lebih, aset, kewajiban, ekuitas dana, kenaikan/penurunan ekuitas dan arus kas.




Informasi ini disajikan agar pengguna memiliki pengetahuan mengenai: 1. Kecukupan penerimaan periode berjalan untuk membiayai seluruh pengeluaran; 2. Kesesuaian cara memperoleh sumber daya ekonomi dan alokasinya dengan anggaran yang ditetapkan dan peraturan perundang-undangan; 3. Jumlah sumber daya ekonomi yang digunakan dalam kegiatan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta serta hasil-hasil yang telah dicapai; 4. Upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mendanai seluruh kegiatannya dan mencukupi kebutuhan kas; 5. Posisi keuangan dan kondisi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berkaitan dengan sumber-sumber penerimaan, baik jangka pendek maupun jangka panjang, termasuk yang berasal dari pungutan pajak dan pinjaman; dan 6. Perubahan posisi keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengenai kenaikan atau penurunan sebagai akibat kegiatan yang dilakukan sampai dengan 31 Desember 2015.

Sesuai aturan terkini, kepala daerah harus menyampaikan LKPD, yang terdiri dari: 1. Laporan Realisasi Anggaran. Laporan Realisasi Anggaran menyajikan informasi mengenai realisasi pendapatan, belanja, surplus/defisit dan pembiayaan dari suatu entitas pelaporan yang masing-masing dibandingkan dengan anggarannya dalam satu periode tertentu; 2. Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih. Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih menyajikan informasi kenaikan atau penurunan Saldo Anggaran Lebih tahun pelaporandibandingkan dengan tahun sebelumnya; 3. Neraca. Neraca menggambarkan posisi keuangan suatu entitas pelaporan mengenai aset, kewajiban dan ekuitas dana pada tanggal tertentu; 4. Laporan Operasional. Laporan Operasional menyajikan ikhtisar sumber daya ekonomi yang menambah ekuitas dan penggunaannya yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah untuk kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dalam satu periode pelaporan; 5. Laporan Arus Kas. Laporan Arus Kas menyajikan informasi penerimaan dan pengeluaran kas selama periode tertentu yang diklasifikasikan berdasarkan aktivitas operasi, investasi aset non keuangan, pembiayaan dan non keuangan; 6. Laporan Perubahan Ekuitas. Laporan Perubahan Ekuitas menyajikan informasi kenaikan atau penurunan ekuitas tahun pelaporan dibandingkan dengan tahun sebelumnya; 7. Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK). CaLK sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari laporan keuangan, menyajikan informasi pos-pos laporan keuangan dalam rangka pengungkapan yang memadai.


Perlu diketahui bahwa dalam CaLK juga diuraikan realisasi pencapaian target kinerja keuangan yang telah ditetapkan dalam kurun waktu tahun anggaran berjalan dan kebijakan akuntansi yang meliputi penjelasan yang berkaitan dengan Realisasi Pencapaian Target Pendapatan LRA dan Pendapatan LO, Penjelasan Pos Belanja, Beban, Pembiayaan, Perubahan Saldo Anggaran Lebih, Aset, Kewajiban, Ekuitas, Arus Kas, dan Posisi Dana Cadangan Daerah.

Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) menyajikan informasi tentang penjelasan pos-pos laporan keuangan dalam rangka pengungkapan yang memadai. Antara lain terdiri dari: 1. Kondisi ekonomi makro, kebijakan keuangan danindikator pencapaian target kinerja APBD; 2. Ikhtisar realisasi pencapaian target kinerja keuangan, hambatan dan kendala yang dihadapi dalam pencapaian target yang telah ditetapkan; 3. Membahas mengenai entitas pelaporan keuangan daerah, basis akuntansi yang mendasari penyusunan laporan keuangan, basis pengukuran yang mendasari penyusunan laporan keuangan dan penerapan kebijakan akuntansi berkaitan dengan ketentuan yang ada dalam Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP); 4. Rincian dan penjelasan masing-masing pos-pos pelaporan keuangan yang terdiri dari komponen-komponen laporan realisasi anggaran, komponen-komponen laporan perubahan saldo anggaran lebih, komponen-komponen neraca, komponen-komponen laporan operasional, komponenkomponen laporan arus kas dan komponen-komponen laporan perubahan ekuitas; 5. Penjelasan atas informasi-informasi non keuangan.

Nah, dengan kata lain LKPD DKI Jakarta 2015 adalah pernyataan dan penilaian sendiri oleh pemda (kepala daerah) tentang kinerja utamanya, terutama yang bersifat keuangan. BPK kemudian memang memeriksa dan memberi penilaian serta catatan atas itu. Namun, publik bisa membaca dan mencermati banyak aspek dan hal penting dari LKPD. Pakar atau pihak yang memiliki kompetensi terkait bisa memberi pendapat, seberapa tingkat keberhasilan pembangunan, bagaimana tingkat transparansi keuangan, bagaimana efisiensi dan efektifitas pengelolaan aset dan dana, dan seterusnya.


Gubernur DKI mengelola asset senilai Rp 421 triliun  dan anggaran lebih dari Rp 65 triliun. Nilai asset dimaksud pun untuk aset tetap (seperti tanah) adalah harga perolehan, sehingga jika dinilai dari harga pasar maka asset mungkin jauh lebih besar. Nilai anggaran sendiri bergantung sisi melihatnya, dari belanja atau pendapatan, atau ditambah dengan sisi pembiayaan. Bagaimanapun, Gubernur Pertahana bisa dinilai secara adil dan berdasar informasi akurat bahkan dari dirinya sendiri. Calon Gubernur pesaingnya dapat memberi catatan atau ide perbaikan yang ditawarkan ke publik.

Masyarakat diharapkan menjadi lebih cerdas dengan debat pilkada yang berkonten LKPD dan semacamnya. Masyarakat akan terpacu untuk makin terlibat dalam pengawasan jalannya pemerintahan. Dan kita bisa berharap perbaikan yang terus menerus di masa depan.