Kamis, 27 Oktober 2016

APBN 2017 LEBIH REALISTIS NAMUN MASIH PENUH RISIKO

APBN 2017 disahkan oleh sidang DPR kemaren sore, yang ditandai beberapa perubahan dari RAPBN yang diajukan Pemerintah. Asumsi pertumbuhan ekonomi turun dari 5,3% menjadi 5,1%. Sedikit diluar kebiasaan DPR yang cenderung menaikkan atau setidaknya mempertahankan usulan Pemerintah. Perlu diingat bahwa asumsi APBNP 2016 adalah 5,2%, sedangkan realisasi hingga satu semester adalah 5,0%. Realisasi 2016 kemungkinan memang antara 5,0-5,1%.

Menarik pula jika membandingkan asumsi ini dengan prakiraan (forecast) yang telah dikeluarkan oleh berbagai lembaga internasional yang kisarannya antara 5,2 – 5,3 %, bahkan Fitch pada bulan Mei lalu sempat optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2017 bisa mencapai 5,5%. Catatannya, berbagai ramalan tersebut memang disampaikan beberapa bulan lalu, dan besar kemungkinan akan ada update di kisaran yang sama dengan asumsi APBN 2017.

Bisa ditafsirkan bahwa DPR memang tidak seoptimis Pemerintah tentang kondisi perekonomian tahun depan, yang pertumbuhannya akan setara saja dengan tahun ini. Kali ini, Pemerintah "dipaksa" DPR lebih realistis dalam hal asumsi pertumbuhan ekonomi.Tahun 2017 akhirnya disepakati masih merupakan tahun yang penuh tantangan (risiko) bagi perekonomian, dan juga bagi pengelolaan fiskal.
Pemerintah mengakui bahwa pemotongan anggaran di tahun 2016 menyebabkan pertumbuhan konsumsi pemerintah mengalami penyesuaian termasuk untuk 2017, dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Namun, konsumsi RT diperkirakan masih tumbuh cukup tinggi sejalan dengan inflasi yang relatif terkendali terutama harga barang kebutuhan pokok. Sedangkan PMTB diperkirakan meningkat namun belum cukup kuat terutama masih relatif lemahnya permintaan domestik. Ada sedikit perbaikan pada kinerja ekspor yang diyakini masih tumbuh positif, meski pada kondisi masih lemahnya permintaan negara Mitra Dagang Utama.

Penurunan asumsi pertumbuhan ekonomi ternyata tidak membuat target Pendapatan dan proyeksi belanja turun dari usulan RAPBN. Ada beberapa perubahan perhitungan teknis yang disepakati oleh DPR dan Pemerintah yang membuat sedikit penurunan asumsi itu terkompensasi oleh perhitungan lainnya.  Anggaran belanja negara 2017 mencapai Rp 2.080,5 triliun, atau naik Rp 10 triliun dari usulan semula. Mendekati lagi APBNP 2016 yang sebesar Rp 2.082,9 triliun. Pendapatan negara ditetapkan Rp 1.750,3 triliun atau lebih besar Rp12,7 triliun dari rencana semula. Dengan demikian, defisit anggaran menjadi Rp330,2 triliun atau setara dengan 2,41 persen dari PDB.



Meskipun sedikit turun dari target APBNP 2016, target pendapatan 2017 masih terbilang tinggi dan bernuansa optimis. Kemungkinan salah satu alasannya adalah keberhasilan kebijakan amnesti pajak. Dijelaskan bahwa kebijakan utama optimalisasi penerimaan negara antara lain adalah: Melanjutkan dukungan insentif fiskal, mendorong iklim investasi & dunia usaha; Fokus penerimaan terutama pada sektor perdagangan dan WP pribadi. Ekstensifikasi melalui Geo Tagging; Memperbaiki basis pajak dan kepatuhan wajib pajak melaui penguatan database pajak, optimalisasi penggunaan IT dan konfirmasi status wajib pajak; Mengoptimalkan perjanjian pajak internasional; Cukai dan pajak lainnya untuk mengurangi konsumsi pada produk tertentu (dan atau untuk mengurangi) dengan eksternalitas negatif; serta Optimalisasi PNBP dengan tetap memperhatikan pelestarian sumber daya alam dan peningkatan kualitas pelayanan publik.

Sedangkan masih besarnya belanja, meski tetap dilakukan langkah-langkah efisisensi adalah untuk mendukung belanja yang lebih produktif. Dikatakan bahwa APBN 2017 tetap merupakan kebijakan fiskal yang ekspansif  dengan komitmen pada reformasi penganggaran serta prinsip kehati-hatian. Kebijakan utama belanja antara lain adalah: Fokus pada infrastruktur dan belanja sosial; Efisiensi pada belanja barang; Mempertahankan anggaran kesehatan (5%), pendidikan (20%); Fleksibilitas dalam merespon kondisi perekonomian Mitigasi bencana alam & risiko fiskal; serta  Percepatan penyerapan anggaran.

Sebagaimana yang sudah aku tulis terdahulu, Pemerintah kali ini menyadari dan mulai fokus pada soal kesinambungan fiskal. Antara lain dikatakan: Menjaga defisit dibawah 3% terhadap PDB; Memperbaiki mekanisme pembiayaan untuk proyek infrastruktur dan pembiayaan usaha kecil menengah; Investasi pemerintah yang lebih selektif; Menyempurnakan mekanisme penjaminan untuk percepatan pembangunan infrastruktur.



Bagaimanapun, APBN 2017 memang lebih realistis dibanding APBNP 2015, APBN 2016, dan bahkan APBNP 2016. Akan tetapi risiko fiskal sudah terlanjur membesar. Baik karena “mengendalikan” belanja yang sudah terlanjur naik pesat, maupun karena beban utang yang makin besar. Bisa dikatakan bahwa langkah berani dan radikal mengurangi subsidi energi tidak mencukupi kenaikan belanja dan perubahan alokasinya. Target penerimaan perpajakan yang terlampau optimis masih belum bisa dipenuhi, meski membaik dengan kebijakan amnesti pajak. Kelanjutan mengoptimalkan kebijakan amnesti pajak sebagai langkah awal reformasi perpajakan nampaknya masih membutuhkan waktu beberapa tahun ke depan. Kenaikan penerimaan perpajakan tahun 2017 kemungkinan masih wajar (alamiah) karena terkompensasi kondisi perekonomian yang masih lesu, serta butuh waktunya reformasi dimaksud.

Belanja yang mulai dapat dikendalikan adalah belanja Kementerian/Lembaga. Transfer Daerah dan Dana Desa juga sedikit bisa diperbaiki, meski terkendala aturan yang mengikat. Sedangkan belanja non K/L masih belum dapat ditekan signifikan, khususnya belanja bunga. Sedangkan dalam hal belanja subsidi, perhitungan dampak ekonomi dan politiknya masih rumit. Jika dikurangi lagi masih dapat diperdebatkan apakah tidak akan memperburuk kondisi ekonomi, khususnya bagi rakyat kebanyakan. Patut diperhitungkan bahwa dampak pengurangan subsidi energi masih tetap terasa, sehingga cukup berisiko jika dikurangi lagi berbagai subsidi lainnya, ditengah perekonomian yang masih belum pulih.


Sekali lagi, kesinambungan fiskal masih penuh risiko. Butuh kerja keras Pemerintah yang musti didukung oleh otoritas ekonomi yang lain (BI dan OJK). Optimisme dunia usaha dan konsumen (rakyat) perlu tetap dipelihara, termasuk dengan menjaga stabilitas sosial dan politik.