“Hibah dan bansos merupakan
instrumen yang penuh risiko. Bentuk risiko terkait hibah dan bansos dapat
berupa penyalurannya tidak tepat sasaran, atau bahkan fiktif. Apalagi risiko
hibah dan bansos disalahgunakan untuk pemenangan kepala daerah apabila
penyalurannya bersamaan dengan pelaksanaan pilkada,” kata Binsar H. Simanjuntak,
Deputi Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Bidang Polhukam.
Binsar menyampaikan itu dalam Focus Group Discussion (FGD) Penguatan Tata
Kelola Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD dalam Rangka
Efektivitas Penggunaan Keuangan Negara pada 19 Mei 2016 lalu, di kantor BPKP
pusat. Dalam kesempatan yang sama, Dadang Kurnia, Deputi Kepala BPKP Bidang
Penyelenggaraan Keuangan Daerah juga mengingatkan, “hibah dan bansos memang
berisiko tinggi, dan perlu ditangani oleh sistem yang baik, orang yang kompeten
mengimplementasikan sistem tersebut karena keduanya tidak bisa dipisahkan.”
Belanja Hibah adalah Pemberian
bantuan dalam bentuk uang/barang/jasa kepada pemerintah atau pemerintah daerah
lainnya, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan yang secara spesifik telah
ditetapkan peruntukannya. Belanja Bantuan Sosial adalah pemberian bantuan dalam
bentuk uang/barang/jasa kepada kelompok/anggota masyarakat yang bertujuan untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bantuan ini tidak dapat diberikan secara
terus menerus/tidak berulang, selektif dan memiliki kejelasan peruntukan
penggunaannya.
Berdasar LKPD DKI Jakarta tahun
2015, serapan belanja menurut jenisnya yang tertinggi adalah pada belanja Hibah
sebesar 96,20%, dan belanja Bantuan sosial sebesar 99,96%. Total keduanya
secara nominal dianggarkan sebesar Rp 3.873,26 miliar, dan direalisasikan
sebesar Rp 3.804,55 miliar (98,22%). Realisasi secara nominal maupun persentase
dari target yang lebih besar dibandingkan masing-masing dari belanja tanah atau
belanja peralatan dan mesin atau belanja jalan, irigasi dan jaringan.
Kedua jenis belanja ini tidak
memerlukan lelang, melainkan merujuk kepada penetapan APBD, serta ada yang
kemudian dirinci oleh Keputusan Gubernur. Perlu diketehui bahwa tingkat serapan
seluruh Belanja dan Transfer tahun 2015 hanya 72,10%, dan khusus Belanja Modal
hanya hanya 55,60%.
APBD DKI Jakarta tahun 2016 telah
menetapkan Belanja Hibah sebesar Rp 2.550,50 miliar dan Belanja Bantuan Sosial
sebesar Rp 2.524,19 miliar, naik pesat dibanding tahun 2015. Sementara itu,
Belanja Modal justeru dianggarkan turun dari Rp 18.425,71 miliar menjadi Rp
16.182,96 miliar. Kedua jenis belanja ini bertambah lebih banyak dibanding
kenaikan total belanja yang hanya naik sangat sedikit dari Rp 59.284,37 miliar
menjadi Rp 59.945,52 miliar. Khusus Belanja Hibah naik sebesar 42,87 persen,
terbilang fantastis.
Jika dilihat catatan tahun-tahun
sebelumnya, memang belanja Hibah pernah dianggarkan lebih besar, yakni sebesar
Rp 2.714,82 miliar pada tahun 2014. Namun secara prosentase dari total belanja
sama-sama sekitar 4,26%. Dan kemudian realisasi belanja Hibah pada tahun 2014
ternyata hanya 53,85% dari yang ditetapkan. Sedangkan pada tahun 2016, dari proyeksi
berdasar informasi realisasi sementara tampaknya akan melebihi 95% dari target.
Yang menarik adalah pemberitaan dalam
http://ahok.org/berita/news/ahok-tanyakan-dana-hibah-wagub-jawab-ngga-tahu/
(diakses pada 19 Oktober 2016 pukul 23.30) diberitakan bahwa Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto kesulitan
menjawab pertanyaan calon wakil gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama
atau Ahok, tentang dana hibah dalam APBD DKI Jakarta 2012. Dikatakan bahwa Ahok
menyatakan bahwa tidak masuk akal bila ada peningkatan signifikan dalam pos
dana hibah dan bantuan sosial pada APBD tahun ini. Apalagi, kenaikan ini
berbarengan dengan agenda Pilkada DKI Jakarta. “Nah kalau tahun ini, Rp 1,4
triliun tidak ada kegiatan. Ini lebih cenderung untuk kegiatan Pilkada atau
apa? Itu yang saya tanyakan pada Pak Prijanto dan beliau mengaku tidak tahu
sama sekali. Kalau tahun lalu saja sudah susah jawab, apalagi tahun ini,” ujar
Ahok.
Pertanyaan yang sama bisa
ditujukan kepada Ahok saat ini. Apalagi pembahasan RAPBD 2017 sejauh ini
justeru menurunkan kembali dana Hibah. Mengapa dana Hibah (bisa ditambahkan
dengan bansos) meningkat amat pesat tahun 2016 yang bersamaan dengan Pilkada?