Senin, 19 September 2016

MEMAHAMI ANGGARAN PENDIDIKAN RAPBN 2017

Besarnya anggaran pendidikan yang minimal 20 persen dari total Belanja negara menurut amanat Konstitusi, kadang kurang difahami oleh publik. Masih banyak yang mengira bahwa belanja itu dikelola atau melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, atau sekarang ditambah Kementerian riset, teknologi pendidikan tinggi.

Anggaran Pendidikan sebagai tema sesuai amanat konstitusi tersebut terdistribusi sesuai pos-pos APBN. Sebagai contoh, dianggarkan sebesar  Rp414,1 triliun (20,0 persen terhadap Belanja APBN) dalam RAPBN 2017, terdiri dari: 1. Anggaran Pendidikan melalui Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp142,1 triliun; Anggaran Pendidikan melalui Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebesar Rp269,5 triliun; dan ada Anggaran Pendidikan melalui Pengeluaran Pembiayaan sebesar Rp2,5 triliun.



Anggaran Pendidikan melalui Belanja Pemerintah Pusat Rp142,1 triliun itu sendiri terdistribusi ke dalam 12 Kementerian/Lembaga (K/L) ditambah Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN). Ada tiga Kementerian yang mendapat alokasi terbesar, yaitu: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebesar Rp39,8 tiriliun, Kementerian riset, teknologi pendidikan tinggi sebesar Rp38,4 tiriliun, dan Kementerian Agama sebesar Rp50,4 tiriliun. Perhatikan bahwa Kemenag justeru yang paling besar.
Anggaran Pendidikan melalui pos Transfer ke Daerah dan Dana Desa lebih besar dari pos belanja Pemerintah Pusat, yakni mencapai Rp269,5 triliun. Dialokasikan dalam pos Dana Transfer Khusus (DAK Fisik dan DAK Non Fisik). Porsi terbesar pada DAK Non Fisik seperti Tunjangan Profesi Guru (TPG) PNSD dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Sedangkan Anggaran Pendidikan melalui Pengeluaran Pembiayaan sebesat Rp2,5 tiriliun adalah anggaran pendidikan yang dialokasikan untuk pembentukan dana abadi pendidikan (endowment fund), yang dilakukan oleh BLU Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Nota Keuangan dan RAPBN 2017 menjelaskan bahwa alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total Belanja tersebut akan diarahkan untuk: (1) penyediaan guru dan dosen yang berkualitas dan penempatan yang merata; (2) peningkatan dan penjaminan mutu pendidikan; (3) penyediaan bantuan pendidikan yang efektif dan lebih memadai; (4) pengembangan pembelajaran yang berkualitas; (5) peningkatan ketersediaan sarana dan prasarana yang berkualitas; dan (6) bantuan pendidikan kepada siswa termasuk beasiswa kepada siswa yang kurang mampu.

Adapun target/sasaran anggaran pendidikan disebutkan antara lain: 1 Sertifikasi untuk  guru 101,1 ribu orang dan Dosen 10,2 ribu orang; 2. Pemerataan guru antarsekolah dan antardaerah di 34 kab/kota percontohan; 3. Kartu Indonesia Pintar untuk 19,5 juta siswa; 4. Bidikmisi untuk 360,5 ribu mahasiswa; 5 BOS untuk 8,5 juta siswa; 6. Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri untuk 107 PTN; 7. Rehabilitasi ruang kelas sebanyak 41.128 ruang; 8.  Satuan pendidikan yang melaksanakan K13  sebanyak 129,2 ribu.

Sesuai perintah Undang-Undang, ada pula penjelasan tentang anggaran menurut fungsi dan sub fungsi. RAPBN tahun 2017 menyebut 11 fungsi, yang salah satunya adalah anggaran fungsi pendidikan. Penngolongan ini lebih dimaksudkan untuk alat analisa (tools of analysis), yang bisa dibandingkan antar negara, dan dari waktu ke waktu.

Dengan demikian, harus difahami perbedaan antar pengertian dan alokasi tadi, agar segala masukan dan kritik publik lebih sesuai dan efektif. Sebagaimana keributan soal “kelebihan” anggaran Tunjangan Profesi Guru (TPG) PNSD beberapa waktu lalu. Kelebihan dimaksud juga bukan dalam “pengeluaran” nyata melainkan penganggarannya. Sekali lagi, anggaran pendidikan terbesar adalah melalui Transfer ke Daerah, dan perlu ada kontrol serta pengawasan publik yang lebih jeli atas data lapangan. Begitu pula dengan besarnya alokasi untuk Kementerian Agama, yang kadang justeru mendapat lebih sedikit sorotan dibandingkan Kemendikbud. 

Minggu, 18 September 2016

PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DALAM RAPBN 2017

Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan yang terdiri dari: (1) pendapatan negara yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah; (2) pendapatan pemanfaatan sumber daya alam; (3) pendapatan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan; (4) pendapatan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah; (5) pendapatan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi; (6) pendapatan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah; dan (7) pendapatan lainnya yang diatur dalam undang-undang tersendiri. Dalam struktur APBN, PNBP dikelompokkan menjadi pendapatan sumber daya alam, pendapatan bagian laba BUMN, PNBP Lainnya, dan pendapatan Badan Layanan Umum (BLU).


Selama periode 2008—2015, realisasi PNBP mengalami fluktuasi tiap tahunnya, namun cenderung menurun. PNBP pada tahun 2008 sebesar Rp320.604,6 miliar, dan pada tahun 2015 sebesar Rp 255.628,5 miliar. Pada APBNP 2016 target sedikit diturunkan, dan penurunan berlanjut pada RAPBN 2017.

Jika di lihat dari komposisinya, pendapatan SDA masih mendominasi, namun cenderung menurun. Kontribusinya pada tahun 2008 adalah 70,0%, sedangkan pada tahun 2015 hanya sebesar 39,5%. Dominasi masih oleh pendapatan SDA migas, yang pada tahun 2008 mencapai 94,3% dan pada tahun 2015 sebesar 77,4%. Akibatnya, sangat dipengaruhi oleh asumsi ICP, lifting, dan nilai tukar.


PNBP dalam RAPBN tahun 2017 direncanakan sebesar Rp240.362,9 miliar. Penurunan itu terutama karena Pendapatan SDA yang hanya sebesar Rp80.273,9 miliar, dan terutama SDA migas sebesar Rp57.078,0 miliar. Pemerintah beralasan bahwa penurunan target penerimaan SDA migas tersebut terutama dipengaruhi oleh menurunnya lifting minyak bumi, serta penguatan nilai tukar rupiah. Meskipun demikian, diasumsikan harga minyak mentah indonesia (ICP) meningkat seiring meningkatnya permintaan. Jika kenaikan harga ini tidak terbukti nantinya, maka pendapatan akan lebih rendah lagi.




Pendapatan SDA nonmigas dalam tahun 2017 ditargetkan sedikit naik menjadi sebesar Rp23.195,9 miliar. Terdiri dari pendapatan pertambangan mineral dan batubara sebesar Rp17.736,1 miliar, pendapatan kehutanan sebesar Rp3.942,8 miliar, pendapatan perikanan sebesar Rp857,5 miliar, dan pendapatan panas bumi sebesar Rp659,5 miliar.

Kenaikan terutama ditargetkan dari Pendapatan pertambangan mineral dan batubara dengan perkiraan kenaikan harga komoditas batubara di tahun 2017. Pendapatan kehutanan sedikit menurun terutama sebagai akibat lesunya pasar komoditas dunia, rendahnya produksi kayu bulat, dan kebijakan pemerintah untuk melanjutkan penundaan pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi dan area penggunaan lain.

Pendapatan SDA perikanan ditargetkan meningkat, terutama akibat pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang lebih optimal, bebas ilegal unreported and unregulated (IUU) fishing, ekstensifikasi tempat pemasukan dan pengeluaran ikan dengan pembukaan satuan kerja/wilayah kerja yang potensial sebagai sumber PNBP, serta peningkatan jumlah fasilitas dan sarana produksi perikanan. Pendapatan yang bersumber dari pertambangan panas bumi ditargetkan meningkat karena adanya potensi tambahan setoran bagian pemerintah akibat beroperasinya kembali Star Energy Geothermal Wayang Windu Limited setelah mengalami bencana longsor pada tahun 2015.

Pendapatan bagian laba BUMN pada tahun 2017 juga ditargetkan naik menjadi sebesar Rp38.000,0 miliar. Sebagai catatan realisasinya berfluktuasi, sempat mencapai Rp 40.314,4 miliar pada tahun 2014, namun ditargetkan hanya Rp34.164,0 pada APBNP 2016.

PNBP lainnya dalam RAPBN tahun 2017 ditargetkan naik hingga mencapai Rp84.430,7 miliar. Kecenderungannya dalam beberapa tahun terakhir memang naik, namun perlahan. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, kelompok pendapatan yang termasuk dalam PNBP lainnya adalah pendapatan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah, pendapatan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, pendapatan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah, pendapatan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi, serta pendapatan lainnya yang diatur dalam undang-undang tersendiri. Sementara itu, jenis PNBP yang diluar kelompok tersebut ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Secara garis besar, PNBP lainnya terbagi dalam beberapa jenis pendapatan, antara lain: (1) pendapatan dari pengelolaan barang milik negara (BMN) serta pendapatan dari penjualan; (2) pendapatan jasa; (3) pendapatan bunga; (4) pendapatan kejaksaan dan peradilan; (5) pendapatan pendidikan; (6) pendapatan gratifikasi dan uang sitaan hasil korupsi; (7) pendapatan iuran dan denda; serta (8) pendapatan lain-lain.


Pendapatan BLU dalam RAPBN 2017 direncanakan sebesar Rp37.658,3 miliar. Pendapatan BLU memang terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. Pengelolaan keuangan dengan mekanisme BLU mulai diberlakukan pada tahun 2007 oleh sembilan K/L yang bergerak di bidang layanan barang/jasa dan pembiayaan, dan mengalami peningkatan pada tahun 2012 yang dilaksanakan oleh 19 K/L yang bergerak di bidang kesehatan, pembiayaan, telekomunikasi, pendidikan, teknologi, pengelolaan kawasan, dan lain-lain.

Dari uraian di atas, PNBP memang sudah mengalami penurunan porsi dalam pendapatan negara, dan besarannya pun menurun drastis. Terutama karena penurunan pendapatan SDA, khususnya SDA migas. Harapan peningkatan besarannya pun belum cukup meyakinkan, sehingga menjadi alasan mengapa penerimaan perpajakan akan lebih diandalkan di waktu mendatang.

PNBP di waktu mendatang tampaknya akan lebih bertumpu dapa Pendapatan Bagian Laba BUMN, PNBP Lainnya dan Pendapatan BLU. Indonesia yang sering disebut kaya akan SDA justeru makin tidak tercermin dalam hal ini. Tantangannya adalah bukan saja bagaimana “meminta bagian negara” yang lebih besar dari eksploitasi SDA, melainkan bagaimana mengolah SDA secara lebih baik untuk keperluan meningkatkan produksi semua barang dan jasa dalam negeri. Diperkuat lagi dengan alasan bahwa Indonesia hanya berposisi menerima tanpa bisa mempengaruhi harga komoditas SDA dunia.

Sabtu, 17 September 2016

MEMAHAMI RAPBN 2017 (bagian 4)

Dari uraian terdahulu, RAPBN 2017 mentargetkan Pendapatan Negara sebesar Rp 1.737.629,4 milyar, dan merencanakan belanja negara sebesar Rp2.070.465,9 milyar. Dengan demikian, akan ada defisit anggaran sebesar Rp332.836,6 milyar. Jumlah defisit itu diperkirak merupakan 2,41% PDB tahun bersangkutan.


Pemerintah menyampaikan argumentasi bahwa arah kebijakan fiskal tahun 2017 bersifat ekspansif dan difokuskan untuk mendukung kegiatan produktif guna meningkatkan kapasitas produksi dan daya saing nasional. Namun, dengan memilih angka defisit yang tidak terlalu tinggi dan pemenuhan belanja yang baik. Dijelaskan pula bahwa peningkatan defisit terutama disebabkan oleh melambatnya perekonomian pada tahun 2015—2016 yang berdampak pada menurunnya penerimaan perpajakan di tahun 2017. Untuk membiayainya, Pemerintah akan memanfaatkan sumber pembiayaan terutama berasal dari utang.

Dengan alasan membuat pembiayaan anggaran lebih informatif, transparan, dan mudah dimengerti oleh pemangku kepentingan, pada RAPBN tahun 2017 terdapat perubahan klasifikasi pembiayaan anggaran. Apabila sebelumnya pembiayaan anggaran terdiri dari pembiayaan utang dan pembiayaan nonutang, maka pada RAPBN tahun 2017 pembiayaan anggaran diubah menjadi terdiri dari pembiayaan utang, pembiayaan investasi, pemberian pinjaman, kewajiban penjaminan, dan pembiayaan lainnya.

Pembiayaan Utang pada klasifikasi baru terdiri dari Surat Berharga Negara (neto) dan Pinjaman (neto). Pinjaman (neto) tersebut merupakan gabungan dari pinjaman dalam negeri (neto) dan pinjaman luar negeri (neto).

Pembiayaan Investasi pada klasifikasi baru terdiri dari Investasi kepada BUMN, Investasi kepada Lembaga/Badan Lainnya, Investasi kepada BLU, Investasi kepada Organisasi/Lembaga Keuangan Internasional (LKI)/Badan Usaha Internasional, Penerimaan Kembali Investasi, dan Cadangan Pembiayaan Investasi. Investasi kepada BUMN berupa PMN kepada BUMN, sedangkan Investasi kepada BLU antara lain terdiri dari dana bergulir, Dana Pengembangan Pendidikan Nasional (DPPN), Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN), dan Pusat Investasi Pemerintah (PIP).

Pemberian Pinjaman pada klasifikasi baru terdiri dari pinjaman kepada BUMN/Pemda/ Lembaga/Badan lainnya dan cadangan pemberian pinjaman.

Kewajiban Penjaminan pada klasifikasi baru terdiri dari Penugasan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Nasional dan Penugasan Penyediaan Pembiayaan Infrastruktur Daerah kepada BUMN. Penugasan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Nasional terdiri dari Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Batubara (Proyek 10.000 MW Tahap I), Percepatan Penyediaan Air Minum, Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha yang dilakukan melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur atau proyek infrastruktur dengan skema KPBU, Pembiayaan Infrastruktur melalui pinjaman langsung dari LKI kepada BUMN dan Percepatan Pembangunan Jalan Tol di Sumatera.

Pembiayaan Lainnya pada klasifikasi baru terdiri atas Hasil Pengelolaan Aset (HPA) dan Saldo Anggaran Lebih (SAL).

Secara keseluruhan, pembiayaan anggaran dalam RAPBN tahun 2017 direncanakan sebesar Rp332.836,6 miliar. Oleh karena dalam pos pembiayaan anggaran terdapat pula pengeluaran lagi, maka utang yang direncanakan menjadi lebih besar daripada defisit anggaran. Secara teknis, dimungkinkan adanya penerimaan dalam pos pembiayaan yang dapat mengurangi kebutuhan akan utang. RAPBN 2017 mentargetkan penerimaan dalam pos Pembiayaan lainnya dari penerimaan hasil pengelolaan aset hanya sebesar Rp300 milyar. Akan tetapi dalam realisasi biasanya akan ada pemanfaatan Saldo Anggaran Lebih (SAL).


Pembiayaan utang kini dibagi menjadi dua bagian yaitu SBN (neto) dan pinjaman (neto). Pinjaman (neto) terdiri atas pinjaman dalam negeri (neto) dan pinjaman luar negeri (neto). Klasifikasi ini berdasarkan jenis instrumen pembiayaan utang dengan membedakan apakah utang diperoleh melalui penerbitan obligasi (SBN) di pasar keuangan atau melalui penarikan pinjaman dari kreditur, baik multilateral, bilateral, maupun komersial, di dalam maupun luar negeri. Pembiayaan utang yang bersumber dari pinjaman ditandai dengan adanya perjanjian pinjaman antara Pemerintah dengan lembaga-lembaga kreditur tersebut. Pembiayaan utang direncanakan sebesar Rp389.009,3 miliar. Terdiri dari Surat Berharga Negara (Neto) sebesar Rp404.311,4 milyar, dan Pinjaman (Neto) sebesar minus Rp15.302,1 milyar. Disebut SBN neto karena yang diterbitkan lebih besar dari itu, antara lain untuk melunasi yang sudah jatuh tempo. Disebut Pinjaman neto karena ada pembayaran cicilan pokok, dan bernominal minus karena pembayaran tersebut lebih besar daripada penarikan pinjaman baru.

Investasi Pemerintah merupakan penempatan sejumlah dana dan/atau barang oleh Pemerintah dalam jangka panjang, yang diharapkan memberikan hasil dan nilai tambah di masa yang akan datang, baik berupa pengembalian nilai pokok ditambah dengan manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya. Dalam tahun 2017, pembiayaan investasi dialokasikan dalam rangka investasi kepada BUMN, Lembaga/Badan lainnya, BLU, organisasi/lembaga keuangan internasional/badan usaha internasional, dan cadangan pembiayaan investasi.

Investasi Pemerintah dalam RAPBN 2017 direncanakan sebesar Rp49.138,9 milyar. Terdiri dari: Investasi Kepada BUMN sebesar Rp .000,0 miyar, Investasi Kepada Lembaga/Badan Lainnya sebesar Rp3.200,0 milyar, Investasi Kepada BLU seebsar Rp34.850,0 milyar, Investasi kepada Organisasi/LKI/Badan Usaha Internasional sebesar Rp1.988,9 milyar, dan Cadangan Pembiayaan Investasi sebesar Rp5.100,0 milyar.

Nota Keuangan dan RAPBN 2017 juga menjelaskan pokok-pokok kebijakan fiskal jangka menengah, yang menyebut bahwa Pemerintah masih akan menempuh kebijakan fiskal ekspansif. Hal ini berarti bahwa Pemerintah merencanakan RAPBN tahun 2018–2020 dalam keadaan defisit. Alasannya, untuk membiayai kegiatan produktif dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi dan menjaga keseimbangan ekonomi makro. Pemerintah berjanji akan tetap berupaya untuk mengendalikan besaran defisit dalam batas aman dan diupayakan cenderung menurun pada akhir tahun 2020.
Bagaimanapun, dan memang diakui secara resmi, untuk menutup defisit dalam jangka menengah, Pemerintah akan memanfaatkan sumber-sumber pembiayaan yang tersedia terutama dari utang, mengingat keterbatasan sumber pembiayaan lainnya. Kembali dijanjikan bahwa Pemerintah tetap mempertimbangkan efisiensi biaya utang dan pengembangan pasar keuangan domestik. Besaran pembiayaan anggaran juga diupayakan untuk terus menurun sejalan dengan upaya menurunkan defisit dalam RAPBN jangka menengah.


Sayangnya proyeksi defisit jangka menengah hingga tahun 2020 masih amat besar, dan utang pun terus meningkat pesat. Proyeksi itu sudah dibuat skenario pesimis dan optimis. Namun harus diakui bahwa peluang skenario pesimis dalam hal defsit dan utang masih lebih berpeluang terjadi. Belum tampak ada gambaran apakah segala langkah selama ini dan tahun-tahun mendatang akan mengubah posisi itu secara radikal. Misalkan kapan kita mulai tidak defisit dan tidak menambah utang (belum sampai target berkurang). Apakah bisa tahun 2025? 

Jumat, 16 September 2016

MEMAHAMI RAPBN 2017 (bagian 3)

Sebagaimana disampaikan pada bagian terdahulu, Belanja Negara dalam APBN saat ini terdiri dari: 1. Belanja Pemerintah Pusat dan 2.Transfer Ke Daerah Dan Dana Desa. Transfer ke Daerah dimuat pertama kali dalam APBN pada tahun 2011, yang dilatarbelakangi oleh lahirnya dua Undang-Undang di bidang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perjalanannya, nomenklatur ini telah beberapa kali mengalami perubahan nama, antara lain: a. Anggaran yang Didaerahkan; b. Belanja Daerah; c. Belanja ke Daerah; d. Transfer ke Daerah.

Transfer ke Daerah mencakup tiga komponen, yaitu: (1) Dana Perimbangan; (2) Dana Insentif Daerah; serta (3) Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan D.I. Yogyakarta. Alokasi Transfer ke Daerah (diluar Dana Desa) dalam sepuluh tahun terakhir cenderung meningkat lebih cepat dari laju Belanja secara umum, sehingga prosentasenya makin besar, yang tahun 2016 sekitar 35%. Hampir sama besar dengan Belanja seluruh Kementerian/Lembaga dari Pemerintah Pusat. Salah satu sebabnya, perpindahan tugas dan wewenang ke Pemerintah Daerah. Namun,  anggaran Transfer ke Daerah dalam RAPBN tahun 2017 direncanakan turun juga dibanding APBNP 2016, menjadi sebesar Rp700.026,7 miliar.
  



Dana Perimbangan yang pada RAPBN tahun 2017 direncanakan sebesar Rp672.037,5 miliar, terbagi lagi menjadi Dana Transfer Umum, dan Dana Transfer Khusus. Dana Transfer Umum merupakan jenis transfer ke daerah yang lebih bersifat block grant, yaitu penggunaannya sepenuhnya menjadi kewenangan daerah. Daerah mempunyai diskresi untuk menggunakan Dana Transfer Umum sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah. Dana Transfer Umum terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Khusus (DAU).

Dalam hal DBH (Pajak dan SDA) diterapkan pembagian berdasarkan daerah penghasil (by origin), dan penyaluran dilakukan berdasarkan realisasi penerimaan (based on actual revenue). Secara teknis, baisa adanya selisih DBH dihitung berdasarkan realisasi PNBP sampai akhir tahun anggaran dengan DBH yang telah disalurkan dan diperhitungkan sebagai kurang bayar/lebih bayar untuk diselesaikan pada tahun anggaran berikutnya.



Penghitungan alokasi DAU dilakukan dengan menggunakan formula yang terdiri atas Alokasi Dasar (AD) dan Celah Fiskal (CF). AD dihitung atas dasar persentase jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD), yang mencakup gaji pokok ditambah dengan tunjangan keluarga, dan tunjangan jabatan sesuai dengan peraturan penggajian pegawai negeri sipil, serta mempertimbangkan kebijakan penggajian dan pengangkatan Calon PNSD. Sementara CF dihitung dari selisih antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal masing-masing daerah. Ada formula untuk menghitungnya, namun besaran DAU Nasional yang ditetapkan dalam APBN sekurang-kurangnya 26 persen dari PDN neto.
Dana Transfer Khusus dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kegiatan tertentu yang menjadi urusan daerah, baik kegiatan yang bersifat fisik maupun nonfisik. Digunakan juga untuk memenuhi amanat dari peraturan perundangundangan. Dana Transfer Khusus terdiri atas Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dan DAK Nonfisik.
Dalam RAPBN tahun 2017, DAK Nonfisik terdiri atas delapan jenis, yaitu dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dana Bantuan Operasional Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini (BOP PAUD), dana Tunjangan Profesi Guru PNSD, dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD, dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), Bantuan Operasional Keluarga Berencana (BOKB), dana Peningkatan Kapasitas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (PK2UKM), termasuk dua jenis pendanaan baru, yaitu dana Tunjangan Khusus Guru PNSD di Daerah Khusus, dan dana Pelayanan Administrasi Kependudukan.
Sementara itu, pengalokasian Dana Insentif Daerah (DID) dimaksudkan untuk memberikan penghargaan (reward) kepada daerah yang mempunyai kinerja baik dalam upaya pengelolaan keuangan dan kesehatan fiskal daerah, pelayanan dasar pada masyarakat, serta peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan D.I. Yogyakarta ditetapkan mengikuti perintah undang-undang pula.

Secara umum, aturan alokasi Transfer ke Daerah ini cukup banyak dan bersinggungan antar beberapa Undang-Undang. Nominal dan porsinya cenderung membesar dari tahun ke tahun. Penurunan yang diajukan pada RAPBN 2017 lebih karena terkait target pendapatan yang turun pula. Isyu pemotongan pos ini akan cukup sensitif dan rumit, serta aka nada penghitungan ulang atas berbagai formula serta asumsi. Oleh karenanya, sementara waktu, bu Sri Mulyani nampaknya akan lebih memainkan peluang untuk bayar kurang atau menggeser dalam kasus APBNP 2016 ke 2017, dan dari perhitungan realisasi nanti diusahakan menekan yang tahun 2017. Hanya beberapa pos Transfer Daerah yang dalam kendali penuh kebijakan Pemerintah pusat, dan Menkeu bisa mengedepankan perhitungannya.

Terlebih dalam pengalokasian Dana Desa dalam RAPBN tahun 2017 merupakan tahun ketiga dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Berdasarkan UU tersebut, sumber pendapatan desa antara lain adalah Dana Desa yang bersumber dari APBN. Berdasarkan amanat UU tersebut, anggaran untuk desa yang bersumber dari APBN diperoleh dan dialokasikan dengan mengefektifkan program berbasis desa yang tersebar di Kementerian/Lembaga secara merata dan berkeadilan.


Dana Desa akan diperuntukkan bagi 74.954 desa pada tahun 2017. Dengan perhitungan berbagai formula, alokasinya justeru direncanakan sebesar Rp60.000,0 miliar atau meningkat 27,7 persen dibandingkan dengan pagunya dalam APBNP tahun 2016.

MEMAHAMI RAPBN 2017 (bagian 2)

Belanja Negara merupakan semua pengeluaran negara dalam satu tahun anggaran yang mengurangi ekuitas dana lancar dan merupakan kewajiban negara, dan tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh negara. Secara prinsip besaran belanja yang tercantum dalam APBN merupakan batas tertinggi, sehingga tidak dapat dilampaui.

Belanja Negara terdiri dari dua pos, yaitu: 1. Belanja Pemerintah Pusat; 2. Transfer ke Daerah dan Dana desa. Belanja negara dalam RAPBN 2017 direncanakan sebesar Rp2.070.465,9 miliar, yang meliputi Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp1.310.439,3 miliar dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebesar Rp760.026,7 miliar.


Belanja Pemerintah Pusat dapat dicermati dari berbagai klasifikasi, antara lain adalah: menurut Fungsi, menurut organisasi, menurut program, dan menurut jenis. Anggaran Belanja Pemerintah Pusat dalam RAPBN 2017 memiliki tiga versi rincian itu dalam dokumen Nota Keuangan dan RUUnya. Sedangkan rincian menurut jenis nanti akan dalam Perpres yang menjabarkan lebih lanjut dan secara lebih teknis, setelah UU ditetapkan. Perlu diingat bahwa nilai besaran belanja totalnya tetap satu, namun dirinci dengan beberapa cara.    

Menurut klasifikasi fungsi, alokasi anggaran belanja pemerintah pusat dirinci menjadi 11 fungsi yang menggambarkan tugas pemerintah dalam melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan dan pemerintahan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional. Fungsi-fungsi tersebut terdiri atas: (1) fungsi pelayanan umum; (2) fungsi pertahanan; (3) fungsi ketertiban dan keamanan; (4) fungsi ekonomi; (5) fungsi perlindungan lingkungan hidup; (6) fungsi perumahan dan fasilitas umum; (7) fungsi kesehatan; (8) fungsi pariwisata; (9) fungsi agama; (10) fungsi pendidikan; dan (11) fungsi perlindungan sosial.


Rincian belanja pemerintah pusat menurut fungsi merupakan reklasifikasi atas program-program dan hanya merupakan alat analisis (tools of analysis) yang digunakan untuk menganalisa fungsi-fungsi yang telah, sedang dan akan dilaksanakan oleh Pemerintah sesuai dengan international best practices. Klasifikasi menurut fungsi yang diterapkan dalam sistem penganggaran di Indonesia, telah mengacu pada classification of the functions of government (COFOG) yang disusun oleh United Nations Development Programme (UNDP) dan diadopsi Government Finance Statistics Government Finance Statistics (GFS) manual 2001 – International Monetary Fund (IMF), dengan sedikit modifikasi berupa pemisahan fungsi agama dari fungsi rekreasi, budaya dan agama (recreation, culture, and religion). Saat ini, terdapat 11 fungsi dan 69 subfungsi.

Rincian belanja pemerintah pusat menurut organisasi dipengaruhi oleh perkembangan susunan kementerian negara/lembaga, perkembangan jumlah bagian anggaran, serta perubahan nomenklatur atau pemisahan suatu unit organisasi dari organisasi induknya, atau penggabungan organisasi.  Secara umum dikelompokkan dalam dua bagian besar yaitu: (1) anggaran yang dialokasikan melalui BA Kementerian Negara/Lembaga (K/L) dengan menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran (Chief Operational Officer/COO); dan (2) anggaran yang dialokasikan melalui bagian anggaran Bendahara Umum Negara (BUN) dengan Menteri Keuangan selaku BUN (Chief Financial Officer/CFO) atau belanja non-K/L, yang berwenang dan bertanggung jawab atas pengelolaan aset dan kewajiban negara secara nasional.

Berdasarkan struktur kementerian yang berlaku sejak tahun 2015 (Kabinet Kerja periode 2014-2019), jumlah BA K/L adalah 87 bagian anggaran dengan rincian: 34 kementerian, empat kementerian koordinator, enam lembaga tinggi negara, 37 lembaga pemerintah, dan enam komisi. Sementara itu, jumlah BA BUN belanja pemerintah pusat adalah 5 BA BUN yang terdiri atas: (1) BA BUN Pengelolaan Utang Pemerintah; (2) BA BUN Pengelolaan Hibah; (3) BA BUN Pengelolaan Belanja Subsidi; (4) BA BUN Pengelolaan Belanja Lainnya; dan (5) BA BUN Pengelolaan Transaksi Khusus.

Dari anggaran belanja pemerintah pusat dalam RAPBN tahun 2017 sebesar Rp1.310,439,3 miliar, sebanyak 57,9 persen atau Rp758.378,0 miliar dialokasikan melalui BA K/L, sementara 42,1 persen lainnya atau Rp552.061,3 miliar dialokasikan melalui BA BUN (belanja non-K/L). Belanja K/L dianggarkan lebih rendah dari tahun 2016, sedangkan non K/L justeru naik, terutama karena kenaikan beban pembayaran bunga utang yang signifikan. 


Belanja Pemerintah Pusat Menurut Program adalah belanja Pemerintah Pusat yang dialokasikan untuk mencapai hasil (outcome) tertentu pada Bagian Anggaran kementerian negara/lembaga dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara. Ada sekitar 3000 lebih program dalam RAPBN 2017. Jumlah program berbeda antar masing-masing K/L, dari yang hanya beberapa hingga puluhan. Lima belas K/L yang memiliki alokasi anggaran terbesar, mencapai 85,6 persen dari total anggaran K/L dalam RAPBN tahun 2017, cenderung memiliki program yang lebih banyak.

Sebenarnya ada rincian klasifikasi yang dicantumkan dalam Nota Keuangan dan APBN sejak 2005 hingga 2014, namun sejak 2015 hanya dalam Peraturan Presiden atau dokumen anggaran di bawah UU, yakni belanja pemerintah pusat menurut jenis belanja (klasifikasi ekonomi), yang merupakan pengelompokkan berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi dengan mengacu pada manual GFS manual 2001. Terdiri atas 8 jenis belanja, sepeti: belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, pembayaran bunga utang, subsidi, belanja hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain. Jenis belanja dalam klasifikasi belanja digunakan dalam dokumen penganggaran baik dalam proses penyusunan anggaran, pelaksanan anggaran, dan pertangungjawaban/pelaporan anggaran. Antara lain untuk mengetahui pendistribusian alokasi anggaran, efektifitas dan efisiensi dalam masing-masing jenis belanja.

Diantara yang menarik dalam analisis belanja pemerintah pusat berdasar jenis adalah tentang belanja pegawai dan belanja barang. Isyu efisiensi antara lain tentang mengurangi biaya perjalanan, biaya rapat, biaya pemeliharaan barang dan semacamnya yang merupakan subrincian dari belanja barang. Soal efisiensi pengadaan barang sudah menjadi lebih dahulu dan masih terus bergulir. Sedangkan belanja pegawai terutama terkait dengan isyu pengurangan jumlah pegawai di masa mendatang.

Topik efisiensi dan efektifitas belanja K/L di lingkungan pemerintah, khususnya kementerian keuangan, sudah berulangkali diangkat dan ditindaklanjuti. Kemenkeu antara lain melakukan apa yang disebut spending review sejak tahun 2012, dan melakukan beberapa perubahan atas dasar itu. Namun, bu Sri Mulyani tampak lebih menggebrak dan mendorong lebih jauh, karena memang kondisinya makin sulit. Pertama kali selama belasan tahun, anggaran belanja K/L diusulkan turun. Jika dicermati, usulan itu meliputi hampir seluruh K/L, sebagian besar program, dan jenis belanja. Sedangkan dalam hal menurut fungsi agak lebih sulit dianalisis terkait isyu efisiensi. Klasifikasi ini sifatnya lebih untuk “promosi”, pertanggungjawaban publik bahwa fungsi dijalankan dengan baik, serta perbandingan antar negara.

Bu Sri nampaknya juga masih belum melakukan “extra effort” dalam hal belanja non K/L, terutama pengeluaran untuk bunga utang. Kemungkinan ada pertimbangan mengenai kredibilitas pemerintah dalam soal utang, serta prioritas hal yang tidak menimbulkan gejolak atau reaksi pasar yang dapat memukul balik. Bagaimanapun, belanja bunga diusulkan naik signifikan dan belanja subsidi turun hanya sedikit.


Dalam perspektif yang optimis, jika efisiensi belanja K/L berjalan baik dan kredibilitas Pemerintah dalam pengelolaan fiskal membaik (terutama dalam hal utang dan bunga utang), maka pada tahun 2018 dan seterusnya efisiensi akan lebih menjangkau belanja non K/L. Biaya utang akan dapat diturunkan, namun tetap diberi kepercayaan berutang, karena masih amat dibutuhkan.     

MEMAHAMI RAPBN 2017 (bagian 1)

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut UUD 1945, APBN adalah wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sebagai suatu rencana yang ditetapkan bersama oleh Pemerintah dan DPR, APBN melalui proses yang panjang dan kerap mengalami beberapa perubahan besaran. Ada beberapa versi angka pada masing-masing tahap, memiliki sebutan resmi, dan sebagiannya dipublikasikan secara terbuka. Ada Rancangan APBN (RAPBN) ketika diajukan oleh Pemerintah untuk dibahas DPR. Disebut APBN, ketika ditetapkan menjadi Undang-Undang. Biasanya ada perubahan di pertengahan tahun yang disebut sebagai APBN Perubahan (APBNP), yang harus ditetapkan pula sebagai Undang-Undang, dan memiliki konsep RAPBNP.

Pelaksanaan atas rencana menimbulkan versi yang tidak sepenuhnya sama, sehingga dikenal istilah realisasi APBN pada suatu tahun. Perbedaan berbagai versi ini kadang kurang dimengerti dan dikutip secara kurang tepat oleh media, bahkan oleh suatu tulisan ilmiah. Itu belum memasukkan versi angka-angka yang lebih banyak dalam  berbagai proses penyusunan, sejak pembicaraan awal antar birokrasi dan lembaga yang berwenang.   

APBN pada dasarnya terdiri atas tiga bagian, yaitu: anggaran Pendapatan Negara, anggaran Belanja Negara, dan Pembiayaan Anggaran. Pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Belanja negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.

Ada dua istilah lain yang perlu diperhatikan, yaitu penerimaan negara dan pengeluaran negara. Penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara. Pengeluaran negara adalah uang yang keluar dari kas negara. Sebagai contoh, pendapatan negara adalah penerimaan negara yang tidak perlu dibayar kembali. Namun ada penerimaan negara yang perlu dibayar kembali, seperti utang, yang dimasukkan dalam pembiayaan.

Sejak APBN tahun 2000, Indonesia mulai menggunakan format I-account untuk menggantikan format sebelumnya, yaitu T-account. Pada format I-account, pencantuman pendapatan dan belanja berada pada satu kolom, sehingga dapat terlihat besaran surplus/defisit yang didapat dari besaran pendapatan negara dikurangi besaran belanja negara. Lebih jauh lagi, jika terdapat defisit maka besaran pembiayaan untuk menutupinya pun dapat dilihat.

RAPBN 2017 mengajukan Anggaran Pendapatan Negara sebesar Rp1.737.629.377.095.000,00, yang akan diperoleh dari sumber: a. Penerimaan Perpajakan; b. Penerimaaan Negara Bukan Pajak (PNBP); dan c. Penerimaan Hibah.



Penerimaan Perpajakan dimaksud diperkirakan sebesar Rp1.495.893.810.596.000,00, yang terdiri atas: a. Pendapatan Pajak Dalam Negeri sebesar Rp1.461.818.710.596.000,00; dan b. Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional sebesar Rp34.075.100.000.000,00

Pendapatan Pajak Dalam Negeri terdiri dari: a. pendapatan pajak penghasilan; b. pendapatan pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah; c. pendapatan pajak bumi dan bangunan; d. pendapatan cukai; dan e. pendapatan pajak lainnya. Sedangkan Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional terdiri atas: a. pendapatan bea masuk; dan b. pendapatan bea keluar
PNBP diperkirakan sebesar Rp240.362.904.897.000,00, yang terdiri atas: a. penerimaan Sumber Daya Alam (SDA); b. pendapatan bagian laba BUMN; c. PNBP lainnya; dan d. pendapatan Badan Layanan Umum (BLU).



Sedangkan penerimaan Hibah diperkirakan sebesar Rp1.372.661.602.000,00. Penerimaan hibah adalah pendapatan Pemerintah dalam bentuk uang/barang atau jasa dari pemerintah negara sahabat, organisasi internasional, perusahaan negara/daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat serta tidak secara terus-menerus.

Dalam diskusi atau analisis, sering dibedakan antara penerimaan perpajakan dengan penerimaan pajak. Penerimaan pajak tidak memasukkan cukai, bea keluar, dan bea masuk. Keperluannya adalah untuk lebih memahami pola dan proyeksi ke depan, sehingga dapat dipilih kebijakan yang tepat.

RAPBN 2017 mencantumkan target Pendapatan Negara yang lebih rendah daripada APBN 2016 dan APBNP 2016. Biasanya target lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Baik dalam hal penerimaan perpajakan maupun PNBP. Bisa dikatakan target lebih realistis mengingat realisasi yang cukup jauh dibawah target dalam dua tahun terakhir, serta masih kurang meyakinkannya prospek ekonomi tahun depan.

Upaya meningkatkan penerimaan perpajakan, khususnya penerimaan pajak di masa mendatang masih diharapkan antara lain dengan kebijakan amnesti pajak. Secara konseptual, bukan denda yang diincar, melainkan perluasan basis pajak. Jika kebijakan ini kurang berhasil, maka target penerimaan yang sudah diturunkan itu pun tetap masih terbilang tinggi.


Fenomena penurunan PNBP terutama dipicu oleh penurunan terus menerus dalam hal penerimaan SDA, yang turun hingga sekitar sepertiga saja dari lima tahun lalu. Dan secara lebih khusus adalah dalam hal penerimaan SDA Migas. PNBP nampaknya akan sulit digenjot tahun 2017, dan masih mungkin akan diturunkan lagi pada APBN, hasil pembahasan, serta pada APBNP nantinya. 

Minggu, 11 September 2016

INFLASI DI INDONESIA : Pemahaman awal

Hampir semua orang di Indonesia beranggapan bahwa harga kebanyakan barang dan jasa kini lebih tinggi dari dahulu dan esok akan naik lagi. Ibu-ibu yang biasa berbelanja kebutuhan rumah tangga sehari-hari sering mengeluhkan, dan media masa rajin mewartakannya. Perhitungan rencana anggaran rumah tangga, lembaga sosial, perusahaan bisnis dan lembaga pemerintahan pun biasa mengasumsikan kenaikan harga dalam satuan unit belanjanya. 

Harga barang dan jasa merupakan suatu soalan terpenting dalam wacana makroekonomi, bersamaan dengan ikhwal pertumbuhan ekonomi dan pengangguran. Kebijakan makroekonomi suatu negara selalu bertujuan menanganinya agar tercapai tingkat harga yang stabil. Perhatikan bahwa tujuan utamanya bukan agar tidak terjadi kenaikan, melainkan suatu stabilitas atau kenaikan yang relatif rendah atau terukur dari waktu ke waktu. Fokus perhatian makroekonomi adalah soal harga secara umum atau dalam artian keseluruhan barang, bukan harga barang tertentu. Kenaikan harga secara umum itu dikenal dengan istilah inflasi. Inflasi adalah persentase tingkat kenaikan harga secara umum, yang jika besarannya negatif atau harga-harga turun biasa disebut deflasi.

Ada harga yang berbeda untuk tiap macam barang dan jasa dalam suatu perekonomian, seperti: harga produsen, harga grosir dan harga eceran (konsumen akhir). Dalam praktik perhitungannya inflasi hanya merujuk kepada sejumlah barang dan jasa yang secara umum dikonsumsi rumah tangga, yang melalui survei tertentu dianggap dapat mewakili kecenderungan seluruh barang. Meskipun kebanyakan harga barang secara historis mengalami kenaikan, namun ada juga yang harganya tetap dan bahkan ada yang turun. Rata-rata tertimbang dari perubahan harga bermacam barang dan jasa tersebut, pada suatu selang waktu (bulanan atau tahunan) disebut inflasi. Oleh karena sering ada perbedaan pula untuk tiap kota atau wilayah dalam negara kepulauan yang luas seperti Indonesia, maka informasi tentang inflasi di Indonesia juga tersedia yang berdasar wilayah (kota).

Metode Penghitungan
Badan Pusat Statisik (BPS) mengatakan bahwa inflasi dihitung berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK) dengan menggunakan rumus Laspeyres yang dimodifikasi (Modified Laspeyres). Rumus tersebut mengacu pada manual Organisasi Buruh Dunia (International Labour Organisation). Pengelompokan IHK didasarkan pada klasifikasi internasional baku yang tertuang dalam Classification of Individual Consumption According to Purpose (COICOP) yang diadaptasi oleh BPS untuk kasus Indonesia menjadi Klasifikasi Baku Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga.

Bahan dasar penyusunan diagram timbang (bobot) IHK adalah hasil Survei Biaya Hidup (SBH) atau Cost of Living Survey. SBH diadakan 5 (lima) tahun sekali, SBH terakhir diadakan tahun 2012, mencakup 136,080 rumah tangga di Indonesia yang dipantau baik pengeluaran konsumsinya maupun jenis barang/jasa yang dikonsumsi selama setahun penuh. Berdasarkan hasil SBH diperoleh paket komoditas yang representatif, dapat dipantau harganya, dan selalu tersedia di pasaran. Paket komoditas nasional sebanyak 859 barang/jasa, bertambah dari 774 barang/jasa pada paket komoditas tahun 2007. Hal ini sejalan dengan perubahan pola konsumsi masyarakat. Bobot awal setiap barang/jasa merupakan persentase nilai konsumsi setiap barang/jasa terhadap total rata-rata nilai konsumsi per rumah tangga per bulan, berdasarkan hasil SBH.

Sejak Januari 2014, penghitungan inflasi mulai menggunakan tahun dasar 2012 (sebelumnya menggunakan tahun dasar 2007) berdasarkan hasil SBH 2012. Cakupan kota bertambah dari 66 menjadi 82 kota. Jumlah barang/jasa yang dicakup bervariasi antarkota, yang terkecil di Kota Singaraja sebanyak 225 barang/jasa, sedangkan yang terbanyak di Jakarta sebanyak 462 barang/jasa. Sedangkan pengumpulan data harga menggunakan daftar pertanyaan dan pencacahannya dibedakan sesuai waktunya: mingguan, 2 (dua) mingguan dan bulanan. Data harga diperoleh dari responden melalui wawancara dan scan barcode.

Di setiap kota dipilih beberapa pasar tradisional, pasar modern, dan outlet untuk mewakili harga-harga dalam kota tersebut. Data harga masing-masing komoditi diperoleh melalui wawancara langsung dari 3 atau 4 pedagang eceran, yang didatangi oleh petugas pengumpul data. Penarikan sampel secara purposive digunakan untuk melakukan pemilihan kota, pasar, outlet, responden, komoditas dan kualitas dalam penghitungan IHK.
BPS melaporkan bahwa frekuensi pengumpulan data harga berbeda antara satu komoditas dan komoditas lainnya, tergantung karakteristik masing-masing komoditas, sebagai berikut:

  • Pengumpulan data harga beras dilakukan secara harian di Jakarta, dan mingguan di kota-kota lainnya.
  • Beberapa komoditas yang termasuk ke dalam kebutuhan pokok, data harga dikumpulkan setiap minggu pada hari Senin dan Selasa.
  • Untuk beberapa komoditas bahan makanan, data harga dikumpulkan setiap dua minggu sekali, hari Rabu dan Kamis pada minggu pertama dan ketiga.
  • Untuk komoditas bahan makanan lainnya, makanan yang diproses, minuman, rokok dan tembakau, data harga dikumpulkan bulanan pada hari Selasa menjelang pertengahan bulan selama tiga hari (Selasa, Rabu, dan Kamis).
  • Data harga untuk barang-barang tahan lama dikumpulkan secara bulanan pada hari ke-5 sampai hari ke-15.
  • Data harga jasa-jasa dikumpulkan bulanan pada hari ke-1 sampai hari ke-10.
  • Data harga sewa rumah dikumpulkan bulanan pada hari ke-1 sampai hari ke-10.
  • Upah baby sitter dan pembantu rumah tangga diamati bulanan pada hari ke-1 sampai hari ke-10.
  • Data yang berhubungan dengan biaya pendidikan dikumpulkan bulanan pada hari ke-1 sampai hari ke-10.


Penyajian Data Inflasi oleh BPS
Dengan demikian, konsep inflasi seolah membuat hanya ada “satu harga” dalam sebuah perekonomian, sehingga bisa ditentukan tingkat perubahannya. Konsep tentang inflasi yang dikenal publik di Indonesia meringkas harga seluruh barang dan jasa menjadi satu satuan yang disebut Indeks Harga konsumen (IHK). IHK pada tahun dasar adalah 100. BPS mengubah tahun dasar tiap 5 tahun, terakhir pada tahun 2012. Harga seluruh barang dan jasa pada tahun 2012, dianggap pula dalam bulan Desember, adalah 100, dalam satuan IHK.

BPS menghitung IHK tiap bulan, dan menyatakan perubahannya dalam persentase, yang disebut inflasi. Perubahan IHK dari suatu bulan atas bulan sebelumnya disebut inflasi bulanan. Perubahan IHK dari suatu bulan terhitung sejak januari tahun yang bersangkutan (berarti dibandingkan IHK Desember tahun sebelumnya) disebut inflasi tahun kalender. Sedangkan perubahan IHK dari suatu bulan dibanding bulan yang sama tahun sebelumnya disebut inflasi tahun ke tahun (y-o-y). Sebagai contoh, IHK Agustus 2016 adalah 125,13 sedangkan IHK Juli 2016 adalah 125,15, maka pada bulan Agustus 2016 disebut terjadi deflasi sebesar 0,02%. Karena IHK Desember tahun 2015 sebesar 122,99, maka inflasi tahun kalender adalah 1,74%. Sedangkan inflasi dari tahun ke tahun dihitung dari IHK Agustus 2015 sebesar 121,73, maka inflasinya sebesar 2,79%. (lihat tabel dalam gambar dari berita resmi BPS)


Dalam penyajian IHK, BPS mengelompokkan barang dan jasa ke dalam tujuh kelompok yaitu: bahan makanan; makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau; perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar; sandang; kesehatan; pendidikan, rekreasi dan olah raga; serta transpor, komunikasi dan jasa keuangan. Setiap kelompok terdiri dari beberapa sub kelompok, dan dalam setiap sub kelompok terdapat beberapa komoditas. Lebih jauh, komoditas-komoditas tersebut memiliki beberapa kualitas atau spesifikasi.(lihat gambar sebagai contoh tabel dari berita resmi BPS)

Selain menghitung inflasi umum Inflasi umum (headline inflation), seperti yang dicontohkan untuk data bulan Agustus 2016 di atas. BPS juga menyajikan bahwa inflasi umum tersebut terdiri dari tiga bagian, yaitu inflasi inti(core inflation) , inflasi yang harganya diatur pemerintah (administered prices), dan inflasi bergejolak (volatile goods).


BPS mengatakan bahwa inflasi inti adalah inflasi komoditas yang perkembangan harganya dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi secara umum, seperti ekspektasi inflasi, nilai tukar, dan keseimbangan permintaan dan penawaran, yang sifatnya cenderung permanen, persistent, dan bersifat umum. Berdasarkan SBH 2012 jumlah barang/jasa inti sebanyak 751, antara lain: kontrak rumah, upah buruh, mie, susu, mobil, sepeda motor, dan sebagainya. Meskipun inflasi umum Agustus 2016 adalah minus atau deflasi, inflasi inti adalah sebesar 0,22%. Inflasi tahun kalender juga lebih tinggi, yakni mencapai 2,24%. Demikian pula inflasi tahun ke tahun sebesar 3,32%.

Inflasi yang harganya diatur pemerintah (administered prices inflation) adalah inflasi komoditas yang perkembangan harganya secara umum diatur oleh pemerintah. Berdasarkan SBH 2012 jumlah barang/jasanya sebanyak 23, antara lain: bensin, tarif listrik, rokok, dan sebagainya. Inflasi jenis ini juga minus atau deflasi pada bulan Agustus 2016, bahkan untuk inflasi tahun kalender dan inflasi tahun ke tahun. Cukup masuk akal kan, meski tarif listrik dan harga rokok naik, namun bensin turun signifikan.

Inflasi bergejolak (volatile goods) adalah inflasi komoditas yang perkembangan harganya sangat bergejolak. Berdasarkan tahun dasar 2012, inflasi volatile goods masih didominasi bahan makanan, sehingga sering disebut juga sebagai inflasi volatile foods. Jumlah komoditas sebanyak 85, antara lain: beras, minyak goreng, cabai, daging ayam ras, dan sebagainya. Pada Agustus 2016 juga terjadi deflasi, suatu kondisi yang biasa setelah lebaran. Akan tetapi dalam hal inflasi tahun kalender dan inflasi tahun ke tahun, besarannya masih jauh lebih tinggi. Tampaknya mengkonfirmasi “suasana publik” terkait harga komoditas ini.  


Berdasar Undang-Undang, tugas pengendalian inflasi di Indonesia diserahkan kepada Bank Indonesia. Bank Indonesia melalui kebijakan moneter (seperti penentuan target suku bunga) dianggap akan dapat mengendalikan inflasi IHK. Meskipun demikian, sebenarnya ada banyak faktor yang mengakibatkan inflasi IHK di luar kendali kebijakan moneter. Hanya komponen-komponen tertentu dari inflasi IHK yang berada dalam kendali otoritas moneter. Untuk itu, sebagaimana juga yang dilakukan oleh otoritas moneter di banyak negara lain, Bank Indonesia berusaha memilah-milah komponen inflasi IHK ke dalam kelompok yang dapat dan tidak dapat dikendalikan melalui kebijakan moneter. Inflasi yang dianggap dapat dikendalikan dengan kebijakan moneter lazim hanya inflasi inti.

Sabtu, 10 September 2016

Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Oleh Koperasi

Secara konsepsional, koperasi seharusnya bisa memiliki peran penting sebagai sumber pembiayaan bagi pengembangan UMKM. Koperasi bahkan dapat menggantikan atau melengkapi peran perbankan. Berdasar data terkini dan perkembangannya, kegiatan usaha simpan pinjam oleh koperasi telah memberi kontribusi cukup besar. Koperasi yang dimaksud antara lain adalah: Koperasi Simpan Pinjam Koperasi (KSP) dan Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS), serta Unit Simpan Pinjam (USP) dan Unit Jasa Keuangan Syariah (UJKS). KJKS dan UJKS dalam regulasi terkini akan diarahkan dan diatur menjadi Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS) dan Unit Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (USPPS) Koperasi. Dalam tampilan data dan atau uraian masih sering disebut KJKS dan UJKS karena regulasi dimaksud baru tahap proses mulai diterapkan.

Pertumbuhannya cukup baik selama sepuluh tahun terakhir, dan secara umum melampaui koperasi yang memiliki kegiatan usaha nonsimpan pinjam. Terutama dalam hal pertumbuhan jumlah unit dan volume usaha. Dalam hal laju pertumbuhan simpanan dan pembiayaan, bahkan di atas rata-rata industri perbankan.


Dari total koperasi pada tahun 2015, ada sebanyak 212.135 unit yang menjalankan usaha itu sebanyak 110.189 unit. Sebanyak 77.133 unit yang aktif dari total 150.223. Yang lebih menarik adalah dari aspek jumlah anggota yang mencapai 20,86 juta orang dari total 37,78 juta orang. Data dalam hal volume usaha, permodalan dan SHU pun menunjukkan hal serupa.


Peran KSP/USP Koperasi dan KJKS/UJKS sebagai penyedia layanan simpan pinjam bagi masyarakat yang tidak terjangkau oleh jasa keuangan formal ditunjukkan oleh Survei Pengurus Koperasi Simpan Pinjam/Unit Simpan Pinjam (Bank Dunia, 2015) dimana 72% responden menyatakan memiliki nasabah yang belum pernah meminjam di lembaga keuangan lain. Terkait dengan UMKM, responden menyatakan bahwa 71% pinjaman KSP/USP Koperasi mereka adalah untuk pinjaman produktif berskala mikro. Di sisi lain, koperasi termasuk lembaga selain bank yang paling dipercaya masyarakat untuk menyimpan dananya. Data riset Bank Dunia tersebut pun mengungkapkan bahwa semua peminjam dari koperasi bertindak pula sebagai penyimpan.

Data resmi Kementerian Koperasi dan UKM, data penelitian, serta berbagai data lapangan menunjukkan bahwa KSP/USP dan KJKS/UJKS memang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Bahkan, menurut riset Bank Dunia, sebaran jangkauan pelayanan KSP cakupan wilayah terbanyak adalah pada tingkat kecamatan. Namun demikian, koperasi-koperasi tersebut memiliki keragaman kesehatan, keuangan, teknologi, dan bisnis  yang sangat variatif. Secara kualitas, kondisinya belum sebaik pertumbuhan secara kuantitas.

Perkembangan usaha simpan pinjam dan pembiayaan syariah oleh koperasi memiliki sejarah perkembangan yang cukup panjang dan berliku. Ada beberapa tahap perkembangan di lapangan dan kebijakan serta regulasi yang mengaturnya, hingga mencapai kondisi terkini. Salah satu yang terpenting adalah sejarah dan perkembangan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang sebagian besarnya sedang diarahkan untuk memenuhi ketentuan sebagai Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS) atau unit Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (USPPS) koperasi. 

Data tentang BMT memang masih belum terlalu akurat, karena ada yang sudah secara tegas menjadi koperasi yang patuh terhadap regulasi, serta melaporkan diri kepada dinas atau kementerian. Ada yang sudah berbadan hukum koperasi, operasional sebagai koperasi, namun tidak rutin melaporkan diri secara administrasi kepada dinas. Sebagiannya lagi memang masih operasional nonformal semacam arisan, dan atau ada yang lebih mengikuti program dan aturan main lain dari Pemerintah Daerah atau Kementerian Teknis diluar kementerian Koperasi.

Selain itu, fakta di lapangan menunjukkan bahwa cukup banyak BMT baru yang lahir diikuti pula oleh yang tidak operasional lagi setiap tahunnya. Kedua faktor tadi membuat data jumlah BMT dan kinerja umumnya kurang akurat. Peraturan OJK tentang LKM dan Peraturan Menteri no 16/2015 memungkinkan pendataan yang lebih akurat di tahun-tahun mendatang. Data BMT akan terpilah menjadi yang memilih opsi LKMS dan yang KSPPS/USPPS Koperasi. Setiap KSPPS/USPPS Koperasi akan diminta memiliki nomor induk koperasi (NIK), dan memberi laporan secara online kepada kementerian, selain yang rutin kepada Dinas kabupaten/Kota atau Provinsi.

Sekitar 10 tahun lalu, data tentang jumlah dan sebaran BMT yang paling sering menjadi rujukan adalah yang dikeluarkan oleh Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK), sebanyak 3000 BMT pada tahun 2004. PINBUK yang didirikan pada tahun 1995 memang dikenal sebagai lembaga yang berperan penting mengembangkan BMT, terutama dalam membantu pendirian dan operasional awalnya. Berdasar data Pinbuk yang dimutakhirkan dengan berbagai informasi terkini, Perhimpunan BMT (PBMT) Indonesia mengatakan ada sekitar 3.900 BMT yang operasional sampai dengan akhir tahun 2014. PBMT Indonesia menyebutkan pula bahwa BMT-BMT tersebut melayani hampir 3,5 juta orang, mengelola aset sekitar Rp 15 triliun, dengan pengurus dan pengelola sekitar 20.000 orang.

BAPPENAS sebagai bagian dari Pemerintah) dalam Master Plan Keuangan Syariah mengemukan perkiraan jumlah BMT di kisaran 4500-5000 BMT. Angka di kisaran 4000 memang banyak dikemukan oleh berbagai lembaga dan peneliti. Salah satu yang harus dipahami, BMT-BMT memang banyak yang berdiri tiap tahun, namun cukup banyak juga yang berhenti operasional. Ada pula yang terkait dengan program Pemerintah dan Pemerintah Daerah, yang sebagiannya kurang berhasil dilanjutkan oleh masyarakat.

Kementerian Koperasi dan UKM sendiri hanya mendata BMT yang secara tegas berbadan hukum koperasi, memberi laporan dan beroperasi sesuai regulasi koperasi. Hingga akhir tahun 2014, terlaporkan sebanyak 1.197 unit KJKS dan sebanyak 2.163 unit UJKS. Perlu diketahui bahwa tidak semua UJKS menyebut dirinya sebagai BMT.

Jumat, 09 September 2016

KOPERASI MASIH TUMBUH SECARA KERAGAAN

Koperasi adalah lembaga ekonomi yang sejak awal berdirinya negara disebut dalam konstitusi, dinyatakan eksplisit dalam penjelasan UUD 1945. Koperasi diinginkan oleh para Bapak Pendiri bangsa menjadi alat dan sarana perjuangan untuk memperbaiki kesejahteraan umum, yang merupakan salah satu tujuan kemerdekaan Indonesia. Menjadikan koperasi sebagai sokoguru perekonomian adalah amanat konstitusi, meski terjadi perdebatan panjang dalam hal penghapusan kalimat penjelasan pada amandemen UUD 1945, serta masih ada perbedaan tafsir atas itu.

Bagaimanapun, semua era Pemerintahan Republik Indonesia hingga kini pun tetap mengakui koperasi sebagai wacana penting dalam kebijakan ekonominya. Upaya memajukan koperasi serta keberpihakan atasnya dinyatakan dalam berbagai dokumen kebijakan ekonomi. Kementerian dan Lembaga selalu ada yang ditugaskan khusus untuk mengawal perkembangan koperasi. Begitu pula dengan Pemerintahan Daerah di semua propinsi, kabupaten dan kota.

Di sisi lain, masyarakat Indonesia masih memiliki cukup pemahaman, inisiatif, dan kemandirian untuk mendirikan dan mengembangkan koperasi. Dinamika masyarakat yang bersinergi dengan pengakuan dan dukungan Pemerintah yang tidak maksimal, masih membuat koperasi di Indonesia dapat hidup dan berkembang. Bahkan dapat dinilai cukup baik, jika dilihat dari data keragaan dan kinerja secara umum positif.

Dalam fakta dinamika ekonomi Indonesia terkini, koperasi memang belum memerankan posisi utama. Koperasi hanya penting dalam sebagian aspek ekonomi dan berkontribusi. Seperti dalam hal penciptaan lapangan kerja dan penguatan posisi sebagian pelaku ekonomi mikro dan kecil. Secara umum dapat dikatakan bahwa amanat konstitusi tentang koperasi belum terwujud. Tentu saja, tidak hanya Pemerintah, melainkan semua komponen bangsa bertanggung jawab untuk memperbaiki kondisi tersebut.

Secara konseptual, koperasi sebenarnya bisa menjadi pelaku ekonomi utama membangun fundamental ekonomi nasional. Krisis ekonomi yang berulang merupakan ciri kapitalisme, yang berarti sistem ekonomi Indonesia sudah mengarah atau bercirikan itu. Setidaknya, pengaruh kapitalisme dunia saat ini amat kuat pada perekonomian nasional. Kembali kepada amanat konstitusi, revitalisasi dan pengarusutamaan Koperasi dalam pembangunan ekonomi potensial menjadi solusi sistemik atas kondisi demikian. Secara teknis, koperasi masih dapat dikembangkan sarana peningkatan produktifitas masyarakat, membantu terwujudnya keadilan sosial dan ekonomi.

Perkembangan koperasi di Indonesia dari data keragaan dan data kinerja dapat dikatakan masih lumayan baik. Jumlah koperasi termasuk yang terbanyak di dunia, yaitu 212.135 unit, meski yang aktif hanya 150.223 unit pada tahun 2015. Koperasi-koperasi itu memiliki anggota yang mencapai 37,78 juta orang, dengan volume usaha mencapai Rp 266,10 triliun.


Dari waktu ke waktu dilaporkan data keragaan tersebut tetap tumbuh, meski belum sesuai harapan. Pada periode 2010 sampai 2015, jumlah unit dan anggota koperasi terus meningkat dengan rata-rata pertumbuhan lebih dari 4 persen per tahun. Rata-rata jumlah anggota pada tahun 2015 adalah sekitar 178 orang per koperasi. Begitu pula dengan perkembangan usaha koperasi dalam aspek modal, volume usaha dan sisa hasil usaha (SHU). 


Fakta tentang jumlah koperasi, koperasi aktif, jumlah anggota, kelolaan, modal dan SHU tadi biasa disebut data keragaan. Data keragaan adalah yang terlaporkan, terutama dari koperasi itu sendiri, yang sebagiannya memang terkonfirmasi oleh Dinas Kabupaten/Kota. Akan tetapi masih perlu banyak penelitian akademis dan pemeriksaan aspek yang lebih rinci oleh otoritas, untuk menggambarkan fakta lapangan secara lebih akurat. Dan yang tak kalah pentingnya, melihat koperasi dalam konteks lebih luas, kontribusinya bagi perekonomian lokal dan nasional. Data keragaan saja tak cukup menggambarkan, serta belum mampu membantah sinyalemen atau penilaian bahwa koperasi masih berada di “pinggiran” dan bukan pelaku utama ekonomi.

Perkembangan data keragaan yang tumbuh positif menunjukkan pula kebutuhan yang tinggi terhadap pendampingan dalam penerapan prinsip-prinsip koperasi. Urgensi tersebut antara lain masih banyaknya koperasi yang tidak aktif, dan kurang dari separuhnya yang sudah melaksanakan rapat anggota tahunan (RAT) sesuai jadwalnya pada tahun 2015. Hal ini mengindikasikan masalah profesionalisme pengelolaan koperasi yang masih sangat perlu ditingkatkan.

Berdasarkan kegiatan ekonomi, populasi koperasi terbesar terdapat di sektor tersier atau jasa (78,0 persen), sedangkan proporsi koperasi di sektor primer dan sekunder masing-masing adalah sebesar 21,0 persen dan 1,0 persen. Sementara berdasarkan jenis, proporsi koperasi konsumen merupakan yang terbesar. Khusus untuk Koperasi Simpan Pinjam (KSP), perkembangannya bisa dikatakan paling pesat  serta menunjukkan peran yang semakin penting dalam mendukung keuangan inklusif di Indonesia.

Perlu dicatat bahwa lebih banyak lagi koperasi yang bukan KSP, tetapi memiliki unit simpan pinjam (USP) koperasi. Layanan pembiayaan yang disediakannya pada koperasi serba usaha bahkan berperan sentral dalam mendukung keberlanjutan usaha-usaha produktif skala mikro dan kecil terutama di sektor pertanian, perikanan dan industri kecil di perdesaan.

Secara kewilayahan, tercatat bahwa Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat memiliki jumlah koperasi aktif terbesar di wilayah Jawa dan Indonesia. Sedangkan Provinsi Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan Bali memiliki jumlah koperasi aktif terbesar di Luar Jawa.

Gambaran mengenai perkembangan koperasi tersebut menunjukkan kebutuhan terhadap kebijakan pemberdayaan koperasi yang fokus pada perbaikan penerapan prinsip-prinsip koperasi dan penguatan pengelolaan usaha koperasi. Keniscayaan akan peningkatan peran aktif anggota koperasi dalam rangka mempercepat kemandirian koperasi. Koperasi bisa ditingkatkan kemampuannya untuk berkembang besar dan sejajar dengan bentuk bangun ekonomi lain tanpa harus meninggalkan jatidirinya. Peran koperasi sebagai kekuatan penyeimbang perlu diperkuat dalam peningkatan kesejahteraan rakyat yang tidak hanya berorientasi pada aspek pertumbuhan saja namun juga pada aspek pemerataan. Upaya tersebut perlu dilengkapi dengan perbaikan kinerja koperasi berdasarkan bidang dan lokasi usahanya. Hal ini sangat penting dilakukan dalam rangka mendorong pertumbuhan koperasi untuk menjadi penggerak perekonomian khususnya di sentra-sentra produksi di luar Jawa.

Kamis, 08 September 2016

FAKTOR EKSTERNAL MAKIN MENDOMINASI

Kondisi perekonomian Indonesia belakangan sangat dipengaruhi oleh dinamika ekonomi dan keuangan global. Bahkan, cenderung semakin bergantung padanya. Perekonomian nasional tumbuh tinggi dan kondusif jika kondisi global membaik, serta sebaliknya jika memburuk atau tidak stabil. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi selama beberapa tahun dengan mudah melambat, seperti yang terjadi pada tahun 2014 dan 2015. Goncangan eksternal masih akan menjadi ancaman serius secara terus menerus pada tahun-tahun mendatang.


Faktor eksternal kadang berdampak yang waktunya bersifat segera atau seketika, bahkan untuk hal yang bersifat baru kemungkinan atau rumor. Sebagai contoh, tahun lalu adalah isyu kemungkinan kenaikan suku bunga kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat atau Fed Fund Rate (FFR). Begitu juga hal-hal seperti: harga-harga komoditas utama, kelesuan ekonomi negara maju, pemulihannya, perubahan nilai tukar antar negara industri maju, dan lain sebagainya.

Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) tahun 2015 memang membaik (lihat gambar yang disalin dari publikasi BI), terutama didukung oleh surplus transaksi modal dan finansial yang meningkat. Diakui bahwa surplus transaksi modal dan finansial itu lebih karena menurunnya ketidakpastian di pasar keuangan global, meskipun juga ada faktor membaiknya keyakinan atas prospek perekonomian Indonesia. Dengan kata lain, risiko NPI dan terutama neraca transaksi berjalan selalu ada dan bergantung kepada kondisi global.

Sementara itu Neraca Perdagangan yang sempat defisit berangsur membaik. Perbaikan terutama dikarenakan penurunan laju impor yang lebih cepat daripada penurunan impor. Belakangan, surplus neraca perdagangan nonmigas kembali menurun, karena impor nonmigas tumbuh seiring dengan meningkatnya permintaan domestik pada triwulan IV 2015, yang juga pertanda membaiknya ekonomi. (lihat gambar yang disalin dari publikasi BI). Di sisi lain, defisit neraca perdagangan migas menyusut seiring turunnya volume impor minyak dan harga minyak mentah dunia. Ekspor nonmigas Indonesia masih terkendala pada terbatasnya produk dan ketergantungan kepada komoditas primer, serta kurang luasnya jangkauan negara tujuan.






Data ekonomi lainnya yang mencerminkan pengaruh faktor eksternal, serta berkaitan langsung dengan tekanan kepada rupiah adalah soal utang luar negeri (ULN) Indonesia. Bank Indonesia mempublikasikan posisi ULN Indonesia pada akhir tahun 2015 sebesar USD310,7 miliar. Meningkat USD17,0 miliar atau tumbuh 5,8% dari posisi akhir 2014 sebesar USD293,8 miliar. Rasio ULN terhadap produk domestik bruto (PDB) tercatat sebesar 36,1%, lebih tinggi daripada 33,0% pada akhir tahun 2014. Sejauh ini, Bank Indonesia memandang perkembangan ULN pada triwulan IV 2015 masih cukup sehat, namun mengaku perlu terus mewaspadai risikonya terhadap perekonomian nasional. Dipastikan bahwa ke depan, Bank Indonesia akan terus memantau perkembangan ULN, khususnya ULN sektor swasta. Pemantauan dan pengawasan dimaksudkan untuk memberi keyakinan bahwa ULN dapat berperan secara optimal dalam mendukung pembiayaan pembangunan tanpa menimbulkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas makroekonomi.

Perkembangan data memang mencatat bahwa ULN swasta sudah melampaui ULN pemerintah sejak pertengahan tahun 2012 (lihat gambar yang diolah dari data BI). ULN swasta per 31 Desember 2015 adalah sebesar USD 167,71 miliar. Termasuk kategori ULN swasta adalah ULN BUMN.  ULN BUMN tercatat sebesar USD 33,19 miliar, yang terdiri dari: USD 5,66 miliar ULN Bank BUMN dan 27.535 ULN BUMN Bukan Bank. 


Meskipun demikian, Bank Indonesia berulangkali melaporkan bahwa beban utang luar negeri masih dalam batas aman bagi perekonomian nasional. Namun, laporan terakhir memperlihatkan bahwa indikator beban atau risiko masih meningkat. Baik diukur dari rasio atas penerimaan transaksi berjalan, atas ekpor maupun atas PDB.

Kuatnya pengaruh faktor eksternal tadi antara lain berujung kepada pelemahan dan volatilitas nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sepanjang tahun 2015. BI dan Pemerintah secara tegas mengakui bahwa kondisi dan keuangan global yang membuat hampir semua mata uang negara lain mengalami kondisi serupa. Bahkan, kondisi Indonesia dianggap relatif masih lebih baik dibanding banyak negara.