Belanja Negara merupakan semua
pengeluaran negara dalam satu tahun anggaran yang mengurangi ekuitas dana
lancar dan merupakan kewajiban negara, dan tidak akan diperoleh pembayarannya
kembali oleh negara. Secara prinsip besaran belanja yang tercantum dalam APBN
merupakan batas tertinggi, sehingga tidak dapat dilampaui.
Belanja Negara terdiri dari dua
pos, yaitu: 1. Belanja Pemerintah Pusat; 2. Transfer ke Daerah dan Dana desa. Belanja
negara dalam RAPBN 2017 direncanakan sebesar Rp2.070.465,9 miliar, yang
meliputi Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp1.310.439,3 miliar dan Transfer ke
Daerah dan Dana Desa sebesar Rp760.026,7 miliar.
Belanja Pemerintah Pusat dapat
dicermati dari berbagai klasifikasi, antara lain adalah: menurut Fungsi,
menurut organisasi, menurut program, dan menurut jenis. Anggaran Belanja
Pemerintah Pusat dalam RAPBN 2017 memiliki tiga versi rincian itu dalam dokumen
Nota Keuangan dan RUUnya. Sedangkan rincian menurut jenis nanti akan dalam
Perpres yang menjabarkan lebih lanjut dan secara lebih teknis, setelah UU
ditetapkan. Perlu diingat bahwa nilai besaran belanja totalnya tetap satu,
namun dirinci dengan beberapa cara.
Menurut klasifikasi fungsi,
alokasi anggaran belanja pemerintah pusat dirinci menjadi 11 fungsi yang
menggambarkan tugas pemerintah dalam melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan dan
pemerintahan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional. Fungsi-fungsi
tersebut terdiri atas: (1) fungsi pelayanan umum; (2) fungsi pertahanan; (3)
fungsi ketertiban dan keamanan; (4) fungsi ekonomi; (5) fungsi perlindungan
lingkungan hidup; (6) fungsi perumahan dan fasilitas umum; (7) fungsi
kesehatan; (8) fungsi pariwisata; (9) fungsi agama; (10) fungsi pendidikan; dan
(11) fungsi perlindungan sosial.
Rincian belanja pemerintah pusat
menurut fungsi merupakan reklasifikasi atas program-program dan hanya merupakan
alat analisis (tools of analysis)
yang digunakan untuk menganalisa fungsi-fungsi yang telah, sedang dan akan
dilaksanakan oleh Pemerintah sesuai dengan international
best practices. Klasifikasi menurut fungsi yang diterapkan dalam sistem
penganggaran di Indonesia, telah mengacu pada classification of the functions of government (COFOG) yang disusun
oleh United Nations Development Programme (UNDP) dan diadopsi Government Finance Statistics Government
Finance Statistics (GFS) manual 2001 – International
Monetary Fund (IMF), dengan sedikit modifikasi berupa pemisahan fungsi
agama dari fungsi rekreasi, budaya dan agama (recreation, culture, and religion). Saat ini, terdapat 11 fungsi dan
69 subfungsi.
Rincian belanja pemerintah pusat
menurut organisasi dipengaruhi oleh perkembangan susunan kementerian
negara/lembaga, perkembangan jumlah bagian anggaran, serta perubahan
nomenklatur atau pemisahan suatu unit organisasi dari organisasi induknya, atau
penggabungan organisasi. Secara umum
dikelompokkan dalam dua bagian besar yaitu: (1) anggaran yang dialokasikan
melalui BA Kementerian Negara/Lembaga (K/L) dengan menteri/pimpinan lembaga
selaku Pengguna Anggaran (Chief
Operational Officer/COO); dan (2) anggaran yang dialokasikan melalui bagian
anggaran Bendahara Umum Negara (BUN) dengan Menteri Keuangan selaku BUN (Chief Financial Officer/CFO) atau
belanja non-K/L, yang berwenang dan bertanggung jawab atas pengelolaan aset dan
kewajiban negara secara nasional.
Berdasarkan struktur kementerian
yang berlaku sejak tahun 2015 (Kabinet Kerja periode 2014-2019), jumlah BA K/L
adalah 87 bagian anggaran dengan rincian: 34 kementerian, empat kementerian
koordinator, enam lembaga tinggi negara, 37 lembaga pemerintah, dan enam
komisi. Sementara itu, jumlah BA BUN belanja pemerintah pusat adalah 5 BA BUN yang
terdiri atas: (1) BA BUN Pengelolaan Utang Pemerintah; (2) BA BUN Pengelolaan
Hibah; (3) BA BUN Pengelolaan Belanja Subsidi; (4) BA BUN Pengelolaan Belanja
Lainnya; dan (5) BA BUN Pengelolaan Transaksi Khusus.
Dari anggaran belanja pemerintah
pusat dalam RAPBN tahun 2017 sebesar Rp1.310,439,3 miliar, sebanyak 57,9 persen
atau Rp758.378,0 miliar dialokasikan melalui BA K/L, sementara 42,1 persen
lainnya atau Rp552.061,3 miliar dialokasikan melalui BA BUN (belanja non-K/L).
Belanja K/L dianggarkan lebih rendah dari tahun 2016, sedangkan non K/L justeru
naik, terutama karena kenaikan beban pembayaran bunga utang yang
signifikan.
Belanja Pemerintah Pusat Menurut
Program adalah belanja Pemerintah Pusat yang dialokasikan untuk mencapai hasil
(outcome) tertentu pada Bagian
Anggaran kementerian negara/lembaga dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara. Ada
sekitar 3000 lebih program dalam RAPBN 2017. Jumlah program berbeda antar
masing-masing K/L, dari yang hanya beberapa hingga puluhan. Lima belas K/L yang
memiliki alokasi anggaran terbesar, mencapai 85,6 persen dari total anggaran
K/L dalam RAPBN tahun 2017, cenderung memiliki program yang lebih banyak.
Sebenarnya ada rincian
klasifikasi yang dicantumkan dalam Nota Keuangan dan APBN sejak 2005 hingga
2014, namun sejak 2015 hanya dalam Peraturan Presiden atau dokumen anggaran di
bawah UU, yakni belanja pemerintah pusat menurut jenis belanja (klasifikasi ekonomi),
yang merupakan pengelompokkan berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi dengan
mengacu pada manual GFS manual 2001. Terdiri atas 8 jenis belanja, sepeti: belanja
pegawai, belanja barang, belanja modal, pembayaran bunga utang, subsidi,
belanja hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain. Jenis belanja dalam
klasifikasi belanja digunakan dalam dokumen penganggaran baik dalam proses
penyusunan anggaran, pelaksanan anggaran, dan pertangungjawaban/pelaporan
anggaran. Antara lain untuk mengetahui pendistribusian alokasi anggaran,
efektifitas dan efisiensi dalam masing-masing jenis belanja.
Diantara yang menarik dalam
analisis belanja pemerintah pusat berdasar jenis adalah tentang belanja pegawai
dan belanja barang. Isyu efisiensi antara lain tentang mengurangi biaya
perjalanan, biaya rapat, biaya pemeliharaan barang dan semacamnya yang
merupakan subrincian dari belanja barang. Soal efisiensi pengadaan barang sudah
menjadi lebih dahulu dan masih terus bergulir. Sedangkan belanja pegawai
terutama terkait dengan isyu pengurangan jumlah pegawai di masa mendatang.
Topik efisiensi dan efektifitas
belanja K/L di lingkungan pemerintah, khususnya kementerian keuangan, sudah
berulangkali diangkat dan ditindaklanjuti. Kemenkeu antara lain melakukan apa
yang disebut spending review sejak
tahun 2012, dan melakukan beberapa perubahan atas dasar itu. Namun, bu Sri
Mulyani tampak lebih menggebrak dan mendorong lebih jauh, karena memang
kondisinya makin sulit. Pertama kali selama belasan tahun, anggaran belanja K/L
diusulkan turun. Jika dicermati, usulan itu meliputi hampir seluruh K/L,
sebagian besar program, dan jenis belanja. Sedangkan dalam hal menurut fungsi
agak lebih sulit dianalisis terkait isyu efisiensi. Klasifikasi ini sifatnya
lebih untuk “promosi”, pertanggungjawaban publik bahwa fungsi dijalankan dengan
baik, serta perbandingan antar negara.
Bu Sri nampaknya juga masih belum
melakukan “extra effort” dalam hal belanja non K/L, terutama pengeluaran untuk
bunga utang. Kemungkinan ada pertimbangan mengenai kredibilitas pemerintah
dalam soal utang, serta prioritas hal yang tidak menimbulkan gejolak atau
reaksi pasar yang dapat memukul balik. Bagaimanapun, belanja bunga diusulkan
naik signifikan dan belanja subsidi turun hanya sedikit.
Dalam perspektif yang optimis,
jika efisiensi belanja K/L berjalan baik dan kredibilitas Pemerintah dalam
pengelolaan fiskal membaik (terutama dalam hal utang dan bunga utang), maka
pada tahun 2018 dan seterusnya efisiensi akan lebih menjangkau belanja non K/L.
Biaya utang akan dapat diturunkan, namun tetap diberi kepercayaan berutang,
karena masih amat dibutuhkan.