Dari uraian terdahulu, RAPBN 2017
mentargetkan Pendapatan Negara sebesar Rp 1.737.629,4 milyar, dan merencanakan
belanja negara sebesar Rp2.070.465,9 milyar. Dengan demikian, akan ada defisit
anggaran sebesar Rp332.836,6 milyar. Jumlah defisit itu diperkirak merupakan
2,41% PDB tahun bersangkutan.
Dengan alasan membuat pembiayaan
anggaran lebih informatif, transparan, dan mudah dimengerti oleh pemangku
kepentingan, pada RAPBN tahun 2017 terdapat perubahan klasifikasi pembiayaan
anggaran. Apabila sebelumnya pembiayaan anggaran terdiri dari pembiayaan utang
dan pembiayaan nonutang, maka pada RAPBN tahun 2017 pembiayaan anggaran diubah
menjadi terdiri dari pembiayaan utang, pembiayaan investasi, pemberian pinjaman,
kewajiban penjaminan, dan pembiayaan lainnya.
Pembiayaan Utang pada klasifikasi
baru terdiri dari Surat Berharga Negara (neto) dan Pinjaman (neto). Pinjaman
(neto) tersebut merupakan gabungan dari pinjaman dalam negeri (neto) dan
pinjaman luar negeri (neto).
Pembiayaan Investasi pada
klasifikasi baru terdiri dari Investasi kepada BUMN, Investasi kepada
Lembaga/Badan Lainnya, Investasi kepada BLU, Investasi kepada
Organisasi/Lembaga Keuangan Internasional (LKI)/Badan Usaha Internasional,
Penerimaan Kembali Investasi, dan Cadangan Pembiayaan Investasi. Investasi
kepada BUMN berupa PMN kepada BUMN, sedangkan Investasi kepada BLU antara lain
terdiri dari dana bergulir, Dana Pengembangan Pendidikan Nasional (DPPN),
Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN), dan Pusat Investasi Pemerintah (PIP).
Pemberian Pinjaman pada
klasifikasi baru terdiri dari pinjaman kepada BUMN/Pemda/ Lembaga/Badan lainnya
dan cadangan pemberian pinjaman.
Pembiayaan Lainnya pada
klasifikasi baru terdiri atas Hasil Pengelolaan Aset (HPA) dan Saldo Anggaran
Lebih (SAL).
Secara keseluruhan, pembiayaan
anggaran dalam RAPBN tahun 2017 direncanakan sebesar Rp332.836,6 miliar. Oleh
karena dalam pos pembiayaan anggaran terdapat pula pengeluaran lagi, maka utang
yang direncanakan menjadi lebih besar daripada defisit anggaran. Secara teknis,
dimungkinkan adanya penerimaan dalam pos pembiayaan yang dapat mengurangi
kebutuhan akan utang. RAPBN 2017 mentargetkan penerimaan dalam pos Pembiayaan lainnya
dari penerimaan hasil pengelolaan aset hanya sebesar Rp300 milyar. Akan tetapi
dalam realisasi biasanya akan ada pemanfaatan Saldo Anggaran Lebih (SAL).
Pembiayaan utang kini dibagi menjadi
dua bagian yaitu SBN (neto) dan pinjaman (neto). Pinjaman (neto) terdiri atas pinjaman
dalam negeri (neto) dan pinjaman luar negeri (neto). Klasifikasi ini
berdasarkan jenis instrumen pembiayaan utang dengan membedakan apakah utang
diperoleh melalui penerbitan obligasi (SBN) di pasar keuangan atau melalui
penarikan pinjaman dari kreditur, baik multilateral, bilateral, maupun
komersial, di dalam maupun luar negeri. Pembiayaan utang yang bersumber dari
pinjaman ditandai dengan adanya perjanjian pinjaman antara Pemerintah dengan
lembaga-lembaga kreditur tersebut. Pembiayaan utang direncanakan sebesar
Rp389.009,3 miliar. Terdiri dari Surat Berharga Negara (Neto) sebesar Rp404.311,4
milyar, dan Pinjaman (Neto) sebesar minus Rp15.302,1 milyar. Disebut SBN neto karena
yang diterbitkan lebih besar dari itu, antara lain untuk melunasi yang sudah
jatuh tempo. Disebut Pinjaman neto karena ada pembayaran cicilan pokok, dan
bernominal minus karena pembayaran tersebut lebih besar daripada penarikan
pinjaman baru.
Investasi Pemerintah merupakan
penempatan sejumlah dana dan/atau barang oleh Pemerintah dalam jangka panjang,
yang diharapkan memberikan hasil dan nilai tambah di masa yang akan datang,
baik berupa pengembalian nilai pokok ditambah dengan manfaat ekonomi, sosial,
dan/atau manfaat lainnya. Dalam tahun 2017, pembiayaan investasi dialokasikan
dalam rangka investasi kepada BUMN, Lembaga/Badan lainnya, BLU, organisasi/lembaga
keuangan internasional/badan usaha internasional, dan cadangan pembiayaan investasi.
Investasi Pemerintah dalam RAPBN
2017 direncanakan sebesar Rp49.138,9 milyar. Terdiri dari: Investasi Kepada
BUMN sebesar Rp .000,0 miyar, Investasi Kepada Lembaga/Badan Lainnya sebesar Rp3.200,0
milyar, Investasi Kepada BLU seebsar Rp34.850,0 milyar, Investasi kepada
Organisasi/LKI/Badan Usaha Internasional sebesar Rp1.988,9 milyar, dan Cadangan
Pembiayaan Investasi sebesar Rp5.100,0 milyar.
Nota Keuangan dan RAPBN 2017 juga
menjelaskan pokok-pokok kebijakan fiskal jangka menengah, yang menyebut bahwa
Pemerintah masih akan menempuh kebijakan fiskal ekspansif. Hal ini berarti
bahwa Pemerintah merencanakan RAPBN tahun 2018–2020 dalam keadaan defisit. Alasannya,
untuk membiayai kegiatan produktif dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi
dan menjaga keseimbangan ekonomi makro. Pemerintah berjanji akan tetap berupaya
untuk mengendalikan besaran defisit dalam batas aman dan diupayakan cenderung
menurun pada akhir tahun 2020.
Bagaimanapun, dan memang diakui
secara resmi, untuk menutup defisit dalam jangka menengah, Pemerintah akan
memanfaatkan sumber-sumber pembiayaan yang tersedia terutama dari utang,
mengingat keterbatasan sumber pembiayaan lainnya. Kembali dijanjikan bahwa Pemerintah
tetap mempertimbangkan efisiensi biaya utang dan pengembangan pasar keuangan
domestik. Besaran pembiayaan anggaran juga diupayakan untuk terus menurun
sejalan dengan upaya menurunkan defisit dalam RAPBN jangka menengah.
Sayangnya proyeksi defisit jangka
menengah hingga tahun 2020 masih amat besar, dan utang pun terus meningkat
pesat. Proyeksi itu sudah dibuat skenario pesimis dan optimis. Namun harus
diakui bahwa peluang skenario pesimis dalam hal defsit dan utang masih lebih
berpeluang terjadi. Belum tampak ada gambaran apakah segala langkah selama ini
dan tahun-tahun mendatang akan mengubah posisi itu secara radikal. Misalkan
kapan kita mulai tidak defisit dan tidak menambah utang (belum sampai target
berkurang). Apakah bisa tahun 2025?