Sabtu, 17 September 2016

MEMAHAMI RAPBN 2017 (bagian 4)

Dari uraian terdahulu, RAPBN 2017 mentargetkan Pendapatan Negara sebesar Rp 1.737.629,4 milyar, dan merencanakan belanja negara sebesar Rp2.070.465,9 milyar. Dengan demikian, akan ada defisit anggaran sebesar Rp332.836,6 milyar. Jumlah defisit itu diperkirak merupakan 2,41% PDB tahun bersangkutan.


Pemerintah menyampaikan argumentasi bahwa arah kebijakan fiskal tahun 2017 bersifat ekspansif dan difokuskan untuk mendukung kegiatan produktif guna meningkatkan kapasitas produksi dan daya saing nasional. Namun, dengan memilih angka defisit yang tidak terlalu tinggi dan pemenuhan belanja yang baik. Dijelaskan pula bahwa peningkatan defisit terutama disebabkan oleh melambatnya perekonomian pada tahun 2015—2016 yang berdampak pada menurunnya penerimaan perpajakan di tahun 2017. Untuk membiayainya, Pemerintah akan memanfaatkan sumber pembiayaan terutama berasal dari utang.

Dengan alasan membuat pembiayaan anggaran lebih informatif, transparan, dan mudah dimengerti oleh pemangku kepentingan, pada RAPBN tahun 2017 terdapat perubahan klasifikasi pembiayaan anggaran. Apabila sebelumnya pembiayaan anggaran terdiri dari pembiayaan utang dan pembiayaan nonutang, maka pada RAPBN tahun 2017 pembiayaan anggaran diubah menjadi terdiri dari pembiayaan utang, pembiayaan investasi, pemberian pinjaman, kewajiban penjaminan, dan pembiayaan lainnya.

Pembiayaan Utang pada klasifikasi baru terdiri dari Surat Berharga Negara (neto) dan Pinjaman (neto). Pinjaman (neto) tersebut merupakan gabungan dari pinjaman dalam negeri (neto) dan pinjaman luar negeri (neto).

Pembiayaan Investasi pada klasifikasi baru terdiri dari Investasi kepada BUMN, Investasi kepada Lembaga/Badan Lainnya, Investasi kepada BLU, Investasi kepada Organisasi/Lembaga Keuangan Internasional (LKI)/Badan Usaha Internasional, Penerimaan Kembali Investasi, dan Cadangan Pembiayaan Investasi. Investasi kepada BUMN berupa PMN kepada BUMN, sedangkan Investasi kepada BLU antara lain terdiri dari dana bergulir, Dana Pengembangan Pendidikan Nasional (DPPN), Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN), dan Pusat Investasi Pemerintah (PIP).

Pemberian Pinjaman pada klasifikasi baru terdiri dari pinjaman kepada BUMN/Pemda/ Lembaga/Badan lainnya dan cadangan pemberian pinjaman.

Kewajiban Penjaminan pada klasifikasi baru terdiri dari Penugasan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Nasional dan Penugasan Penyediaan Pembiayaan Infrastruktur Daerah kepada BUMN. Penugasan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Nasional terdiri dari Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Batubara (Proyek 10.000 MW Tahap I), Percepatan Penyediaan Air Minum, Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha yang dilakukan melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur atau proyek infrastruktur dengan skema KPBU, Pembiayaan Infrastruktur melalui pinjaman langsung dari LKI kepada BUMN dan Percepatan Pembangunan Jalan Tol di Sumatera.

Pembiayaan Lainnya pada klasifikasi baru terdiri atas Hasil Pengelolaan Aset (HPA) dan Saldo Anggaran Lebih (SAL).

Secara keseluruhan, pembiayaan anggaran dalam RAPBN tahun 2017 direncanakan sebesar Rp332.836,6 miliar. Oleh karena dalam pos pembiayaan anggaran terdapat pula pengeluaran lagi, maka utang yang direncanakan menjadi lebih besar daripada defisit anggaran. Secara teknis, dimungkinkan adanya penerimaan dalam pos pembiayaan yang dapat mengurangi kebutuhan akan utang. RAPBN 2017 mentargetkan penerimaan dalam pos Pembiayaan lainnya dari penerimaan hasil pengelolaan aset hanya sebesar Rp300 milyar. Akan tetapi dalam realisasi biasanya akan ada pemanfaatan Saldo Anggaran Lebih (SAL).


Pembiayaan utang kini dibagi menjadi dua bagian yaitu SBN (neto) dan pinjaman (neto). Pinjaman (neto) terdiri atas pinjaman dalam negeri (neto) dan pinjaman luar negeri (neto). Klasifikasi ini berdasarkan jenis instrumen pembiayaan utang dengan membedakan apakah utang diperoleh melalui penerbitan obligasi (SBN) di pasar keuangan atau melalui penarikan pinjaman dari kreditur, baik multilateral, bilateral, maupun komersial, di dalam maupun luar negeri. Pembiayaan utang yang bersumber dari pinjaman ditandai dengan adanya perjanjian pinjaman antara Pemerintah dengan lembaga-lembaga kreditur tersebut. Pembiayaan utang direncanakan sebesar Rp389.009,3 miliar. Terdiri dari Surat Berharga Negara (Neto) sebesar Rp404.311,4 milyar, dan Pinjaman (Neto) sebesar minus Rp15.302,1 milyar. Disebut SBN neto karena yang diterbitkan lebih besar dari itu, antara lain untuk melunasi yang sudah jatuh tempo. Disebut Pinjaman neto karena ada pembayaran cicilan pokok, dan bernominal minus karena pembayaran tersebut lebih besar daripada penarikan pinjaman baru.

Investasi Pemerintah merupakan penempatan sejumlah dana dan/atau barang oleh Pemerintah dalam jangka panjang, yang diharapkan memberikan hasil dan nilai tambah di masa yang akan datang, baik berupa pengembalian nilai pokok ditambah dengan manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya. Dalam tahun 2017, pembiayaan investasi dialokasikan dalam rangka investasi kepada BUMN, Lembaga/Badan lainnya, BLU, organisasi/lembaga keuangan internasional/badan usaha internasional, dan cadangan pembiayaan investasi.

Investasi Pemerintah dalam RAPBN 2017 direncanakan sebesar Rp49.138,9 milyar. Terdiri dari: Investasi Kepada BUMN sebesar Rp .000,0 miyar, Investasi Kepada Lembaga/Badan Lainnya sebesar Rp3.200,0 milyar, Investasi Kepada BLU seebsar Rp34.850,0 milyar, Investasi kepada Organisasi/LKI/Badan Usaha Internasional sebesar Rp1.988,9 milyar, dan Cadangan Pembiayaan Investasi sebesar Rp5.100,0 milyar.

Nota Keuangan dan RAPBN 2017 juga menjelaskan pokok-pokok kebijakan fiskal jangka menengah, yang menyebut bahwa Pemerintah masih akan menempuh kebijakan fiskal ekspansif. Hal ini berarti bahwa Pemerintah merencanakan RAPBN tahun 2018–2020 dalam keadaan defisit. Alasannya, untuk membiayai kegiatan produktif dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi dan menjaga keseimbangan ekonomi makro. Pemerintah berjanji akan tetap berupaya untuk mengendalikan besaran defisit dalam batas aman dan diupayakan cenderung menurun pada akhir tahun 2020.
Bagaimanapun, dan memang diakui secara resmi, untuk menutup defisit dalam jangka menengah, Pemerintah akan memanfaatkan sumber-sumber pembiayaan yang tersedia terutama dari utang, mengingat keterbatasan sumber pembiayaan lainnya. Kembali dijanjikan bahwa Pemerintah tetap mempertimbangkan efisiensi biaya utang dan pengembangan pasar keuangan domestik. Besaran pembiayaan anggaran juga diupayakan untuk terus menurun sejalan dengan upaya menurunkan defisit dalam RAPBN jangka menengah.


Sayangnya proyeksi defisit jangka menengah hingga tahun 2020 masih amat besar, dan utang pun terus meningkat pesat. Proyeksi itu sudah dibuat skenario pesimis dan optimis. Namun harus diakui bahwa peluang skenario pesimis dalam hal defsit dan utang masih lebih berpeluang terjadi. Belum tampak ada gambaran apakah segala langkah selama ini dan tahun-tahun mendatang akan mengubah posisi itu secara radikal. Misalkan kapan kita mulai tidak defisit dan tidak menambah utang (belum sampai target berkurang). Apakah bisa tahun 2025?