Minggu, 18 September 2016

PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DALAM RAPBN 2017

Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan yang terdiri dari: (1) pendapatan negara yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah; (2) pendapatan pemanfaatan sumber daya alam; (3) pendapatan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan; (4) pendapatan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah; (5) pendapatan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi; (6) pendapatan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah; dan (7) pendapatan lainnya yang diatur dalam undang-undang tersendiri. Dalam struktur APBN, PNBP dikelompokkan menjadi pendapatan sumber daya alam, pendapatan bagian laba BUMN, PNBP Lainnya, dan pendapatan Badan Layanan Umum (BLU).


Selama periode 2008—2015, realisasi PNBP mengalami fluktuasi tiap tahunnya, namun cenderung menurun. PNBP pada tahun 2008 sebesar Rp320.604,6 miliar, dan pada tahun 2015 sebesar Rp 255.628,5 miliar. Pada APBNP 2016 target sedikit diturunkan, dan penurunan berlanjut pada RAPBN 2017.

Jika di lihat dari komposisinya, pendapatan SDA masih mendominasi, namun cenderung menurun. Kontribusinya pada tahun 2008 adalah 70,0%, sedangkan pada tahun 2015 hanya sebesar 39,5%. Dominasi masih oleh pendapatan SDA migas, yang pada tahun 2008 mencapai 94,3% dan pada tahun 2015 sebesar 77,4%. Akibatnya, sangat dipengaruhi oleh asumsi ICP, lifting, dan nilai tukar.


PNBP dalam RAPBN tahun 2017 direncanakan sebesar Rp240.362,9 miliar. Penurunan itu terutama karena Pendapatan SDA yang hanya sebesar Rp80.273,9 miliar, dan terutama SDA migas sebesar Rp57.078,0 miliar. Pemerintah beralasan bahwa penurunan target penerimaan SDA migas tersebut terutama dipengaruhi oleh menurunnya lifting minyak bumi, serta penguatan nilai tukar rupiah. Meskipun demikian, diasumsikan harga minyak mentah indonesia (ICP) meningkat seiring meningkatnya permintaan. Jika kenaikan harga ini tidak terbukti nantinya, maka pendapatan akan lebih rendah lagi.




Pendapatan SDA nonmigas dalam tahun 2017 ditargetkan sedikit naik menjadi sebesar Rp23.195,9 miliar. Terdiri dari pendapatan pertambangan mineral dan batubara sebesar Rp17.736,1 miliar, pendapatan kehutanan sebesar Rp3.942,8 miliar, pendapatan perikanan sebesar Rp857,5 miliar, dan pendapatan panas bumi sebesar Rp659,5 miliar.

Kenaikan terutama ditargetkan dari Pendapatan pertambangan mineral dan batubara dengan perkiraan kenaikan harga komoditas batubara di tahun 2017. Pendapatan kehutanan sedikit menurun terutama sebagai akibat lesunya pasar komoditas dunia, rendahnya produksi kayu bulat, dan kebijakan pemerintah untuk melanjutkan penundaan pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi dan area penggunaan lain.

Pendapatan SDA perikanan ditargetkan meningkat, terutama akibat pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang lebih optimal, bebas ilegal unreported and unregulated (IUU) fishing, ekstensifikasi tempat pemasukan dan pengeluaran ikan dengan pembukaan satuan kerja/wilayah kerja yang potensial sebagai sumber PNBP, serta peningkatan jumlah fasilitas dan sarana produksi perikanan. Pendapatan yang bersumber dari pertambangan panas bumi ditargetkan meningkat karena adanya potensi tambahan setoran bagian pemerintah akibat beroperasinya kembali Star Energy Geothermal Wayang Windu Limited setelah mengalami bencana longsor pada tahun 2015.

Pendapatan bagian laba BUMN pada tahun 2017 juga ditargetkan naik menjadi sebesar Rp38.000,0 miliar. Sebagai catatan realisasinya berfluktuasi, sempat mencapai Rp 40.314,4 miliar pada tahun 2014, namun ditargetkan hanya Rp34.164,0 pada APBNP 2016.

PNBP lainnya dalam RAPBN tahun 2017 ditargetkan naik hingga mencapai Rp84.430,7 miliar. Kecenderungannya dalam beberapa tahun terakhir memang naik, namun perlahan. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, kelompok pendapatan yang termasuk dalam PNBP lainnya adalah pendapatan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah, pendapatan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, pendapatan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah, pendapatan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi, serta pendapatan lainnya yang diatur dalam undang-undang tersendiri. Sementara itu, jenis PNBP yang diluar kelompok tersebut ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Secara garis besar, PNBP lainnya terbagi dalam beberapa jenis pendapatan, antara lain: (1) pendapatan dari pengelolaan barang milik negara (BMN) serta pendapatan dari penjualan; (2) pendapatan jasa; (3) pendapatan bunga; (4) pendapatan kejaksaan dan peradilan; (5) pendapatan pendidikan; (6) pendapatan gratifikasi dan uang sitaan hasil korupsi; (7) pendapatan iuran dan denda; serta (8) pendapatan lain-lain.


Pendapatan BLU dalam RAPBN 2017 direncanakan sebesar Rp37.658,3 miliar. Pendapatan BLU memang terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. Pengelolaan keuangan dengan mekanisme BLU mulai diberlakukan pada tahun 2007 oleh sembilan K/L yang bergerak di bidang layanan barang/jasa dan pembiayaan, dan mengalami peningkatan pada tahun 2012 yang dilaksanakan oleh 19 K/L yang bergerak di bidang kesehatan, pembiayaan, telekomunikasi, pendidikan, teknologi, pengelolaan kawasan, dan lain-lain.

Dari uraian di atas, PNBP memang sudah mengalami penurunan porsi dalam pendapatan negara, dan besarannya pun menurun drastis. Terutama karena penurunan pendapatan SDA, khususnya SDA migas. Harapan peningkatan besarannya pun belum cukup meyakinkan, sehingga menjadi alasan mengapa penerimaan perpajakan akan lebih diandalkan di waktu mendatang.

PNBP di waktu mendatang tampaknya akan lebih bertumpu dapa Pendapatan Bagian Laba BUMN, PNBP Lainnya dan Pendapatan BLU. Indonesia yang sering disebut kaya akan SDA justeru makin tidak tercermin dalam hal ini. Tantangannya adalah bukan saja bagaimana “meminta bagian negara” yang lebih besar dari eksploitasi SDA, melainkan bagaimana mengolah SDA secara lebih baik untuk keperluan meningkatkan produksi semua barang dan jasa dalam negeri. Diperkuat lagi dengan alasan bahwa Indonesia hanya berposisi menerima tanpa bisa mempengaruhi harga komoditas SDA dunia.