Rabu, 07 September 2016

PERKEMBANGAN KREDIT UMKM PERBANKAN TERNYATA STAGNAN


Kredit di perbankan kadang dianalisis dari distribusinya dalam hal kredit bagi usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan kredit nonUMKM. Prioritas kepada pengembangan kredit bagi UMKM telah banyak diakui oleh para ahli sebagai salah satu pilihan langkah strategis dalam memperkuat struktur kredit yang diberikan dan berpotensi stabil bagi perbankan dan industri keuangan nasional. Disamping bisa menjadi alat bagi perbaikan ketimpangan ekonomi melalui layanan keuangan yang lebih merata. Wajar jika prioritas demikian telah menjadi komitmen Bank Indonesia, OJK dan Pemerintah. Sejauh yang dikemukakan kepada publik, prioritas sudah didukung oleh rencana bisnis bank-bank besar.
Sering dikatakan bahwa kinerja kredit bagi UMKM sering lebih baik dibanding dengan kredit nonUMKM, terutama pada kondisi perbankan yang memburuk karena dampak kondisi keuangan global. Secara lebih khusus, kredit mikro dianggap akan menjadi tumbuh lebih pesat dibanding kredit lainnya. Jika dilihat dari sisi kredit bermasalah, sekalipun kadang turut meningkat, kondisi kredit UMKM dinilai tetap lebih baik daripada kredit korporasi.
Prioritas pengembangan kredit UMKM diharapkan mampu makin mendorong pemberdayaan UMKM, terutama usaha mikro. Usaha mikro di Indonesia secara umum dinilai dan telah terbukti berperan besar dalam upaya penanggulangan kemiskinan, secara cukup efektif dan berkelanjutan. Diantaranya melalui penciptaan lapangan pekerjaan, kesempatan berusaha dan menciptakan daya beli masyarakat. UMKM secara umum telah menjadi penopang ekonomi nasional jika dilihat secara makro ekonomi, terlebih pada saat ada badai krisis. Sektor UMKM hingga kini masih tetap menjadi tumpuan penyerapan tenaga kerja baru. Kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto dan pertumbuhan ekonomi, meskipun bukan yang terbesar, berlangsung secara stabil dalam kondisi bagaimana pun.
Berdasarkan definisi usaha dalam UU. No.20/2008 tentang UMKM, baki debet (outstanding) kredit UMKM mencapai Rp 830,66 triliun pada akhir Desember 2015. Kontribusi kredit UMKM terhadap total kredit perbankan itu adalah 19,89 %. Porsi kredit UMKM mengalami fluktuasi selama beberapa tahun terakhir. 
Fenomena penyaluran kredit selama lima tahun terakhir menguatkan dugaan tentang perbankan umum yang masih menghadapi kendala dalam penyaluran kredit untuk usaha kecil dan mikro. Tatkala dukungan dan dorongan Bank Indonesia, OJK serta Pemerintah begitu kuat, laju kredit UMKM justeru melambat. Kendala tersebut antara lain disebabkan hal-hal sebagai berikut: Tidak semua bank umum memiliki jaringan yang menyebar ke pelosok daerah; Pengetahuan tentang karakter, kondisi dan modal usaha kecil dan mikro kurang dimiliki oleh pengelola perbankan; Bank umum menghadapi masalah pengendalian dan keterbatasan tenaga pengawas atau penagih serta biayanya; Permasalahan usaha kecil dan mikro tidak sekedar permodalan tapi juga manajemen, pemasaran dan pengembangan teknologi.


Penyebutan kredit UMKM sebenarnya bersifat terlalu umum. Padahal, kredit usaha menengah yang dominan, justeru memiliki kriteria yang cukup jauh berbeda dengan yang mikro dan kecil. Dari kredit UMKM yang disalurkan hampir separuhnya adalah kredit usaha menengah, yang nilai kredit nya pun jauh lebih besar. Pada posisi Desember 2015, rata-rata baki debet adalah: kredit usaha mikro sebesar Rp 17 juta, kredit usaha kecil sebesar Rp 161 juta, dan kredit usaha menengah sebesar Rp 1.065 juta. Kredit mikro dan kredit kecil perlu mendapat perhatian dan perlakuan tersendiri di masa mendatang.
Prioritas yang ingin diberikan otoritas ekonomi kepada kredit UMKM oleh perbankan, sejauh ini belum menunjukkan hasil memuaskan, jika dilihat dari data jangkauan yang terlayani, yang antara lain tercermin oleh jumlah rekening kredit. Rekening kredit nonUMKM masih hampir tiga kali lipat jumlahnya. Pada Desember 2015, jumlah rekening kredit UMKM hanya sebanyak 11,93 juta rekening dibandingkan dengan yang nonUMKM sebanyak 28,80 juta rekening. Dengan demikian, tidak hanya nilai atau plafon kreditnya yang masih perlu ditingkatkan, melainkan juga jumlah pihak yang memperolehnya. Perlu diperhatikan bahwa data jumlah rekening kredit usaha kredit menengah yang hanya 0,36 juta rekening, tetapi memperoleh hampir separuh dari total kredit UMKM. 


Pencermatan kembali data-data umum tentang kredit UMKM, yang sebagian sudah dikemukakan di atas, diperlukan agar kebijakan ke depannya lebih efektif dan efisien bagi pembangunan ekonomi. Sebagai contoh lagi, tercatat bahwa  porsi kredit UMKM terhadap PDB Harga Berlaku pada Desember 2015 baru mencapai 6,85 persen dari total PDB. Kisaran porsi ini sudah bertahan amat lama. Begitu pula dengan porsi kredit UMKM terhadap total kredit perbankan yang secara fluktuatif di kisaran 19-21 persen. Secara lebih khusus adalah kondisi kredit mikro, yang hanya memiliki porsi di kisaran 4 persen dari total kredit perbankan.
Sementara itu, kebijakan Laku Pandai yang dipadukan dengan KUR baru dikedepankan BI, OJK dan Pemerintah akan menjadi terobosan besar. Diharapkan, semakin banyak orang (UMKM) yang bisa mengakses kredit dan biaya modal menjadi rendah. Akan tetapi, perlu diperiksa lebih cermat data realisasi, yang terindikasi  berciri perpindahan nasabah lama yang menikmati suku bunga tinggi ke suku bunga rendah. Artinya, 12 juta nasabah era Presdien SBY dan 1 juta era Presiden Jokowi, mungkin lebih dari separuhnya berasal dari perpindahan status nasabah nonKUR menjadi KUR saja. Sebagaimana diuraikan di atas, data umum pertumbuhan kredit UMKM setara saja dengan non UMKM. .

Sebagai contoh data yang mengisyaratkan perlunya kebijakan KUR ditinjau ulang atau disempurnakan adalah data bahwa hingga Desember 2015, nasabah kredit UMKM baru mencapai 11,93 juta rekening. Tumbuh sebanyak 0,95 juta dari Desember 2014. Data tersebut terkonfirmasi dari sumber resmi Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, yang mencakup nasabah penerima kredit KUR dan yang nonKUR. Pada kurun bersamaan, komite KUR melaporkan bahwa selama 2015 telah tersalur KUR kepada 1.003.533 debitur. Indikasi kuat adanya perpindahan nasabah nonKUR menjadi KUR ini mengurangi arti kesuksesan dan menjauh dari tujuan kebijakan KUR yang bermaksud memperluas jangkauan layanan.

Upaya pengembangan Laku Pandai dan KUR sejak awal seharusnya sudah melibatkan pelaku UMKM dan koperasi. Target RPJMN meningkatkan kontribusi koperasi pada PDB dari 1,7% tahun 2014 menjadi 8,0% tahun 2019 menjadi mustahil terwujud. Sesuai penamaannya, kebijakan keuangan inklusif berarti bukan semata perbankan inklusif.