Kamis, 08 September 2016

FAKTOR EKSTERNAL MAKIN MENDOMINASI

Kondisi perekonomian Indonesia belakangan sangat dipengaruhi oleh dinamika ekonomi dan keuangan global. Bahkan, cenderung semakin bergantung padanya. Perekonomian nasional tumbuh tinggi dan kondusif jika kondisi global membaik, serta sebaliknya jika memburuk atau tidak stabil. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi selama beberapa tahun dengan mudah melambat, seperti yang terjadi pada tahun 2014 dan 2015. Goncangan eksternal masih akan menjadi ancaman serius secara terus menerus pada tahun-tahun mendatang.


Faktor eksternal kadang berdampak yang waktunya bersifat segera atau seketika, bahkan untuk hal yang bersifat baru kemungkinan atau rumor. Sebagai contoh, tahun lalu adalah isyu kemungkinan kenaikan suku bunga kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat atau Fed Fund Rate (FFR). Begitu juga hal-hal seperti: harga-harga komoditas utama, kelesuan ekonomi negara maju, pemulihannya, perubahan nilai tukar antar negara industri maju, dan lain sebagainya.

Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) tahun 2015 memang membaik (lihat gambar yang disalin dari publikasi BI), terutama didukung oleh surplus transaksi modal dan finansial yang meningkat. Diakui bahwa surplus transaksi modal dan finansial itu lebih karena menurunnya ketidakpastian di pasar keuangan global, meskipun juga ada faktor membaiknya keyakinan atas prospek perekonomian Indonesia. Dengan kata lain, risiko NPI dan terutama neraca transaksi berjalan selalu ada dan bergantung kepada kondisi global.

Sementara itu Neraca Perdagangan yang sempat defisit berangsur membaik. Perbaikan terutama dikarenakan penurunan laju impor yang lebih cepat daripada penurunan impor. Belakangan, surplus neraca perdagangan nonmigas kembali menurun, karena impor nonmigas tumbuh seiring dengan meningkatnya permintaan domestik pada triwulan IV 2015, yang juga pertanda membaiknya ekonomi. (lihat gambar yang disalin dari publikasi BI). Di sisi lain, defisit neraca perdagangan migas menyusut seiring turunnya volume impor minyak dan harga minyak mentah dunia. Ekspor nonmigas Indonesia masih terkendala pada terbatasnya produk dan ketergantungan kepada komoditas primer, serta kurang luasnya jangkauan negara tujuan.






Data ekonomi lainnya yang mencerminkan pengaruh faktor eksternal, serta berkaitan langsung dengan tekanan kepada rupiah adalah soal utang luar negeri (ULN) Indonesia. Bank Indonesia mempublikasikan posisi ULN Indonesia pada akhir tahun 2015 sebesar USD310,7 miliar. Meningkat USD17,0 miliar atau tumbuh 5,8% dari posisi akhir 2014 sebesar USD293,8 miliar. Rasio ULN terhadap produk domestik bruto (PDB) tercatat sebesar 36,1%, lebih tinggi daripada 33,0% pada akhir tahun 2014. Sejauh ini, Bank Indonesia memandang perkembangan ULN pada triwulan IV 2015 masih cukup sehat, namun mengaku perlu terus mewaspadai risikonya terhadap perekonomian nasional. Dipastikan bahwa ke depan, Bank Indonesia akan terus memantau perkembangan ULN, khususnya ULN sektor swasta. Pemantauan dan pengawasan dimaksudkan untuk memberi keyakinan bahwa ULN dapat berperan secara optimal dalam mendukung pembiayaan pembangunan tanpa menimbulkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas makroekonomi.

Perkembangan data memang mencatat bahwa ULN swasta sudah melampaui ULN pemerintah sejak pertengahan tahun 2012 (lihat gambar yang diolah dari data BI). ULN swasta per 31 Desember 2015 adalah sebesar USD 167,71 miliar. Termasuk kategori ULN swasta adalah ULN BUMN.  ULN BUMN tercatat sebesar USD 33,19 miliar, yang terdiri dari: USD 5,66 miliar ULN Bank BUMN dan 27.535 ULN BUMN Bukan Bank. 


Meskipun demikian, Bank Indonesia berulangkali melaporkan bahwa beban utang luar negeri masih dalam batas aman bagi perekonomian nasional. Namun, laporan terakhir memperlihatkan bahwa indikator beban atau risiko masih meningkat. Baik diukur dari rasio atas penerimaan transaksi berjalan, atas ekpor maupun atas PDB.

Kuatnya pengaruh faktor eksternal tadi antara lain berujung kepada pelemahan dan volatilitas nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sepanjang tahun 2015. BI dan Pemerintah secara tegas mengakui bahwa kondisi dan keuangan global yang membuat hampir semua mata uang negara lain mengalami kondisi serupa. Bahkan, kondisi Indonesia dianggap relatif masih lebih baik dibanding banyak negara.