Kondisi perekonomian Indonesia
belakangan sangat dipengaruhi oleh dinamika ekonomi dan keuangan global.
Bahkan, cenderung semakin bergantung padanya. Perekonomian nasional tumbuh
tinggi dan kondusif jika kondisi global membaik, serta sebaliknya jika memburuk
atau tidak stabil. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi selama beberapa tahun
dengan mudah melambat, seperti yang terjadi pada tahun 2014 dan 2015. Goncangan
eksternal masih akan menjadi ancaman serius secara terus menerus pada
tahun-tahun mendatang.
Faktor eksternal kadang berdampak
yang waktunya bersifat segera atau seketika, bahkan untuk hal yang bersifat
baru kemungkinan atau rumor. Sebagai contoh, tahun lalu adalah isyu kemungkinan
kenaikan suku bunga kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat atau Fed Fund Rate (FFR). Begitu juga hal-hal
seperti: harga-harga komoditas utama, kelesuan ekonomi negara maju,
pemulihannya, perubahan nilai tukar antar negara industri maju, dan lain
sebagainya.
Kinerja Neraca Pembayaran
Indonesia (NPI) tahun 2015 memang membaik (lihat gambar yang disalin dari publikasi BI), terutama didukung
oleh surplus transaksi modal dan finansial yang meningkat. Diakui bahwa surplus
transaksi modal dan finansial itu lebih karena menurunnya ketidakpastian di
pasar keuangan global, meskipun juga ada faktor membaiknya keyakinan atas
prospek perekonomian Indonesia. Dengan kata lain, risiko NPI dan terutama
neraca transaksi berjalan selalu ada dan bergantung kepada kondisi global.
Sementara itu Neraca Perdagangan
yang sempat defisit berangsur membaik. Perbaikan terutama dikarenakan penurunan
laju impor yang lebih cepat daripada penurunan impor. Belakangan, surplus
neraca perdagangan nonmigas kembali menurun, karena impor nonmigas tumbuh
seiring dengan meningkatnya permintaan domestik pada triwulan IV 2015, yang
juga pertanda membaiknya ekonomi. (lihat gambar yang disalin dari publikasi BI). Di sisi lain, defisit neraca
perdagangan migas menyusut seiring turunnya volume impor minyak dan harga
minyak mentah dunia. Ekspor nonmigas Indonesia masih terkendala pada
terbatasnya produk dan ketergantungan kepada komoditas primer, serta kurang
luasnya jangkauan negara tujuan.
Data ekonomi lainnya yang
mencerminkan pengaruh faktor eksternal, serta berkaitan langsung dengan tekanan
kepada rupiah adalah soal utang luar negeri (ULN) Indonesia. Bank Indonesia mempublikasikan
posisi ULN Indonesia pada akhir tahun 2015 sebesar USD310,7 miliar. Meningkat
USD17,0 miliar atau tumbuh 5,8% dari posisi akhir 2014 sebesar USD293,8 miliar.
Rasio ULN terhadap produk domestik bruto (PDB) tercatat sebesar 36,1%, lebih
tinggi daripada 33,0% pada akhir tahun 2014. Sejauh ini, Bank Indonesia
memandang perkembangan ULN pada triwulan IV 2015 masih cukup sehat, namun mengaku
perlu terus mewaspadai risikonya terhadap perekonomian nasional. Dipastikan
bahwa ke depan, Bank Indonesia akan terus memantau perkembangan ULN, khususnya
ULN sektor swasta. Pemantauan dan pengawasan dimaksudkan untuk memberi
keyakinan bahwa ULN dapat berperan secara optimal dalam mendukung pembiayaan
pembangunan tanpa menimbulkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas
makroekonomi.
Perkembangan data memang mencatat
bahwa ULN swasta sudah melampaui ULN pemerintah sejak pertengahan tahun 2012 (lihat
gambar yang diolah dari data BI). ULN swasta per 31 Desember 2015 adalah sebesar USD 167,71 miliar. Termasuk
kategori ULN swasta adalah ULN BUMN. ULN
BUMN tercatat sebesar USD 33,19 miliar, yang terdiri dari: USD 5,66 miliar ULN
Bank BUMN dan 27.535 ULN BUMN Bukan Bank.
Meskipun demikian, Bank Indonesia
berulangkali melaporkan bahwa beban utang luar negeri masih dalam batas aman
bagi perekonomian nasional. Namun, laporan terakhir memperlihatkan bahwa
indikator beban atau risiko masih meningkat. Baik diukur dari rasio atas
penerimaan transaksi berjalan, atas ekpor maupun atas PDB.
Kuatnya pengaruh faktor eksternal
tadi antara lain berujung kepada pelemahan dan volatilitas nilai rupiah
terhadap dolar Amerika Serikat sepanjang tahun 2015. BI dan Pemerintah secara
tegas mengakui bahwa kondisi dan keuangan global yang membuat hampir semua mata
uang negara lain mengalami kondisi serupa. Bahkan, kondisi Indonesia dianggap
relatif masih lebih baik dibanding banyak negara.