Minggu, 11 September 2016

INFLASI DI INDONESIA : Pemahaman awal

Hampir semua orang di Indonesia beranggapan bahwa harga kebanyakan barang dan jasa kini lebih tinggi dari dahulu dan esok akan naik lagi. Ibu-ibu yang biasa berbelanja kebutuhan rumah tangga sehari-hari sering mengeluhkan, dan media masa rajin mewartakannya. Perhitungan rencana anggaran rumah tangga, lembaga sosial, perusahaan bisnis dan lembaga pemerintahan pun biasa mengasumsikan kenaikan harga dalam satuan unit belanjanya. 

Harga barang dan jasa merupakan suatu soalan terpenting dalam wacana makroekonomi, bersamaan dengan ikhwal pertumbuhan ekonomi dan pengangguran. Kebijakan makroekonomi suatu negara selalu bertujuan menanganinya agar tercapai tingkat harga yang stabil. Perhatikan bahwa tujuan utamanya bukan agar tidak terjadi kenaikan, melainkan suatu stabilitas atau kenaikan yang relatif rendah atau terukur dari waktu ke waktu. Fokus perhatian makroekonomi adalah soal harga secara umum atau dalam artian keseluruhan barang, bukan harga barang tertentu. Kenaikan harga secara umum itu dikenal dengan istilah inflasi. Inflasi adalah persentase tingkat kenaikan harga secara umum, yang jika besarannya negatif atau harga-harga turun biasa disebut deflasi.

Ada harga yang berbeda untuk tiap macam barang dan jasa dalam suatu perekonomian, seperti: harga produsen, harga grosir dan harga eceran (konsumen akhir). Dalam praktik perhitungannya inflasi hanya merujuk kepada sejumlah barang dan jasa yang secara umum dikonsumsi rumah tangga, yang melalui survei tertentu dianggap dapat mewakili kecenderungan seluruh barang. Meskipun kebanyakan harga barang secara historis mengalami kenaikan, namun ada juga yang harganya tetap dan bahkan ada yang turun. Rata-rata tertimbang dari perubahan harga bermacam barang dan jasa tersebut, pada suatu selang waktu (bulanan atau tahunan) disebut inflasi. Oleh karena sering ada perbedaan pula untuk tiap kota atau wilayah dalam negara kepulauan yang luas seperti Indonesia, maka informasi tentang inflasi di Indonesia juga tersedia yang berdasar wilayah (kota).

Metode Penghitungan
Badan Pusat Statisik (BPS) mengatakan bahwa inflasi dihitung berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK) dengan menggunakan rumus Laspeyres yang dimodifikasi (Modified Laspeyres). Rumus tersebut mengacu pada manual Organisasi Buruh Dunia (International Labour Organisation). Pengelompokan IHK didasarkan pada klasifikasi internasional baku yang tertuang dalam Classification of Individual Consumption According to Purpose (COICOP) yang diadaptasi oleh BPS untuk kasus Indonesia menjadi Klasifikasi Baku Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga.

Bahan dasar penyusunan diagram timbang (bobot) IHK adalah hasil Survei Biaya Hidup (SBH) atau Cost of Living Survey. SBH diadakan 5 (lima) tahun sekali, SBH terakhir diadakan tahun 2012, mencakup 136,080 rumah tangga di Indonesia yang dipantau baik pengeluaran konsumsinya maupun jenis barang/jasa yang dikonsumsi selama setahun penuh. Berdasarkan hasil SBH diperoleh paket komoditas yang representatif, dapat dipantau harganya, dan selalu tersedia di pasaran. Paket komoditas nasional sebanyak 859 barang/jasa, bertambah dari 774 barang/jasa pada paket komoditas tahun 2007. Hal ini sejalan dengan perubahan pola konsumsi masyarakat. Bobot awal setiap barang/jasa merupakan persentase nilai konsumsi setiap barang/jasa terhadap total rata-rata nilai konsumsi per rumah tangga per bulan, berdasarkan hasil SBH.

Sejak Januari 2014, penghitungan inflasi mulai menggunakan tahun dasar 2012 (sebelumnya menggunakan tahun dasar 2007) berdasarkan hasil SBH 2012. Cakupan kota bertambah dari 66 menjadi 82 kota. Jumlah barang/jasa yang dicakup bervariasi antarkota, yang terkecil di Kota Singaraja sebanyak 225 barang/jasa, sedangkan yang terbanyak di Jakarta sebanyak 462 barang/jasa. Sedangkan pengumpulan data harga menggunakan daftar pertanyaan dan pencacahannya dibedakan sesuai waktunya: mingguan, 2 (dua) mingguan dan bulanan. Data harga diperoleh dari responden melalui wawancara dan scan barcode.

Di setiap kota dipilih beberapa pasar tradisional, pasar modern, dan outlet untuk mewakili harga-harga dalam kota tersebut. Data harga masing-masing komoditi diperoleh melalui wawancara langsung dari 3 atau 4 pedagang eceran, yang didatangi oleh petugas pengumpul data. Penarikan sampel secara purposive digunakan untuk melakukan pemilihan kota, pasar, outlet, responden, komoditas dan kualitas dalam penghitungan IHK.
BPS melaporkan bahwa frekuensi pengumpulan data harga berbeda antara satu komoditas dan komoditas lainnya, tergantung karakteristik masing-masing komoditas, sebagai berikut:

  • Pengumpulan data harga beras dilakukan secara harian di Jakarta, dan mingguan di kota-kota lainnya.
  • Beberapa komoditas yang termasuk ke dalam kebutuhan pokok, data harga dikumpulkan setiap minggu pada hari Senin dan Selasa.
  • Untuk beberapa komoditas bahan makanan, data harga dikumpulkan setiap dua minggu sekali, hari Rabu dan Kamis pada minggu pertama dan ketiga.
  • Untuk komoditas bahan makanan lainnya, makanan yang diproses, minuman, rokok dan tembakau, data harga dikumpulkan bulanan pada hari Selasa menjelang pertengahan bulan selama tiga hari (Selasa, Rabu, dan Kamis).
  • Data harga untuk barang-barang tahan lama dikumpulkan secara bulanan pada hari ke-5 sampai hari ke-15.
  • Data harga jasa-jasa dikumpulkan bulanan pada hari ke-1 sampai hari ke-10.
  • Data harga sewa rumah dikumpulkan bulanan pada hari ke-1 sampai hari ke-10.
  • Upah baby sitter dan pembantu rumah tangga diamati bulanan pada hari ke-1 sampai hari ke-10.
  • Data yang berhubungan dengan biaya pendidikan dikumpulkan bulanan pada hari ke-1 sampai hari ke-10.


Penyajian Data Inflasi oleh BPS
Dengan demikian, konsep inflasi seolah membuat hanya ada “satu harga” dalam sebuah perekonomian, sehingga bisa ditentukan tingkat perubahannya. Konsep tentang inflasi yang dikenal publik di Indonesia meringkas harga seluruh barang dan jasa menjadi satu satuan yang disebut Indeks Harga konsumen (IHK). IHK pada tahun dasar adalah 100. BPS mengubah tahun dasar tiap 5 tahun, terakhir pada tahun 2012. Harga seluruh barang dan jasa pada tahun 2012, dianggap pula dalam bulan Desember, adalah 100, dalam satuan IHK.

BPS menghitung IHK tiap bulan, dan menyatakan perubahannya dalam persentase, yang disebut inflasi. Perubahan IHK dari suatu bulan atas bulan sebelumnya disebut inflasi bulanan. Perubahan IHK dari suatu bulan terhitung sejak januari tahun yang bersangkutan (berarti dibandingkan IHK Desember tahun sebelumnya) disebut inflasi tahun kalender. Sedangkan perubahan IHK dari suatu bulan dibanding bulan yang sama tahun sebelumnya disebut inflasi tahun ke tahun (y-o-y). Sebagai contoh, IHK Agustus 2016 adalah 125,13 sedangkan IHK Juli 2016 adalah 125,15, maka pada bulan Agustus 2016 disebut terjadi deflasi sebesar 0,02%. Karena IHK Desember tahun 2015 sebesar 122,99, maka inflasi tahun kalender adalah 1,74%. Sedangkan inflasi dari tahun ke tahun dihitung dari IHK Agustus 2015 sebesar 121,73, maka inflasinya sebesar 2,79%. (lihat tabel dalam gambar dari berita resmi BPS)


Dalam penyajian IHK, BPS mengelompokkan barang dan jasa ke dalam tujuh kelompok yaitu: bahan makanan; makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau; perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar; sandang; kesehatan; pendidikan, rekreasi dan olah raga; serta transpor, komunikasi dan jasa keuangan. Setiap kelompok terdiri dari beberapa sub kelompok, dan dalam setiap sub kelompok terdapat beberapa komoditas. Lebih jauh, komoditas-komoditas tersebut memiliki beberapa kualitas atau spesifikasi.(lihat gambar sebagai contoh tabel dari berita resmi BPS)

Selain menghitung inflasi umum Inflasi umum (headline inflation), seperti yang dicontohkan untuk data bulan Agustus 2016 di atas. BPS juga menyajikan bahwa inflasi umum tersebut terdiri dari tiga bagian, yaitu inflasi inti(core inflation) , inflasi yang harganya diatur pemerintah (administered prices), dan inflasi bergejolak (volatile goods).


BPS mengatakan bahwa inflasi inti adalah inflasi komoditas yang perkembangan harganya dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi secara umum, seperti ekspektasi inflasi, nilai tukar, dan keseimbangan permintaan dan penawaran, yang sifatnya cenderung permanen, persistent, dan bersifat umum. Berdasarkan SBH 2012 jumlah barang/jasa inti sebanyak 751, antara lain: kontrak rumah, upah buruh, mie, susu, mobil, sepeda motor, dan sebagainya. Meskipun inflasi umum Agustus 2016 adalah minus atau deflasi, inflasi inti adalah sebesar 0,22%. Inflasi tahun kalender juga lebih tinggi, yakni mencapai 2,24%. Demikian pula inflasi tahun ke tahun sebesar 3,32%.

Inflasi yang harganya diatur pemerintah (administered prices inflation) adalah inflasi komoditas yang perkembangan harganya secara umum diatur oleh pemerintah. Berdasarkan SBH 2012 jumlah barang/jasanya sebanyak 23, antara lain: bensin, tarif listrik, rokok, dan sebagainya. Inflasi jenis ini juga minus atau deflasi pada bulan Agustus 2016, bahkan untuk inflasi tahun kalender dan inflasi tahun ke tahun. Cukup masuk akal kan, meski tarif listrik dan harga rokok naik, namun bensin turun signifikan.

Inflasi bergejolak (volatile goods) adalah inflasi komoditas yang perkembangan harganya sangat bergejolak. Berdasarkan tahun dasar 2012, inflasi volatile goods masih didominasi bahan makanan, sehingga sering disebut juga sebagai inflasi volatile foods. Jumlah komoditas sebanyak 85, antara lain: beras, minyak goreng, cabai, daging ayam ras, dan sebagainya. Pada Agustus 2016 juga terjadi deflasi, suatu kondisi yang biasa setelah lebaran. Akan tetapi dalam hal inflasi tahun kalender dan inflasi tahun ke tahun, besarannya masih jauh lebih tinggi. Tampaknya mengkonfirmasi “suasana publik” terkait harga komoditas ini.  


Berdasar Undang-Undang, tugas pengendalian inflasi di Indonesia diserahkan kepada Bank Indonesia. Bank Indonesia melalui kebijakan moneter (seperti penentuan target suku bunga) dianggap akan dapat mengendalikan inflasi IHK. Meskipun demikian, sebenarnya ada banyak faktor yang mengakibatkan inflasi IHK di luar kendali kebijakan moneter. Hanya komponen-komponen tertentu dari inflasi IHK yang berada dalam kendali otoritas moneter. Untuk itu, sebagaimana juga yang dilakukan oleh otoritas moneter di banyak negara lain, Bank Indonesia berusaha memilah-milah komponen inflasi IHK ke dalam kelompok yang dapat dan tidak dapat dikendalikan melalui kebijakan moneter. Inflasi yang dianggap dapat dikendalikan dengan kebijakan moneter lazim hanya inflasi inti.