Selasa, 17 April 2018

MEMAHAMI UTANG PEMERINTAH (bagian 5)


Utang Pemerintah menimbulkan biaya dari sisi anggaran pemerintah, baik biaya perolehan maupun biaya selama proses pembayaran cicilan atau pelunasannya. Biaya terbesar dari utang adalah bunga utang. Bunga utang dianggap wajar sebagai biaya dalam perekonomian modern terkait dengan nilai sekarang (present value) dan biaya atas kesempatan yang hilang (opportunity) dari modal yang dipinjamkan. Secara teknis, bunga antara lain berwujud: bunga (interest) untuk pinjaman luar negeri dan kupon (coupon) untuk Surat Berharga Negara.

Sebenarnya ada biaya lain yang terkait dengan pengadaan pinjaman luar negeri, seperti: commitment fee, management fee, dan premi asuransi. Bahkan ada denda jika tidak jadi dicairkan, padahal sudah disepakati dalam perjanjian tertulis. Secara bahasa awam, biaya itu antara lain adalah: ongkos untuk perundingan, proses pencairan, pengawasan dan ongkos pembatalan, keterlambatan pencairan, denda, dan lain sebagainya.

Sedangkan bunga untuk SBN secara riil adalah terkait dengan imbal hasil (yield) yang diperoleh investor atau pembelinya. Imbal hasil SBN merupakan keuntungan bagi investor sesudah memperhitungkan besarnya kupon dan harga pasar. Sebagai contoh, harga SBN ketika diterbitkan (berarti yang diterima oleh pemerintah) tidak selalu sama nilainya (100%) dari nominal tercantum. Jika sama dengan nominalnya berarti yield sama dengan kupon (bunga). Jika lebih rendah dari nominalnya (kurang dari 100%) berarti yield lebih dari kupon. Dimunkinkan pula kasus sebaliknya. Yang lebih sering terjadi adalah yield lebih besar dari kupon. Selain itu, pemerintah juga harus mengeluarkan beberapa biaya terkait dengan proses penerbitan dan distribusi SBN.

Dalam pencatatan dan publikasi APBN, keseluruhan biaya utang dianggap merupakan pembayaran bunga utang. Pos pembayaran bunga utang luar negeri telah memperhitungkan semua jenis biayanya, yang riil dikeluarkan. Pos pembayaran bunga dalam negeri telah mencakup perhitungan imbal hasil neto dan biaya lainnya dari SBN. Biaya yang dikeluarkan dalam hal SBN Syariah, meskipun mekanismenya tidak dengan perhitungan bunga, pembayaran riil nya dicatat pula dalam pos ini.

Pada tahun 2017, total pembayaran bunga utang adalah Rp216,6 triliun. Terdiri dari pembayaran bunga utang dalam negeri Rp200 triliun dan pembayaran bunga utang luar negeri Rp16,6 triliun. Pengertian bunga utang luar negeri di sini adalah utang yang berdenominasi valuta asing. Sedangkan bunga utang dalam negeri adalah untuk yang berdenominasi rupiah. Ada perbedaan definisi untuk keperluan publikasi dan analisis lain tentang arti dalam dan luar negeri, yang akan dibahas kemudian.
 
Pembayaran bunga utang cenderung naik dari tahun ke tahun, seiring dengan bertambahnya utang dan posisi utang yang lebih besar. Tampak pada gambar yang diolah dari data publikasi bulanan utang dari DJPPR Kemenkeu RI. Pembayaran bunga utang dalam negeri memiliki porsi yang lebih besar dengan kecenderungan makin besar. Perlu diketahui bahwa SBN dengan denominasi rupiah dimiliki pula oleh yang bukan penduduk atau pihak asing. Sebagaimana dalam bagian tulisan terdahulu, kepemilikan asing atas SBN telah mencapai kisaran 40% saat ini.


Untuk mengetahui seberapa besar beban pembayaran bunga, tidak semata-mata dari jumlahnya. Berbagai rasio bisa dihitung atas data pembayaran bunga dibandingkan dengan beberapa besaran fiskal atau indikator ekonomi lainnya. Seperti posisi utang dibandingkan dengan PDB, yang menghasilkan rasio utang dan PDB. Bisa dihitung rasio pembayaran bunga utang dan PDB juga. Akan tetapi untuk analisis beban bunga utang, yang lazim diperhatikan antara lain adalah perbandingan atau rasionya dengan belanja negara, dengan pendapatan negara, dengan posisi utang.

Rasio bunga utang dengan belanja adalah untuk melihat porsinya, karena pembayaran bunga adalah salah satu pos belanja dalam APBN, pada bagian belanja Pemerintah Pusat. Pembayaran bunga utang sebesar Rp216,6 triliun adalah 10,82% dari realisasi Belanja tahun 2017 yang sebesar Rp2.001,6 triliun. Dicermati pula perubahan porsinya dari tahun ke tahun. Tentu saja, makin kecil porsinya akan menguntungkan bagi anggaran Pemerintah.

Pemerintahan Presiden Jokowi sebaiknya mewaspadai akan kenaikan pembayaran bunga utang dan rasio atas belanja ini. Belanja sudah diakui sengaja ditingkatkan untuk mendukung kebijakan bersifat ekspansif, terutama dalam hal program prioritas. Posisi utang meningkat tentu meningkatkan nominal pembayaran bunga. Akan tetapi dalam hal rasionya atas belanja merupakan indikasi hal lain pula, bahwa porsi membayar bunga dari belanja tersebut makin besar. 

Rasio bunga utang dengan pendapatan adalah untuk melihat porsinya, karena pembayaran bunga sebaiknya dibayar dari Pendapatan Negara. Pembayaran bunga utang tadi adalah 13,08% dari realisasi Pendapatan tahun 2017 yang sebesar Rp1.655,8 triliun. Dicermati pula perubahan porsinya dari tahun ke tahun, dengan penalaran yang serupa dengan belanja. Dalam beberapa analisis, bagian terpenting dari pendapatan negara, yaitu penerimaan perpajakan dilakukan pula. Anggapannya, penerimaan perpajakan lebih bisa dikontrol atau diperkirakan, serta mencerminkan tingkat kelesuan ataupun garirah perekonomian. Rasionya tentu lebih tinggi.



Rasio bunga utang dengan posisi utang adalah untuk melihat tingkat biaya yang riil dikeluarkan. Bisa dikatakan menggambarkan tingkat bunga rata-rata untuk seluruh utang saat itu atau selama setahun berjalan. Ada dua posisi utang yang lazim dipakai, yaitu posisi utang akhir tahun bersangkutan. Pembayaran bunga utang tadi dibandingkan dengan posisi utang per 31 Desember 2017 sebesar Rp3.938,45 triliun, atau sekitar adalah 5,50%. Dicermati pula perubahannya dari tahun ke tahun. Jika makin kecil, maka biaya utang secara riil dianggap turun. Dan sebaliknya.

Dalam hal posisi utang, sebenarnya kurang tepat membandingkan pembayaran bunga selama setahun dengan posisi akhir tahun. Posisi utang mengalami fluktuasi selama setahun berjalan, sehingga “biaya” yang harusnya dicermati bukanlah atas posisi akhir tahun. Cara akuntansi yang sedikit lebih sulit adalah “menyetahunkan”, antara lain dengan menghitung rata-ratanya tiap bulan. Cara yang lebih sederhana, namun sudah cukup mewakili adalah dengan memakai rata-rata posisi akhir tahun berjalan dengan akhir tahun sebelumnya. Posisi utang pada akhir tahun 2016 sebesar Rp3515.46, dan tahun 2017 sebesar Rp3.938,45, maka posisi utang rata-rata tahun 2017 dianggap sebesar Rp3.726.96. Rasionya adalah 5,81%.

Pemerintah sebaiknya mewaspadai kecenderungan kenaikan rasio yang mencerminkan makin tingginya biaya utang. Padahal penilaian dan rating Indonesia dalam hal utang terus membaik. Pemerintah pun selalu mengatakan akan mengelola utang dengan baik, yang salah satunya adalah dengan menurunkan biaya utang. Kenaikan nominal bunga yang dibayarkan adalah satu hal, kenaikan “tingkat bunga” adalah hal lain, dan keduanya musti ditangani dengan baik.


Analisis yang lebih lanjut adalah mencermati beberapa jenis utang berdasar mata uang, berdasar jenis pinjaman atau SBN, dan lain sebagainya. Urgensinya antara lain karena beberapa jenis utang memang memiliki “biaya” yang rendah, sehingga bisa menyamarkan jenis lainnya. Misalkan, SBN yang tidak bisa diperdagangkan yang dimiliki oleh Bank Indonesia kini nyaris tak berbiaya atau kecil sekali. Padahal dalam analisis di atas dia dimasukkan ke dalam satuan pembanding.


Analisis lain yang sering dilakukan adalah membandingkan yield dari berbegai SBN atas waktu jatuh temponya. Ada yang kurang dari satu tahun, satu tahun, tiga tahun, dan seterusnya. Untuk sementara kita belum mencantumkan data hal semacam ini. Hanya untuk sekadar pembanding, kita ulangi lagi rasio bunga utang dengan posisi utang akhir tahun 2017 adalah 5,50%, rasio dengan posisi utang rata-rata tahun 2017 adalah 5,81%. Data yield Desember 2017 belum dipublikasi resmi. Data yield SUN (salah satu jenis SBN) berdenominasi Rupiah pada Desember 2016, antara lain: sebesar 6,44% untuk tenor satu tahun, 7,46% (3 tahun), 7,50% (5 tahun), 7,91% (10 tahun), 8,54% (30 tahun). Gambar disalin dari publikasi DJPPR Kemenkeu edisi Agustus 2017. Untuk edisi selanjutnya, data ini tidak ditampilkan lagi di webnya.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 6     

Sabtu, 14 April 2018

MEMAHAMI UTANG PEMERINTAH (bagian 4)


Pendapatan negara selama periode tahun 2000 – 2017 memang cenderung meningkat setiap tahunnya. Namun ada beberapa tahun yang mengalami sedikit penurunan dibanding tahun sebelumnya, seperti tahun 2002, 2009, dan 2015. Kondisi pendapatan yang menurun biasanya karena penerimaan terkait sumber daya alam, khususnya migas, akibat penurunan harga yang cukup signifikan.

Kenaikan pendapatan negara tersebut diikuti pula oleh kenaikan belanja negara tiap tahunnya. Belanja juga pernah mengalami penurunan, yaitu pada tahun 2002 dan 2009. Penurunan belanja tahun 2009 lebih kecil dibanding penurunan pendapatan pada tahun itu. Setelah itu, belanja tak pernah turun, meski pendapatan turun pada tahun 2015.    

  
Sementara itu, belanja negara selalu lebih besar dibandingkan pendapatan, yang berarti realisasi anggaran pemerintah (APBN) selalu mengalami defisit. Defisit dalam tiga tahun terakhir, tahun  2015 - 2017 jauh lebih besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Realisasi sementara APBN 2017, defisit tercatat sebesar Rp345,84 triliun.

Cara pemerintah menutupi kekurangan atau defisit anggarannya disebut dengan istilah pembiayaan. Diantaranya adalah: menjual aset, menjual kepemilikan saham atas BUMN (divestasi), dan berutang. Cara yang paling lazim dilakukan di berbagai negara adalah berutang, dan dilakukan pula oleh pemerintah Indonesia. Cara dengan menjual aset atau divestasi pun sempat dilakukan dengan jumlah yang cukup signifikan di masa lalu, ketika pemerintah memilik banyak aset dan telah berinvestasi akibat krisis 1998 dan kebijakan rekapitulisasi perbankan. Terutama pada era tahun 2002 hingga 2006. Tahun-tahun selanjutnya lebih banyak mengandalkan utang. Akan tetapi kadang masih ada penerimaan kembali investasi, yang dikenal juga sebagai divestasi atau privatisasi dalam hal BUMN.

Istilah pembiayaan sendiri tidak hanya berarti penerimaan, seperti berutang tadi yang menghasilkan penerimaan utang, melainkan memasukkan juga pembiayaan yang bersifat pengeluaran. Pemerintah pun memberikan utang atau pinjaman, seperti kepada BUMN dan Pemerintah Daerah. Pemerintah juga melakukan pengeluaran investasi, antara lain kepada: BUMN, BLU, Badan atau Lembaga lainnya, dan organisasi atau badan usaha internasional.

Oleh karena sifatnya yang berdampak pada hak dan kewajiban di waktu mendatang, maka penerimaan dan pengeluaran pembiayaan tidak dimasukan dalam pos Pendapatan atau Belanja dalam APBN. Defisit APBN tidak memperhitungkan pos anggaran ini, dan diperlakukan sebagai pos tersendiri. Sebagai contoh, penerimaan karena utang, akan berakibat pembayaran di kemudian hari. Begitu pula dengan pembayaran utang, cicilan pokok atau yang jatuh tempo, akan mengurangi kewajiban mendatang. Perlu diketahui dalam hal utang, pembayaran bunga utang masuk ke dalam pos belanja, karena tidak mengurangi kewajiban bayar utangnya.


Contoh lain adalah investasi kepada BUMN, yang dari sudut pandang APBN adalah pengeluaran, akan dicatat ke dalam pos pembiayaan. Bukan pos belanja, karena mengakibatkan hak Pemerintah di masa datang atas BUMN tersebut. Di sisi lain, pembagian keuntungan atau dividen dari BUMN dicatat dalam pendapatan negara, masuk ke dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).   

Perkembangan pembiayaan selama kurun tahun 2010 – 2017 menunjukkan bahwa pengeluaran Investasi tercatat cukup besar, seperti kepada BUMN dan BLU. Sedangkan penerimaan kembali investasi, divestasi ataupun privatisasi masih relatif kecil. Jika hal ini dihubungkan dengan defisit anggaran, maka kebutuhan tambahan utang menjadi lebih besar. Keperluan pembiayaan utang (penerimaan) menjadi tak hanya untuk menutupi defisit, melainkan juga hal itu. Ditambah dengan pengeluaran pembiayaan lain seperti pemberian pinjaman (bukan bersifat investasi) kepada BUMN, Lembaga, Pemda, serta untuk penjaminan.


Dengan demikian, pembiayaan utang dalam APBN adalah tambahan utang baru akibat defisit anggaran ditambah pengeluaran pembiayaan lainnya. Tentu diperhitungkan pula jika ada penerimaan pembiayaan. Sebagaimana terlihat dalam gambar, tambahan utang menjadi lebih besar dibandingkan defisit. Ada pula faktor lain yang bisa menambahi posisi utang, atau menguranginya, yaitu perubahan kurs rupiah, karena sebagian cukup besar utang adalah berdenominasi valuta asing.  

Pemerintah sejauh ini masih merencanakan deficit yang cukup besar untuk tahun-tahun mendatang. Pada tahun 2019 hingga 2021 defisit ditargetkan sekitar 300 hingga 350 trilyun rupiah tiap tahun anggaran. Pemerintah menjelaskannya melalui Nota Keuangan dan APBN 2018 bahwa hal itu masih diperlukan karena dalam pokok-pokok kebijakan fiskal jangka menengah, Pemerintah masih akan menempuh kebijakan fiskal ekspansif. Kebijakan fiskal ekspansif tersebut untuk membiayai kegiatan produktif dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi dan menjaga keseimbangan ekonomi makro.

Pemerintah memang berjanji akan berupaya mengendalikan besaran defisit dalam batas aman dan diupayakan cenderung menurun pada akhir tahun 2020. Maksudnya yang menurun terutama adalah rasio defisit atas PDB. Bagaimanapun, semua baru rencana dan ada besaran target terkait utang. Kejadian atau realisasinya bisa lebih baik, namun bisa pula lebih buruk. Gambar berikut disalin dari Keputusan Menteri Keuangan tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Jangka Menengah tahun 2018 – 2021.



Selain keinginan agar kebijakan fiskal bersifat ekspansif, Nota Keuangan dan APBN 2018 menjelaskan bahwa salah satu kebijakan Pemerintah yang mengakibatkan ruang gerak fiskal (fiscal space) menjadi terbatas adalah besaran pengeluaran negara yang diwajibkan (mandatory spending). Dikatakan bahwa dengan semakin besarnya mandatory spending, maka fleksibilitas Pemerintah untuk mendanai kegiatan yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi terbatas.

Mandatory spending adalah pengeluaran negara pada program tertentu yang dimandatkan atau diwajibkan dalam ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Ketentuan perundangan yang mewajibkan pengeluaran negara di antaranya sebagai berikut: 1) UUD 1945 tentang Penyediaan Anggaran Pendidikan sebesar 20,0 persen; 2) UU No. 33 Tahun 2004 yang mewajibkan penyediaan dana perimbangan berupa Dana Alokasi Umum (DAU) sekurang-kurangnya sebesar 26 persen dari penerimaan dalam negeri neto, Dana Bagi Hasil (DBH), dan Dana Alokasi Khusus (DAK); 3) UU tentang otonomi Aceh dan juga Papua; 4) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengamanatkan alokasi dana kesehatan sekurang-kurangnya sebesar 5,0 persen dari APBN di luar gaji; 5) UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang mengamanatkan sekurang-kurangnya sebesar 10,0 persen dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam APBD setelah dikurangi DAK.

Ditambahkan lagi tentang “belanja wajib” Lainnya, seperti: Belanja operasional, belanja Pegawai non K/L, pembayaran bunga utang, dan subsidi. Berdasarkan grafik yang disalin dari dokumen Nota Keuangan dan APBN 2018, rata-rata mandatory spending dalam kurun waktu 2013 hingga 2021 sebesar 76,2 persen terhadap belanja negara. Perhitungan mandatory spending tahun 2019 sampai dengan tahun 2021 disebut menggunakan angka indikasi. Berdasarkan hal ini, dijelaskan bahwa risiko fiskal yang dihadapi Pemerintah adalah keterbatasan ruang gerak fiskal untuk mengalokasikan belanja prioritas lain di luar mandatory spending. Risiko fiskal terkait ini pula adalah saat target penerimaan negara tidak tercapai, akan membuat Pemerintah menambah pembiayaan (utang) karena defisit anggaran yang bertambah.

Jumat, 13 April 2018

MEMAHAMI UTANG PEMERINTAH (bagian 3)


Perbincangan terkini tentang utang pemerintah sering mengemukakan soal rasio posisinya dengan Produk Domestik Bruto (PDB). Salah satu argumen tentang masih amannya utang adalah rasio tersebut masoh terbilang rendah, yang pada akhir tahun 2017 adalah 28,98%. Maih jauh di bawah lebih rendah dari yang diperkenankan oleh regulasi, yaitu sebesar 60%. Kerap dikemukakan pula banyak negara lain yang bahkan memiliki rasio di atas 100%.

Apakah PDB itu? PDB adalah nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam perekonomian selama kurun waktu tertentu. Pengertian perekonomian merujuk kepada wilayah suatu negara, atau yang biasa dipergunakan adalah wilayah domestik, karena dapat menunjukkan bagian dari suatu negara ataupun gabungan beberapa negara. Kurun waktu tertentu yang baku adalah satu tahun menurut penanggalan, 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Urgensi asesmennya membuat PDB dihitung dan dipublikasikan pula secara triwulanan di banyak negara, termasuk Indonesia.

Semua barang dan jasa sebagai hasil kegiatan ekonomi yang beroperasi di wilayah domestik (Indonesia) diperhitungkan tanpa memperhatikan apakah faktor produksinya dimiliki atau dikuasai oleh penduduk atau pihak asing. Istilah lain yang biasa dipakai dalam analisis adalah Output, yang timbul oleh karena adanya kegiatan produksi tersebut. Output merupakan hasil perkalian antara kuantitas produksi dengan unit harganya.

Output terdiri dari ribuan atau jutaan jenis. Ada barang yang berasal dari produksi pertanian, dari industri pengolahan, dan ada yang dari penggalian atau pertambangan. Bisa berasal dari lahan petani kecil, produksi rumah tangga, maupun dari produksi perkebunan besar dan industri yang bersifat korporasi. Ragam jasa-jasa juga demikian. Ada jasa pedagang kecil dan tukang pangkas rambut, namun ada pula jasa konsultan manajemen dan jasa keuangan untuk korporasi. Seluruh produksi barang dan jasa tersebut, per definisi, dimasukkan dalam perhitungan PDB. Secara praktis, perhitungan hanya mungkin dilakukan dengan menyamakan satuan hitung dari seluruh barang dan jasa, yakni dengan mata uang. Dengan demikian, definisi PDB menyiratkan keinginan meringkas aktivitas ekonomi dalam nilai tunggal (uang) selama periode tertentu.

Perhitungan PDB dan penyajian hasilnya oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyederhanakan jutaan macam barang dan jasa ke dalam beberapa kelompok jenis barang. BPS menggolongkannya menjadi tujuh belas (dahulu Cuma Sembilan) macam barang dan jasa. Penamaannya disesuaikan dengan jenis sektor usaha yang memproduksinya, sehingga disebut pula penyajian (biasanya berbentuk tabel) PDB menurut lapangan usaha. Dalam tabel yang lebih lengkap disajikan pula subsektor dari masing-masing sektor tadi. Karena yang dihitung adalah barang dan jasa “akhir”, maka yang dijumlahkan pada masing-masing sektor hanyalah nilai tambah produksi, agar tidak terjadi penghitungan ganda.

Sebagai contoh, jutaan barang dan jasa dari masing-masing sektor yang diproduksi pada tahun 2017 dinilai berdasar harga pada waktu itu yang nilai keseluruhannya adalah Rp13.589 triliun. Antara lain terdiri dari:  pertanian,kehutanan, dan perikanan (Rp1.786 triliun), pertambangan dan pemggalian (Rp1.028 triliun), Industri pengolahan (Rp2.739 triliun), Konstruksi (Rp1.410 triliun), Perdagangan besar dan eceran (Rp1.768 triliun).

Secara teoritis, bisa ditelusuri kemana perginya seluruh output yang diproduksi pada tahun 2017 sebesar Rp13.589 triliun tadi. Dipergunakan untuk apa dan oleh siapa saja. Dalam pengertian sehari-hari dibeli oleh siapa saja, dengan catatan ada sebagian barang dan jasa yang dianggap dibeli oleh produsennya sendiri. Dari sudut pandang pihak pembeli atau yang memperoleh barang, nilai barang dan jasa yang dibayarnya adalah pengeluaran. Dengan demikian, PDB bisa pula dilihat sebagai pengeluaran total atas output perekonomian dalam kurun waktu tertentu. Dalam perhitungan konseptual menurut buku teks, pengeluaran itu dikelompokkan atas dasar maksud penggunaannya, maka dinamakan juga sebagai PDB menurut penggunaannya.

Untuk apa atau oleh siapa saja PDB tersebut dipergunakan, yang berarti pula pihak mana saja yang melakukan pengeluaran untuk mendapatkannya. Sebagaimana kebiasaan yang berlaku secara internasional, BPS mengelompokkannya sebagai berikut: Pengeluaran Konsumsi Rumah tangga, Pengeluaran Konsumsi Pemerintah, Pengeluaran Konsumsi LNPRT, Pembentukan modal tetap domestik Bruto, perubahan stok atau inventory, serta ekspor dan impor.

Pengeluaran konsumsi rumah tangga mencakup semua pengeluaran untuk konsumsi barang dan jasa, yang pada tahun 2017 sebesar Rp 3.290,8 triliun. Perkiraan nilai tersebut menggunakan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) sebagai data pokok. BPS menambahkan pula data tentang perkiraan pengeluaran konsumsi lembaga swasta yang tidak mencari untung, yang disebut lembaga non pemerintah dan rumah tangga (LNPRT) yang pada tahun 2017 sebesar Rp161 triliun.

Dengan demikian, PDB sejatinya adalah salah satu konsep perhitungan pendapatan nasional. PDB dianggap mencerminkan pendapatan pemerintah dan swasta (termasuk rakyat perorangan). Hubungannya dengan posisi utang antara lain adalah “memperkirakan” kemampuan membayar utang kini dan di masa datang. Kebiasaan lama dalam menganalisis dan masih dipakai memang demikian. Salah satu yang mendasarinya peningkatan PDB akan meningkatkan pendapatan atau kemampuan membayar utang dari pemerintah.


Sebagaimana disebut di atas, posisi utang pada tanggal 31 Desember 2017 adalah Rp3.938,45 triliun, sedangkan PDB tahun 2017 adalah sebesar Rp13.588,8 triliun, maka rasionya adalah 28,98%.

Yang perlu diwaspadai, seandainya rasio utang atas PDB dinilai masih aman pun, adalah rasio yang kembali meningkat selama tiga tahun terakhir. Sebelumnya rasio tersebut cenderung turun, meski makin perlahan.



Untuk keperluan analisis dan lebih menjaga aspek kehati-hatian dalam pengelolaan utang, sebenarnya bisa pula membandingkan antara posisi utang dengan pendapatan negara. Alasannya karena pendapatan itu yang tersedia langsung untuk membayar beban utang.

Ada dua istilah yang perlu diperhatikan dalam analisis semacam ini, yaitu penerimaan negara dan pengeluaran negara. Penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara. Pengeluaran negara adalah uang yang keluar dari kas negara. Sebagai contoh, pendapatan negara adalah penerimaan negara yang tidak perlu dibayar kembali. Namun ada penerimaan negara yang perlu dibayar kembali, seperti utang, yang dimasukkan dalam pembiayaan.


Realisasi sementara dari APBN 2017 menyebutkan Pendapatan Negara yang diperoleh adalah sebesar Rp1.655,8 triliun. Pendapatan diperoleh dari sumber: Penerimaan Perpajakan, Penerimaaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan Penerimaan Hibah. Penerimaan Perpajakan antara lain berasal dari: pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai barang dan jasa, cukai, bea masuk, dan lainnya. Sedangkan PNBP diperoleh dari: penerimaan Sumber Daya Alam , bagian laba BUMN, pendapatan Badan Layanan Umum, dan PNBP lainnya.

JIka pendapatan negara tahun 2017 dibandingkan dengan posisi utangnya, maka diperoleh rasio sebesar 237,9%. Artinya jumlah utang sudah 2,38 kali lipat dari pendapatan. Oleh karena laju kenaikan utang melampaui kenaikan pendapatan, maka rasio utang atas pendapatan negara juga tampak naik dengan cukup cepat selama beberapa tahun terakhir. Tahun-tahun sebelumnya, rasio ini sempat menurun. 


Untuk keperluan analisis dan lebih menjaga aspek kehati-hatian dalam pengelolaan utang, sebenarnya bisa pula membandingkan antara posisi utang dengan pendapatan negara. Alasannya karena pendapatan itu yang tersedia langsung untuk membayar beban utang. Oleh karena laju kenaikan utang melampaui kenaikan pendapatan, maka rasio utang atas pendapatan negara juga tampak naik dengan cepat. Posisi tahun 2017 adalah 237,9%, artinya jumlah utang sudah 2,38 kali lipat dari pendapatan.


Dalam hal konsep serta perhitungan Pendapatan Nasional, selain Produk Domestik Bruto (PDB), sebenarnya ada yang disebut dengan Produk Nasional Bruto (PNB). PNB telah memperhitungkan aspek pendapatan neto terhadap luar negeri atas faktor produksi. PDB adalah konsep pendapatan nasional berbasis produksi di wilayah Indonesia, termasuk oleh pihak asing. PNB adalah konsep berbasis badan hukum (perorangan maupun korporasi). Produksi asing di wilayah Indonesia dikeluarkan, produksi Indonesia di luar dimasukkan dalam perhitungan, sehingga diperoleh pendapatan netonya. Perhitungan BPS untuk Indonesia menunjukkan bahwa nilai PNB selalu lebih kecil dibanding PDB. Sebagai contoh, pada tahun 2017, PDB sebesar Rp13.588,8 T, sedangkan PNB hanya sebesar Rp13.159,2 T. Secara historis nilai PNB di kisaran 97-98% dari PDB tahun bersangkutan. Jika dikaitkan dengan rasio utang, utang/PDB tahun 2017 sebesar 28,98%, sedangkan utang/PNB sebesar 29,93%. Secara historis, rasio utang/PNB lebih tinggi di kisaran 0,6 hingga 1,0% dari utang/PDB. 


  
Jika total PDB sebesar Rp13.589 triliun tahun 2017 dibagi dengan jumlah penduduk pada tahun bersangkutan, sesuai perhitungan BPS untuk hal ini, maka diperolej nilai pendapatan per kapita sebesar Rp51,9 juta. Baik nilai PDB maupun PNB per kapita terus meningkat selama ini. Pada saat bersamaan, utang per kapita juga meningkat, yang pada tahun 2017 mencapai Rp15,04 juta. Sebagian pengkritik pemerintah biasa mengatakan bahwa tiap orang, baru lahir sekalipun, menanggung utang Rp15 juta.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 4

MEMAHAMI UTANG PEMERINTAH (bagian 2)


Utang Pemerintah sebesar Rp3.938,45 triliun rupiah dapat pula dibedakan menjadi utang luar negeri (ULN) pemerintah dan utang dalam negeri (UDN) pemerintah. ULN Pemerintah sering mendapat perhatian khusus dalam banyak analisis. Akan tetapi perlu diketahui bahwa ULN tidak hanya Pemerintah, melainkan juga swasta dan Bank Indonesia.

ULN Pemerintah adalah semua utang kepada pihak asing atau bukan penduduk. Baik dalam bentuk utang secara langsung, yang disebut pinjaman luar negeri (loans). Ataupun dalam bentuk SBN yang dipegang atau dimiliki oleh asing. Tidak dipersoalkan tentang mata uang SBN tersebut. Sekalipun SBN berdenominasi valas, jika dimiliki oleh penduduk, maka tidak dicatat sebagai ULN. Di sisi lain, SBN berdenominasi rupiah yang dimiliki oleh asing, dicatat sebagai ULN. Pengertian penduduk merujuk kepada berbadan hukum Indonesia dan perorangan WNI. Posisi ULN Pemerintah pada 31 Desember 2017 adalah Rp2.402 triliun atau setara dengan USD177,32 miliar. Porsi ULN Pemerintah, berarti berutang kepada asing atau bukan penduduk, telah mencapai 61% dari total utangnya.

Selama dua puluh tahun terakhir atau sejak era reformasi, posisi utang pemerintah mengalami beberapa pola perkembangan. Pada kurun tahun 1997 – 2000 utang meningkat drastis sebagai dampak krisis dan kebijakan pemerintah (negara) melakukan BLBI dan rekapitulasi perbankan. Pada kurun tahun 2000 – 2007 posisinya tampak stagnan, terutama karena masih besarnya penerimaan pembiayaan non utang (seperti penjualan aset jaminan yang disita). Pada kurun 2009 – 2017, posisi utang kembali meningkat signifikan. Dan pada tiga tahun terakhir, laju penambahan utang cenderung lebih besar lagi. Laju penambahan utang secara teknis adalah karena harus membiayai defisit anggaran, yakni belanja yang lebih besar dibanding pendapatan.


Dapat dilihat dari grafik yang diolah dari data publikasi bulanan Ditjen Pembiyaan dan Pengelolaan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan RI, berbagai edisi. Sebagai contoh dapat dilihat perkembangan posisi : Rp653T (1998), Rp1636 (2008), Rp2.375 T (2013), dan Rp3938 T (2017). Tahun 1997 pinjaman Rp263T dan belum ada SBN, pinjaman cenderung stagnan selama periode 2008-2017, artinya penarikan pinjaman baru hampir setara dengan pembayaran cicilan pokok. Sedangkan SBN memang terus meningkat. Sebagian tambahan utang bukan karena defisit ataupun pembiayaan utang, melainkan karena pelemahan kurs rupiah.


Dari grafik dapat dilihat bahwa laju penambahan utang yang kembali cukup cepat dimulai lagi sejak tahun 2008, meski sempat tertahan pada tahun 2009. Harus difahami bahwa utang pemerintah bersifat akumulatif, sebagian beban adalah dari era pemerintahan sebelumnya. Jika mau membandingkan era pemerintahan Presiden SBY dengan era pemerintahan Jokowi, musti cukup “adil”. Misalnya harus menimbang lama waktu yang dibandingkan, kurs rupiah, defisit anggaran, dan tentu saja penggunaannya untuk apa saja. Tentang hal ini akan dibahas lebih banyak pada bagian lain.




Contoh berikut ini hanya untuk mengingatkan bahwa tiga tahun terakhir periode SBY sebetulnya hanya sedikit lebih baik dalam hal penambahan utang dibanding tiga tahun pertama periode Jokowi. Ini semata dari perubahan posisi utang yang dinyatakan dalam nilai rupiah pada 31 Desember 2011 sebesar Rp1.808,95 triliun menjadi Rp2.608.78 triliun pada 31 Desember 2014. Utang bertambah sebesar Rp799.83 triliun atau 44,20%. Pelantikan Presiden Jokowi tanggal 20 Oktober 2014, diasumsikan tambahan utang hingga akhir tahun telah ditetapkan pemerintahan SBY (APBN dan rencana tahunan pengelolaan utang). Sedangkan posisi utang per 31 Desember 2017 adalah sebesar Rp3.938,45 triliun, memang bertambah sebesar Rp1.329,67 triliun, atau 50,97%. Penambahan utang kedua periode (tiga tahun) yang dibandingkan adalah sebesar 44,20% berbanding 50,97%. Sekali lagi, kita belum membicarakan aspek perubahan kurs dan aspek penggunaannya. Dengan demikian, utang pemerintah ini memang soalan yang telah dan masih akan menjadi tantangan bagi pemerintahan mendatang.

Salah satu faktor penting dalam perkembangan posisi utang adalah fluktuasi kurs rupiah, karena utang dalam denominasi valuta asing telah mencapai 41%. Khusus dollar Amerika telah mencapai 29% dari total utang pemerintah pada 31 Desember 2017. Kondisi itu terbilang lebih baik dibanding denominasi rupiah secara rata-rata tahun 2000 – 2017 yang berada di kisaran 55%, sedangkan valuta asing di kisaran 45%. Khusus utang dalam mata uang USD belakangan ini rata-rata sekitar 30% dari total utang. Artinya, perubahan kurs rupiah atas mata uang akan mempengaruhi posisi utang dalam rupiah pada tanggal bersangkutan. Pelemahan rupiah akan menambah jumlah utang jika dilihat dalam nilai rupiahnya.


Aspek perkembangan utang yang perlu difahami juga adalah dalam soalan kepemilikan SBN oleh asing atau yang bukan penduduk. Sebagai contoh laporan Bank Indonesia mengingatkan fakta tentang pembiayaan swasta yang masih banyak ditopang oleh aliran modal asing yang sebagian berjangka pendek sehingga berpotensi menjadi sumber kerentanan bagi perekonomian. BI menilai hal tersebut antara lain terlihat pada cukup besarnya porsi dana asing dalam SBN. Sampai dengan triwulan IV 2017, pangsa investor asing di SBN Indonesia masih dalam tren yang terus meningkat dan bahkan paling besar dibandingkan dengan kondisi di sejumlah negara kawasan. (gambar disalin dari laporan BI, 2018).



Posisi kepemilikan SBN oleh asing berada di kisaran 38-40% selama empat tahun terakhir, sejak tahun 2014. Sebelumnya, di kisaran 25 – 35% pada tahun 2010 – 2013. Sebagai perbandingan pula, kepemilikan asing memang mulai meningkat pesat sejak bertahun-tahun lampau: 0,3% (2002), 1,6% (2003), 2,7% (2004), 7,8% (2005), 13,1% (2006), dan 16,36% (2007).

Akibat porsi kepemilikan asing yang cenderung meningkat sejak lama, dan bertahan dalam porsi sekitar 40-an persen dalam empat tahun terakhir, maka utang luar negeri pemerintah pun meningkat. Porsi ULN telah melampaui UDN sejak sepuluh tahun lalu.

BERSAMBUNG KE BAGIAN 3

MEMAHAMI UTANG PEMERINTAH (bagian 1)


Utang pemerintah diumumkan masih sebesar 3.938,45 triliun rupiah pada tanggal 31 Desember 2017. Nilai utang yang masih dimiliki biasa disebut sebagai posisi utang (outstanding debt). Pengumuman dilakukan oleh pemerintah sendiri melalui publikasi dokumen resmi tentang hal itu untuk posisi tiap bulannya. Pejabat pemerintah kadang melakukan rilis media atau bicara ke publik pada kesempatan tertentu dengan merujuk kepada dokumen tadi. Media masa biasanya mengutip pejabat, dan agak jarang mengutip langsung dari dokumen laporan.

Kepada siapa pemerintah berutang? Kepada berbagai pihak, seperti: negara lain, lembaga internasional, bank sentral asing, Bank Indonesia, lembaga keuangan asing, lembaga keuangan domestik, korporasi nonkeuangan asing, perseorangan asing, dan perseorangan domestik. Untuk mengetahui rincian sebaran para pihak pemberi utang (kreditur) dari posisi Rp3.938,45 triliun tadi, perlu diketahui dahulu jenis atau bentuk utangnya.

Utang Pemerintah Pusat terdiri dari dua jenis atau bentuk utang, yaitu: Pinjaman (loans) dan Surat Berharga Negara (debt securities). Dari posisi utang sebesar Rp3.938,45 triliun tadi, yang berupa pinjaman sebesar Rp Rp743,71 triliun dan berupa Surat Berharga Negara sebesar Rp3.194,74 triliun.

Pinjaman (loans) adalah utang secara langsung kepada pihak kreditur. Terdiri dari pinjaman luar negeri (PLN) sebesar Rp738,20 triliun dan pinjaman dalam negeri (PDN) sebesar Rp5,52 triliun. PLN antara lain kepada: negara lain (bilateral), lembaga internasional atau konsorsium (multilateral), lembaga dan korporasi komersial (commercial credit dan supplier credit). Sedangkan PDN kepada lembaga keuangan domestik dan BUMN.  

Surat Berharga Negara (SBN) adalah surat utang atau pernyataan berutang kepada pemegang surat tersebut. SBN terdiri dari dua jenis, yang bisa diperdagangkan (tradeable) sebesar Rp2.967 triliun dan yang tidak bisa diperdagangkan (nontradeable) Rp233 triliun.


Dilihat dari mata uang utang dinyatakan (denominasi), maka PLN hampir seluruhnya valuta asing (valas), PDN berdenominasi rupiah, sedangkan SBN berdenominasi rupiah dan valas. Total utang dilihat dari denominasi adalah: rupiah (59%), dolar Amerika (29%), Yen Jepang (6%), Euro (4%), SDR IMF (1%), Lainnya (1%). Lainnya ini berupa berbagai mata uang dalam hal PLN, antara lain terkait proyek, kredit komersial dan kredit supplier. Perubahan kurs rupiah atas mata uang bersangkutan akan mempengaruhi posisi utang dalam rupiah.

Khusus denominasi SBN, komposisinya (pembulatan) adalah: Rupiah (63%), Dolar Amerika (22%), Euro (3%), dan Yen Jepang (2%). Dengan demikian denominasi valas (USD, Euro, Yen) mencapai 27% dari total SBN.   

SBN dapat pula dilihat dari jenis bunga (cupon), yang terdiri dari: nol (zero), tetap (fixed) dan variabel (variable). SBN yang nontradable ada yang berupa SBN Syariah, yang zero coupon dan fixed coupon. Sebagai tambahan informasi, ada istilah yield yang menggambarkan tingkat bunga riil SBN, karena pembeli atau pemegang SBN umumnya membeli tidak sama atau 100 persen dari nilai yang tercantum dalam SBN. Antara lain karena mendapatkan diskonto tertentu, yang proses teknisnya melalui lelang SBN.

Dilihat dari sisi kepemilikan SBN, maka komposisinya bergerak dinamis sesuai pasar, karena sebagaimana disebut di atas, jenis terbanyak adalah yang bisa diperdagangkan (tradeable). Ada publikasi rutin tentang hal ini, terutama untuk mencermati porsi kepemilikan asing.



SBN nontradeable dimiliki atau dipegang oleh Bank Indonesia. Sedangkan Kepemilikan SBN tradeable antara lain oleh: Asing (39,82%), Bank (23.41%), Bank Indonesia (6,75%0, reksadana (4,95%), asuransi (7,18%), dana pension (9,43%), perorangan (2,85%), dan lainnya (5,60%).

BERSAMBUNG KE BAGIAN 2