Jumat, 13 April 2018

MEMAHAMI UTANG PEMERINTAH (bagian 1)


Utang pemerintah diumumkan masih sebesar 3.938,45 triliun rupiah pada tanggal 31 Desember 2017. Nilai utang yang masih dimiliki biasa disebut sebagai posisi utang (outstanding debt). Pengumuman dilakukan oleh pemerintah sendiri melalui publikasi dokumen resmi tentang hal itu untuk posisi tiap bulannya. Pejabat pemerintah kadang melakukan rilis media atau bicara ke publik pada kesempatan tertentu dengan merujuk kepada dokumen tadi. Media masa biasanya mengutip pejabat, dan agak jarang mengutip langsung dari dokumen laporan.

Kepada siapa pemerintah berutang? Kepada berbagai pihak, seperti: negara lain, lembaga internasional, bank sentral asing, Bank Indonesia, lembaga keuangan asing, lembaga keuangan domestik, korporasi nonkeuangan asing, perseorangan asing, dan perseorangan domestik. Untuk mengetahui rincian sebaran para pihak pemberi utang (kreditur) dari posisi Rp3.938,45 triliun tadi, perlu diketahui dahulu jenis atau bentuk utangnya.

Utang Pemerintah Pusat terdiri dari dua jenis atau bentuk utang, yaitu: Pinjaman (loans) dan Surat Berharga Negara (debt securities). Dari posisi utang sebesar Rp3.938,45 triliun tadi, yang berupa pinjaman sebesar Rp Rp743,71 triliun dan berupa Surat Berharga Negara sebesar Rp3.194,74 triliun.

Pinjaman (loans) adalah utang secara langsung kepada pihak kreditur. Terdiri dari pinjaman luar negeri (PLN) sebesar Rp738,20 triliun dan pinjaman dalam negeri (PDN) sebesar Rp5,52 triliun. PLN antara lain kepada: negara lain (bilateral), lembaga internasional atau konsorsium (multilateral), lembaga dan korporasi komersial (commercial credit dan supplier credit). Sedangkan PDN kepada lembaga keuangan domestik dan BUMN.  

Surat Berharga Negara (SBN) adalah surat utang atau pernyataan berutang kepada pemegang surat tersebut. SBN terdiri dari dua jenis, yang bisa diperdagangkan (tradeable) sebesar Rp2.967 triliun dan yang tidak bisa diperdagangkan (nontradeable) Rp233 triliun.


Dilihat dari mata uang utang dinyatakan (denominasi), maka PLN hampir seluruhnya valuta asing (valas), PDN berdenominasi rupiah, sedangkan SBN berdenominasi rupiah dan valas. Total utang dilihat dari denominasi adalah: rupiah (59%), dolar Amerika (29%), Yen Jepang (6%), Euro (4%), SDR IMF (1%), Lainnya (1%). Lainnya ini berupa berbagai mata uang dalam hal PLN, antara lain terkait proyek, kredit komersial dan kredit supplier. Perubahan kurs rupiah atas mata uang bersangkutan akan mempengaruhi posisi utang dalam rupiah.

Khusus denominasi SBN, komposisinya (pembulatan) adalah: Rupiah (63%), Dolar Amerika (22%), Euro (3%), dan Yen Jepang (2%). Dengan demikian denominasi valas (USD, Euro, Yen) mencapai 27% dari total SBN.   

SBN dapat pula dilihat dari jenis bunga (cupon), yang terdiri dari: nol (zero), tetap (fixed) dan variabel (variable). SBN yang nontradable ada yang berupa SBN Syariah, yang zero coupon dan fixed coupon. Sebagai tambahan informasi, ada istilah yield yang menggambarkan tingkat bunga riil SBN, karena pembeli atau pemegang SBN umumnya membeli tidak sama atau 100 persen dari nilai yang tercantum dalam SBN. Antara lain karena mendapatkan diskonto tertentu, yang proses teknisnya melalui lelang SBN.

Dilihat dari sisi kepemilikan SBN, maka komposisinya bergerak dinamis sesuai pasar, karena sebagaimana disebut di atas, jenis terbanyak adalah yang bisa diperdagangkan (tradeable). Ada publikasi rutin tentang hal ini, terutama untuk mencermati porsi kepemilikan asing.



SBN nontradeable dimiliki atau dipegang oleh Bank Indonesia. Sedangkan Kepemilikan SBN tradeable antara lain oleh: Asing (39,82%), Bank (23.41%), Bank Indonesia (6,75%0, reksadana (4,95%), asuransi (7,18%), dana pension (9,43%), perorangan (2,85%), dan lainnya (5,60%).

BERSAMBUNG KE BAGIAN 2