Sabtu, 14 April 2018

MEMAHAMI UTANG PEMERINTAH (bagian 4)


Pendapatan negara selama periode tahun 2000 – 2017 memang cenderung meningkat setiap tahunnya. Namun ada beberapa tahun yang mengalami sedikit penurunan dibanding tahun sebelumnya, seperti tahun 2002, 2009, dan 2015. Kondisi pendapatan yang menurun biasanya karena penerimaan terkait sumber daya alam, khususnya migas, akibat penurunan harga yang cukup signifikan.

Kenaikan pendapatan negara tersebut diikuti pula oleh kenaikan belanja negara tiap tahunnya. Belanja juga pernah mengalami penurunan, yaitu pada tahun 2002 dan 2009. Penurunan belanja tahun 2009 lebih kecil dibanding penurunan pendapatan pada tahun itu. Setelah itu, belanja tak pernah turun, meski pendapatan turun pada tahun 2015.    

  
Sementara itu, belanja negara selalu lebih besar dibandingkan pendapatan, yang berarti realisasi anggaran pemerintah (APBN) selalu mengalami defisit. Defisit dalam tiga tahun terakhir, tahun  2015 - 2017 jauh lebih besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Realisasi sementara APBN 2017, defisit tercatat sebesar Rp345,84 triliun.

Cara pemerintah menutupi kekurangan atau defisit anggarannya disebut dengan istilah pembiayaan. Diantaranya adalah: menjual aset, menjual kepemilikan saham atas BUMN (divestasi), dan berutang. Cara yang paling lazim dilakukan di berbagai negara adalah berutang, dan dilakukan pula oleh pemerintah Indonesia. Cara dengan menjual aset atau divestasi pun sempat dilakukan dengan jumlah yang cukup signifikan di masa lalu, ketika pemerintah memilik banyak aset dan telah berinvestasi akibat krisis 1998 dan kebijakan rekapitulisasi perbankan. Terutama pada era tahun 2002 hingga 2006. Tahun-tahun selanjutnya lebih banyak mengandalkan utang. Akan tetapi kadang masih ada penerimaan kembali investasi, yang dikenal juga sebagai divestasi atau privatisasi dalam hal BUMN.

Istilah pembiayaan sendiri tidak hanya berarti penerimaan, seperti berutang tadi yang menghasilkan penerimaan utang, melainkan memasukkan juga pembiayaan yang bersifat pengeluaran. Pemerintah pun memberikan utang atau pinjaman, seperti kepada BUMN dan Pemerintah Daerah. Pemerintah juga melakukan pengeluaran investasi, antara lain kepada: BUMN, BLU, Badan atau Lembaga lainnya, dan organisasi atau badan usaha internasional.

Oleh karena sifatnya yang berdampak pada hak dan kewajiban di waktu mendatang, maka penerimaan dan pengeluaran pembiayaan tidak dimasukan dalam pos Pendapatan atau Belanja dalam APBN. Defisit APBN tidak memperhitungkan pos anggaran ini, dan diperlakukan sebagai pos tersendiri. Sebagai contoh, penerimaan karena utang, akan berakibat pembayaran di kemudian hari. Begitu pula dengan pembayaran utang, cicilan pokok atau yang jatuh tempo, akan mengurangi kewajiban mendatang. Perlu diketahui dalam hal utang, pembayaran bunga utang masuk ke dalam pos belanja, karena tidak mengurangi kewajiban bayar utangnya.


Contoh lain adalah investasi kepada BUMN, yang dari sudut pandang APBN adalah pengeluaran, akan dicatat ke dalam pos pembiayaan. Bukan pos belanja, karena mengakibatkan hak Pemerintah di masa datang atas BUMN tersebut. Di sisi lain, pembagian keuntungan atau dividen dari BUMN dicatat dalam pendapatan negara, masuk ke dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).   

Perkembangan pembiayaan selama kurun tahun 2010 – 2017 menunjukkan bahwa pengeluaran Investasi tercatat cukup besar, seperti kepada BUMN dan BLU. Sedangkan penerimaan kembali investasi, divestasi ataupun privatisasi masih relatif kecil. Jika hal ini dihubungkan dengan defisit anggaran, maka kebutuhan tambahan utang menjadi lebih besar. Keperluan pembiayaan utang (penerimaan) menjadi tak hanya untuk menutupi defisit, melainkan juga hal itu. Ditambah dengan pengeluaran pembiayaan lain seperti pemberian pinjaman (bukan bersifat investasi) kepada BUMN, Lembaga, Pemda, serta untuk penjaminan.


Dengan demikian, pembiayaan utang dalam APBN adalah tambahan utang baru akibat defisit anggaran ditambah pengeluaran pembiayaan lainnya. Tentu diperhitungkan pula jika ada penerimaan pembiayaan. Sebagaimana terlihat dalam gambar, tambahan utang menjadi lebih besar dibandingkan defisit. Ada pula faktor lain yang bisa menambahi posisi utang, atau menguranginya, yaitu perubahan kurs rupiah, karena sebagian cukup besar utang adalah berdenominasi valuta asing.  

Pemerintah sejauh ini masih merencanakan deficit yang cukup besar untuk tahun-tahun mendatang. Pada tahun 2019 hingga 2021 defisit ditargetkan sekitar 300 hingga 350 trilyun rupiah tiap tahun anggaran. Pemerintah menjelaskannya melalui Nota Keuangan dan APBN 2018 bahwa hal itu masih diperlukan karena dalam pokok-pokok kebijakan fiskal jangka menengah, Pemerintah masih akan menempuh kebijakan fiskal ekspansif. Kebijakan fiskal ekspansif tersebut untuk membiayai kegiatan produktif dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi dan menjaga keseimbangan ekonomi makro.

Pemerintah memang berjanji akan berupaya mengendalikan besaran defisit dalam batas aman dan diupayakan cenderung menurun pada akhir tahun 2020. Maksudnya yang menurun terutama adalah rasio defisit atas PDB. Bagaimanapun, semua baru rencana dan ada besaran target terkait utang. Kejadian atau realisasinya bisa lebih baik, namun bisa pula lebih buruk. Gambar berikut disalin dari Keputusan Menteri Keuangan tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Jangka Menengah tahun 2018 – 2021.



Selain keinginan agar kebijakan fiskal bersifat ekspansif, Nota Keuangan dan APBN 2018 menjelaskan bahwa salah satu kebijakan Pemerintah yang mengakibatkan ruang gerak fiskal (fiscal space) menjadi terbatas adalah besaran pengeluaran negara yang diwajibkan (mandatory spending). Dikatakan bahwa dengan semakin besarnya mandatory spending, maka fleksibilitas Pemerintah untuk mendanai kegiatan yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi terbatas.

Mandatory spending adalah pengeluaran negara pada program tertentu yang dimandatkan atau diwajibkan dalam ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Ketentuan perundangan yang mewajibkan pengeluaran negara di antaranya sebagai berikut: 1) UUD 1945 tentang Penyediaan Anggaran Pendidikan sebesar 20,0 persen; 2) UU No. 33 Tahun 2004 yang mewajibkan penyediaan dana perimbangan berupa Dana Alokasi Umum (DAU) sekurang-kurangnya sebesar 26 persen dari penerimaan dalam negeri neto, Dana Bagi Hasil (DBH), dan Dana Alokasi Khusus (DAK); 3) UU tentang otonomi Aceh dan juga Papua; 4) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengamanatkan alokasi dana kesehatan sekurang-kurangnya sebesar 5,0 persen dari APBN di luar gaji; 5) UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang mengamanatkan sekurang-kurangnya sebesar 10,0 persen dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam APBD setelah dikurangi DAK.

Ditambahkan lagi tentang “belanja wajib” Lainnya, seperti: Belanja operasional, belanja Pegawai non K/L, pembayaran bunga utang, dan subsidi. Berdasarkan grafik yang disalin dari dokumen Nota Keuangan dan APBN 2018, rata-rata mandatory spending dalam kurun waktu 2013 hingga 2021 sebesar 76,2 persen terhadap belanja negara. Perhitungan mandatory spending tahun 2019 sampai dengan tahun 2021 disebut menggunakan angka indikasi. Berdasarkan hal ini, dijelaskan bahwa risiko fiskal yang dihadapi Pemerintah adalah keterbatasan ruang gerak fiskal untuk mengalokasikan belanja prioritas lain di luar mandatory spending. Risiko fiskal terkait ini pula adalah saat target penerimaan negara tidak tercapai, akan membuat Pemerintah menambah pembiayaan (utang) karena defisit anggaran yang bertambah.