Pendapatan negara selama periode
tahun 2000 – 2017 memang cenderung meningkat setiap tahunnya. Namun ada
beberapa tahun yang mengalami sedikit penurunan dibanding tahun sebelumnya,
seperti tahun 2002, 2009, dan 2015. Kondisi pendapatan yang menurun biasanya
karena penerimaan terkait sumber daya alam, khususnya migas, akibat penurunan harga
yang cukup signifikan.
Kenaikan pendapatan negara
tersebut diikuti pula oleh kenaikan belanja negara tiap tahunnya. Belanja juga
pernah mengalami penurunan, yaitu pada tahun 2002 dan 2009. Penurunan belanja
tahun 2009 lebih kecil dibanding penurunan pendapatan pada tahun itu. Setelah
itu, belanja tak pernah turun, meski pendapatan turun pada tahun 2015.
Sementara itu, belanja negara
selalu lebih besar dibandingkan pendapatan, yang berarti realisasi anggaran pemerintah
(APBN) selalu mengalami defisit. Defisit dalam tiga tahun terakhir, tahun 2015 - 2017 jauh lebih besar dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya. Realisasi sementara APBN 2017, defisit tercatat sebesar
Rp345,84 triliun.
Cara pemerintah menutupi
kekurangan atau defisit anggarannya disebut dengan istilah pembiayaan. Diantaranya
adalah: menjual aset, menjual kepemilikan saham atas BUMN (divestasi), dan
berutang. Cara yang paling lazim
dilakukan di berbagai negara adalah berutang, dan dilakukan pula oleh
pemerintah Indonesia. Cara dengan menjual aset atau divestasi pun sempat
dilakukan dengan jumlah yang cukup signifikan di masa lalu, ketika pemerintah
memilik banyak aset dan telah berinvestasi akibat krisis 1998 dan kebijakan rekapitulisasi
perbankan. Terutama pada era tahun 2002 hingga 2006. Tahun-tahun selanjutnya
lebih banyak mengandalkan utang. Akan tetapi kadang masih ada penerimaan
kembali investasi, yang dikenal juga sebagai divestasi atau privatisasi dalam
hal BUMN.
Istilah pembiayaan sendiri tidak hanya
berarti penerimaan, seperti berutang tadi yang menghasilkan penerimaan utang,
melainkan memasukkan juga pembiayaan yang bersifat pengeluaran. Pemerintah pun
memberikan utang atau pinjaman, seperti kepada BUMN dan Pemerintah Daerah.
Pemerintah juga melakukan pengeluaran investasi, antara lain kepada: BUMN, BLU,
Badan atau Lembaga lainnya, dan organisasi atau badan usaha internasional.
Oleh karena sifatnya yang
berdampak pada hak dan kewajiban di waktu mendatang, maka penerimaan dan
pengeluaran pembiayaan tidak dimasukan dalam pos Pendapatan atau Belanja dalam APBN.
Defisit APBN tidak memperhitungkan pos anggaran ini, dan diperlakukan sebagai
pos tersendiri. Sebagai contoh, penerimaan karena utang, akan berakibat
pembayaran di kemudian hari. Begitu pula dengan pembayaran utang, cicilan pokok
atau yang jatuh tempo, akan mengurangi kewajiban mendatang. Perlu diketahui
dalam hal utang, pembayaran bunga utang masuk ke dalam pos belanja, karena
tidak mengurangi kewajiban bayar utangnya.
Contoh lain adalah investasi
kepada BUMN, yang dari sudut pandang APBN adalah pengeluaran, akan dicatat ke
dalam pos pembiayaan. Bukan pos belanja, karena mengakibatkan hak Pemerintah di
masa datang atas BUMN tersebut. Di sisi lain, pembagian keuntungan atau dividen
dari BUMN dicatat dalam pendapatan negara, masuk ke dalam Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP).
Perkembangan pembiayaan selama
kurun tahun 2010 – 2017 menunjukkan bahwa pengeluaran Investasi tercatat cukup
besar, seperti kepada BUMN dan BLU. Sedangkan penerimaan kembali investasi,
divestasi ataupun privatisasi masih relatif kecil. Jika hal ini dihubungkan
dengan defisit anggaran, maka kebutuhan tambahan utang menjadi lebih besar.
Keperluan pembiayaan utang (penerimaan) menjadi tak hanya untuk menutupi defisit,
melainkan juga hal itu. Ditambah dengan pengeluaran pembiayaan lain seperti
pemberian pinjaman (bukan bersifat investasi) kepada BUMN, Lembaga, Pemda,
serta untuk penjaminan.
Dengan demikian, pembiayaan utang
dalam APBN adalah tambahan utang baru akibat defisit anggaran ditambah
pengeluaran pembiayaan lainnya. Tentu diperhitungkan pula jika ada penerimaan
pembiayaan. Sebagaimana terlihat dalam gambar, tambahan utang menjadi lebih
besar dibandingkan defisit. Ada pula faktor lain yang bisa menambahi posisi
utang, atau menguranginya, yaitu perubahan kurs rupiah, karena sebagian cukup
besar utang adalah berdenominasi valuta asing.
Pemerintah sejauh ini masih
merencanakan deficit yang cukup besar untuk tahun-tahun mendatang. Pada tahun 2019
hingga 2021 defisit ditargetkan sekitar 300 hingga 350 trilyun rupiah tiap
tahun anggaran. Pemerintah menjelaskannya melalui Nota Keuangan dan APBN 2018
bahwa hal itu masih diperlukan karena dalam pokok-pokok kebijakan fiskal jangka
menengah, Pemerintah masih akan menempuh kebijakan fiskal ekspansif. Kebijakan
fiskal ekspansif tersebut untuk membiayai kegiatan produktif dalam rangka
meningkatkan kapasitas produksi dan menjaga keseimbangan ekonomi makro.
Pemerintah memang berjanji akan berupaya
mengendalikan besaran defisit dalam batas aman dan diupayakan cenderung menurun
pada akhir tahun 2020. Maksudnya yang menurun terutama adalah rasio defisit
atas PDB. Bagaimanapun, semua baru rencana dan ada besaran target terkait utang.
Kejadian atau realisasinya bisa lebih baik, namun bisa pula lebih buruk. Gambar
berikut disalin dari Keputusan Menteri Keuangan tentang Strategi Pengelolaan
Utang Negara Jangka Menengah tahun 2018 – 2021.
Selain keinginan agar kebijakan fiskal
bersifat ekspansif, Nota Keuangan dan APBN 2018 menjelaskan bahwa salah satu
kebijakan Pemerintah yang mengakibatkan ruang gerak fiskal (fiscal space) menjadi terbatas adalah
besaran pengeluaran negara yang diwajibkan (mandatory spending).
Dikatakan bahwa dengan semakin besarnya mandatory spending, maka fleksibilitas
Pemerintah untuk mendanai kegiatan yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi
menjadi terbatas.
Mandatory spending adalah pengeluaran negara pada program tertentu
yang dimandatkan atau diwajibkan dalam ketentuan peraturan perundangan yang
berlaku. Ketentuan perundangan yang mewajibkan pengeluaran negara di antaranya
sebagai berikut: 1) UUD 1945 tentang Penyediaan Anggaran Pendidikan sebesar
20,0 persen; 2) UU No. 33 Tahun 2004 yang mewajibkan penyediaan dana
perimbangan berupa Dana Alokasi Umum (DAU) sekurang-kurangnya sebesar 26 persen
dari penerimaan dalam negeri neto, Dana Bagi Hasil (DBH), dan Dana Alokasi
Khusus (DAK); 3) UU tentang otonomi Aceh dan juga Papua; 4) UU No. 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan yang mengamanatkan alokasi dana kesehatan
sekurang-kurangnya sebesar 5,0 persen dari APBN di luar gaji; 5) UU No. 6 Tahun
2014 tentang Desa, yang mengamanatkan sekurang-kurangnya sebesar 10,0 persen
dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam APBD setelah dikurangi
DAK.
Ditambahkan lagi tentang “belanja
wajib” Lainnya, seperti: Belanja operasional, belanja Pegawai non K/L,
pembayaran bunga utang, dan subsidi. Berdasarkan grafik yang disalin dari
dokumen Nota Keuangan dan APBN 2018, rata-rata mandatory spending dalam kurun
waktu 2013 hingga 2021 sebesar 76,2 persen terhadap belanja negara. Perhitungan
mandatory spending tahun 2019 sampai dengan tahun 2021 disebut menggunakan
angka indikasi. Berdasarkan hal ini, dijelaskan bahwa risiko fiskal yang
dihadapi Pemerintah adalah keterbatasan ruang gerak fiskal untuk mengalokasikan
belanja prioritas lain di luar mandatory spending. Risiko fiskal terkait ini
pula adalah saat target penerimaan negara tidak tercapai, akan membuat
Pemerintah menambah pembiayaan (utang) karena defisit anggaran yang bertambah.